Share

Pengakuan Laila

Sesakit apa pun efek sebuah kejujuran, akan lebih menyakitkan ketika kebohongan terungkap.

💔

"Laporkan polisi, saya akan memberikan diagnosa dan visum." Dokter menyahut mantap.

Aku dan dokter yang saling berbincang serius, sontak menoleh kala Mas Heru bersuara.

"Apa? Tidak. Jangan lapor polisi?!" Mas Heru bereaksi tiba-tiba. Dia tampak keras menentang dengan matanya yang menyalang.

Ada apa dengannya? Kenapa tak mau melapor polisi? Jangan-jangan ... ah, tidak! Tidak mungkin dia pelakunya, tadi saja pria itu tampak begitu marah pada Aris karena menduga dia pelakunya. Membuat Laila menangis saja, Mas Heru tak tega bagaimana mungkin sampai menyakiti Laila. 

Lagi pula apa kurangnya aku, yang selalu menghangatkan malamnya setiap dia minta. Mas Heru juga tak pernah menampakkan kekecewaannya setelah kami melakukan hal yang menjadi pengikat suami istri tersebut. Dia bahkan sering memuji, katanya aku jauh lebih menyenangkan dibanding mantan istrinya.

"Hanya kamu istri yang bisa membuatku sulit bernapas dan merasa puas dalam waktu yang sama, Rani. Kuharap dari pernikahan kita akan lahir jagoan-jagoan yang jadi penerusku." Begitu kata Mas Heru.

Tapi ... kenapa dia tak setuju lapor polisi?

Dokter menghela napas. Tampaknya pria itu tak suka apa yang terjadi di depannya.

"Kenapa Mas? Kenapa tak lapor polisi? Kita perlu tau kan siapa penjahat yang sudah merenggut masa depan Laila?" tanyaku dengan mata berembun karena menangis.

Mas Heru pun segera mendekat ke arahku, mendorong sedikit menjauh dari dokter.

"Ran, kamu dengar. Kalau sampai Laila dibawa ke kantor polisi. Kasus ini tak hanya akan berhenti di keluarga kita atau pun Aris sebagai pelakunya. Tapi akan menyebar ke masyarakat. Kamu tahu kan bagaimana pedesnya omongan tetangga?!" Kata-kata Mas Heru membuatku berpikir agak lama.

Namun, nama baik tidak akan cukup untuk membuang semua kemarahanku. Lebih baik menanggung malu dari pada membiarkan penjahat itu bebas dan berkeliaran di luar sana. Belum lagi dia akan mencari korban-korban baru. Biadab! Aku tak akan melakukan itu.

Aku menggeleng cepat. Tak setuju dengan pernyataan Mas Heru. "Aku tak peduli Mas. Yang penting bagiku adalah Laila dan masa depannya." Kutajamkan tatapan ke kedua mata elang Mas Heru.

"Pikirkan yang terbaik. Kabari saya jika kalian sudah membuat keputusan." Suara dokter membuatku dan Mas Heru menoleh sesaat. 

Pria itu menghela napas berkali-kali lalu meninggalkan kami pergi. Namun, langkah pria yang tampaknya berusia kisaran 40 tahun itu sejenak menyinggahi Aris dan Lintang yang duduk di kursi tunggu. Entah, apa yang dokter itu katakan pada mereka. Karena posisi kami jauh, aku jadi tak bisa mendengar.

"Ran!" panggil Mas Heru yang kemudian membuatku menoleh cepat. Dia mengingatkan aku harus fokus membahas hal penting ini dengannya.

Namun, keputusanku sudah bulat. Aku harus lapor polisi. "Maaf, Mas." Kaki pun melangkah menjauh. 

Namun, Mas Heru meraih tanganku dan meremasnya. Ada sesuatu yang kurasakan dari tekanan tangan itu. Aku pun mendongak untuk tahu ekspresi wajahnya. Menyelidik ke sana.

Ada apa dengan dua mata itu? Kenapa dia terlihat sangat menentang keputusanku dan dokter untuk lapor polisi?

"Kenapa Mas? Kamu sepertinya takut aku lapor polisi?" Kini aku berbalik menatapnya lagi.

"Justru itu, Ran. Aku memang sangat takut. Mengertilah posisiku sebagai suami dan mempunyai keluarga besar. Kamu bisa bayangkan kalau mereka tahu. Bisa-bisa mereka memintaku menceraikanmu."

Pria itu bicara dengan nada khawatir.

Aku menggeleng lagi. Tak peduli jika itu harus terjadi. Yang terpenting bagiku adalah Laila. Untuk apa kupedulikan rumah tangga, jika hidupku saja sudah berakhir sekarang.

"Apa ini ancaman Mas? Kenapa sih, kamu keukeuh banget gak mau lapor polisi. Atau jangan-jangan ini ada kaitannya sama kamu?" ucapku dengan mata menyelidik.

"Aku bukan mengancam. Kamu tahu itu. Aku hanya tak mau kehilanganmu."

"Nggak, kamu pasti menyembunyikan sesuatu Mas. Aku bisa membaca itu dari raut wajah Mas." 

"Apa maksudmu?"

Napasku kembali tersengal. Mungkin aku sudah tak waras mengucapkan ini. Setelah menemukan pria sebaik dia, aku harus membuangnya. Tapi apa gunanya semua kebaikan Mas Heru jika ternyata dia yang merusak Laila?

"Serahkan ponselmu, Mas!" perintahku. Aku langsung ingat kejadian tadi sore, saat Laila akan pergi dan nomor seseorang yang kuyakini adalah nomor Mas Heru menghubunginya.

