Suara bariton dingin dan tegas milik Gerald membuat Laura yang baru saja keluar dari dalam mobil, tercengang seketika. Wanita itu menoleh dengan kedua mata melebar dan tangan gemetar sambil memegang tas, juga kunci mobilnya. "Ge-Gerald, Sergio ... sedang apa kalian di sini?" tanya Laura. "Apa kalian ada perlu denganku?" "Dari mana kau?" tanya Gerald, ia dan Sergio maju perlahan-lahan menyudutkan wanita itu pada pada body mobilnya. Wajah Laura memucat, wanita itu berdehem pelan. "Aku dari ada urusan sebentar," jawabnya. "Bukankah kau bilang kau ada meeting di Luinz, lalu mengapa kau muncul dari arah Palonia!" desak Sergio dengan wajah mengeras. Laura memicingkan kedua matanya. "Kalian apa-apaan sih! Kenapa menyudutkan aku seperti in—aakhhh!" Laura memekik dengan mata melebar dan mulut terbuka lebar saat Gerald tiba-tiba mengapit leher kecil Laura dengan satu tangannya. Wajah Gerald dipenuhi aura kemarahan yang begitu dalam. Ia menatap lekat wajah Laura dengan bibirnya yang meni
Sejak kemarin, Giselle belum makan. Hanya beberapa gelas air putih yang ia minum. Itupun diam-diam penculik bernama Kal yang masih muda itu memberikannya pada Giselle. Sepertinya saat ini, pemuda pemilik mata sebiru samudra itu masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "Nyonya..." Ia berbisik pelan menepuk pipi Giselle saat Giselle tertidur di lantai. "Enggh..." Giselle membuka kedua matanya. Pemuda itu membantunya bangun. "Aku membawakan roti untukmu, dan sebotol air." Giselle menatap pemuda itu dengan lekat sebelum Giselle menggelengkan kepalanya. "Untuk apa kau melakukan ini? Apa makanan itu diberi racun oleh Laura?" tanya Giselle. "Tidak. Aku memang tidak akan melepaskanmu. Tapi aku tidak mau kau mati di sini. Aku sudah bertahun-tahun menjadi orang jahat seperti ini, tapi baru kali ini ... aku mendapatkan kasus yang alasannya sama sekali tidak jelas!" seru pemuda itu. Giselle menatapnya lekat-lekat. Sejak awal, ia tahu, di antara kelima temannya. Kal tidak seburuk yang ia pikir
Kedua mata Giselle terbeliak menatap sosok Laura yang berdiri di hadapannya. Tetapi, Giselle tidak menunjukkan rasa takut ataupun peduli. Karena sejak awal ia sudah yakin kalau Laura adalah orang di balik semua ini. "Apa yang kau inginkan dariku, Laura?" tanya Giselle, ia membuang muka. "Apa kau belum puas membuat hidupku menderita?" "Tentu saja belum. Aku justru ingin menghabisimu!" seru Laura. Giselle menatapnya dengan tajam. "Karena Gerald?" tanyanya. Laura tidak menjawabnya. Hal itu membuat Giselle tertawa pelan dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Laura, siapa yang tidak tahu dirimu. Kau terlahir dari keluarga yang kaya raya, kau unggul dalam segala hal. Aku tidak menyangka kalau kau menganggap aku dari keluarga miskin ini sebagai saingan terberatmu! Apa lagi soalan laki-laki, Gerald, suamiku, laki-laki yang sudah memiliki istri!" tegas Giselle, wajah cantiknya berubah marah. "Sejak awal kau sudah menginginkan Gerald. Apa kau sangat-sangat tidak laku sampai kau melakukan ha
Mobil hitam milik Gerald telah sampai di perbatasan kota Palonia. Titik terakhir mobil yang ia ikuti berhenti, tepat di sebuah tempat pengisian bahan bakar. Tetapi saat Gerald dan yang lainnya sampai, di tempat itu sangat sepi. Hanya ada satu mobil hitam di depan. "Jangan-jangan, mobil itu, Tuan," ujar Sergio. Gerald segera turun dari dalam mobil. Ia dan Sergio mendekati mobil di depan sana, mobil itu kosong dan tidak ada penumpangnya. "Dari plat nomor mobilnya benar, Tuan. Ini mobil yang digunakan oleh orang yang membawa Nyonya," ujar Sergio. "Sepertinya mereka menukar mobil di sini, dan jejaknya benar-benar menghilang," jawab Gerald. "Polisi sedang mencari di kota Palonia. Karena ini sudah masuk ke kawasan Palonia." Sergio menatap mobil polisi yang melaju masuk ke dalam kawasan kota Palonia. Gerald mengusap wajahnya, ia terduduk di sana, di gelapnya malam dan menatap ke arah langit yang gelap. "Giselle ... kau ada di mana? Ke mana para bedebah itu membawamu, Giselle?
"Loh, Pa ... kenapa Papa membawa Elodie ke sini? Apa Giselle nanti tidak mencarinya?" Suara Amara menyambut Martin yang baru saja sampai di rumah. Elodie tampak menangis merengek dalam pelukannya sebelum Amara merebut anak itu dari gendongan suaminya. "Ada masalah besar, Ma. Giselle dibawa oleh seseorang pagi tadi, Gerald masih terus mencarinya ke mana-mana, kabarnya memang sudah beberapa bulan Giselle dan Gerald diteror, dan Giselle diancam untuk dibunuh," jelas Martin sambil menatap Elodie yang menangis. "Jadi, di ruang Gerald tidak ada siapapun. Makanya Papa meminta pada Stefan untuk Papa bawa Elodie saja, kasihan..." "Ya ampun..." Amara mengusap dada dan menatap anak perempuan mungil yang menangis dalam pelukannya tersebut. "Sudah, Sayang ... cup, cup, jangan menangis. Mama Amara buatkan susu ya? Atau makan sama sup? Ayam goreng?" Elodie meletakkan kepalanya di pundak wanita itu. "Elodie mau minum susu." "Baiklah kalau begitu. Ayo ikut Mama ke belakang." Mereka berjalan ke b
Sebuah ruangan yang hangat dan pengap, Giselle merasakan dinginnya lantai dan debu-debu yang melekat di wajah dan tubuhnya. Saat kedua matanya terbuka, Giselle sadar kalau tangan dan kakinya masih terikat, bahkan bibirnya terbungkam dan tidak bisa berbicara. Pandangan matanya mengedar di dalam ruangan gelap itu. Dada Giselle bergemuruh hebat. 'Ini di mana? Aku ada di mana ini, Ya Tuhan?' Giselle panik, ia mencoba untuk duduk. Di dalam ruangan persegi yang kotor bersama tumpukan jemari di dekat pintu. Giselle mendengar suara deburan ombak di luar. Ia mengintip dari celah dinding kayu yang sedikit sudah rapuh. Ia melihat pemandangan laut, tempat yang sunyi, sepi dan entah di mana ia berada saat ini. 'Tempat apa ini, Ya Tuhan? Tolong ... tolong bantu aku pergi dari sini, Tuhan?' Giselle menangis ketakutan. Wanita itu menarik-narik tali yang mengikat tangannya dengan air mata yang membasahi pipinya karena ia sangat ketakutan. Di sana Giselle berusaha keras melepas tali di tanganny