"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu.
Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?! "A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—" "Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana." Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya? "Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana. Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mata yang sudah ia tahan akhirnya tumpah saat ia berjalan menjauh. 'Ya Tuhan, kenapa menjadi begini?' Dadanya terasa sesak. Memikirkan ia akan menjual diri pada mantan suaminya membuat perasaan Giselle campur aduk. Padahal … Elodie adalah anak kandung Gerald. Tapi jika ia memberi tahu hal itu, Giselle tidak yakin apakah Gerald akan percaya. Pria itu justru akan semakin membencinya. Tidak mungkin Giselle menerima tawaran itu. Tapi dari mana ia akan mendapatkan uang lima ratus juta untuk pengobatan Elodie? Giselle terdiam dengan pandangan kosong, lalu teringat pada ibu tirinya. Ia tidak bisa berharap banyak, tapi ia akan mencoba. Saat itu juga, Giselle bergegas ke rumah ibu tirinya dengan bus kota. Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di rumah mewah dengan gerbang hitam yang tinggi menjulang itu. Rumah ini dulu adalah rumah milik ayah Giselle, sebelum akhirnya sang ayah meninggal dan Giselle diusir oleh ibu tirinya. Giselle berjalan memasuki pekarangan rumah dan melihat Cintya—ibu tirinya yang tengah berdiri di teras bersama putrinya, Pamela—kakak tiri Giselle. "Giselle?" sapa mereka dengan nada tak suka. "Mau apa kau ke sini?!" seru Cintya. Langkah Giselle terhenti di ujung anak tangga teras. "Ma, aku—" "Oh, aku tahu! Kau pasti datang ke sini untuk meminta uang, kan?!" ujar Pamela, langsung menyela cepat. Sebenarnya, mereka tahu kalau Elodie selama ini sakit-sakitan. Tapi mereka sama sekali tidak peduli. Kalau bukan karena merasa buntu, Giselle tidak akan datang ke sini. "Ma, Elodie perlu pengobatan lanjutan. Kondisinya sudah semakin buruk dan aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi," ujar Giselle begitu sedih dan terpukul. "Kali ini saja, aku mohon, Ma ... tolong bantu aku menyelamatkan nyawa anakku. Aku janji akan mengembalikan semuanya nanti." "Tidak ada!" pekik Cintya garang. “Kau pikir uang bisa dipetik dari pohon?!” Giselle tiba-tiba menekuk kedua lututnya dan memegang kaki Cintya. "Mama, aku mohon ... Mama pasti masih menyimpan uang peninggalan Papa kan? Kumohon, Ma, aku tidak ingin kehilangan Elodie," kata Giselle memohon. Alih-alih berbelas kasih, Cintya justru mendorong Giselle hingga membuatnya tersungkur. "Kau ini memang sama merepotkan seperti mendiang Papamu itu!" pekik Cintya marah. "Pergi sana! Datang mengemis meminjam uang seenaknya saja! Dengar Giselle, meskipun anakmu itu sekarat ataupun mati saat ini juga, aku sama sekali tidak peduli!" teriaknya berapi-api. Mendengar itu, hati Giselle bagai tercabik rasanya. Meski sudah menduganya, tapi tetap saja ia tak kuasa menahan tangis. Mengapa ibu tirinya begitu tega? "Ayo, Pamela!" ujar Cintya menarik lengan anaknya. Mereka menutup pintu dengan keras dan meninggalkan Giselle di sana yang tengah menangis bersama kesedihannya. Giselle putus asa ... ia benar-benar tidak memiliki siapapun yang bisa menolongnya. ** Pukul lima sore, Giselle kembali ke rumah sakit setelah seharian ia mencoba mendatangi satu, dua, temannya dan meminta bantuan. Tapi tak satupun ada yang bisa membantunya. Giselle masuk ke dalam kamar perawatan putrinya yang melihat Elodie yang masih terbaring lemah. "Ma-mama," lirih anak itu, mengulurkan satu tangannya dan merintih kecil. "Iya, Sayang ... Mama ada di sini." Giselle mengusap pucuk kepala Elodie. "Elodie sabar ya, Nak. Mama pasti akan berusaha agar Elodie cepat sembuh." Anak kecil itu hanya bisa merintih kesakitan. Giselle memeluk tubuh kecil Elodie dan menangis tanpa suara. Melihat