Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang.
Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya.
“Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.
Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald.
"Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka.
Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”
Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama.
“Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”
Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "Karena status kita saat ini, Gerald," lirihnya.
Rahang Gerald mengetat saat Giselle menyebut namanya. Laki-laki itu lantas maju satu langkah dan menarik pinggang Giselle dengan erat.
"Jangan membuang waktu. Bukankah kau menginginkan uang? Jadi tunjukkan padaku, betapa murahnya dirimu yang ingin mendapatkan uangku!"
"Gerald—"
Ucapan Giselle terhenti saat tiba-tiba saja Gerald mencium bibirnya dengan kasar. Ia berusaha mendorong dada bidang pria itu, tapi tenaganya tidak seberapa.
Ciuman itu semakin menggebu-gebu hingga Giselle mengerang saat bibirnya digigit dan terluka.
Napasnya tercekat saat menyadari sosok Gerald yang ia hadapi saat ini bukanlah Gerald yang dulu ia kenal. Dia bukan lagi Gerald yang selalu sayang dan bersikap lembut padanya. Saat ini, Giselle seperti berhadapan dengan orang asing yang menyeramkan.
Kedua mata Giselle terpejam erat kala Gerald membawanya ke arah ranjang. Laki-laki itu kembali menciumnya dengan kasar dan menuntut.
Giselle tak punya tenaga lagi untuk terus memberontak. Tubuhnya terlalu lemah dan gemetar.
"Ahh!" Giselle meringis saat bibir laki-laki mulai turun ke lehernya dan meninggalkan bekas di sana.
Deru napas yang terdengar dari Gerald membuat tubuh Giselle semakin gemetar. Ia bisa merasakan kemarahan yang Gerald lampiaskan lewat deru napasnya yang memberat.
"Giselle Marjorie, kau pikir kau siapa bisa melakukan ini semua padaku?" bisik Gerald dengan suara seraknya yang dalam.
Kedua mata indah Giselle menatap wajah dan kilatan mata emosi milik Gerald. Sedangkan satu tangan laki-laki itu melepaskan satu persatu kancing dress yang Giselle pakai. Hanya dalam satu tarikan, dress merah muda itu lolos dari tubuh Giselle.
Rahang tegas Gerald mengetat kuat, kilatan amarah membara terlihat jelas di kedua iris hitamnya yang tajam.
Giselle sontak membekam mulutnya dengan satu tangan saat laki-laki itu menjajahkan bibirnya di atas kulit tubuh putih Giselle yang tak tertutup pakaian lagi hingga membuat wanita itu merintih.
"G-Gerald, tunggu—" Giselle memekik tertahan.
Alih-alih berhenti, Gerald justru kian menjadi-jadi. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya dan ia kembali menyambar bibir Giselle, menciumnya dengan kasar bahkan tak peduli bila ia harus melukai bibir tipis milik Giselle hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan.
Tak lama, Gerald melepaskan ciumannya dan menatap Giselle yang kini kacau dan terengah-engah akibat ulahnya.
"Kau ... benar-benar sangat murahan, Giselle," desis Gerald diiringi ekspresi wajahnya yang marah. "Berapa banyak laki-laki yang sudah mencoba tubuhmu, setelah kau meninggalkanku, heh?"
Ucapan Gerald begitu menusuk hati Giselle yang kini terasa sakit seperti tercabik.
Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. Kata sedih tak cukup untuk mengungkap apa Giselle rasakan saat ini.
"Tidak ... aku tidak pernah melakukan hal ini dengan siapapun," lirih Giselle dengan suara tercekat. "A-aku melakukan ini karena aku butuh uang itu, u-untuk suatu hal."
Gerald menarik tubuhnya dari atas tubuh Giselle. "Hanya demi sejumlah uang kau rela berada di atas ranjang bersama mantan suamimu!"
Pria itu beranjak dari atas ranjang dan berdiri merapikan kemejanya. Laki-laki itu melirik ke arah Giselle yang duduk menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Tangisan dramatismu membuat seleraku hilang!" sinis Gerald dengan ucapan dinginnya.
Giselle tidak menjawab, ia mencengkeram selimut dan memeluk tubuhnya erat-erat, menangis menundukkan kepalanya, menahan rasa sedih dan malu yang bercampur menjadi satu.
Gerald kembali mendekatinya sambil membawa sebuah selembar kertas dan menyerahkan pada Giselle.
Giselle mendongak menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca.
Jika bukan karena nyawa anaknya, Giselle tak akan melakukan hal serendah ini. Apalagi, di hadapan seorang Gerald Gilbert.
