'Memang ada maksud terselubung, sih. Tau dari mana dia?'
Rosa membalas polos, mengedikkan bahu. "Agendaku hari ini cuma nemenin kamu aja. Emangnya kamu ada ide lain? Aku nggak masalah, sih, mau kemana pun itu. Ke kantor langsung boleh, ke restoran dulu buat sarapan juga bagus."
'Intinya, aku nggak akan melepaskanmu! Biarlah dianggap hama sekalipun. Peduli apa aku,' lanjut Rosa dalam hati.
Senyum Devon tak mampu mencapai ujung. Hanya sekilas bertengger sebelum lenyap seketika. "Kamu pikir aku tidak bisa melakukan apa-apa padamu, huh?"
Rosa bergeming dan menunjukkan ekspresi murung. Tetapi, ocehannya bagai menginjak pedal gas. Meracau kencang tanpa henti.
'Sini! Di otakmu itu aku pegawaimu, kah? bawahanmu, begitu? Kalau kau suruh pergi ke barat, terus aku harus ke barat? Bah! Camkan ini, ya, aku akan pergi ke timur! Kau suruh aku lompat, aku akan berguling! Berguling menyerudukmu bahkan.'
Rosa mengultimatum, "Sayang, dengar ya. Aku nggak sanggup nyerah, kecuali kamu ketemu perempuan lain. Ku sarankan, kamu terima aja pendekatanku daripada kehabisan tenaga."
Kepala Devon rasanya mau pecah. Temannya pernah bilang, jangan coba-coba untuk memahami wanita meski mereka mahkluk yang ingin dimengerti. Tak ada gunanya, dia bilang. Masih patut mereka memancing ikan dan meneliti seluk beluk kehidupan jamur yang jumlahnya ribuan di alam.
Devon terlalu meremehkan perkataan temannya. Dan ini ganjaran yang dia dapat, yaitu Rosa, si paling memusingkan.
Devon tak peduli lagi soal mau Rosa. Kini dia cuma ingin melihat lembar pekerjaannya dan terbebas dari mulut maut orang dihadapannya. Dia berbalik dan lekas pergi setelah berkata, "Ingat, kamu masih bergantung pada siapa."
"Aku tau," sahut Rosa. Dia memutar bola matanya jengah di belakang Devon. Sudah tentu lah Rosa takkan lupa dengan siapa dia berhutang budi.
'Hati nurani ku bersih. Aku tahu diri. Aku berhutang ke kakek dan bukan denganmu. Besar kepala sekali, orang ini.'
Devon melirik Rosa sebelah mata. Tampaknya Rosa menolak mengakui usaha Devon.
Selagi mereka berada di dalam lift menuju parkiran, Devon berujar mengingatkan, "Kehidupan kamu ada ditanganku. Pakaian, tempat tinggal, semuanya. Bayangkan bila kamu kehilangan privilege itu."
Devon bisa mengubah nasib Rosa semudah membalikkan telapak tangan. Uang yang digunakan untuk membiayai Rosa saat ini tidaklah abadi. Jika dia ingin, rantai pemasukan itu bisa diputus dengan keji olehnya. Tak pernah terlintas di otaknya bagaimana jadi nasib Rosa ketika Devon melakukan itu. Dibilang sengaja jahat, tidak juga. Devon hanya sama sekali tidak kepikiran.
Walaupun Devon tahu bahwa selain dirinya dan kakek, Rosa tak punya siapa-siapa lagi tuk bersandar. Bahkan wanita itu juga sepengetahuan Devon tidak bekerja. Dia semata-mata mengandalkan uang bulanan dari Devon.
Rosa sebatang kara dan sudah menjadi rahasia umum semenjak wanita itu sendiri yang mengungkapkannya di pesta pernikahan mereka.
Masih terpahat jelas di ingatan Devon ketika Rosa mengangkat gelas lalu mengajak para tamu undangan bersulang. Dia berterima kasih, mengucap syukur, kemudian terlihat sendu sedan saat mengatakan betapa bahagianya dia dapat memiliki sebuah keluarga lagi.
Sebagian tamu bersimpatik mendengar itu, sementara sisanya mencibir dibalik senyum selamat. Faktanya, wanita yang tidak memilikik backing keluarga mereka seperti Rosa itu mudah digunjing, apalagi di-bully bila terlihat dia tidak disayang oleh suaminya.
