"Kenapa ... mendadak?"
Devon mengangguk ringan. "Sesekali aku harus pulang menengok keadaan rumah."
Rosa serta merta menghembuskan napas panjang dan lega. 'Mungkin dia cuma mau nginap semalam. Nggak apa-apa. Aku masih tahan kalo sehari doang.'
Namun, Devon seperti tak puas. Dia melemparkan bom berikutnya. "Aku akan tinggal di rumah sampai waktunya kita cerai."
Air muka Rosa berubah keruh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kaku saat berkata, "Sayang, aku bahagia banget kamu mau pulang. Tapi, apartemen kamu gimana? Tempat tinggal yang lama dibiarkan kosong bakal memancing hawa buruk."
Devon menaikkan sedikit sebelah alisnya. Dia bertanya skeptis, "Sirkulasi udaranya bagus. Apanya yang hawa buruk?"
"Sayang, setan."
"Kamu ngatain aku setan?"
"Bukan, Sayang. Setan suka tempat-tempat kosong tak berpenghuni," ucap Rosa sambil memasang ekspresi meyakinkan.
Devon lantas mencibir, "Kebanyakan nonton film horor."
"Kamu belum ngalamin kejadian mistis, jadi nggak tahu seberapa menakutkannya hal itu," protes Rosa. Meski sejujurnya Rosa juga tidak percaya. Tapi, siapa tahu taktik ini berhasil membujuk Devon agar terus menempati apartemennya.
Devon dengan bijak tidak membantah perkataan Rosa, sebab dia sudah mengalami sendiri kejadian mistis itu dan saat ini sedang mendengar suara seseorang bergema kembali di kepalanya.
'Apa lagi yang bisa mengahalangi Devon pulang, hm ....'
Devon menunggu dengan cuek sambil melanjutkan pekerjaannya. Dia tidak ingin pulang ke apartemen lagi, bagaimanapun Rosa membujuknya. Dia melakukannya supaya terbebas dari perasaan disetir oleh Rosa.
Devon merasa kalau dia pulang ke apartemen, dia jadi seperti menuruti keinginan Rosa. Dan itu menyebalkan. Dia juga tidak ingin membiarkan Rosa senang, setelah dari kemarin diganggu dan dicela oleh suara wanita itu.
Devon berpikir ada bagusnya mereka sama-sama kesal. Impas, bukan?
Selang beberapa lama, Rosa akhirnya menyerah. Terbesit di otaknya kalau Devon tak mau berubah pikiran. Oleh karena itu, Rosa mencetuskan ide baru, "Istirahatlah di rumah. Sebagai gantinya, aku jagain apartemen kamu."
"Jagain dari setan?" tanya Devon malas.
"Hehe," kekeh Rosa pelan dengan senyum malu.
Pembicaraan itu sementara terhenti ketika Rama mengetuk pintu dan masuk dengan menenteng makanan. Rosa menyambutnya antusias. Tanpa menunggu Devon atau bahkan mengundangnya, Rosa mulai menyendok.
Namun di luar ekspektasinya, Rosa mendengar Devon bertanya ke Rama, "Yang mana menu makanan sehat untukku?"
Rosa membeku seketika. Sedangkan Rama menautkan alisnya bingung. "Makanan sehat apa?"
Rama cuma membeli nasi goreng dan milk tea sesuai permintaan Rosa. Dia hafal tabiat Devon yang tidak suka sarapan, makanya dia tidak membelikan makan Tuan Muda-nya itu.
Devon sengaja membuat masalah dan berkata, "Rosa bilang kau akan menyiapkannya."
Di satu sisi, Rosa mengerang dalam hati, 'Mati aku!'
"Dev- Eh, Sayang!"
Devon mengalihkan perhatiannya pada Rosa yang sedang berdehem kecil. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, membentuk sebuah irama teratur. Ketukan jarinya begitu meresahkan Rosa yang sedang dikejar waktu untuk menjelaskan kesalahpahaman ini.
Rosa refleks mengambil ponselnya, mengetik secepat kilat, kemudian menunjukkannya pada Rama dan Devon. "Aku lupa, belum mengirim pesan yang udah diketik ke Asisten Rama."
Berbeda dengan Devon yang terdiam, Rama dengan polos menelannya bulat-bulat. Bahkan dia tidak menganggap aneh kejadian barusan. "Waduh, Tuan Muda mau sarapan? Saya carikan sekarang!"
Devon mengibaskan tangannya jengkel. Rama kebingungan menanggapinya. Jadi, iya atau tidak?
"Tidak perlu," ucap Devon, melihat Rama yang tak menangkap maksudnya.
'Fyuuuh. Aman.'
Rosa dapat membuang napas lega sehabis senam jantung tadi. Tetapi dia mengunyah dengan sesekali melemparkan tatapan curiga pada Devon.
'Dia tahu aku pura-pura doang mikirin menu makannya, kah? Kok, tumben, inisiatif tanya-tanya ke Rama. Ku kira kalau Rama diam aja nggak suguhin apa-apa, Devon juga akan diam aja! Meleset, sial.'
Kini gantian jantung Devon yang terlonjak kaget. Rosa tidak boleh tahu dia bisa mendengar isi kepalanya.
"Aku tiba-tiba lapar," ujar Devon berupaya mengecoh Rosa. Dia bangkit dan bergabung di sofa sebelah Rosa, mengambil sebagian porsi nasi goreng seolah-olah kelaparan sungguhan.
'Tadi ditawarin nggak mau. Sekarang, kamu ambil setengah! Keterlaluan! Nggak punya muka! Aku lapar ...!'
Rosa mengeluh dalam hati. Lalu bertekad untuk tidur di apartemen, membiarkan Devon pulang ke rumah. Yang penting mereka tidak satu atap. Karena kalau tidak, sumbu pendek Rosa akan segera tersulut habis dan meledak.
Rosa memanggil Rama yang sudah selangkah keluar ruangan, "Asisten Rama, aku minta kunci apartemen Devon, ya."
"Nona mau kesana? Emang boleh?"
Devon membeli apartemen itu setelah mereka menikah demi menghindari Rosa. Semenjak itu, merupakan keajaiban dunia bila Devon menginjakkan kaki di rumah. Meskipun kakek datang berkunjung, dia tak nampak khawatir sama sekali bakal diomeli.
Segitu enggannya Devon berurusan dengan Rosa.
"Boleh."
"Tidak boleh."
Devon dan Rosa membalas bersamaan. Keduanya saling pandang dalam kekeraskepalaan.
Bibir Rosa maju beberapa senti. Raut wajahnya cemberut, tak lagi repot-repot berakting. Ketika kedamaian dan istirahatnya dalam bahaya, Rosa harus bertindak!
"Kamu yakin mau pulang ke rumah bareng aku, tinggal bareng aku, makan bareng aku, ngapa-ngapain ku temani," ujar Rosa memprovokasi, "Ah ... bayangkan betapa bahagianya hatiku. Sehari-hari selalu bersama kamu."
Devon, "...."
Mengerikan.
Sangat di luar nalar.
Bayangan yang membuatnya merinding total.
Raut wajah Devon tertekuk berat. Ekspresinya menggelap dan matanya memandang Rosa dingin. Dia harus menolak. Menolak dan mengabaikan kemenangannya yang sudah terlihat di depan mata.
Harus. Tidak bisa, tidak.
"Yakin," ucap Devon berkata lain pada akhirnya.
Rosa tercengang. Tangannya yang memegang sendok tergantung di udara, hampir menyuap nasi goreng ke mulut.
Belum sempat Rosa bereaksi, Devon terlebih dahulu bangun dan menghampiri Rama sang penonton di pinggir pintu. Langkahnya sedikit terburu-buru dan wajah Devon terlihat tidak enak, seperti mual. Dia berkata pada Rama dengan menggertakkan gigi, "Cepat jalan."
"Eh, oh, iya, Tuan Muda," jawab Rama.
Sepeninggalan Devon, masih ada orang yang kesadarannya masih belum pulih.
Rosa menaruh sendoknya secara perlahan, lalu mengambil minum untuk menenangkan diri. Namun, nyatanya Rosa tetap terbengong-bengong.
