Beranda / Urban / No Cerai No Pisah! / Chapter 6 - Sebatang Kara

Share

Chapter 6 - Sebatang Kara

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 16:50:42

'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'

Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."

'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati. 

Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"

Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti.  

'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'

Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan lain. Ku sarankan, kamu terima aja pendekatanku daripada kehabisan tenaga."

Kepala Devon rasanya mau pecah. Temannya pernah bilang, jangan coba-coba untuk memahami wanita meski mereka mahkluk yang ingin dimengerti. Tak ada gunanya, dia bilang. Masih patut mereka memancing ikan dan meneliti seluk beluk kehidupan jamur yang jumlahnya ribuan di alam. 

Devon terlalu meremehkan perkataan temannya. Dan ini ganjaran yang dia dapat, yaitu Rosa, si paling memusingkan.

Devon tak peduli lagi soal mau Rosa. Kini dia cuma ingin melihat lembar pekerjaannya dan terbebas dari mulut maut orang dihadapannya. Dia berbalik dan lekas pergi setelah berkata, "Ingat, kamu masih bergantung pada siapa."

"Aku tau," sahut Rosa. Dia memutar bola matanya jengah di belakang Devon. Sudah tentu lah Rosa takkan lupa dengan siapa dia berhutang budi. 

'Hati nurani ku bersih. Aku tahu diri. Aku berhutang ke kakek dan bukan denganmu. Besar kepala sekali, orang ini.'

Devon melirik Rosa sebelah mata. Tampaknya Rosa menolak mengakui usaha Devon. 

Selagi mereka berada di dalam lift menuju parkiran, Devon berujar mengingatkan, "Kehidupan kamu ada ditanganku. Pakaian, tempat tinggal, semuanya. Bayangkan bila kamu kehilangan privilege itu."

Devon bisa mengubah nasib Rosa semudah membalikkan telapak tangan. Uang yang digunakan untuk membiayai Rosa saat ini tidaklah abadi. Jika dia ingin, rantai pemasukan itu bisa diputus dengan keji olehnya. Tak pernah terlintas di otaknya bagaimana jadi nasib Rosa ketika Devon melakukan itu. Dibilang sengaja jahat, tidak juga. Devon hanya sama sekali tidak kepikiran.

Walaupun Devon tahu bahwa selain dirinya dan kakek, Rosa tak punya siapa-siapa lagi tuk bersandar. Bahkan wanita itu juga sepengetahuan Devon tidak bekerja. Dia semata-mata mengandalkan uang bulanan dari Devon. 

Rosa sebatang kara dan sudah menjadi rahasia umum semenjak wanita itu sendiri yang mengungkapkannya di pesta pernikahan mereka. 

Masih terpahat jelas di ingatan Devon ketika Rosa mengangkat gelas lalu mengajak para tamu undangan bersulang. Dia berterima kasih, mengucap syukur, kemudian terlihat sendu sedan saat mengatakan betapa bahagianya dia dapat memiliki sebuah keluarga lagi. 

Sebagian tamu bersimpatik mendengar itu, sementara sisanya mencibir dibalik senyum selamat. Faktanya, wanita yang tidak memilikik backing keluarga mereka seperti Rosa itu mudah digunjing, apalagi di-bully bila terlihat dia tidak disayang oleh suaminya.

Rosa tersenyum. "Sayang benar. Hidupku enak, nggak perlu bersusah payah. Aku tinggal minta ke kamu dan semua beres. Aku suka," dia memuji dengan cepat, "Semua berkat kamu."

Devon sudah mulai terbiasa dengan omong kosong Rosa. Di mulut memujinya, di dalam hati berkata lain. 

Terdengar bunyi 'ting' yang menandakan mereka telah sampai di parkiran mobil. Mereka berdiri berdampingan, menunggu pintu lift terbuka. Devon menoleh ke samping, lalu berkata pelan menusuk, "Aku tetap akan menceraikanmu cepat atau lambat. Bersiap-siaplah."

Mata Rosa berbinar-binar, dengan agak bersemangat dia bertanya, "Itu artinya kamu setuju menunda perceraian kita, kan?"

