Share

Bukan Ayah yang Ini

Jangan pernah berprasangka buruk terhadap orang lain. Tapi, juga jangan terlalu mudah percaya, karena di dunia ini memang ada orang yang tidak bisa dipercaya.

💔

Namun, di luar dugaan. Laila yang masih terbaring di ranjang pasien itu menggeleng.

"Bukan, Bund. Bukan Ayah pelakunya." Suara serak Laila membuat sang ibu tercengang.

Wanita berusia 40 tahun itu sudah sangat yakin, kalau pelakunya adalah Heru, suaminya sekaligus ayah tiri bagi Laila. Soal riwayat panggilan dan pesan yang tak ada di ponsel itu pasti hanya akal-akalan Heru. Lalu sekarang, Laila pun tak mengakuinya. Gadis itu pasti diancam.

"Apa? Kamu yakin, Nak? Ayah tidak mengancammu untuk mengatakan ini?" Rani masih tak percaya dengan pengakuan Laila.

Lagi, gadis yang menangis itu menggeleng. "Bukan Ayah." Gadis itu meyakinkan.

Mata Rani melebar. Menyesal telah bersikap kasar pada suami. 

'Kalau bukan Mas Heru lalu siapa?' batinnya bertanya-tanya.

"Lalu siapa? Katakan, Sayang!" pinta sang ibu penasaran.

Laila tampak ragu. Ada ketakutan di kedua matanya kala Rani menanyakan siapa penjahat bejat yang menodainya.

Bukannya menjawab, Laila malah menolehkan kepala menghindari tatapan Rani sambil kembali menangis tersedu. Lidahnya terlalu kelu menyebut nama seorang penjahat tersebut.

"Maafkan Laila, Bund. Maaf." Hanya itu yang mampu Laila ucap.

Sebuah maaf yang mewakili seluruh penyesalan atas kebodohannya. Ia yang tak bisa melawan, yang terlalu takut dan bodoh untuk tidak cerita pada siapa pun mengaenai kelakuan bejat sang pelaku.

Digenggam tangan Laila erat-erat. Rani berusaha menahan diri untuk tidak memaksa Laila menjawab pertanyaannya. Gadis itu pasti sangat syok sekarang. 

Yang paling Rani takutkan adalah kondisi psikis Laila kalau dia menekannya. Bahkan, memarahinya saja ia tak berani. Takut jika saking tertekan, Laila kehilangan akal dan bunuh diri seperti banyak gadis lain di luar sana. 

Untuk sekarang cukup Rani menyalahkan diri sendiri, karena tak bisa menjaga Laila dengan baik seperti yang Heru katakan padanya tadi.

'Yah aku memang seorang ibu yang gagal. Gagal dalam pernikahan, gagal dalam menjaga Laila!' maki Rani membatin.

Untuk sekarang pula, mungkin sebaiknya Rani memilih bersabar dan diam di depan Laila. Namun, ia tak akan berhenti mencari tahu sendiri. Dia hanya perlu diam sampai Laila benar-benar siap mengatakan.

Tak lama, Linta masuk ke ruangan di mana Laila dan ibunya tampak sudah tenang. Berniat pamit pulang karena mamanya sudah menelepon dan khawatir. Karena sebelum pergi, Lintang dan Aris pamit jalan beli martabak dan kuota, tapi sampai tengah malam tak kunjung pulang.

"Em, Bu. Maaf. Bagaimana kondisi Laila?" tanya Lintang berbasa-basi. Tak mungkin ia langsung bilang harus pulang sekarang.

Rani kembali mengusap jejak air mata di pipi kasar. Lalu menatap pada gadis yang berdiri di depan mereka.

Detik kemudian terdengar suara caira dihirup dari hidung, sebelum akhirnya dia bicara.

"Ehm, ya. Lintang. Makasih, ya. Maaf untuk kejadian yang menimpa Aris tadi. Ibu ngeblenk." Rani merasa bersalah. Dia tak boleh membenci semua orang, yang bahkan tak salah dan telah banyak membantu Laila.