Rosa tersenyum. "Sayang benar. Hidupku enak, nggak perlu bersusah payah. Aku tinggal minta ke kamu dan semua beres. Aku suka," dia memuji dengan cepat, "Semua berkat kamu."
Devon sudah mulai terbiasa dengan omong kosong Rosa. Di mulut memujinya, di dalam hati berkata lain.
Terdengar bunyi 'ting' yang menandakan mereka telah sampai di parkiran mobil. Mereka berdiri berdampingan, menunggu pintu lift terbuka. Devon menoleh ke samping, lalu berkata pelan menusuk, "Aku tetap akan menceraikanmu cepat atau lambat. Bersiap-siaplah."
Mata Rosa berbinar-binar, dengan agak bersemangat dia bertanya, "Itu artinya kamu setuju menunda perceraian kita, kan?"
"Tergantung sikapmu," jawab lelaki itu dingin.
Rosa tak kuasa menahan senyum manisnya. "Siap, Sayangku!"
'Satu bulan itu cukup!'
---
Rosa memegang kata-katanya untuk mengintili Devon sampai ke kantor. Dan hari itu ditetapkan akan menjadi hari yang sangat tidak biasa bagi Devon maupun para karyawannya. Pertama-tama, Devon yang biasanya turun di basement dan naik ke atas dengan lift khusus jadi harus berhenti di lobi kantor. Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa. Jelas ini ulahnya Rosa.
Padahal Rama sudah mengingatkan sarapan mereka disiapkan di kantor. Rama yang memesankan makan dan mengantarnya langsung ke ruangan Devon nanti. Tapi Rosa bersikeras kalau setidaknya mereka mampir sebentar membeli kopi. Lalu saat tangannya menggenggam kopi sialan itu dan mobil berguncang melewati polisi tidur, Rosa tanpa sengaja menumpahkan seluruh isi-isinya ke jas Devon.
"Sayang, maaf! Tadi gelasnya terlalu panas dan mobilnya goyang jadi ...." ujar Rosa seraya mengulurkan saputangan.
"Diam di tempatmu," balas Devon geram. Matanya menyipit waspada, memperhatikan gerak-gerik Rosa. Sungguh, dia tidak bisa lengah saat di dekat Rosa.
Asisten Rama yang duduk di samping sopir berkata, "Mohon tunggu sebentar, Tuan Muda. Saya ambilkan jas cadangan di bagasi."
"Tidak usah," kata Devon cepat dengan jengkel. Dia membuang jasnya begitu saja, kemudian membuka dua kancing teratas kemeja dan menggulung sedikit bagian lengannya.
'Oh, wow,' batin Rosa terpana. Tatapannya berbinar cerah melihat gaya Devon berubah kasual namun tetap mempesona begitu melepas jasnya. Auranya jadi terasa lebih mudah untuk didekati dan hati Rosa berdegup sekejap.
Devon mendengus. Dia melirik Rosa sekilas, setelah itu turun dari mobil.
Para karyawan yang baru datang sempat heran dengan mobil mewah di depan lobi. Mereka mengira hari ini ada tamu penting dan penasaran siapa itu, makanya tidak segera beranjak pergi dan mengulur-ngulur waktu untuk melihat.
Namun, ketika mengetahui orang penting itu adalah CEO mereka sendiri, suasana sontak menjadi ramai.
"Itu CEO kita, kan? Baru kali ini ngeliat langsung di depan mata. Ternyata aslinya emang ganteng banget!"
Temannya ikut berdecak kagum, "Pantesan masuk Top Three Sembilan Naga di Indonesia. Masih muda, kaya raya, tampan lagi. Naas.. udah nikah."
"Nggak bakal milih kita juga meskipun belum nikah," sahut yang lain. Dia menggeleng, membayangkan dunia mereka dan Devon yang terpisah bagai langit dan bumi.
"Hmm? Bukannya istri CEO itu orang biasa, ya?"
"Loh, iya ya. Siapa sih namanya? Aku lupa."
"Bu Rosa."