"Tergantung sikapmu," jawab lelaki itu dingin. 

Rosa tak kuasa menahan senyum manisnya. "Siap, Sayangku!"

'Satu bulan itu cukup!'

---

Rosa memegang kata-katanya untuk mengintili Devon sampai ke kantor. Dan hari itu ditetapkan akan menjadi hari yang sangat tidak biasa bagi Devon maupun para karyawannya. Pertama-tama, Devon yang biasanya turun di basement dan naik ke atas dengan lift khusus jadi harus berhenti di lobi kantor. Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa. Jelas ini ulahnya Rosa.

Padahal Rama sudah mengingatkan sarapan mereka disiapkan di kantor. Rama yang memesankan makan dan mengantarnya langsung ke ruangan Devon nanti. Tapi Rosa bersikeras kalau setidaknya mereka mampir sebentar membeli kopi. Lalu saat tangannya menggenggam kopi sialan itu dan mobil berguncang melewati polisi tidur, Rosa tanpa sengaja menumpahkan seluruh isi-isinya ke jas Devon. 

"Sayang, maaf! Tadi gelasnya terlalu panas dan mobilnya goyang jadi ...." ujar Rosa seraya mengulurkan saputangan. 

"Diam di tempatmu," balas Devon geram. Matanya menyipit waspada, memperhatikan gerak-gerik Rosa. Sungguh, dia tidak bisa lengah saat di dekat Rosa. 

Asisten Rama yang duduk di samping sopir berkata, "Mohon tunggu sebentar, Tuan Muda. Saya ambilkan jas cadangan di bagasi."

"Tidak usah," kata Devon cepat dengan jengkel. Dia membuang jasnya begitu saja, kemudian membuka dua kancing teratas kemeja dan menggulung sedikit bagian lengannya. 

'Oh, wow,' batin Rosa terpana. Tatapannya berbinar cerah melihat gaya Devon berubah kasual namun tetap mempesona begitu melepas jasnya. Auranya jadi terasa lebih mudah untuk didekati dan hati Rosa berdegup sekejap. 

Devon mendengus. Dia melirik Rosa sekilas, setelah itu turun dari mobil. 

Para karyawan yang baru datang sempat heran dengan mobil mewah di depan lobi. Mereka mengira hari ini ada tamu penting dan penasaran siapa itu, makanya tidak segera beranjak pergi dan mengulur-ngulur waktu untuk melihat.

Namun, ketika mengetahui orang penting itu adalah CEO mereka sendiri, suasana sontak menjadi ramai. 

"Itu CEO kita, kan? Baru kali ini ngeliat langsung di depan mata. Ternyata aslinya emang ganteng banget!"

Temannya ikut berdecak kagum, "Pantesan masuk Top Three Sembilan Naga di Indonesia. Masih muda, kaya raya, tampan lagi. Naas.. udah nikah."

"Nggak bakal milih kita juga meskipun belum nikah," sahut yang lain. Dia menggeleng, membayangkan dunia mereka dan Devon yang terpisah bagai langit dan bumi. 

"Hmm? Bukannya istri CEO itu orang biasa, ya?"

"Loh, iya ya. Siapa sih namanya? Aku lupa."

"Bu Rosa." 

Para karyawan, khususnya wanita, bergerombol di meja resepsionis, menunggu Devon lewat. Tetapi Devon tampaknya masih menanti sesuatu karena tidak kunjung bergerak dari sebelah mobil. Maka dari itu, obrolan di antara mereka berlanjut kian membara.  

"Katanya bisa nikah sama Pak Devon cuma modal balas budi. Aku dengar ceritanya dari managerku pas makan-makan kemarin. Dia mabuk, kelepasan ngomong. Dia bilang, Pak Wijaya lagi visit proyek pembangunan di Bogor waktu tiba-tiba hujan deras datang sampai tanah longsor. Kebetulan mobil Pak Wijaya terjebak di bawah longsor itu dan yang nolongin beliau, kakeknya Bu Rosa."

"Terus-"

Ucapannya terpotong dan matanya melebar. 

