"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."
Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter.
"Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.
Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang.
"Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.
Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"
Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.
Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.
Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Elodie—putri kecilnya yang masih berusia tiga tahun—mengidap penyakit hepatitis sejak lahir. Giselle-lah yang membesarkan anaknya seorang diri, berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan juga memperjuangkan nyawa putri kecilnya.
Ia sudah berpisah dengan suaminya tiga tahun lalu. Lebih tepatnya saat Elodie masih dalam kandungan.
Saat itu suaminya mengalami kecelakaan dan koma. Giselle dipaksa oleh mertuanya untuk bercerai dan pergi dari hidup mereka.
Giselle menghela napas berat, menatap Elodie yang terbaring pucat dan tampak kurus kering. Air mata terus menetes membasahi pipinya saat menggenggam tangan mungil putrinya.
Giselle tidak tahu harus meminjam uang ke mana lagi. Ia tidak memiliki siapapun selain ibu tiri yang sama sekali tidak peduli padanya.
"Tunggu," lirihnya, teringat sesuatu. "Apa aku meminjam uang pada kantor saja?"
Giselle menggigit bibir bawahnya. Tapi ia bahkan belum genap satu bulan bekerja di sana. Rasanya tak terlalu benar apabila ia langsung mengajukan pinjaman.
Namun, itulah satu-satunya jalan. Giselle berusaha meneguhkan hati dan mengelus lembut pipi Elodie dengan sayang.
"Tunggu Mama ya, Sayang. Mama pasti akan membawa uang untuk biaya pengobatan Elodie." Giselle mengecup kening putri kecilnya, lalu bergegas pergi.
Sambil berjalan di lorong rumah sakit, Giselle menghubungi kepala staf dan memberi tahu maksud dan tujuannya.
Tak berapa lama, ia tiba di sebuah gedung pencakar langit di tengah kota. Giselle segera menemui kepala staf yang telah menunggunya. Sebelumnya, Giselle sudah meminta izin cuti hari ini. Tetapi karena keperluan yang mendesak, ia kembali datang ke kantornya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Giselle pada atasannya.
Wanita dengan balutan blazer abu-abu itu menoleh cepat dan berjalan mendekati Giselle yang berdiri di dekat pintu.
"Giselle, aku sudah menyampaikan permintaan kepada manajemen. Kau diminta datang ke ruangan CEO di lantai lima sekarang juga."
Giselle tampak bingung. Mengapa ia diarahkan ke ruang CEO alih-alih divisi keuangan?
Namun, karena kepala staf memintanya segera pergi, Giselle pun hanya bisa patuh.
"Baik, Bu. Terima kasih banyak, saya akan segera ke sana."
Segera Giselle berjalan cepat menuju sebuah lift. Detak jantungnya berpacu, untuk pertama kalinya, seorang karyawan rendahan sepertinya akan bertemu dengan pemilik perusahaan Royal Group, perusahaan terbesar di kota Luinz.
Saat pintu lift terbuka, Giselle tiba di sebuah lorong sepi dan hanya ada beberapa ruangan di sana. Wanita itu melihat dengan jelas ruangan CEO di depan sana.
Giselle meremas jemari kedua tangannya dengan gugup. Batin Giselle berkecamuk saat tangannya mengetuk pintu.
“Masuk!” sahut suara bariton dari dalam yang semakin membuatnya gelisah.
Giselle memutar gagang pintu ruangan itu, lalu berjalan perlahan dan menatap ke arah meja kerja CEO, seorang laki-laki duduk di sana membelakangi Giselle.
"Selamat pagi, Pak. Maaf menyita waktunya sebentar," ucap Giselle menyapa dengan sopan.
Hening, tidak ada jawaban sejenak dari bossnya itu. Giselle menunggu dengan perasaan tak menentu.
"Giselle Marjorie."
Suara bariton pria yang tegas dan pelan, membuat Giselle tersentak pelan dan menegang di tempat.
Suara itu ... Giselle sangat mengenalinya!
Kursi hitam itu kini berputar. Tampak sosok laki-laki tampan dengan balutan tuxedo navy yang kini menatap lekat ke arah Giselle dengan wajah dingin dan tatapan matanya yang tajam.
Giselle ternganga melihat sosok laki-laki di depannya. Detak jantungnya berpacu hebat.
Iris biru mata indah Giselle bergetar. "G-Gerald," lirihnya hampir tak bersuara.
Dia adalah Gerald Gilbert, mantan suami yang Giselle tinggalkan tiga tahun yang lalu.