kondisi Elodie yang seperti ini membuat Giselle tidak bisa berpikir apapun. Tidak ada cara lain baginya untuk mendapatkan uang selain menerima tawaran dari Gerald. Haruskah ia benar-benar merendahkan diri di hadapan ayah kandung anaknya sendiri? Hanya itu jalan yang ia punya saat ini. Bagaimanapun, Giselle tidak ingin kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Jika Elodie tidak ada, Giselle bahkan tidak ingin hidup lagi. Wanita itu lantas menatap anaknya. Ia sudah membuat keputusan. "Tunggu ya, Sayang. Mama akan segera kembali," katanya. Giselle lantas bergegas meninggalkan rumah sakit. Ia membuka tas miliknya dan membaca pesan dari asisten Gerald yang mengirimkan alamat sebuah hotel. Giselle meremas ponselnya dan menahan agar air matanya tidak menetes. Bermalam dengan mantan suaminya, Papa kandung dari anaknya, demi uang untuk pengobatan anaknya. Giselle tidak punya pilihan lain. Meskipun kakinya kini terasa gemetar saat berjalan, Giselle akan datang ke hotel itu, bertemu dengan Gerald dan melakukan semuanya. Hotel bintang lima yang berada di pusat kota Luinz itu semakin membuat nyali Giselle menyusut di setiap langkahnya. Tangannya terasa dingin dan kebas saat memutar gagang pintu kamar nomor satu di lantai lima belas. Kedua iris matanya menangkap sosok laki-laki yang berdiri tegap dengan balutan kemeja putih berdiri memunggunginya, menatap ke arah dinding kaca besar di ruangan itu. "Kau datang juga," ucap Gerald, membalikkan badannya menatap Giselle dengan tatapan dingin yang mengerikan. Ia lantas meletakkan gelas berisi wine yang ia bawa. Giselle hanya diam tertunduk dan berdiri meremas erat tali tasnya. "Apa yang kau tunggu? Mari kita lakukan seperti yang aku inginkan."Suasana rumah yang biasanya terasa sangat sunyi, kini terasa kembali hidup dengan suara tangisan bayi kembar Aileen dan Aleea. Bahkan Giselle tidak merasa kesepian lagi karena ia telah ditemani oleh dia cucu kembarnya yang menggemaskan. "Ya ampun, Aleea ... kau mengingatkan Oma pada bayinya Mamamu dulu, Sayang," bisik Giselle mengusap bayi perempuan dalam gendongannya. Giselle mengelus lembut kening bayi itu. Sedangkan Aileen berada bersama Elodie dan Kai di ruang keluarga di depan sana. "Mama, apa Opa dan Oma tidak jadi dijemput oleh Papa? Katanya Oma dan Opa ingin melihat si kembar?" tanya Elodie pada Mamanya. Giselle menoleh. "Iya, Sayang. Mungkin nanti malam Opa dan Oma akan ke sini bersama sopir pribadinya," jawab Chloe. "Syukurlah..." Elodie menyerahkan bayi laki-lakinya pada Kai. "Sayang, tolong gendong Aileen sebentar." "Mana," pinta Kai.Laki-laki itu menggendong putranya. Kai begitu bahagia, setiap malam ia selalu berjaga menjaga anak-anaknya. Kai meminta Elodie untu
"Ya ampun, Kak Amara ... lihatlah, cucu perempuan kita sangat mirip dengan Elodie, ya!" Giselle terkekeh gemas menatap bayi mungil dalam gendongan Amara saat ini. Kedua wanita itu sangat heboh sendiri. "Iya, Giselle. Bahkan Aileen juga tidak ada mirip-miripnya dengan Kai!" seru Amara sambil tertawa kesenangan. "Lucunya, cucu Oma, ya ampun!" Satu bayi lagi ada dalam gendongan Elodie saat ini. Dua bayi itu hanya minum susu formula saja. Tetapi bayi-bayi itu sangat sehat dan tangisannya juga sangat keras. Elodie tersenyum mendengar obrolan Mama dan Mama mertuanya pagi ini. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, pagi ini Elodie sudah ada di rumah orang tuanya. Semua keluarga sangat bahagia menyambut kelahiran cucu mereka. Apalagi Giselle dan Gerald. Gerald bahkan tidak menyentuh pekerjaannya sama sekali selama dua hari karena terlalu senangnya dengan kelahiran dua cucunya. "Papa, mau menggendong Aileen?" tawar Elodie saat memperhatikan Gerald yang tampak serius menatap Elodie men