Semua orang menatap aneh sang wanita yang sedang bercerita, lalu mengikuti arah pandangnya. Di situlah mereka menyaksikan seorang wanita cantik jelita dengan proporsi tubuh nyaris sempurna turun dari mobil sembari menggapai uluran tangan Devon. Kemudian mereka bergandengan tangan dan berjalan bersama ke dalam kantor. 

Rosa mengernyit dari sinar matahari yang menerangi wajahnya. Di bawah sinar, mata coklat terangnya terlihat berkilau lembut. Ketika pandangannya terjatuh pada para karyawan, sebuah senyum kecil muncul menghiasi wajahnya. 

Devon menyesuaikan kecepatannya dengan Rosa yang menggunakan sepatu hak tinggi. Baginya, tidak suka pada seseorang bukanlah alasan dia harus berprilaku jelek di hadapan khalayak umum. Dia tak akan mempermalukan diri sendiri, maupun Rosa. 

Selama bergandengan, Devon dan Rosa bak sepasang suami-istri idaman. Tetapi sesampainya di lantai paling atas, Rosa melonggarkan pegangannya hingga berangsur-angsur terlepas seolah tidak sabar untuk segera menjauh. 

Di depan pintu ruangan Devon berdiri 2 orang sekertaris wanita yang menyambut kedatangan mereka. 

"Panggil yang lain. 30 menit lagi kita rapat," kata Devon sambil berlalu masuk. Sedangkan fokus kedua sekertarisnya lebih tertuju pada Rosa daripada perintah Devon. 

Tidak ada wanita yang pernah menginjakkan kaki di lantai ini kecuali mereka. Jadi wanita di samping CEO ini pasti istrinya. Tapi bukannya pernikahan mereka berada diambang kehancuran? 

Kok, istrinya bisa di sini ... 

Kedua sekertaris itu tidak bisa menahan tatapan penasaran mereka sampai Asisten Rama harus menegur tegas. "Kalian dengar tidak apa yang disuruh Pak Devon? Kalau tidak mau bekerja lagi, kalian boleh pergi dari perusahaan ini sekarang juga!" 

Hardikan Asisten Rama membungkam keberanian dua sekertaris Devon. Setelah ditegur, keduanya langsung terburu-buru meninggalkan tempat. Asisten Rama hanya bisa menghela napas dan pergi juga sebelum Nona Rosa membuat Tuan Muda emosi lagi karena terlalu lapar. 

Di dalam, 

Rosa bertanya, "Rapatnya ditunda, boleh? Sarapan sama aku?"

"Aku nggak lapar," sahut Devon acuh. 

'Aku juga nggak selera makan bareng kamu. Masih bagus ku tawarin, huh.'

Sudut bibir Devon berkedut pelan. Dia menarik napas dalam, mengetahui risiko membawa Rosa kesini sama dengan mendengarkan kata-kata pedasnya sepanjang hari. Devon menghiraukan Rosa dan memeriksa kembali dokumen di mejanya. 

"Sayang, kamu baru aja keluar dari rumah sakit, loh. Walaupun dokter bilang nggak apa-apa, tapi aku tetap khawatir. Gimana nanti kalo kamu tiba-tiba pingsan? Kehabisan tenaga? Terlalu capek? Aduh, aku nggak bisa bayangin," cerocos Rosa.

'Pingsan, lah. Pingsan. Supaya aku bisa pura-pura nangis dan tersentuhlah dengan sikap penuh kasih sayangku! Hehehe ....'

Devon, "...."

Pria itu memandangi Rosa dalam diam. Rosa yang tak sadar, sibuk mengotak-atik ponselnya. Rosa berujar, "Aku cari tau dulu menu makanan sehat yang cocok buat kondisi kamu. Habis itu akan ku sampaikan ke Asisten Rama biar dia yang menyiapkannya, ya."

'Nah ini! Adik Iparku, Selingkuhanku. Aku baru baca sedikit, tapi lumayan juga. Chapter berapa, ya, kemarin?'

Devon hampir tertipu, bila dia tidak mendengar suara pikiran Rosa. Devon tersenyum mencemooh. Asalkan Rosa tidak mengganggunya, Devon juga tidak akan mengomentari roman picisan yang Rosa baca.

