"Darah?!" Mata Rani melebar. Memeriksa apa yang Ardian temukan dan ikut memastikan apakah benar itu darah?
Aji pun sama. Ia segera berjongkok. Lalu melihatnya dengan menempelkan ujung jari ke titik-titik merah di lantai parkir. Kemudian mendekatkan ke indra penciumnya.
'Amis,' batin Aji. Itu memang darah. Ia menatap pada Ardian dan Rani secara bergantian.
"Ini benar darah." Pria itu mengatakan dengan keyakinannya.
"Tapi benar kan ini tadi tempat Mas Heru memarkirkan mobil?" Rani tak habis pikir. Karena darah itu pikirannya jadi berkelana ke mana-mana.
"Apa yang sebenarnya dibawa dalam koper itu?" tanyanya lagi.
"Dia bawa koper, Ran?" tanya Aji kemudian.
"Benar. Sebuah koper yang sangat besar." Rani menjawab.
"Hem. Aku jadi curiga." Ardian pun sama memiliki pemikiran mengerikan tentang Heru. Langkahnya bergerak maju, mendekat ke titik darah yang masih tampak segar di lantai. Ikut berjongkok di samping Aji.
"Benar. Di sini
"Mas, aku harus mengambil pakaianku dulu." Rani mengucap pelan."Hem ya. Aku mengerti." Aji mengangguk. Sejak awal memang rumah Heru lah yang ditujunya sekarang. Rani memang harus keluar dari rumah berbahaya itu. Tak ada yang menjamin Heru tak akan melakukan perzinahan lagi, tak ada yang menjamin juga jika dia bukan orang berbahaya, setelah mereka menemukan darah di parkiran hotel tadi."Kamu sebaiknya ikut aku, Ran. Aku punya kenalan wanita yang tinggal di kostan. Katanya kostannya ada yang kosong, tadi aku sudah menghubunginya. Maaf kalau aku lancang, tapi aku tak bisa menutup mata melihat kesulitan bundanya Laila." Aji beralasan. Ia tak mau dianggap mencari kesempatan untuk merebut hati Rani lagi.Pria itu sudah cukup sadar diri, siapa dirinya. Pria miskin yang tak punya harta untuk membahagiakan Rani.Rani menoleh. Menatap pada Aji dengan mata yang basah."Maaf, ya. Mas," ucapnya serak."Loh, kok malah minta maaf?" Aji mengerutkan kening
Aris keluar rumah dengan perasaan tak menentu. Ia terus memikirkan hal yang bisa saja terjadi setelah melaporkan kasus Laila ke kantor polisi. Berdiri sejenak untuk berpikir lebih matang."Apa aku perlu bertanya pada Papa dan Mama?" gumamnya disertai desahan. Seolah sudah lelah menghadapi ini."Ahrg!" Aris mengacak rambut kasar karena merasa frustasi.Tentu tak mudah maju seorang diri, sementara Laila akan jadi korban lagi dan lagi. Korban fisik atau pun batinnya yang pasti terhujam berkali-kali. Aris yang hanya korban fitnah saja, sudah stres apalagi Laila?"Hah! Sial! Kenapa juga aku harus merasa kasihan gadis karena gadis itu tertekan?"Pemuda itu akhirnya berjalan meninggalkan rumah orang tuanya. Ia harus masuk kelas pagi jika tak ingin mendapat nilai C dari dosen killer yang mengisi.Langkahnya bergerak menuju mobil sport hadiah dari sang papa. Satu-satunya mobil kesayangan yang mengantar ke mana saja kala waktu-waktu terdesak seperti s
Heru turun dari mobil begitu selesai memarkirkan dan mematikan mesin mobil di halaman rumahnya.Matanya menyipit melihat hal aneh pada pintu rumah. Di mana anak kunci masih menancap di pintu tersebut."Jadi jalang itu sudah pulang?" Satu sudut bibir pria itu naik.Ia pun memutar kunci dan berniat masuk ke dalam sana. Namun, belum lagi memasuki rumah, seorang wanita tergopoh datang mendekat."Pak Heru.""Ya?" Heru memutar tubuh melihat siapa yang datang. Begitu melihat wajahnya, rupanya seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga sebelah rumah."Saya melihat istri Bapak tadi ikut laki-laki naik mobil pick up, mana bawa koper lagi." Wanita itu menjelaskan apa yang dilihatnya.Heru terdiam. Tak mengerti harus menjawab apa. Ia hanya bisa marah dan mengepalkan tangan. Dari awal, pria itu sudah menduga, bahwa Rani pasti akan kabur darinya."Ya ... Lalu?""Hem?" Wanita di depannya tampak bingung. Kenapa reaksi Heru tak ka
