Giselle tidak punya pilihan lain selain pergi jauh. Ia telah mengemasi semua barang-barang dan pakaiannya. Sore ini, Irish menjemputnya dengan mobil miliknya. Mereka siap berangkat ke stasiun untuk pergi ke kota Lasster yang berada sangat jauh dari kota Luinz. Kota yang berada di perbatasan dan dekat dengan pesisir laut utara. "Elodie, kenapa diam saja?" tanya Irish melihat Elodie tampak murung. "Elodie tidak suka ikut Mama pergi, ya?" Anak itu mendongakkan kepalanya menatap Giselle dan memeluk Mamanya erat-erat. "Elodie mau ikut Mama terus. Elodie tidak mau sama Papa lagi, Papa jahat, Oma jahat, semuanya jahat sama Mamanya Elodie," jawab anak itu. Giselle mendekap si kecil dan mengecup pucuk kepalanya. "Sssttt ... Elodie tidak boleh berkata seperti itu, Sayang," bisik Giselle dengan lembut pada si kecil. Anak itu kembali menatapnya. Kedua iris mata hitamnya terdiam menatapnya dalam-dalam dengan bubur cemberut sedih. "Kenapa mereka semua jahat dana Mama?" tanya anak it
Keesokan harinya, pagi ini terasa tak biasa bagi Giselle. Ponselnya berdering terus menerus tanpa henti hingga membuatnya terbangun dari tidurnya. Giselle mengusap wajahnya pelan dan menyalakan penerangan kamarnya. "Ada apa? Kenapa ponselku tidak berhenti berdenting sejak tadi?" gumamnya lirih. Giselle duduk di tepi ranjang dan menurunkan kedua kakinya menapaki lantai. Wanita itu meraih ponselnya di atas nakas dan ia mulai membuka kunci layar ponselnya. Kedua mata Giselle melebar sempurna, kantuk yang masih tersisa seolah sirna saat ia membaca sebuah berita yang sangat ramai dibahas di media sosial pagi ini. "Be-berita apa ini?!" Giselle memekik terkejut luar biasa. Iris biru matanya bergetar membaca sebuah berita kini tengah dikonsumsi oleh banyak publik. Bahkan foto Giselle juga terpasang di sana. 'Seorang petinggi perusahaan terbesar di kota Luinz, Keluarga Gilbert sang konglomerat ternyata selama ini menyembunyikan identitas mantan menantunya—yakni mantan istri putra
Beberapa hari kemudian. Giselle sudah kembali bekerja di tempat Irish selama beberapa hari ini. Ia berusaha untuk berdamai dengan keadaan yang sangat menyakitkan untuknya dan Giselle kembali fokus bekerja demi anaknya. Pagi-pagi sekali Giselle sudah datang dan membersihkan cafe, ia juga membantu Irish menata roti panas di etalase dan juga menyiapkan gelas dan minuman untuk pelanggan yang datang. "Giselle," panggil Irish pelan. "Hm?" Giselle menoleh. "Bagaimana dengan Elodie? Apa dia masih sering menanyakan Papanya?" tanya Irish yang tengah memperhatikan Elodie di dalam ruangan di belakang. Anak itu tengah sarapan sambil menonton kartun kesukaannya. Giselle menggelengkan kepalanya pelan. "Sudah tidak lagi, Rish. Aku juga tidak tahu, apakah saat ini Gerald sudah kembali atau belum. Semua pesanku juga tetap tidak terbalas. Jadi, untuk apa aku menanti-nanti kedatangannya lagi? Toh ... aku tidak lebih hanya seorang mantan untuknya." Irish mengangguk kecil sambil mengeluarkan r
"Ya ampun, Giselle, badanmu panas seperti ini. Pantas saja kalau Elodie sangat cemas." Irish yang baru saja datang, wanita itu langsung masuk ke dalam kamar Giselle dan melihat kondisi sahabatnya. Di sampingnya ada Elodie yang memegangi bagian belakang dress merah muda yang Irish pakai, anak itu sambil memeluk botol susu miliknya yang kosong. "Tante, Elodie mau minum susu. Boleh minta tolong," pinta Elodie mendongak menatapnya. "Boleh, Sayang. Sebentar, ya..." "Heem." Elodie mengangguk patuh. Irish meletakkan tas yang ia pakai dan mengambil beberapa tablet obat yang baru saja dia beli. Wanita itu mendekati Giselle lagi. "Giselle, kau sudah minum obat, belum? Atau aku telfonkan dokter agar datang ke sini memeriksamu, bagaimana?" Kedua mata Giselle terbuka perlahan, napasnya terdengar begitu berat saat ini. "Tidak usah repot-repot, Irish. Aku hanya kurang istirahat saja saat ini," jawab Giselle. "Tapi, Giselle—" "Sungguh, aku tidak apa-apa." Giselle menggelengkan
Hari sudah malam, suara lonceng angin di luar jendela kamar bergemerincing terdengar lembut saat angin malam yang semilir berhembus. Giselle berbaring di atas ranjang, di sampingnya ada Elodie yang sudah ia selimuti. Tetapi, anak kecil itu belum tidur. Elodie memeluk boneka beruang berwarna cokelat miliknya sambil menatap langit malam yang bertabur ribuan bintang malam ini. Giselle menyadari anaknya belum tidur, akan tetapi Elodie hanya diam saja. "Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Giselle mengusap pucuk kepala si kecil. "Elodie sedih, Mama," jawab anak itu cemberut. "Sedih?" Giselle langsung duduk seketika. Elodie pun berbalik dan tidur terlentang, dengan mata berkaca-kaca ia menatap Giselle dengan ekspresi yang sedih. "Elodie sedih sekali, Papa bohong sama Elodie, sama Mama," ujarnya sambil mengucek satu matanya. Ekspresi wajah Giselle menjadi sendu. Perlahan ia membantu Elodie untuk duduk dan Giselle memeluk anaknya. Anak itu memeluk tubuh Giselle dan jemari tan
Hamil! Laura hamil anak Gerald! Giselle menatap test pack di atas meja. Ulu hati Giselle seperti disayat-sayat saat ini, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan air matanya. Terlebih lagi, ia merasa jauh berkali-kali lipat lebih sakit saat Laura mengatakan kalau ia tidak ingin melihat Gerald membagi kasih sayang pada Elodie lagi. 'Jadi, inikah alasanmu selama beberapa hari ini mengabaikan aku dan Elodie? Inikah kesibukan yang kau maksud, Gerald? Ini ... di balik semua alasan kenapa kau tidak membalas pesan dan panggilanku?' Giselle menekan rasa sakit di dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, Giselle meraih test pack milik Laura dan kembali menyerahkannya. "Aku tidak bisa melarang Gerald untuk mendekati anaknya, Laura. Elodie adalah darah daging Gerald dan selama ini anakku tumbuh besar tanpa kehadiran seorang Papa." Giselle menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak akan pergi. Aku berani menjamin, aku tidak akan menjadi ancaman untuk rumah tangga kalian ke depannya." Laura me