Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Raline memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.30 WIB. Berarti, ia telah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh jam untuk mencari pekerjaan. Ia keluar rumah pada pukul 09.00 WIB tadi pagi. Sialnya dalam kurun waktu sepuluh jam itu, ia belum juga mendapat pekerjaan. Raline melirik pos Satpam di depan pintu gerbang yang kosong melompong. Namun, Pak Udin atau Bang Jaja tidak lagi di sana. "Tentu saja, keduanya tidak ada," gumam Raline lesu. Satpam, supir, ataupun Aristen Rumah Tangga. Ayah Raline memang telah memberhentikan semua pegawai untuk menghemat pengeluaran, Raline lantas membuka pintu pagar dan menutupnya perlahan. Setelah seharian berjibaku dari satu kantor ke kantor lainnya untuk mencari pekerjaan, Raline ingin mengisi perut dan beristirahat. Ia merasa sangat lelah. Mungkin dengan beristirahat, ia bisa memulihkan kondisinya. Dengan begitu, diharapkan keesokan harinya ia bisa kembali mencari pekerjaan. "Semua masalah ini terjadi, itu karena kamu tidak bisa men
"Bu, jangan memaksa Raline menikah dengan--Bu... Ibu!" Namun, Raline panik karena ibunya menutup ponsel begitu saja. Raline ketakutan. Tidak! Ia tidak mau menikahi bandot tua mesum seperti Pak Riswan. Ia tidak sudi menjadi tumbal atas ambisi kedua orang tuanya. Dulu, ia selalu mengikuti keinginan kedua orang tuanya yang begitu berambisi ingin menjadi orang kaya. Sedari remaja ia sudah didoktrin harus menuruti keinginan kedua orang tuanya karena dirinya adalah anak satu-satunya. Oleh karena itu ia berpikir, pada dirinyalah kedua orang tuanya memupuk harapan. Dirinya terus didikte harus melakukan ini dan itu yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Tapi tetap ia lakukan, demi baktinya kepada kedua orang tua. Ia juga pernah terjerumus menjalin hubungan dengan dosennya sendiri sewaktu kuliah di luar negeri. Dirinya kala itu masih sangat muda. Ia begitu haus akan cinta dan kasih sayang. Aksa tidak pernah memperlakukannya sebagai kekasih. Ia sangat kesepian. Makanya
Ucapan Axel membuyarkan prikiran Raline yang tengah membayangkan reaksi kedua orang tuanya atas kejutan yang ia bawa. Ia sampai tergagap karena Axel tiba-tiba mengajukan pertanyaan padanya setelah sepanjang perjalanan ia diam seperti patung. Bagaimana ia tidak kaget coba?"Hah... heh... hah... heh... lo kebanyakan bengong mantan pacar Heru," ketus Axel kesal. "Gue tanya, apa yang akan lo katakan pada nyokap bokap lo mengenai kedatangan gue." Axel mencoba memperpanjang kesabarannya. Menghadapi orang rada-rada oneng seperti Raline memang memerlukan kesabaran ekstra."Oh, bilang dong dari tadi!" Raline berdecak. Karakter Axel ini membingungkan. Kalau diam seperti orang bisu. Tapi sekalinya membuka mulut, marah-marah melulu.Breath in, breath out, sabar Axel. Ini orang memang mengesalkan. Tapi, dia juga calon istri lo. Lo harus mulai belajar sabar sampai mengalahkan Bang Sabaruddin, tujang ojek pengkolan."Gue akan bilang pada mereka kalo lo akan menukar gue dengan uang dua milyar rupiah
Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?" "Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel."Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline."Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline."Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang. "Kagak usah!" bantah Axel."Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel."Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri
"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan. "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa. Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily! "Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini. "Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel. "Oke. Ra--line." Axel balas berbisik. "Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan. "Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengulti
"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh. Axel terlihat mengangguk singkat."Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran. Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ...."Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."****Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan gontai keluar kantor. Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak le