Erick baru saja menyilangkan sendok saat ponselnya bergetar. Axel menghubunginya. "Yai, di patem sabia. Serangka? Keo. Di gutung." Erick menutup percakapan. "Eh, Rick. Lo ngomong bahasa apaan? Kok gue nggak pernah denger bahasa begituan ya?" Raline penasaran. Dibilang bahasa Inggris bukan, bahasa Mandarin apalagi. "Bahasa khusus keluarga Delacroix. Buruan habisin makanan lo. Gue ada keperluan lain.""Kalo lo mau pergi, ya udah pergi aja. Ngapain lo nungguin gue makan? Yang perlu itu noh, lo bayar dulu makanan yang kita makan." Raline menunjuk ibu penjual nasi dengan dagunya."Bukan begitu. Soalnya boss akan menemui gue di sini. Lo apa nggak masalah ketemu boss gue?"Uhukkk!Raline menyemburkan nasi yang masih separuh ia dikunyah. Bakalan panjang urusannya kalau Axel melihatnya makan bersama Erick di sini."Jorok amat sih lo!" Erick mengibaskan beberapa butir nasi di sebagian dada dan lengannya. Semburan Raline mengotori pakaiannya."Ya, maaf. Namanya juga orang kaget. Kalo gitu gue
"Kalo gitu lo nangis karena apaan?"Karena saya teringat pada orang tua saya di rumah.Raline menulis jawaban yang sebenarnya. Ia juga menulis dengan tata bahasa yang baik. Ia harus memberi kesan yang bertolak belakang dengan jati dirinya yang sebenarnya."Oh, karena lo makan enak di sini sementara ortu lo nggak makan di rumah makanya lo sedih?" Axel mendecakkan lidah. Pembicaraan perihal orang tua tidak pernah gagal menggugah hatinya. Wajar, mengingat dirinya yang yatim piatu.Bukan begitu ceritanya, mafia galak, batin Raline. Tapi apa lacur, ia terpaksa mengangguk. Tidak mungkin ia menceritakan yang sebenarnya bukan?"Made, tolong minta Mak Ijah membungkus dua nasi lagi untuk badut ini." Axel meneriaki Made."Ti--" Tidak usah!Raline segera menulis kata tidak usah di kertas karton. Ia nyaris kelepasan bersuara. Untung saja sinyal otak dan mulutnya kooperatif kali ini."Udah, ambil aja. Kali ini gue ikhlas." Axel memelototi si badut bisu. Entah apa yang ada dalam pikiran badut ini.
"Bisu, Pak," jawab Raline gagap. Axel dan Made saling berpandangan dan saling nyengir setelahnya."Lah, itu barusan lo ngomong?" Axel memicingkan mata. Cara berbicara rada-rada seperti ini mengingatkannya pada seseorang. Menjawab cepat tapi tidak singkron antara kalimat dengan perbuatan. Selalu menunduk dan menggerak-gerakkan bahu tidak nyaman apabila berbohong itu adalah ciri khas Raline! Pupil mata Axel membesar. Satu pemikiran singgah di benaknya tatkala memdang mata sipit yang sengaja digambar warna warni itu. Sepertinya badut ini adalah calon istrinya."Raline Raharjo Soeryo Sumarno!" Axel menunjuk wajah sang badut dengan tatapan tidak percaya. Sepertinya dugaannya benar. Semakin diperhatikan badut yang katanya bisu ini semakin mirip dengan calon istrinya."Alhamdulillahi robbil alamin. Akhirnya lo bisa juga nyebut nama gue lengkap." Raline menadahkan tangan dalam posisi berdoa. Ia terharu. Setelahnya Raline baru menyadari konsekuensinya. Ia bukan hanya ketahuan tidak bisu. Tetap
"Karena gue membawa rezeki dari hasil keringet gue sendiri. Gue nggak memanipulasi orang. Nggak jadi pelakor musiman juga seperti yang lo bilang. Gue... gue... merasa punya harga diri, Mas. Gue bangga walau gue jadi badut. Terserah orang mau bilang apa. Yang pasti gue bahagia dan bangga. Walau duitnya memang tidak seberapa. Enak ya kalau makan dari uang yang berkah?" Raline tersenyum di antara air matanya.Axel memijat-mijat batang hidungnya. Kebiasaannya kalau tengah berpikir keras. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Raline, tanpa menyinggung harga dirinya."Gue paham. Oleh karenanya gue nggak akan menghakimi lo. Karena kebahagiaan tiap orang itu berbeda-beda. Gue hanya mau bilang. Kalo lo udah kelelahan, berhentilah. Gue siap membantu lo dengan cara-cara yang lo inginkan. Gue memang menyetujui permintaan lo untuk menunggu tiga bulan, baru kita menikah. Tapi gue akan senang sekali jikalau pernikahan kita dilaksanakan secepatnya. Jadi lo nggak usah bekerja keras seperti ini. Sejujurnya