"Ambil!" seru Gerald.
Dengan tangan gemetar, Giselle meraih cek yang Gerald berikan sebelum tiba-tiba saja Gerald menarik tengkuknya dan memangkas jarak di antara mereka.
“Malam ini memang gagal, Giselle. Tapi, jangan harap kau bisa lepas dariku!”
Bibir Giselle terbuka, tapi tidak ada kata yang sanggup ia keluarkan.
“Satu malam saja tidak sebanding dengan uang sudah kuberikan padamu," desis pria itu.
Rahang kecil Giselle mengatup rapat. Wanita itu tertunduk meremas pelan cek yang Gerald berikan.
Gerald lantas menjauh, meraih tuxedo hitamnya yang berada di ujung ranjang.
“Mulai besok, kau akan menjadi asistenku di kantor.”
Giselle tersentak, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran pria itu. Namun, ia tidak bisa membantah.
“Kau harus melakukan apapun yang aku perintahkan. Kalau tidak, kau harus mengganti uangku dua kali lipat!" sinis Gerald melirik Giselle yang masih terduduk di atas ranjang sambil mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya.
Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk pelan. "Sa-saya mengerti, Pak Gerald."
Tanpa berkata-kata lagi, Gerald pergi meninggalkan Giselle seorang diri di sana.
Giselle diam mematung menatap cek yang Gerald berikan padanya. Lima ratus juta tertulis jelas di atas kertas itu.
Namun, bukan hanya itu yang membuat hatinya mencelos.
"Dia telah membuatku terperangkap bersamanya," lirih Giselle. "Karena uang ini..."
Dadanya terasa sesak. Tapi Giselle segera menyeka air matanya cepat.
"Setidaknya aku bisa melihat anakku sembuh," ucapnya pedih.
Meski ia harus menjadi boneka ranjang mantan suaminya sendiri.
Elodie merasa pegal pada pundaknya, gadis itu beringsut untuk meringkuk. Namun ia merasakan napas yang hangat menyentuh kulit lehernya. Sontak, Elodie langsung terbangun cepat dan membuka kedua matanya lebar-lebar. Gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Kai yang tertidur dengan posisi duduk di sampingnya. Elodie kaget bukan main. 'Astaga! Kenapa Kak Kai ada di belakangku? Apa yang terjadi? Apakah aku ... mengigau?' Elodie terdiam dan ia memperhatikan satu lengan Kai yang menggenggam tangan Elodie dan memeluknya. Elodie terdiam. Gadis itu menatap ke arah jendela apartemen. Dari balik gorden putih itu, terlihat jelas bila hari sudah pagi. Elodie kembali menoleh ke belakang pada Kai yang masih tertidur. "Kak..." Ragu-ragu ia membangunkan Kai. "Kakak tidak ke rumah sakit?" tanyanya. Kai membuka kedua matanya. Ia mengusap wajahnya pelan dan menatap Elodie yang duduk menatapnya dengan wajah pias. Senyuman tipis terukir di bibir Kai. Laki-laki itu menarik lengan Elodie h
Setelah makan malam bersama, Kai mengajak Elodie kembali pulang bersamanya. Gadis itu terlihat mengantuk, hingga Kai memintanya untuk segera beristirahat. Elodie baru saja mengganti pakaiannya dengan piyama hangat berwarna putih. Gadis itu baru saja keluar dari dalam kamar ganti dan ia melihat Kai mengambil sebuah bantal dan selimut di lemari. "Kakak mau ke mana?" tanyanya dengan wajah bingung. "Aku akan tidur di kamar sebelah. Kalau kau butuh apa-apa nanti malam, panggil Kakak saja." Elodie mengangguk. Ia berjalan mendekati ranjang. Kai yang hendak menutup pintu kamar, laki-laki itu memperhatikan Elodie. "Susunya diminum dulu, ingat ... jangan meminum obat tidurnya lagi." "Iya, Kak," jawab Elodie lirih. Pintu kamar pun kembali tertutup. Elodie naik ke atas ranjang. Gadis itu meraih ponsel miliknya dan ia terdiam saat melihat banyak pesan masuk di dalam ponselnya dari grup kelas dan juga pesan-pesan dari teman-teman, sekaligus Rafael yang mengirimkan lebih dari dua puluh