Para karyawan, khususnya wanita, bergerombol di meja resepsionis, menunggu Devon lewat. Tetapi Devon tampaknya masih menanti sesuatu karena tidak kunjung bergerak dari sebelah mobil. Maka dari itu, obrolan di antara mereka berlanjut kian membara.
"Katanya bisa nikah sama Pak Devon cuma modal balas budi. Aku dengar ceritanya dari managerku pas makan-makan kemarin. Dia mabuk, kelepasan ngomong. Dia bilang, Pak Wijaya lagi visit proyek pembangunan di Bogor waktu tiba-tiba hujan deras datang sampai tanah longsor. Kebetulan mobil Pak Wijaya terjebak di bawah longsor itu dan yang nolongin beliau, kakeknya Bu Rosa."
"Terus-"
Ucapannya terpotong dan matanya melebar.
Semua orang menatap aneh sang wanita yang sedang bercerita, lalu mengikuti arah pandangnya. Di situlah mereka menyaksikan seorang wanita cantik jelita dengan proporsi tubuh nyaris sempurna turun dari mobil sembari menggapai uluran tangan Devon. Kemudian mereka bergandengan tangan dan berjalan bersama ke dalam kantor.
Rosa mengernyit dari sinar matahari yang menerangi wajahnya. Di bawah sinar, mata coklat terangnya terlihat berkilau lembut. Ketika pandangannya terjatuh pada para karyawan, sebuah senyum kecil muncul menghiasi wajahnya.
Devon menyesuaikan kecepatannya dengan Rosa yang menggunakan sepatu hak tinggi. Baginya, tidak suka pada seseorang bukanlah alasan dia harus berprilaku jelek di hadapan khalayak umum. Dia tak akan mempermalukan diri sendiri, maupun Rosa.
Selama bergandengan, Devon dan Rosa bak sepasang suami-istri idaman. Tetapi sesampainya di lantai paling atas, Rosa melonggarkan pegangannya hingga berangsur-angsur terlepas seolah tidak sabar untuk segera menjauh.
Di depan pintu ruangan Devon berdiri 2 orang sekertaris wanita yang menyambut kedatangan mereka.
"Panggil yang lain. 30 menit lagi kita rapat," kata Devon sambil berlalu masuk. Sedangkan fokus kedua sekertarisnya lebih tertuju pada Rosa daripada perintah Devon.
Tidak ada wanita yang pernah menginjakkan kaki di lantai ini kecuali mereka. Jadi wanita di samping CEO ini pasti istrinya. Tapi bukannya pernikahan mereka berada diambang kehancuran?
Kok, istrinya bisa di sini ...
Kedua sekertaris itu tidak bisa menahan tatapan penasaran mereka sampai Asisten Rama harus menegur tegas. "Kalian dengar tidak apa yang disuruh Pak Devon? Kalau tidak mau bekerja lagi, kalian boleh pergi dari perusahaan ini sekarang juga!"
Hardikan Asisten Rama membungkam keberanian dua sekertaris Devon. Setelah ditegur, keduanya langsung terburu-buru meninggalkan tempat. Asisten Rama hanya bisa menghela napas dan pergi juga sebelum Nona Rosa membuat Tuan Muda emosi lagi karena terlalu lapar.
Di dalam,
Rosa bertanya, "Rapatnya ditunda, boleh? Sarapan sama aku?"
"Aku nggak lapar," sahut Devon acuh.
'Aku juga nggak selera makan bareng kamu. Masih bagus ku tawarin, huh.'
Sudut bibir Devon berkedut pelan. Dia menarik napas dalam, mengetahui risiko membawa Rosa kesini sama dengan mendengarkan kata-kata pedasnya sepanjang hari. Devon menghiraukan Rosa dan memeriksa kembali dokumen di mejanya.
"Sayang, kamu baru aja keluar dari rumah sakit, loh. Walaupun dokter bilang nggak apa-apa, tapi aku tetap khawatir. Gimana nanti kalo kamu tiba-tiba pingsan? Kehabisan tenaga? Terlalu capek? Aduh, aku nggak bisa bayangin," cerocos Rosa.
'Pingsan, lah. Pingsan. Supaya aku bisa pura-pura nangis dan tersentuhlah dengan sikap penuh kasih sayangku! Hehehe ....'
Devon, "...."
Pria itu memandangi Rosa dalam diam. Rosa yang tak sadar, sibuk mengotak-atik ponselnya. Rosa berujar, "Aku cari tau dulu menu makanan sehat yang cocok buat kondisi kamu. Habis itu akan ku sampaikan ke Asisten Rama biar dia yang menyiapkannya, ya."
'Nah ini! Adik Iparku, Selingkuhanku. Aku baru baca sedikit, tapi lumayan juga. Chapter berapa, ya, kemarin?'
Devon hampir tertipu, bila dia tidak mendengar suara pikiran Rosa. Devon tersenyum mencemooh. Asalkan Rosa tidak mengganggunya, Devon juga tidak akan mengomentari roman picisan yang Rosa baca.
'Top up, beli, beli, beli! Ugh, penyelamatku! Tanpamu, aku bakal mati kebosanan di sini,' pikir Rosa sambil menyeringai diam-diam, 'Untung Devon tinggal di apartemen. Aku nggak perlu capek bertingkah sampe malem di rumah. Dikira orang lain nggak butuh istirahat? Haihh.'
Devon meletakkan bolpen, lalu mendongak. "Hari ini aku pulang ke rumah."
BOOM!
Bagai sebuah bom meledak di kepala Rosa, deklarasi Devon sukses membuatnya mematung dari syok berlebih.
"Masih kutahan beberapa berita di internet," jawab Devon jujur. Tatapannya bertengger lama dan penuh arti di Rosa. "Kamu tau siapa yang menghapusnya?"Rosa menghindari pandangan Devon dengan kikuk. Rosa tidak tahu pasti siapa, tapi dia punya gambaran jelas tentang kemungkinannya. Hanya ada dua orang yang bisa melakukan hal tersebut dan dengan mudahnya bersaing melawan bawahan Devon. Bisa jadi itu kakaknya. Sebab jika ada orang yang mau membela Rosa hingga sejauh itu, maka kakaknya akan berdiri di barisan terdepan. Sejak kecil, dia selalu overprotektif terhadap Rosa dan telah berpengalaman membereskan setiap kekacauan yang Rosa buat. Namun, sepertinya tidak masuk akal bila itu kakaknya. Rosa merinding sekilas membayangkan kakaknya. Arsen tidak bakal tinggal diam bila terjadi sesuatu padanya, tetapi selaras dengan itu, omelan Arsen tidak akan bisa direm juga. Sembari menghapus berita itu, Arsen paling menyeretnya pulang langsung dan memarahinya. Berhubung kehidupan Rosa masih damai
Rosa tertidur lelap malam itu, meski dunia maya sedang gonjang-ganjing mengabarkan berita yang tidak-tidak mengenai cinta segitiga antara dia, Devon, dan Kirana. Dipikirannya, Rosa merasa tidak begitu dirugikan. Rosa tidak terlalu peduli dengan opini masyarakat yang tak berpengaruh langsung ke kehidupannya. Justru dari kesempatan ini, Rosa sangat penasaran bagaimana Devon akan menyikapinya walau dia bilang akan mengikuti arahan Rosa. Apa pada akhirnya Devon benar-benar berani mengacaukan adik sahabatnya? Bahkan sampai rela mengorbankan reputasi Rosa bila Brian memohon untuk melepaskan Kirana?Atau, Devon tetap memegang ucapannya dan menuruti keinginan Rosa hingga syuting selesai?Ini adalah tes penting yang harus Devon lewati.Jawabannya mungkin dapat mengubah keputusan Rosa.Netizen yang begadang, banyak memposting ulang berita yang mengaitkan antara Kirana dan Devon. Di satu sisi, Kirana adalah artis papan atas yang sedang naik daun, sedangkan Devon adalah CEO termuda dengan kekay
Udara bagai membeku bersama kengerian yang ditunjukkan Devon. Refleks, Rosa melepaskan diri dari cekalan Devon, lalu bergabung dengan Rama untuk melipir ke sofa demi menjauhi aura menyeramkan Devon. Mereka berdua kompak terdiam dan menunggu rekasi Devon.Entah Devon akan meradang atau masih bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Rosa duduk seraya menghela napas, sementara Rama memilih untuk tetap berdiri di sebelah Rosa. Kerutan di dahi Devon tampak dalam dan bergelombang seperti ombak. Raut wajahnya tertekuk kaku. "Kenapa bisa keluar sebutan seperti itu?"Pertanyaan Devon merujuk pada panggilan Rosa di skandal tersebut yang digadang-gadang sebagai pelakor. Rama yang cepat tanggap, segera melontarkan jawaban lengkapnya, "Karena konten video tersebut, Tuan Muda. Editornya pintar, mengedit bagian-bagian tertentu yang menampilkan seolah-olah Nona telah memisahkan Tuan Muda dan Kirana."Rosa penasaran sekali ingin melihat videonya. Dia mencoba mencarinya sendiri. Tetapi, belum sem
Melodi jazz melantun lembut. Api lilin berdansa manis, bagai menemani detak jantung Rosa yang melompat-lompat tak karuan. Cahaya di sekeliling mereka berseri temaram seakan menyokong suasana romantis ini hingga ke puncaknya. [Curang.]Devon hanya perlu bertanya langsung untuk Rosa menjawab semua pertanyaannya. Sedangkan Rosa butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan setitik demi setitik informasi mengenai Devon. Dipikir-pikir, rasanya tidak adil. Namun, Rosa tak sanggup menolak permintaan tulus Devon. Lidahnya kelu dan hatinya tak rela membayangkan Devon akan mundur bila Rosa menolak. Rosa hanya mampu menggerutu dalam hati. [Nggak ada yang bisa kuajarkan. Ciuman Devon jauh lebih panas dan ahli. Mm ... penuh gairah dan memabukkan, sampai membuat lututku lemas.]Devon tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu mencondongkan badan ke depan dengan masing-masing siku di tepi meja. Tangannya terangkat ke atas, membentuk segitiga dengan jari-jemarinya yang saling bertaut di tengah—menutupi mu
Rosa nyaris gagal menyembunyikan senyumnya ketika melihat wajah tegang Devon. Begitu sisi usilnya muncul, Rosa tidak bisa berhenti. Senyumnya tersirat jenaka. "Menyenangkan, kok. Cuma ... sangat normal. Nggak seperti yang kukira."Air muka Devon meredup. Terlihat jelas kalau kejujuran Rosa mengusik pikirannya. Saat Devon kembali membuka mulut, dia terdengar seperti habis berpuasa seharian penuh—suaranya parau. "Emang yang kamu pikirkan itu seperti apa?"Berdasarkan sifat arogan Devon, Rosa sudah siap menerima penyangkalan Devon atau pembenaran bahwa dia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tetapi, Devon malah langsung masuk ke poin utamanya. Rosa yang tak menyangka akan ditanya balik itu, seketika membisu.[Aku juga nggak tau kayak gimana. Aku belum pernah pacaran!]Wajah mungil Rosa terlipat bimbang. Keningnya berkerut dalam dan bibirnya mengerucut ke atas. “Um, seharian bersama?” Secara, mereka baru keluar nonton sebentar, belanja kilat, lalu makan. Dan bahkan, makan malam mereka
"Setiap hari yang terlewat akan kukenakan denda karena terlambat."Devon memicingkan mata dan menyudutkan Rosa. "Sekarang sudah lebih dari dua hari."Rosa mengerjap. [Kamu hitung?]Walaupun Rosa terkesima dengan sifat perhitungan Devon dan merasa bersalah, dia tetap tak terima bila harus didenda. "Nggak usah pakai denda, kan, bisa," keluh Rosa."Kalau gitu, kamu harus kasih malam ini." Devon berkompromi, tetapi setengah memaksa. Alisnya bertaut seakan mendesak Rosa.[Segitu pengennya dikasih hadiah? Padahal dia udah dapat banyak kemarin.]"Bisa?" tanya Devon dengan penuh penekanan. Mau tak mau, Rosa mengangguk pasrah. "Okay."[Barang yang kubeli nggak seberapa, itupun juga pakai uangnya. Mungkin masih bagusan hadiah dari tamu yang lain.]Setelah merasa puas dengan jawaban Rosa, Devon menegakkan badan dan membelakangi mereka. Terdengar suaranya sayup-sayup berkata, "Hadiah dari kamu berbeda.""Apa?" tanya Rosa dengan nada meninggi karena tidak dengar. Rama yang berada di sebelah Dev