Elodie masih belum sadar pasca operasi. Ia masih terbaring di atas ranjang rumah sakit di dalam ruangan VVIP dan ditemani oleh Gadis cantik itu, kini telah dipanggil Mama. Kai duduk di sebuah kursi tunggal dan terdiam menatapi wajah Elodie sembari menggenggam telapak tangan kanan Elodie. "Sayang, ayo cepat bangun ... anak kita sudah menunggu," bisik Kai, laki-laki itu mengecup punggung tangan Elodie dengan lembut. "Kau akan dipanggil Mama, Elodie." Mengatakan hal itu, tak terasa air mata Kai menetes. Laki-laki itu segera menyekanya dan ia tersenyum tipis. Antara rasa bahagia dan cemasnya. Biasanya, kepada pada pasiennya, Kai akan meminta keluarga pasien untuk bersabar menunggu pasien yang sakit bangun. Tetapi, saat ini Kai berada di posisi itu. Ternyata benar ... sulit sekali untuk merasakan yang namanya sabar bila harus merasakan perasaan secemas ini. "Aileen dan Aleea sudah menunggumu, Sayang," bisik Kai, lagi-lagi ia mengecup punggung tangan Elodie. Pukul enam sore, adalah wa
Hari yang dinanti-nantikan oleh Elodie dan Kai telah tiba. Hari ini menjadi hari kelahiran bayinya. Elodie masih merasa was-was untuk menjalani operasi caesar beberapa jam lagi. Meskipun ini bukan tanggalnya, tetapi sejak beberapa jam yang lalu Elodie merasakan perutnya sangat sakit tidak seperti biasanya. Di dalam sebuah kamar rawat inap, Elodie berbaring di sana ditemani oleh Kai. Sedangkan Giselle dan Gerald berada di luar bersama Martin dan Amara. Elodie memejamkan kedua matanya dan menggenggam erat telapak tangan Kai. "Sayang," panggil Kai pelan. "Hm?" Elodie menyahutinya pelan. "Aku sedang berdoa," jawab gadis itu membuka matanya dan menatap Kai. "Aku tiba-tiba merasa sedikit takut. Tapi perutku juga sangat sakit." Elodie merintih pelan, gadis itu semakin erat dan kuat meremas tangan Kai. "Sabar ya, Sayang..." Kai mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Elodie. "Heem." Elodie mengangguk pelan. Tak lama kemudian, dua orang dokter rekan Kai masuk ke dalam ruangan itu. "B
"Jadwal operasi Caesar Elodie akan dilaksanakan tanggal sepuluh, Ma, Pa." Kai mengatakan hal itu pada Giselle dan Gerald. Setelah dua orang itu menunggu kepulangan Elodie dan Kai dari rumah sakit. Wajah Gerald terlihat sangat khawatir saat mendengar hal itu. Begitu juga Giselle yang kini merangkul Elodie. "Tanggal sepuluh, itu kan kurang beberapa hari lagi, Kai. Kenapa baru bilang sekarang?" Giselle menatap menantunya itu. "Dokter Renata yang memajukan tanggalnya, Ma," jawab Kai. "Apa kau ikut menangani Elodie nanti, Kai?" tanya Gerald sambil menaikkan kedua alisnya. Kai terkekeh dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Tidak, Pa. Bukan aku. Aku tidak tega kalau menangani istriku sendiri." Kai menggeleng. "Lebih baik kita menunggu di luar sana, aku memilih menunggu bersama Mama dan Papa daripada aku harus menemani Elodie di dalam. Aku tidak tega." Orang tua Elodie tertawa mendengarnya. Gerald menepuk-nepuk punggung menantinya tersebut. "Kau ini, besar badanmu saja! G
Hari demi hari silih berganti. Tak terasa kandungan Elodie sudah memasuki usia sembilan bulan. Bersama suami dan kedua orang tuanya, yang selalu menemaninya, Elodie tidak merasa kesepian sama sekali. Selama hari-hari yang telah ia lalui, Elodie juga mengikuti perkembangan kondisi Rafael—temannya sekaligus orang yang pernah Elodie benci itu. Rafael yang kini sakit keras dan kondisinya yang sudah parah. Elodie duduk diam di sebuah sofa di balkon lantai dua, ia bergeming menatap ke arah pemandangan bunga yang bermekaran di musim semi tahun ini. "Sayang, aku mencarimu ke mana-mana..." Suara Kai terdengar. Elodie menoleh dan gadis itu tersenyum manis. Kai menyerahkan segelas susu pada Elodie. "Ini susunya." "Heem, terima kasih," ucap Elodie sambil menerima segelas susu yang Kai berikan padanya. Kai duduk di samping Elodie, laki-laki itu mengulurkan tangannya mengusap perut Elodie yang kini sudah besar. Kai mengecup perut Elodie dengan lembut. "Kurang beberapa hari lagi, kita akan b