Pria itu tersenyum miring melihat reaksi Giselle. "Jadi karyawan baru yang ingin bertemu denganku dan meminjam uang itu adalah kau ... mantan istriku?"
Giselle tidak menjawab. Ia tertunduk, meremas rok selututnya dengan gelisah.
Bagaimana mungkin ia bertemu dengan Gerald di sini? Mengapa ia tidak tahu bahwa bosnya adalah mantan suaminya sendiri?!
Namun, Giselle sudah tidak bisa mundur lagi. Nyawa anaknya sedang dipertaruhkan.
Giselle menelan ludah susah payah, lalu berkata dengan suara tercekat, "Sa-saya ingin meminta bantuan Pak Gerald."
Pak Gerald ... panggilan itu membuat Gerald mengetatkan rahangnya. Rautnya tampak mengeras melihat Giselle. Wanita yang meninggalkannya saat koma, menceraikannya secara sepihak, lalu tiba-tiba muncul dengan wajah sedih dan mengemis meminta pertolongannya!
Gerald lantas mendekati Giselle yang berdiri menundukkan kepalanya.
"Bagaimana bila aku tidak berbelas kasih padamu, Giselle?" tanyanya dengan suara dingin. "Bukankah dulu kau meninggalkanku begitu saja dalam keadaan koma?"
Sontak, Giselle langsung mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegup kencang menatap wajah dingin milik Gerald.
"Ma-maafkan saya di masa itu, Pak Gerald," ujar Giselle, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. "Tapi saya benar-benar membutuhkan uang sekarang."
Laki-laki itu tersenyum sinis, kilatan licik terpancar dari kedua matanya. Seolah melihat wanita yang pernah menyakitinya kini memohon-mohon padanya adalah sesuatu yang menyenangkan.
"Hanya lima ratus juta?" ucap pria itu dengan nada cemooh.
Giselle mengangguk pelan. "Saya akan segera membayarnya kembali, Pak. Saya tidak keberatan jika gaji saya dipotong setiap bulannya. Saya akan melakukan apapun jika Pak Gerald bersedia membantu saya."
Gerald tertawa remeh mendengarnya, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya, sambil menatap Giselle dengan penuh perhitungan.
"Kau akan melakukan apapun?" tanya laki-laki itu dengan seringai licik.
Giselle menganggukkan kepala meskipun tubuhnya kini sudah gemetar.
"Ya, saya akan melakukan apapun yang Anda inginkan," jawab Giselle, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Ekspresi Gerald tidak berubah. Air mata wanita itu hanya membuatnya semakin muak!
"Bekerja di sini selamanya pun belum tentu bisa melunasi uang itu, kau perlu cara lain untuk melunasi uang itu padaku," katanya.
Kedua mata indah milik Giselle mengerjap pelan. "La-lalu dengan cara apa saya harus melunasinya?"
Seringai tipis di sudut bibir Gerald membuat Giselle gentar.
"Tidur denganku."
Giselle yang baru saja mengurusi administrasi pengobatan Elodie, wanita itu berjalan cepat-cepat ke lorong ruangan depan karena Giselle tadi meninggalkan Elodie yang tengah menangis hendak diobati. "Ya Tuhan, pasti anakku masih menangis," gumam Giselle dengan sangat gelisah. Langkah kakinya sengaja ia percepat. Saat Giselle mendekati ruangan Elodie dirawat, Giselle tidak mendengarkan jeritan tangisan Elodie lagi. Begitu Giselle hendak masuk, langkahnya terhenti seketika. Giselle berdiri di dekat pintu dengan wajah menegang dan kedua matanya melebar sempurna melihat dengan siapa Elodie di dalam sana. Tanpa sadar Giselle meremas surat bukti pembayaran rumah sakit yang kini ia genggam. "Ge-Gerald..." Bibir Giselle bergetar menyebut nama laki-laki itu. Seperti mimpi bagi Giselle, ia melihat Gerald tengah memeluk Elodie dan menenangkan putrinya yang ketakutan. Dada Giselle bergemuruh melihat Elodie dipeluk erat oleh Papa kandungnya sendiri. 'Bagaimana bisa Gerald ada di sin