Devon yang ITU setuju ditempelin Rosa. Sepertinya matahari terbit disebelah barat hari ini.
Tririring~
Dering ponsel Rosa memecah lamunannya. Saat dia melirik nama sang penelepon, raut wajah Rosa berangsur-angsur tenang dan kalem. Tidak ada emosi yang bisa terbaca darinya.
"Mm," gumam Rosa setelah mengangkat telepon.
"...."
Rosa mendesak,"Lalu bagaimana? Aku sanggup siapkan syarat yang diminta. Tapi aku minta semuanya selesai dalam waktu dekat."
"...."
Seseorang di sebrang telepon itu terlihat ragu-ragu dan mencoba menasehati. Tetapi, Rosa berkata tegas, "Perlu. Aku sangat membutuhkannya."
Rona wajah Rosa memucat, disertai warna iris matanya yang cerah menjadi kelam. "Kalau kamu tunda lagi, kamu akan menemukan mayatku."
Terima kasih sudah membaca novel pertamaku di sini! Kuharap kalian suka :) Nantikan terus update chapter hingga tamat, yaaa~ Have a good day
Sreeek.Suara tirai digeser membelah keheningan pagi, membangunkan Rosa dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus kaca jendela, mendarat di wajah cantik Rosa yang tak tertutup selimut."Pagi, Nona. Bangunlah dulu, dan minum ini biar nggak sakit," ucap suara paruh baya khas Pak Sugi dari samping tempat tidur. Rosa mengerang panjang. Kepalanya nyut-nyutan hebat. dan kurang lebihnya karena Rosa merasa baru tidur sebentar, dia masih mengantuk. "Sudah saya siapkan ramuan khusus untuk mengobati sakit kepala dan mual habis mabuk," kata Pak Sugi. Beliau mendorong gelas kecil yang sesekali muncul kepulan asap hangat.Dengan mata masih terpejam dan kepala pusing, Rosa duduk perlahan. Satu tangan memijit pelipis, satu tangan terulur mencari gelas yang ditawarkan. Ia meneguknya sedikit-sedikit. Pahit, tapi menghangatkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.Pak tua itu memberikannya dan memperhatikan dengan seksama hingga isinya tandas. Dia mengambil gelas kosong itu, mengangguk puas
Devon kehilangan kata-kata. Bibirnya kelu. Hanya sorot matanya yang keras, sekeras raut wajahnya yang membeku. Rosa tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dengan suara yang bergetar namun penuh ledakan emosi, dia melanjutkan, "Apa susahnya membelaku? Dukung aku, bantu aku saat kesusahan. Jangan biarkan aku sendiri menghadapi semuanya!"Alkohol, rupanya, membuka pintu yang selama ini dikunci rapat. Rosa bicara jujur. Tanpa rem, tanpa topeng. Yang selama ini ditahan, akhirnya lepas juga.Tapi sayangnya, kejujuran itu datang bersama gejolak. Emosinya meluap seperti air bah. Dia jadi lebih rapuh, mudah retak oleh sentuhan kecil.Dia muak.Muak diminta diam, muak disuruh kuat. Muak menjadi orang satu-satunya yang menimbun luka.Dan sekarang, dia kecewa.Kecewa, setelah melarikan diri dari rumah lamanya, dia disuruh menahan diri lagi oleh Devon—tanpa dukungan pria itu. Rosa tak bisa mengandalkan Devon. Dia memukul dada Devon dengan tinjunya, berkali-kali. Tapi bukan rasa sakit yang
CATATAN: Tanda suara isi pikiran Rosa bakal diganti menjadi [...]Contoh: [Devon jelek!]---Devon menatap pucuk kepala Rosa yang bersandar manja di bahunya. Dari bibir wanita itu terus keluar gumaman kecil yang terdengar seperti semilir angin—halus, menggelitik, dan tanpa makna.Rosa melepas pelukanya. Tapi bukan berarti dia mundur. Justru sebaliknya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Devon lagi. Kedua kakinya terangkat, lalu menggelayuti Devon, bergerak naik perlahan demi mencari tempat bertengger baru.Namun di pertengahan jalan, salah satu kaki Rosa tanpa sadar menggesek bagian tubuh Devon yang ... sensitif.Ekspresi dingin pria itu langsung retak. Sejenak, matanya kehilangan fokus, dan napasnya tertahan di tenggorokan.Rosa berhenti saat dia berhasil menggantung seperti koala, mengalungkan lengannya di leher Devon dan menjepit pinggangnya dengan kaki. Devon mesti memegangi kedua paha Rosa dari bawah agar tidak terjatuh.Dengan santai, Rosa berseru pelan, nyaris mendesah, “