Sekadar prasangka buruk saja Islam melarang, apalagi pasa sesama muslim yang telah berkorban sesuatu untuk kita.

"Aris?!" Mata Laila yang membeliak mendengar nama Aris disebut ibunya. "Ada apa dengan Kak Aris?" tanyanya kemudian dengan raut wajah khawatir.

Sebelum tadi Laila benar-benar matanya menutup dan tak sadarkan diri, ia masih bisa merasakan kehadiran Lintang dan Aris yang menolongnya. Setelah ia merasa putus asa harus menelepon siapa. Karena ancaman pelaku pula, gadis itu hanya sebentar menyalakan ponsel. Setelah menghubungi Lintang, segera mematikannya lagi.

"Ehm. Itu ...." Suara Lintang menggantung. Ragu untuk mengatakan bahwa ayah Laila telah memukuli kakaknya, dan sekarang pemuda itu tengah kesakitan sendiri di kursi tunggu. 

Untung saja, Dokter memintanya berhenti. Kalau tidak, entah bisa jadi Aris akan babak belur.

"Apa terjadi sesuatu, Lin? Katakan." Laila kembali bertanya.

"Em. Sayang, sebaiknya kamu istirahat dulu. Kita bicarakan ini nanti, ya." Sang ibu menengahi. 

Ia tak mau anaknya semakin tertekan perasaannya saat tahu apa yang menimpa temannya. Rani paham betul, bahwa Laila akan tersiksa setiap kali merasa bersalah pada orang lain.

"Eum. Lintang, terimakasih, ya sudah menolong Laila." Rani segera menoleh, mengganti lawan bicaranya.

"Maaf sekali. Silakan jika mau pulang. Orang tua kalian pasti telah menunggu dengan cemas. Salam buat mereka, ya," sambungnya.

Tak mau Lintang berlama-lama di ruangan tersebut dan membuat Laila terlalu lama memikirkan kondisi Aris.

"Eum. Ya, Bu. Saya pamit dulu kalau begitu." Lintang mendekat dan menyalami Rani.

"La, aku pulang dulu. Cepat sembuh, ya." Lintang menatap Laila sejenak, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut.

"Tap ... Lin." Laila penasaran apa yang terjadi. Namun, Lintang terus berjalan, hingga sosoknya menghilang di balik pintu.

"Bund. Ada apa?" Kini Laila menolehkan kepala yang masih menempel dengan bantal.

"Gak apa-apa, Sayang. Ayah hanya sedikit salah paham, jadi dia marah pada Aris, dan menuduh Aris yang melakukan hal ini ke kamu." Rani mengusap rambut putrinya yang tergerai.

Jika di waktu biasa rambut itu tertutup kerudung, kali ini karena buru-buru ke rumah sakit, tak terpikirkan oleh Rani memakaikan penutup kepala pada Laila.

"Jadi begitu." Laila merasa tenang. Tak perlu ada yang khawatirkan.

Gadis itu terdiam, lalu mengalihkan pandangan, menatap kosong langit-langit kamar rumah sakit. Ada sesuatu yang kemudian membebani kepalanya kala mendengar nama Aris dan memikirkan pemuda tampan itu.

____________

Di parkiran, langkah Aris dan Lintang yang sedang berjalan bersisisian terhenti, kala seseorang berdiri di depan mobil mereka.

Mata Aris menyipit, menatap sosok ayah tiri Laila yang ternyata belum pulang. Dia malas sekali bertemu pria itu setelah kesalah pahaman yang terjadi tadi. Enggan bertemu, apalagi sampai memberinya tumpangan pulang.

"Om, em ... mau bareng kita?" tanya Lintang takut-takut.

Heru yang tadinya menyandar ke mobil, menegakkan tubuh dan mendekat lada kakak beradik tersebut. Pria itu terus berjalan, melewati Lintang dan langsung menarik kerah pakaian Aris.

