Mata Laila melebar. Tak menyangka kalau Aris akan merekam suaranya. Untuk apa?
Lalu, dalam waktu sebulan, kalau dia hamil anak Heru, kemudian mereka belum bisa membuktikan kesalahan Heru, apa itu artinya dia harus tinggal lagi serumah, dengan ayah tirinya lagi karena cerai dari Aris? Bagaimana Laila bisa hidup dengan itu? Oh, tidak. Laila tak akan sanggup melakukan itu.
Gadis tersebut menggeleng cepat sambil menghiba. "Tolong jangan lakukan itu, Kak. Ayah Heru bisa membunuhku."
"Kenapa aku harus peduli?" Aris mengucap dingin. Sembari memasukkan ponsel ke sakunya.
Dia bahkan menyunggingkan senyuman angkuh, yang Laila tak bisa mengartikannya.
Hanya saja, Laila tak bisa merasakan kehangatan saat berada di dekat suaminya. Seperti yang sering kali dia bayangkan dulu.
Dulu, saat ia benar-benar jatuh cinta pada Aris. Pemuda tampan, yang santun pada siapa pun, termasuk pada Laila. Lelaki yang ia pikir akan bersikap hangat jika kelak mereka menjadi s
Di dalam kamar Aris. Pengantin perempuan itu memilih menyerah. Pasrah. Tak ingin berharap sesuatu untuk hidupnya ke depan. Mau tetap berada di sisi Aris yang menyiksanya dengan sikap dingin selamanya, atau dikembalikan pada Rani, dan bertemu Heru si bajingan setiap harinya.Dia bahkan tak ingin dipusingkan tentang sikap buruk yang akan diterima olehnya daro Heru nanti. Biarlah. Laila sudah lelah mengharap. Karena kenyataannya setiap pilihan buruk untuknya.Laila merasa sudah cukup tenang setelah begitu lama menangis. Ketika menoleh, melihat ke arah Aris tidur di bawah sana, sudah tak ada lagi pergerakan. Pemuda itu pasti telah tidur, pikirnya.Ini kesempatan Laila tanpa canggung dan tak nyaman untuk bangun dari ranjang. Perlahan, dengan menahan lemas tubuhnya, lantaran tak cukup terisi makanan sejak siang. Kalau saja Rani tahu, Laila tidak makan, wanita itu pasti akan marah. Itu kenapa dia terpaksa berbohong, telah makan dan merasa kenyang.Bagaimana maka
Tangan kekar Aris refleks menarik lengan Laila. Tanpa berpikir, lelaki pemegang sabuk hitam tersebut bangkit dan membantingnya."Auh!" Laila mengaduh kesakitan.Mata Aris melebar, kala sadar dan melihat Laila meringis kesakitan di lantai."Ya, Tuhan, apa yang kulakukan?"Baru kali ini Aris merasa bersalah pada gadis itu. Tak ingin membuang waktu, ia segera meraih tubuh Laila dan mengangkatnya ke ranjang."Kamu gak papa?" tanya Aris panik. Berusaha melihat bagian punggung dab kepala, barang kali ada bagian yang cidera. Namun, gadis itu cepat menepis karena risih."Aku nggak papa." Laila menggeleng sambil meringis menahan sakit. Menjauhkan tubuhnya seolah tak ingin disentuh oleh pemuda tersebut."Oh, okay." Aris manggut-manggut. "Maaf aku refleks." Pria itu mengucap pelan. Ia terkejut karena ada sesuatu yang menyentuhnya saat tidur. Seketika merasa terancam dan memberikan serangan.Laila bingung. Sekilas, ia melihat ada ses
"Hu-uh!" Manda mencebik kesal, acaranya diganggu oleh pelayan tak tahu diri itu.Sebelum membuka pintu, Heru mengintip lebih dulu siapa yang ada di luar, melalui sebuah lensa. Dia harus berjaga-jaga dan hati-hati. Ya, hanya itu cara selama ini dia bisa mempertahankan hobby, berpetualang cinta, dari satu wanita ke wanita lain. Namun, bisa mempertahankan satu wanita setia dan polos di rumah."Siapa?" gumamnya. Saat tampak seorang pelayan yang tak tampak wajahnya barulah Heru berpikir untuk membuka.Heru yang baru membuka pintu, sangat terkejut. Sontak saja matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di depan kamarnya. Orang itu enggan mengangkat kepala."Kamu?" tanya Heru pada pria yang mengenakan seragam office boy.Orang itu tetap tidak mau memperlihatkan wajahnya, walau ia sudah mengajak bicara.Heru bahkan sampai mencondongkan tubuh untuk melihat, melongok dari bawah saking penasaran.Akan tetapi, orang itu memakai m