Devon tak membalas lambaian itu. Dia memutar tubuh dan menghilang kembali ke dalam ruang kerjanya. Tirai kaca bergoyang pelan, tertiup angin sore yang lembut. Seolah menjadi penutup adegan dingin barusan.Sementara itu, Rosa menurunkan tangannya perlahan. Senyum masih menghiasi wajahnya, meski ada getir yang tak bisa ditutupi. Dia menutup bukunya, berdiri anggun, dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak.'Kamu nggak mau lihat aku? Baik. Aku juga males.'Di kamarnya, dia mengganti baju ke dress hitam seksi selutut dan melingkarkan choker senada di leher jenjangnya. Rosa melepas sandal rumah dan menggantinya dengan hak tinggi yang menegaskan langkahnya.Sebelum keluar, Rosa sempat memberi isyarat kepada Pak Sugi dengan satu kedipan jenaka dan tawa kecil yang menggoda.Pak Sugi yang tahu betul arah tujuan Nona-nya itu hanya bisa menghela napas panjang.Kalau Tuan Muda sampai tahu, bisa perang dingin beneran.Rosa keluar dengan riang gembira, tak sabar untuk melepas penat.D
Setelah Rama diseret pergi oleh Pak Sugi, Rosa tak buang-buang waktu dan segera meninggalkan meja makan tanpa mengucap selamat tinggal kepada Devon. Pria itu seperti dicampakkan untuk yang kedua kalinya.Yang pertama tentu saja saat Devon meminta cerai di restoran kala itu.Kejadiannya bagai terulang kembali. Barusan itu mirip sekali dengan Rosa yang pergi tanpa memedulikannya waktu itu. Rasanya sama persis.Devon mendadak kehilangan nafsu makannya.Sendok di tangannya menggantung di udara, tak jadi diarahkan ke mulut. Rasanya hambar. Bahkan makanan semewah apapun tak mampu mengusik perutnya yang perlahan mengeras karena emosi.Ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi jenis yang lebih sunyi—yang datang pelan namun menghantam dalam.Esok paginya, Devon kira keanehan Rosa telah berakhir.Namun, Devon tidak menemukan Rosa di ruang makan. Dan hanya menemukan secarik kertas notes tertempel di meja. Dengan sekali lihat, Devon dapat mengenali i
Tawa Rosa perlahan mereda, hanya tersisa senyum samar yang menggantung di bibirnya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Devon. Tangannya bergerak mengambil dessert yang disediakan Pak Sugi. Puding karamel di piring mungil itu bergoyang lucu saat dia menyenggolnya dengan sendok, membuat senyum tipis kembali menyelinap di wajahnya.Tanpa menoleh, Rosa membuka suara. “Tadi kamu lagi sibuk rapat. Aku nggak mau ganggu kerjaan kamu.”Devon menarik kursi dan duduk, masih menatap Rosa dalam diam. Devon menebak alasan Rosa bukan berdasarkan rasa pengertian—tapi lebih karena sesuatu yang lain.Dia sengaja tidak memanggil Devon. Devon hapal betul kebiasaan Rosa. Sejarang apa pun dia pulang, Rosa selalu punya cara agar mereka tetap bisa makan malam bersama. Entah dengan membangunkannya saat tertidur, atau menunggunya selesai bekerja. Rosa akan memaksanya duduk di meja makan seraya berkata, tidak baik melewatkan jam makan.Tidak peduli sesibuk apa Devon, wanita itu akan mengetuk-ngetuk ruang ke