"Apa kamu sudah memastikannya?" tanya Aji pada Ardian. "Maksudku, bisa saja selingkuhan Heru masih ada di Hotel.""Iya. Aku juga sudah ke sana. Semua tempat yang berhubungan sudah aku datangi. Itu kenapa, tak bisa hadir kerja hari ini." Ardian menyahut."Hem. Heru sangat mengerikan. Dia monster. Bukan manusia.""Itu kenapa kita harus melaporkannya pada polisi.""Ya, ya. Cepatlah!" Aji berteriak pada pria yang duduk membonceng motor di depannya.Dahi Aji mengerut saat matanya menangkap bayangan di spion motor. "Apa mereka mengikuti kita?""Hem? Ada apa Mas?""Nggak ini aneh. Mereka sudah lebih setengah jam ada di belakang kita.""Siapa sih?" Ardian pun akhirnya menatap ke arah spion. Tampak dua buah motor yang setiap motornya dikendarai dua orang berada persis di belakang mereka."Ini aneh sekali."Tanpa mereka tahu, salah satu penumpang di motor itu sedang bertelepon dengan seseorang."Ya, Bos. Kami sudah m
asa Ini SalahLintang memperhatikan sikap sang Kakak. Meski dia masih belum bisa menerima Laila, tapi dia juga tak rela gadis yang sudah menjadi korban perkosaan kakaknya itu, diperlakukan tak semestinya oleh Aris.Bukankah seharusnya pemuda itu memperbaiki sikap, setelah mengecewakan semua orang. Dia menyesal telah percaya pada kata-kata kakaknya itu tempo hari saat di mobil. Kenyataannya setelah melihat isi ponselnya, Laila korbanya."Jangan melihatku seperti itu, nanti matamu copot," ucap Aris sambil meggerakkan sendok di atas piring. Ia merasa ketika adiknya menatapnya tak berkedip."Huft." Lintang mengembus berat. Dia harus berpura-pura tak melihat dan tak boleh terlalu ikut campur, karena bukan lagi urusannya.Yah, Lintang ingin pura-pura terus tak peduli tapi tak bisa. Semua tampak jelas di depan mata.Saat pria itu hendak masuk ke kamar, Lintang menarik tangan Aris menjauh dari kamar."Apa, sih?" protes Aris
"Heh! Oke tak perlu lakukan itu! Tanpa kamu memberi tahu aku bisa melacak keberadaanmu sekarang!"Heru berteriak sambil menutup ponselnya."Apa?" Rani terkejut. Apa Heru sekarang serius bisa mencarinya? Dalam sekejap wanita yang tadi berani bicara dengan lantang, nyali nya ciut seketika."Apa maksudnya? Apa dia menyadap ponselku selama ini?" Rani kalang kabut."Apa dari ponsel ini?" Wanita itu melihat ponsel dalam genggamannya. Dengan perasaan yang dipenuhi takut, ia segera menghubungi Aji. Meminta pertimbangan pria itu."Halo, Assalaamualaikum. Mas." sapa Rani pada orang di ujung telepon."Waalaikumsalam, Ran. Kamu kenapa? Kok suaranya gemetaran gitu?" tanya Aji khawatir."Mas, barusan Mas Heru nelpon aku. Minta kasih tahu aku di mana?" adu wanita itu panik."Duh, terus kamu kasih tahu, Ran?" Sontak saja Aji juga panik mendengar itu. Dia khawatir Heru akan datang dan melakukan sesuatu yang tak diinginkan.Mereka saja, b
Rani berlari membawa tas kecil di tangan. Ia terpaksa meninggalkan ponsel yang sudah terlacak keberadaannya oleh Heru untuk menghindari pria gila itu."Siapa sangka kamu seburuk ini, Mas," keluh wanita itu di sela langkah cepatnya. Dipandang sesaat sambil membuang napas kasar, rumah yang baru saja dicarikan Aji untuknya.Di perjalanan, tepatnya di persimpangan jalan, langkahnya terhenti. Tubuh yang tadi energik penuh semangat mencari keselamatan, seketika gemetar. Beberapa pria dengan penampilan nakal, kekar dan bertato menghadang langkahnya."Ya?" Suara Rani nyaris tak terdengar. Ia mempertanyakan keperluan orang-orang menyeramkan itu menghentikan langkahnya.'Apa mereka kiriman Mas Heru untuk menangkapku?' batinnya takut.Salah seorang di antara mereka memperhatikan Rani dari atas hingga bawah."Kenal orang ini?" tanya pria tersebut memperlihatkan gambar di ponselnya.Mata Rani membeliak, menatap foto dirinya ada di ponsel tersebut.
Rani menaiki mobil taksi yang dipesan, dengan gelisah. Beberapa kali melihat ke belakang, takut kalau-kalau orang-orang suruhan Heru cepat sadar dan berhasil mengejarnya.Ia bersyukur, bisa membeli ponsel di depan kompleks sehingga bisa memesan mobil itu dalam waktu dekat. Membawa harta yang sudah menjadi haknya saat menikah dnegan Heru adalah pilihan tepat."Agak cepat, Pak," pinta Rani pada sopir."Baik, Mbak. Tapi sepertinya kita perlu lewat jalur lain, agak lama. Hanya saja lebih cepat untuk sekarang dibanding menunggu evakuasi di depan sana."Evakuasi?" tanya Rani tak mengerti."Benar, ada kecelakaan di depan sana. Jalan yang sempit akan menyulitkan proses." Sopir taksi menjelaskan.Sebelum mencapai tempat di mana penumpangnya itu menunggu, sopir tadi melihat kecelakaan di depan matanya. Bagaimana mobil-mobil menabrak mobil di depan mereka karena satu orang yang melaju, tiba-tiba mengerem mendadak."Oh, begitu. Apa ada yang menin