'Top up, beli, beli, beli! Ugh, penyelamatku! Tanpamu, aku bakal mati kebosanan di sini,' pikir Rosa sambil menyeringai diam-diam, 'Untung Devon tinggal di apartemen. Aku nggak perlu capek bertingkah sampe malem di rumah. Dikira orang lain nggak butuh istirahat? Haihh.'

Devon meletakkan bolpen, lalu mendongak. "Hari ini aku pulang ke rumah."

BOOM!

Bagai sebuah bom meledak di kepala Rosa, deklarasi Devon sukses membuatnya mematung dari syok berlebih. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 36 - Tidur di kamar Devon

    Sreeek.Suara tirai digeser membelah keheningan pagi, membangunkan Rosa dari tidur lelapnya. Sinar matahari menembus kaca jendela, mendarat di wajah cantik Rosa yang tak tertutup selimut."Pagi, Nona. Bangunlah dulu, dan minum ini biar nggak sakit," ucap suara paruh baya khas Pak Sugi dari samping tempat tidur. Rosa mengerang panjang. Kepalanya nyut-nyutan hebat. dan kurang lebihnya karena Rosa merasa baru tidur sebentar, dia masih mengantuk. "Sudah saya siapkan ramuan khusus untuk mengobati sakit kepala dan mual habis mabuk," kata Pak Sugi. Beliau mendorong gelas kecil yang sesekali muncul kepulan asap hangat.Dengan mata masih terpejam dan kepala pusing, Rosa duduk perlahan. Satu tangan memijit pelipis, satu tangan terulur mencari gelas yang ditawarkan. Ia meneguknya sedikit-sedikit. Pahit, tapi menghangatkan tenggorokannya yang terasa kering kerontang.Pak tua itu memberikannya dan memperhatikan dengan seksama hingga isinya tandas. Dia mengambil gelas kosong itu, mengangguk puas

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 35 - Kamu sanggup pergi dariku?

    Devon kehilangan kata-kata. Bibirnya kelu. Hanya sorot matanya yang keras, sekeras raut wajahnya yang membeku. Rosa tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Dengan suara yang bergetar namun penuh ledakan emosi, dia melanjutkan, "Apa susahnya membelaku? Dukung aku, bantu aku saat kesusahan. Jangan biarkan aku sendiri menghadapi semuanya!"Alkohol, rupanya, membuka pintu yang selama ini dikunci rapat. Rosa bicara jujur. Tanpa rem, tanpa topeng. Yang selama ini ditahan, akhirnya lepas juga.Tapi sayangnya, kejujuran itu datang bersama gejolak. Emosinya meluap seperti air bah. Dia jadi lebih rapuh, mudah retak oleh sentuhan kecil.Dia muak.Muak diminta diam, muak disuruh kuat. Muak menjadi orang satu-satunya yang menimbun luka.Dan sekarang, dia kecewa.Kecewa, setelah melarikan diri dari rumah lamanya, dia disuruh menahan diri lagi oleh Devon—tanpa dukungan pria itu. Rosa tak bisa mengandalkan Devon. Dia memukul dada Devon dengan tinjunya, berkali-kali. Tapi bukan rasa sakit yang

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 34 - Aku punya kekuatan super!

    CATATAN: Tanda suara isi pikiran Rosa bakal diganti menjadi [...]Contoh: [Devon jelek!]---Devon menatap pucuk kepala Rosa yang bersandar manja di bahunya. Dari bibir wanita itu terus keluar gumaman kecil yang terdengar seperti semilir angin—halus, menggelitik, dan tanpa makna.Rosa melepas pelukanya. Tapi bukan berarti dia mundur. Justru sebaliknya. Dia mengulurkan tangan dan meraih pundak Devon lagi. Kedua kakinya terangkat, lalu menggelayuti Devon, bergerak naik perlahan demi mencari tempat bertengger baru.Namun di pertengahan jalan, salah satu kaki Rosa tanpa sadar menggesek bagian tubuh Devon yang ... sensitif.Ekspresi dingin pria itu langsung retak. Sejenak, matanya kehilangan fokus, dan napasnya tertahan di tenggorokan.Rosa berhenti saat dia berhasil menggantung seperti koala, mengalungkan lengannya di leher Devon dan menjepit pinggangnya dengan kaki. Devon mesti memegangi kedua paha Rosa dari bawah agar tidak terjatuh.Dengan santai, Rosa berseru pelan, nyaris mendesah, “

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 33 - Mabuk

    Devon tak membalas lambaian itu. Dia memutar tubuh dan menghilang kembali ke dalam ruang kerjanya. Tirai kaca bergoyang pelan, tertiup angin sore yang lembut. Seolah menjadi penutup adegan dingin barusan.Sementara itu, Rosa menurunkan tangannya perlahan. Senyum masih menghiasi wajahnya, meski ada getir yang tak bisa ditutupi. Dia menutup bukunya, berdiri anggun, dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan kepala tegak.'Kamu nggak mau lihat aku? Baik. Aku juga males.'Di kamarnya, dia mengganti baju ke dress hitam seksi selutut dan melingkarkan choker senada di leher jenjangnya. Rosa melepas sandal rumah dan menggantinya dengan hak tinggi yang menegaskan langkahnya.Sebelum keluar, Rosa sempat memberi isyarat kepada Pak Sugi dengan satu kedipan jenaka dan tawa kecil yang menggoda.Pak Sugi yang tahu betul arah tujuan Nona-nya itu hanya bisa menghela napas panjang.Kalau Tuan Muda sampai tahu, bisa perang dingin beneran.Rosa keluar dengan riang gembira, tak sabar untuk melepas penat.D

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 32 - Day 2

    Setelah Rama diseret pergi oleh Pak Sugi, Rosa tak buang-buang waktu dan segera meninggalkan meja makan tanpa mengucap selamat tinggal kepada Devon. Pria itu seperti dicampakkan untuk yang kedua kalinya.Yang pertama tentu saja saat Devon meminta cerai di restoran kala itu.Kejadiannya bagai terulang kembali. Barusan itu mirip sekali dengan Rosa yang pergi tanpa memedulikannya waktu itu. Rasanya sama persis.Devon mendadak kehilangan nafsu makannya.Sendok di tangannya menggantung di udara, tak jadi diarahkan ke mulut. Rasanya hambar. Bahkan makanan semewah apapun tak mampu mengusik perutnya yang perlahan mengeras karena emosi.Ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.Bukan kemarahan yang meledak-ledak, tapi jenis yang lebih sunyi—yang datang pelan namun menghantam dalam.Esok paginya, Devon kira keanehan Rosa telah berakhir.Namun, Devon tidak menemukan Rosa di ruang makan. Dan hanya menemukan secarik kertas notes tertempel di meja. Dengan sekali lihat, Devon dapat mengenali i

  • No Cerai No Pisah!   Chapter 31 - Cerminan Rosa

    Tawa Rosa perlahan mereda, hanya tersisa senyum samar yang menggantung di bibirnya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Devon. Tangannya bergerak mengambil dessert yang disediakan Pak Sugi. Puding karamel di piring mungil itu bergoyang lucu saat dia menyenggolnya dengan sendok, membuat senyum tipis kembali menyelinap di wajahnya.Tanpa menoleh, Rosa membuka suara. “Tadi kamu lagi sibuk rapat. Aku nggak mau ganggu kerjaan kamu.”Devon menarik kursi dan duduk, masih menatap Rosa dalam diam. Devon menebak alasan Rosa bukan berdasarkan rasa pengertian—tapi lebih karena sesuatu yang lain.Dia sengaja tidak memanggil Devon. Devon hapal betul kebiasaan Rosa. Sejarang apa pun dia pulang, Rosa selalu punya cara agar mereka tetap bisa makan malam bersama. Entah dengan membangunkannya saat tertidur, atau menunggunya selesai bekerja. Rosa akan memaksanya duduk di meja makan seraya berkata, tidak baik melewatkan jam makan.Tidak peduli sesibuk apa Devon, wanita itu akan mengetuk-ngetuk ruang ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status