Kali ini kamu tak bisa mengelak lagi, Mas. Aku akan menangkapmu basah dan menjebloskanmu dalam penjara. Jadi ini alasan kenapa Laila berubah jadi gadis yang murung. Dia berada dalam ancamanmu. Ya Tuhan, benar-benar gadis yang malang. 

'Kenapa bukan Bunda saja yang menanggung ini, Nak?'

Lagi, hatiku teremas sakit. Meski begitu aku masih berharap bukan Mas Heru pelakunya. 

"Apa maksudmu? Sekarang kamu mencurigaiku, Ran?" Mata Mas Heru melotot.

Dia tampak tak percaya.

Aku tengadahkan tangan, memaksanya memberikan ponsel itu. "Kamu tak akan menolak jika yang kupikirkan salah, Mas." 

Pria itu tersenyum sinis. Dia yang terdesak, akhirnya memberikan ponsel yang ada di sakunya dan menyodorkan padaku.

Kuraih benda pipih di tangan Mas Heru dengan hati bergetar. Pasti masih ada riwayat panggilan dan pesan yang ditujukan ke nomor Laila. 

Kugeser layar. Tak dikunci. Apa ini? Seketika kecurigaanku mulai lenyap. Jika dia menyimpan sesuatu di ponselnya harusnya Mas Heru mengunci ponsel.

Benar saja, setelah memeriksa semua daftar panggilan tak ada satu pun nomor Laila di sana. Begitu juga pesan WA atau apa pun.

"Kamu menghapusnya, Mas?" Kecurigaanku pasti benar.

Namun, di luar dugaan. Mas Heru yang tak terima mengambil kasar ponsel itu dari tanganku.

"Kalau kamu yang tak bisa mendidik putrimu dengan baik, jangan menyalahkanku," tekannya dengan tatapan marah.

Yah, siapa yang tak marah jika mendapat tuduhan keji.

Seketika ada sesuatu yang menghujam dadaku. Sesuatu yang mengingatkan bahwa aku turut andil dalam kejadian ini. Kesalahan besar itu ada padaku.

"Dengarkan aku baik-baik, Rani. Kalau kamu tak bisa mempercayaiku sebagai suami dan pelindung keluarga kita, aku akan menceraikanmu." Tampaknya harga diri Mas Heru terlukai oleh kata-kataku.

Aku seperti tersambar guntur untuk ke sekian kalinya. Apakah rumah tangga ini akan kembali kandas?

Pria itu lalu pergi. Menjauh. Hingga kutatap punggung lebar itu semakin samar dan hilang bayangannya di balik koridor. Seketika aku terduduk. Seolah terlalu berat bobot tubuh dan tak kuat menyangganya karena merasa lelah hati. 

Aku menangis. Menangis tersedu-sedu setelah dari tadi meninggikan suara agar terlihat tegar menyalahkan Mas Heru. 

Bagaimana jika dugaanku salah? Bagaimana jika orang lain pelakunya dan Mas Heru selama ini tulus menyayangi Laila seperti anaknya? Aku bahkan belum menemukan bukti yang jelas, tapi dengan lidah setajam pedang menyakiti hati suamiku.

"Bu." Suara seseorang membuatku terhenyak. Kuhentikan tangisku. Sadar, tak semestinya menangis di tempat seperti ini.

Saat mendongak seorang suster berdiri menatap dengan iba. Aku segera mengusap kasar air mataku dan berdiri.

"Maaf. Anak Ibu sudah sadar." Suster itu menyahut.

"Ah, ya, Sus." 

Dengan hati yang masih teremas sakit dan perih kuikuti langkah wanita itu ke kamar Laila.

Di depan sana tak sengaja kulihat, Lintang berdiri. Sementara Aris masih duduk di tempat. Tampaknya mereka tak berani pergi karena takut dianggap melarikan diri.

Aku tak peduli dan berjalan masuk. Di dalam, aku langsung menghambur ke arah Laila yang telah membuka matanya.

Kupeluk gadis yang tampak tak berdaya itu sambil menangis. Laila pun menangis. 

Kami saling berpelukan dalam tangis. Hanya itu yang bisa kami lakukan.

"Maafkan Laila, Bund." Suara gadis itu membuatku menarik tubuh. Agar bisa melihatnya.

Aku menggeleng. "Nggak, Nak. Kamu gak salah."

"Laila yang salah, Bund."

"Ap-apa maksudmu, La?" Mataku melebar.

"Apa ada yang mengancam sampai kamu mengatakan itu? Apa Ayah yang melakukannya dan dia mengancammu, Nak?" Aku tak sabar ingin tahu. Meski sudah yakin Mas Heru pelakunya, pernyataan Laila akan mengukuhkan hal ini sepenuhnya.

"Jangan takut, Laila. Bunda akan membelamu bagaimana pun keadaannya," desakku lagi.

Namun, di luar dugaan. Laila yang masih terbaring di ranjang pasien itu menggeleng.

"Bukan, Bund. Bukan Ayah pelakunya." Suara serak Laila membuatku tercengang.

"Apa? Kamu yakin, Nak? Ayah tidak mengancammu untuk mengatakan ini?"

Lagi, gadis yang menangis itu menggeleng. "Bukan Ayah."

Kalau bukan Mas Heru lalu siapa?

Aku tahu Laila tak mungkin berbohong, karena sesakit apa pun sebuah kejujuran, akan lebih menyakitkan ketika kebohongan terungkap.

Bersambung.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Helmina Elza
pasti Laila di ancam supaya ga ngaku
goodnovel comment avatar
Syifa Bardah Fuadah
laaah kata laila bukan heruu, lalu siapakah?? atau ada dusta diantara heru dan laila???
goodnovel comment avatar
puji.rhy
siapa la jujur aja sama ibukmu la....makin penasaran klo bkn ayah tirinya siapa la..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status