Raline mendorong pintu rumah lesu. Ingatan akan kata-kata Axel pada Erick perihal ayahnya yang sakit, membuat Raline sedih. Ingin membantu, ia tidak punya uang. Terus menerus menerima bantuan Axel, ia juga sungkan. Istimewa ia sudah sesumbar bahwa ia akan menolak bantuan dana dari Axel. Tapi apa mau dikata. Terkadang dalam hidup sesekali harus menjilat ludah sendiri juga. "Kamu sudah pulang, Line? Hari ini kantormu memenangkan tender apa sampai perusahaan mengirim bonusmu untuk Ayah?" Pak Adjie yang sedang menonton televisi menoleh ketika putri semata wayangnya pulang bekerja."Tender... tender proyek, Yah." Raline menjawab terbata-bata. Jikalau harus berbohong dadakan ia memang cenderung gelagapan. Soalnya ia kurang mahir mengarang bebas."Ya pasti tender proyeklah. Nama proyeknya apa maksud Ayah? Entah proyek hotel perumahan, hotel, jalan tol atau apa kek." Pak Adjie beringsut dari kursi. "Eh... eh... eh..." Pak Adjie kembali terduduk. Lututnya mendadak sakit saat berdiri."Ayah
Tingkah laku Raline membuat Pak Adjie tersenyum pasrah. Jikalau dulu ia sangat kesal apabila putrinya ini bertingkah konyol alih-alih cerdas seperti keinginanya, kini tidak lagi. Seseorang telah memberinya pencerahan dengan beberapa patah kata yang sangat keras namun tidak terbantahkan kebenarannya. Yaitu bahwa putrinya ada di dunia, itu karena perbuatannya. Pun jikalau karakter putrinya tidak seperti yang ia inginkan, itu juga bukan salah putrinya. Putrinya tidak pernah minta dilahirkan. Sebagai orang tua harusnya ia mensyukuri dan menerima apapun keadaan putrinya. Jikalau bukan dirinya sebagai orang tua yang mencintai putrinya, lantas siapa lagi? "Kamu tidak mimpi Raline. Ayah salah, Ibu salah kamu juga salah. Namun yang membuatmu salah adalah Ayah dan Ibu. Kami berdua tidak bisa mendidikmu dengan baik."Hati kami berdua tidak cukup besar menerimamu ada adanya, seperti kamu menerima kami berdua tanpa kata tapi."Beberapa hari lalu Ayah dan Ibu sudah berjanji untuk memperbaiki diri
"Kamu sudah datang, Sur? Wah, ada biduan baru ya?" Pak Dadang tersenyum ramah pada Raline."Iya, Pak. Biar orkesnya tambah rame. Kenalkan ini Neng Saroh, temannya Entin. Kalau ini Entin dan Wuri. Pak Dadang sudah kenal kan? Warga kampung kita juga," Kang Mansyur memperkenalkan Raline berikut Entin dan Wuri pada Pak Dadang. Raline memang mengganti namanya menjadi Maisaroh, selama bergabung dalam orkes dangdut Swara Nusantara ini. Jati dirinya benar-benar ingin ia sembunyikan."Selamat sore, Pak. Kenalkan, nama saya Maisaroh. Panggil saja saya Saroh." Raline mengulurkan tangan pada Pak Dadang. Memperkenalkan dirinya dengan sopan."Saya, Pak Dadang Sudrajat. Lurah di kampung ini." Pak Dadang merangkapkan kedua tangan di dada. Sebagai isyarat ia menerima perkenalan Raline namun menolak untuk berjabat tangan."Kalau kalian berdua, Bapak sih sudah kenal." Pak Dadang mengalihkan perhatian pada Entin dan Wuri. "Kamu Entin adiknya si Entis bukan?" tanya Pak Dadang pada Entin. "Benar, Pak. Ka
"Baik, Kang," jawab Raline dan Entin bersamaan. Setelah Kang Mansyur dan Wuri berlalu, Raline segera mengeluarkan ponselnya."Coba kamu lihat video ini, Tin." Raline memutar video pertemuan antara Pak Dadang dengan beberapa pemuda tadi. Setelahnya ia menyerahkan ponsel pada Entin."Apaan ini, Non?" Walau heran, Entin menerima juga ponsel yang disodorkan Raline."Lihat aja, Tin. Ntar lo pasti mengerti tanpa gue perlu capek-capek menjelaskan. Sana lihat."Bingung, Entin menonton juga video di mana para pemerannya adalah orang-orang yang ia kenal. Air mukanya berubah seketika setelah mendengar dialog para pemerannya. Satu pengertian masuk dalam benaknya. Pak Dadang ternyata tidak seperti yang dirinya dan banyak orang pikirkan. Pak Dadang ini jahat!"Pantas saja Pak Dadang cepat sekali menjadi kaya. Begitu juga para bapak-bapak muda di kampung ini. Rupanya seperti ini pekerjaan mereka." Entin menatap ponsel dengan tatapan tidak percaya. Jika tidak melihat dengan mata dan kepalanya sendir