Setelah kembali dari tempat Irish, malam ini Gerald mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Gerald masuk ke dalam rumah orang tuanya tanpa permisi seperti hari-hari biasanya. Kedatangannya dengan wajah marah hebat, disambut oleh Mama dan Papanya yang tengah duduk santai berbincang-bincang di ruang keluarga. "Gerald, Papa pikir siapa, langsung masuk saja," ujar Charles menatap putranya. Alih-alih mendapatkan jawaban, Gerald justru menatap Mamanya dengan tatapan kesal yang teramat. Marisa mendongak menatapnya dengan hangat seperti biasa, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. "Kenapa kau—" "Apa yang Mama lakukan pada Giselle saat aku pergi ke luar kota?" tanya Gerald menyela cepat. Tatapan mata Gerald semakin menajam. Sedangkan Marisa hanya berdehem pelan dan mengalihkan tatapannya. "Mama tidak melakukan apapun," jawab Marisa. "Apa?" Gerald terkekeh pelan mendengarnya. "Tidak melakukan apa-apa Mama bilang?" Charles yang duduk di samping istrinya pun tampak bingung den
Rasanya tidak percaya bila Giselle pergi begitu saja tanpa ada suatu alasan. Gerald mencarinya ke mana-mana. Ia mendatangi tempat penitipan anak, mendatangi beberapa tempat yang terkadang dikunjungi oleh Giselle dan Elodie, tetapi mereka berdua benar-benar tidak ada. "Apa yang terjadi denganmu, Giselle? Kalian di mana?" Gerald mengusap wajahnya. Dari pagi, hingga malam Gerald sudah empat kali mendatangi rumah Giselle dan mengelilingi kota Luinz, tetapi semuanya terasa sia-sia karena ia tidak menemukan Giselle di manapun. Gerald berada di dalam mobilnya, laki-laki itu meraih ponsel miliknya dan membuka log panggilan dari Giselle. Ada banyak panggilan yang tak satupun dijawab oleh Gerald. Selama beberapa hari ini, ia tidak membuka log pesan sama sekali. Gerald pun membukanya saat ini, ia melihat ada beberapa pesan suara yang dikirim oleh Giselle. Saat ia membuka log panggilan dari Giselle, ada beberapa pesan yang tidak ia balas. Dan sekitar satu minggu yang lalu, ada pesan s
Hari sudah malam, Sergio baru saja kembali setelah siang tadi ia pamit pergi untuk mengantarkan oleh-oleh untuk Giselle dan Elodie. Tetapi kini Sergio masuk ke dalam rumah dengan paperbag yang ia bawa kembali. "Selamat sore, Tuan Gerald..." Gerald menoleh, laki-laki itu mengerutkan keningnya saat menatap Sergio masuk ke dalam rumah membawa paperbag yang seharusnya dia antarkan untuk Giselle dan Elodie. "Kenapa kau membawa kembali oleh-oleh untuk Giselle dan Elodie?" tanya Gerald menatap Sergio yang meletakkan barang-barang itu di atas meja ruang keluarga. "Saya tidak menemukan Nyonya Giselle sejak siang tadi, Tuan. Bahkan sore dan barusan saya kembali datang ke rumahnya, Nyonya Giselle juga masih tidak ada." Tatapan Gerald sontak langsung menajam seketika. "Tidak ada?" serunya. "Benar, Tuan. Pintu rumahnya tertutup rapat dan rumahnya juga sangat gelap." Mendengar penjelasan Sergio, perasaan Gerald semakin tidak tenang. Gerald beranjak dari duduknya dan meraih ponsel
Giselle tidak punya pilihan lain selain pergi jauh. Ia telah mengemasi semua barang-barang dan pakaiannya. Sore ini, Irish menjemputnya dengan mobil miliknya. Mereka siap berangkat ke stasiun untuk pergi ke kota Lasster yang berada sangat jauh dari kota Luinz. Kota yang berada di perbatasan dan dekat dengan pesisir laut utara. "Elodie, kenapa diam saja?" tanya Irish melihat Elodie tampak murung. "Elodie tidak suka ikut Mama pergi, ya?" Anak itu mendongakkan kepalanya menatap Giselle dan memeluk Mamanya erat-erat. "Elodie mau ikut Mama terus. Elodie tidak mau sama Papa lagi, Papa jahat, Oma jahat, semuanya jahat sama Mamanya Elodie," jawab anak itu. Giselle mendekap si kecil dan mengecup pucuk kepalanya. "Sssttt ... Elodie tidak boleh berkata seperti itu, Sayang," bisik Giselle dengan lembut pada si kecil. Anak itu kembali menatapnya. Kedua iris mata hitamnya terdiam menatapnya dalam-dalam dengan bubur cemberut sedih. "Kenapa mereka semua jahat dana Mama?" tanya anak it
Keesokan harinya, pagi ini terasa tak biasa bagi Giselle. Ponselnya berdering terus menerus tanpa henti hingga membuatnya terbangun dari tidurnya. Giselle mengusap wajahnya pelan dan menyalakan penerangan kamarnya. "Ada apa? Kenapa ponselku tidak berhenti berdenting sejak tadi?" gumamnya lirih. Giselle duduk di tepi ranjang dan menurunkan kedua kakinya menapaki lantai. Wanita itu meraih ponselnya di atas nakas dan ia mulai membuka kunci layar ponselnya. Kedua mata Giselle melebar sempurna, kantuk yang masih tersisa seolah sirna saat ia membaca sebuah berita yang sangat ramai dibahas di media sosial pagi ini. "Be-berita apa ini?!" Giselle memekik terkejut luar biasa. Iris biru matanya bergetar membaca sebuah berita kini tengah dikonsumsi oleh banyak publik. Bahkan foto Giselle juga terpasang di sana. 'Seorang petinggi perusahaan terbesar di kota Luinz, Keluarga Gilbert sang konglomerat ternyata selama ini menyembunyikan identitas mantan menantunya—yakni mantan istri putra
Beberapa hari kemudian. Giselle sudah kembali bekerja di tempat Irish selama beberapa hari ini. Ia berusaha untuk berdamai dengan keadaan yang sangat menyakitkan untuknya dan Giselle kembali fokus bekerja demi anaknya. Pagi-pagi sekali Giselle sudah datang dan membersihkan cafe, ia juga membantu Irish menata roti panas di etalase dan juga menyiapkan gelas dan minuman untuk pelanggan yang datang. "Giselle," panggil Irish pelan. "Hm?" Giselle menoleh. "Bagaimana dengan Elodie? Apa dia masih sering menanyakan Papanya?" tanya Irish yang tengah memperhatikan Elodie di dalam ruangan di belakang. Anak itu tengah sarapan sambil menonton kartun kesukaannya. Giselle menggelengkan kepalanya pelan. "Sudah tidak lagi, Rish. Aku juga tidak tahu, apakah saat ini Gerald sudah kembali atau belum. Semua pesanku juga tetap tidak terbalas. Jadi, untuk apa aku menanti-nanti kedatangannya lagi? Toh ... aku tidak lebih hanya seorang mantan untuknya." Irish mengangguk kecil sambil mengeluarkan r