Rupanya tujuan Heru ada di depan mobil Aris bukan untuk menunggu mereka karena perlu tumpangan pulang. Namun, kembali melampiaskan kekesalannya pada Aris seperti di dalam tadi.

"Om. Sudah dong!" Kali ini Lintang tak tinggal diam, berusaha keras menarik tangan pria dewasa itu agar melepaskan Aris.

Heru tak peduli dan menatap ke kedua mata Aris dengan nyalang. Aris yang tak terima hanya bisa ikut melakukan apa yang Lintang upayakan, melepaskan cengkraman tangan ayah tiri Laila.

"Kamu harus tanggung jawab, kalau tidak aku akan membeberkan semua rahasiamu pada orang tuamu!" gertak Heru dengan nada menekan. "Oh tidak tapi pada seluruh dunia ...." 

Aris menatap pria kesal. Sudah ia duga bahwa pria itu tak berhenti mengganggu dan mengancam.

Mendengar ucapan ayah Laila, mata Lintang melebar. Muncul banyak tanya dalam benaknya. Apa maksud pria itu? Apa sang kakak adalah pelakunya? 

Lintang menggeleng. Tidak mungkin!

"Lakukan! Bukan saya pelakunya!" Aris menyahut dengan nada menantang.

"Oh ... kamu berani." Mata Heru melotot. "Tak tahu diri!" Tangan kanan Heru terangkat dan siap memukul pipi Aris yang mulai ditumbuhi jambang tipis.

Namun, belum lagi kepalan tangan pria berusia 41 tahun itu mendarat ke wajah pemuda dalam cengkraman, terdengar suara peluit dari kejauhan.

Mereka pun menoleh bersamaan, tampak seorang pria berpakaian satpam berlari mendekat. 

Heru mengembus berat, lalu melepas kerah Aris dengan kasar.

"Kamu selamat lagi. Ingat, aku menggenggam rahasiamu!"

Heru kemudian berjalan pergi, meninggalkan Aris dan Lintang. Tak ingin terbelit masalah semakin rumit.

Aris mendesah lega. Begitu juga Lintang. Namun, gadis itu kini curiga pada kakaknya.

"Apa yang Kak Aris rahasiakan?" tanyanya dengan mata menyipit.

____________

Di kamar Laila, sang ibu mencari-cari ponsel anaknya, barang kali mendapat petunjuk dari benda yang sifatnya private itu.

Namun, tak ketemu.

"Oh, ya Tuhan. Pasti ketinggalan di rumah," gumam Rani menepuk jidat.

Rani memerlukan benda itu karena penasaran nomor siapa sebenarnya yang menghubungi Laila, selain juga pasti dibutuhkan saat melapor ke kantor polisi nanti

Laila hanya menoleh sebentar ke arah sang bunda tanpa bersuara. Sementara tangan sibuk menyeka air mata yang jatuh ke pipi, pikirannya terus mengembara ke kejadian tadi malam. Semakin ingin melupakan malam terburuk baginya itu, Laila semakin ingat. Dan itu sangat menyiksanya.

Di waktu yang sama, Laila dan Rani sontak menoleh kala dua orang pria datang. 

"Ran, katanya Laila sakit. Jadi aku buru-buru ke mari!" ucap Aji mantan suami Rani yang datang dengan adik lelakinya, sekaligus paman Laila.

"A-ayah?" Mata Laila melebar melihat kedatangan ayah kandung. Seketika ada ketakutan yang meliputinya.

Rani terhenyak mendengar kata 'Ayah' dia baru sadar kalau Laila punya dua ayah. Apa itu artinya ayah yang ini, pria yang tadi sore menelepon Laila? Kalau begitu ....

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
puji.rhy
bukan ayah brti siapa ada 2 kandidat ter dekatnya...
goodnovel comment avatar
Syifa Bardah Fuadah
nah lohh aris punya rahasia apa sama laila? apa bener aris pelakunya yaa. sabar yaa ibunda laila. pendusta pasti akan terbongkar.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status