"Ekhemm ... sedang memasak apa?" Elodie tersentak saat mendengar suara bariton berat di belakangnya. Tanpa sadar, gadis itu meraih pisau di hadapannya dan mencekalnya erat sambil membalikkan badannya dengan wajah tegang. Setakut itukah? Kai sontak mengangkat kedua tangannya dan ia tersenyum tipis. "Oops ... hampir saja!" ucap Kai lirih diikuti tawanya. Elodie yang kaget saat tahu itu adalah Kai. Gadis itu cepat meletakkan pisau di tangannya. Ia menelan ludah saat Kai berjalan mendekat. Ia berdiri di hadapan Elodie dan menatap makanan yang tertata di meja makan. "Apa kau punya telepati denganku? Tahu saja kalau aku sedang lapar," ujar Kai langsung meraih piring dan sendok di yang sudah Elodie siapkan. Gadis itu tersenyum tipis, perasaannya berubah menjadi senang. Ia menatap Kai yang kini duduk di hadapannya menatap masakan-masakan sederhana yang Elodie buat. Namun, entah seperti apa rasanya. "Emm ... aku tidak bisa memasak yang enak," cicit gadis itu. "Tapi, tadi aku s
Elodie membuka kedua matanya perlahan, gadis itu tersentak saat menyadari ia tidak berada di kamar miliknya. Gadis cantik itu langsung bangun dan ia memegangi keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing tiba-tiba. "Sudah bangun?" Suara bariton itu membuat Elodie menoleh. Tampak Kai baru saja masuk ke dalam kamarnya, laki-laki itu kini memakai kemeja berwarna biru langit dan celana bahan hitam. "Aku tidur berapa lama?" tanya Elodie lirih. "Sejak pukul delapan, sampai pukul satu," jawab Kai tersenyum. "Oh ... maaf," cicit Elodie sambil mengusap pipinya. "Tidak apa-apa. Kau pasti setiap malam susah tidur, kan?" Kai mendekatinya dan mengusap pucuk kepala Elodie. Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk. Elodie mencekal lengan Kai saat laki-laki itu hendak pergi. Kai menatapnya dengan hangat dan dalam. "Kakak mau ke rumah sakit?" tanyanya. "Heem. Hari ini aku shift siang sampai nanti jam delapan malam. Kenapa, hm?" Kai kini duduk di tepi ranjang di samping Elodie. Gadis itu mengg
Kai mengajak Elodie pulang ke apartemennya. Sepanjang perjalanan, gadis itu diam dan menangis tidak merespon apapun yang Kai tanyakan padanya. Sesampainya di apartemen milik Kai, Elodie duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya tangannya meremas rok sekolahnya hingga kukunya tampak memutih. Kai menghela napas dan menekuk kedua lututnya di hadapan Elodie dan mengelus lembut pipi Elodie yang basah. "Sudah, jangan menangis," ucap Kai dengan sangat lembut. Elodie menahan untuk tidak menangis, namun tidak bisa. Gadis itu menatap Kai dengan penuh kelukaan sebelum Kai mendekat dan mendekap Elodie dengan erat. Rasa sedih dan pedih yang Elodie rasakan saat ini, seolah terserap oleh Kai. Bagaimana rasa takut dan cemas yang setiap hari menghantuinya kini seperti ikut dirasakan oleh Kai. "Kenapa kau tidak mengatakan hal ini pada Mama dan Papamu, hm?" Kai bertanya dengan sangat lembut, ia menarik Elodie dari pelukannya. Jemari tangannya mengusap pipi Elodie. "Hal seperti ini, jangan d
Jam menunjukkan pukul delapan malam, Kai baru saja masuk ke dalam rumahnya. Malam ini, pemuda itu pulang ke rumah orang tuanya karena permintaan sang Mama. Kini, Kai baru saja selesai mandi dan bergabung dengan kedua orang tuanya di ruang makan."Katanya malam ini pulang pukul enam, kenapa jam delapan baru sampai di rumah, Kai?" tanya Amara menatap sang putra. "Aku dari rumah Om Gerald, Ma," jawabnya. "Aku bertemu dengan Elodie." "Hemmm ... apa kau masih ingin memperlakukan anak itu seperti dulu?" tanya Martin sambil terkekeh. "Dulu kau melarang Elodie pulang ke rumahnya, marah kalau Elodie diganggu. Kalau kau mau memperlakukannya seperti itu sekarang, setidaknya nikahi dulu dia." "Usiaku dan Elodie terpaut jauh, Pa. Aku ... takut dia tidak mau.""Terus kalau tidak mau? Apa kau tidak akan mencari pasangan?" Amara menyahuti. "Setidaknya kalau bukan Elodie, kau harus mencari pasanganmu sendiri Rald. Kalau Mama ... Mama sangat menyukai Elodie, dia cantik, baik, dan meskipun sekarang