Seperti hari-hari kemarin, Giselle selalu bersiap lebih awal untuk pergi bekerja. Karena ia harus menitipkan anaknya lebih dulu, belum lagi Elodie yang selalu ada-ada saja yang dia minta. Pagi ini Giselle pergi sedikit kesiangan, ia memutuskan untuk menggendong Elodie meskipun si kecil marah padanya karena ingin pergi naik kereta dorongnya. "Mama sudah hampir kesiangan, Sayang. Elodie kan tidak berjalan, Mama gendong," ujar Giselle kini menggendong si kecil. "Kalau tidak naik kereta dorong, Elodie mau berjalan saja, Ma," pinta anak itu cemberut kesal. "No ... tidak boleh! Jalannya sangat ramai pagi ini, berbahaya." Giselle merangkul Elodie sambil membawa tas berisi bekal-bekal untuk Elodie. Mereka berjalan di tepian jalan raya menuju ke tempat Madam Willow. Jalan raya kota Luinz yang ramai pagi ini membuat Giselle lebih waspada. Mereka berdua berhenti di penyebrangan dan menunggu lampu rambu-rambu lalu lintas. "Ayo, Ma, itu teman-teman Elodie sudah datang, asikk .... Wahh
Dean kembali membawa Elodie pada Giselle ke taman. Giselle histeris begitu melihat anaknya ditemukan oleh Dean. Pelukan Giselle sangat erat pada putri kecilnya. Giselle tidak mampu menahan air matanya lagi saat ini. Ia menyembunyikan wajah kecil Elodie dalam ceruk lehernya. "Mama..." Elodie merengkuh leher Giselle. "Elodie tadi hilang, Ma. Elodie ikut teman-teman." Giselle mengusap air matanya dan kembali menatap si kecil. "Maafkan Mama sudah meninggalkan Elodie sendirian tadi. Mama takut, Elodie ... Mama sangat takut!" isaknya. Dean yang berada di samping mereka, laki-laki yang mengusap punggung Giselle dan mencoba untuk menenangkannya. "Sudah, Giselle. Tenanglah, Elodie sudah kita temukan sekarang," bisik Dean dengan lembut. "Di mana kau menemukan Elodie, Dean?" tanya Giselle menatap laki-laki yang berdiri di sampingnya itu. Dean menyentuh pundak Giselle. "Elodie bersama dengan Gerald. Dia tidak sengaja melihat Elodie di tepian jalan luar sana, jadi Gerald membawanya."
Di sisi lain, saat ini Giselle benar-benar kaget mendapati anaknya tidak ada di bangku tempat ia meminta Elodie menunggunya. Giselle meremas sarung tangan kecil berwarna merah muda yang ia pegang di tangannya. "Ke mana anakku?!" pekik Giselle kebingungan. "Elodie...!" Giselle yang berteriak memanggil Elodie, membuat beberapa orang di sekitarnya pun menatapnya. "Nyonya, putrimu tadi berlari ke arah sana, dia mengejar gerombolan anak-anak yang bermain gelembung air," ujar seorang pria penjual makanan. "Apa?!" Giselle melebarkan kedua matanya tak percaya.Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Dean. "Halo Dean ... Dean tolong aku, kumohon sekarang kau di mana?" tangis Giselle meremas kuat ponselnya. "Ada apa, Giselle? Aku sudah ada di sekitar taman," jawab Dean di balik panggilan itu. "Aku melihatmu, aku segera ke sana." Giselle membalikkan badannya dan tampak Dean yang berjalan mendekatinya. Tak kuasa Giselle menahan air matanya saat ini. "Ada apa? Kenapa kau menangis? D
Malam ini Giselle dibuat pusing oleh Elodie. Putri kecilnya itu merengek ingin pergi jalan-jalan malam ini. Tak peduli dengan cuaca yang dingin, Elodie ingin melihat kembang api yang menyala indah di langit dari arah taman kota. "Ayo, Mama ... ayo cepat! Elodie mau lihat itu. Mama jangan lama-lama!" rengek Elodie, anak itu lompat-lompat kesenangan di depan pintu rumahnya. "Iya, Sayang. Sebentar, Mama kunci pintu rumah dulu, Nak." Giselle mengunci pintu rumahnya cepat. Elodie mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat kembang api di atas sana. Tubuh kecilnya sudah dibalut dengan jaket tebal yang hangat. Giselle mendekati putrinya dan memakaikan topi rajut berwarna putih pada Elodie. "Biar tidak kedinginan, anak Mama yang cantik," ucap Giselle. Elodie tersenyum senang, ia langsung memeluk Giselle dan merengkuh leher sang Mama. Giselle menggendong Elodie dan mereka pun berangkat saat itu juga. Meskipun malam ini Giselle merasa sangat-sangat lelah, seharian bekerja, malam hariny