Heru menyeringai, seolah telah menang dari Rani, dan wanita itu sedang berada di ujung tanduk.Siapa yang sangka, sebelum pintu benar-benar tertutup, ditendang keras berbarengan oleh Ardian dan Aji dari arah luar, hingga mengenai wajah Heru. Pria itu mengaduh."Auh!"Ia terdorong ke salah satu sisi dinding hotel yang mengapit pintu. Mata pria itu melebar, melihat sosok Aji dan adiknya.'Sialan! Apa mereka ada di belakang ini?'Rani mendesah lega. Ia selamat. Kalau saja ayah kandung Laila dan paman gadis itu tak datang tepat waktu, entah apa yang terjadi? Bisa jadi Heru yang nekad akan membunuh dan memutilasi tubuhnya untuk menghilangkan jejak seperti di banyak berita kriminal.Ardian dan Aji saling tatap sebentar, saling melempar senyum untuk merayakan keberhasilan mereka. Sementara Heru berusaha bangkit dengan geram."Jadi kalian di balik semua ini. Heh. Pantas saja! Rani tak mungkin berani bergerak tanpa ada provokator di belakangny
Rani berjalan mengikuti langkah Aji dan Ardian menuju lift. Meski kaki itu senantiasa bergerak, tapi mulutnya tak sekecap pun bicara. Lidahnya terlalu kelu, hatinya sakit. Luka yang dirasa kini begitu dalam. Bahkan paling dalam selama ia hidup.Dikhianati? Siapa orangnya yang tetap tenang karena itu?Otaknya tak berhenti bertanya dan terus menerus memikirkan situasi yang menyebabkan hubungan ini akhirnya harus kandas.Ketiganya kini akan memasuki area parkir. Namun, Rani berpamitan sebentar ke toilet."Mas dan Ardian duluan saja. Aku tak akan lama." Rani mempersilakan dua orang yang menemaninya untuk pergi lebih dulu."Masuklah. Kami akan berjaga di sini sampai kamu selesai." Aji menyahut. Ia tak mungkin meninggalkan Rani sendiri apalagi setelah kejadian tadi. Posisinya terancam. Bisa saja Heru yang masih dendam, tak terima dengan keputusan Rani nekad menyakitinya. Ia pasti akan terus mencari kesempatan.Rani mengangguk pelan.
"Sungguh satu dusta akan melahirkan banyak dusta lain."***Setelah menutup pintu toilet. Rani tidak membuang air, sekadar mencuci muka atau hal lain yang dilakukan ketika berada di kamar mandi.Wanita itu langsung meluruhkan tubuhnya di dinding, lalu menangis tersedu-sedu.Pikirannya kalut. Dunianya telah runtuh meski ia berusaha terlihat kuat dan tegar di depan Heru. Semua itu semata-mata ia tak ingin tampak lemah dan direndahkan di depan pasangan kumpul kebo itu.Cukup lama. Dan membuat orang yang menunggu di luar mulai tak sabar.Bahkan ketika suara panggilan ditujukan padanya, Rani masih belum mengontrol emosinya dan terus menangis. Ia merasa hanya dirinya wanita paling malang di dunia ini.Sudahlah anaknya diperkosa dan dinikahkan dengan cara tidak hormat. Sekarang suaminya ketahuan selingkuh, dan rumah tangganya benar-benar telah berskhir. Dia tak mungkin kembali pada Heru bahkan jika lelaki itu menyembah-nyembah ingin kembali.
"Kenapa kamu tega sih, Mas?" Serak suara Rani meratap. Hatinya belum lagi rela kehilangan Heru. Semakin mengingat banyak hal yang telah mereka lalui, semakin ia tak kuat menerima kenyataan."Nggak! Dia harus jelasin kenapa sampai melakukan ini!" Rani mengusap kasar jejak air mata di pipi, lalu bangkit dengan pikiran gilanya ingin kembali menemui Heru.Langkahnya berhenti sejenak di depan pintu toilet, menatap dua orang yang tertidur kelelahan dan sedang menungguinya.'Maafkan aku Mas Aji. Aku sudah gagal di pernikahan pertamaku, dan aku tak mau gagal di pernikahan keduaku. Kalau memang Mas Heru ingin berubah dan memberiku kesempatan, aku akan memberikannya.'Rani menghela. Menarik napas dalam dan mengembusnya perlahan. Seolah ingins sesak di dadanya hilang dan berganti kekuatan yang memberinya keberanian untuk datang pada Heru.Sampai di lantai atas di mana kamar Heru berada, Rani tak membuang waktu memencet bel.Sementara di dalam kamar, He
"Darah?!" Mata Rani melebar. Memeriksa apa yang Ardian temukan dan ikut memastikan apakah benar itu darah?Aji pun sama. Ia segera berjongkok. Lalu melihatnya dengan menempelkan ujung jari ke titik-titik merah di lantai parkir. Kemudian mendekatkan ke indra penciumnya.'Amis,' batin Aji. Itu memang darah. Ia menatap pada Ardian dan Rani secara bergantian."Ini benar darah." Pria itu mengatakan dengan keyakinannya."Tapi benar kan ini tadi tempat Mas Heru memarkirkan mobil?" Rani tak habis pikir. Karena darah itu pikirannya jadi berkelana ke mana-mana."Apa yang sebenarnya dibawa dalam koper itu?" tanyanya lagi."Dia bawa koper, Ran?" tanya Aji kemudian."Benar. Sebuah koper yang sangat besar." Rani menjawab."Hem. Aku jadi curiga." Ardian pun sama memiliki pemikiran mengerikan tentang Heru. Langkahnya bergerak maju, mendekat ke titik darah yang masih tampak segar di lantai. Ikut berjongkok di samping Aji."Benar. Di sini