Keesokan harinya. Giselle menjalani kehidupannya seperti biasa. Berangkat pagi untuk bekerja dan pulang di sore hari dengan segala rasa lelah yang ia rasakan. Seperti sore ini, Giselle baru saja melangkah keluar dari dalam kantor, ponselnya sudah berdering dan tampak jelas nama Madam Willow yang menghubunginya. Segera Giselle menjawab panggilan itu. "Halo, Madam?""Mama..." Suara Elodie jelas terdengar di balik panggilan itu. Senyuman Giselle langsung terukir manis di bibirnya. "Halo, Sayang. Kenapa, Nak?" tanya Giselle. "Mama, Elodie mau baju hangat. Elodie dingin," pinta anak itu di balik telepon. "Iya, Sayang. Mama akan belikan sebentar lagi. Ini Mama sudah berjalan pulang, Mama akan belikan nanti di toko yang ada di depan penitipan," ujar Giselle. "Elodie tunggu Mama di depan sama Madam. Mama jangan lama-lama, Elodie kangen," seru anak itu dengan suara kecilnya.Giselle terkekeh gemas. "Anak Mama pintar sekali ... kalau begitu berikan teleponnya pada Madam, ya, Mama akan sa
Giselle tampak bingung mencari Dean dan Elodie yang tidak ada di dalam rumah makan tadi. Meja yang mereka tempati tadinya pun kosong. Hingga Giselle meninggalkan tempat itu dan kembali ke mobil. Ternyata benar, mereka berdua di sana. Elodie tampak menangis dalam pelukan Dean. "Ya ampun, Sayang, kenapa menangis, Nak?" Giselle segera masuk ke dalam mobil itu. "Mama, bola Elodie dirusak Om Galak!" pekik Elodie mengeraskan tangisannya sambil mengulurkan kedua tangannya pada Giselle. "Jangan menangis, Sayang. Kita beli lagi ya, Nak. Papa belikan bola yang banyak," bujuk Dean mengelus kepala Elodie. Sedangkan Giselle tampak panik, ia mendekap Elodie dan mengusap-usap punggung kecil putrinya. "Om Galak siapa, Dean?" tanya Giselle menatap Dean. Laki-laki itu menarik napasnya panjang. "Gerald," jawabnya. Kedua mata Giselle melebar sempurna. Bibirnya terbuka dengan wajah dihiasi keterkejutan luar biasa setelah sebuah nama disebut oleh Dean. "Ge-Gerald?" lirihnya tak percaya. "Ya. Dia
Hari sudah sore, matahari memancarkan sinar jingga di ujung barat. Giselle baru saja meninggalkan kantor dan bergegas menjemput Elodie di penitipan. Putri kecilnya itu sudah menunggu, tetapi saat ini Elodie tidak sendirian di sana, melainkan ada Dean yang tengah bersamanya. Setelah Giselle menolak untuk dijemputnya, tetapi Dean justru menunggu Giselle di penitipan anak. "Papa, itu Mamanya Elodie!" pekik Elodie menunjuk ke arah Giselle di depan sana. Dean menoleh, laki-laki itu tersenyum saat melihat Giselle menyebrang jalan dan berjalan ke arah mereka. "Halo, Sayangnya Mama," sapa Giselle, ia langsung mendekati Elodie dan memeluknya. "Eeeumm ... Mama, Elodie kangen," rengek anak itu memeluk erat leher Giselle dan mendusal di sana. Melihat mereka berdua, Dean hanya bisa tersenyum. "Sejak tadi dia terus menanyakanmu. Hampir saja aku menjemputmu ke kantor," ujar Dean. Giselle terkekeh geli. "Aku sudah meminta pada Pak Gerald untuk pulang lebih awal, Dean. Agar aku bisa menemani E
Giselle tidak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaannya. Elodie juga sudah pulih dan sehat saat ini. Jadi, ia bisa memutuskan untuk kembali pergi bekerja. Setelah Giselle menitipkan Elodie di penitipan, wanita itu segera bergegas pergi ke kantor seperti biasanya. Meskipun kedatangan Giselle masih menjadi buah bibir para karyawan yang lain. "Wah, rupanya dia masih punya muka untuk kembali ke kantor ini!" "Rumornya dia ingin mengundurkan diri, tapi kenyataannya dia masih menjadi penjilat di sini." "Wanita tidak tahu malu, gatal sekali dia menggoda Pak Gerald dengan jabatannya hanya menjadi seorang asisten!" Suara bisikan-bisikan gerombolan karyawan perempuan di depan ruangan staf itu tidak menghentikan langkah Giselle. Ia sengaja menulikan pendengarannya dan melewati mereka begitu saja meskipun perasaannya terluka. Sampai akhirnya Giselle masuk ke dalam lift dan menuju lantai paling atas. Begitu pintu lift terbuka, Giselle melangkah menuju ruangan CEO. Giselle membuka pi