MasukMalam semuanya! Terima kasih untuk teman-teman yang sudah mendukung cerita ini, ya! Terharunya ... ternyata masih banyak yang suka cerita yang chinta buat ini.. hehehehe... temen-temen, bantuin kasih komentar di halaman sampul bukunya dong di bagian depan... wkwkwkwk. Makasih yaaaaa.... (๑•́ ₃ •̀๑)
Aroma parfum itu yang membangunkannya.Aroma yang kini perlahan ia hafal, bersih, hangat, khas Kevin.Vanya mengerjapkan mata, lalu langsung duduk tegak.Kevin sudah berpakaian rapi. Kemeja putih dengan lengan tergulung, celana gelap yang jatuh sempurna, jam tangan terpasang di pergelangan tangannya. Rambutnya sedikit basah, seolah baru selesai mandi.“A-aku kesiangan lagi, ya?” Vanya berseru panik.Ia meraih ponselnya dan hampir menjatuhkannya ketika melihat jam. Hampir pukul sebelas siang.Kevin menoleh, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Sepertinya kau memang selalu menikmati waktu tidurmu saat bersamaku.”Wajah Vanya langsung memerah.“Itu bukan karena—” Kalimatnya terputus saat ia baru menyadari satu hal krusial. Tanpa sadar tubuhnya yang polos itu terekspos jelas karena selimut sudah luruh ke bagian bawah perutnya.“Astaga!!!” Jeritan kecil keluar begitu saja. Vanya langsung mengangkat selimut itu agar menutupi tubuh polos bagian atasnya.Kevin mengangkat alis melihat tingka
Vanya terbangun lebih dulu.Kesadarannya muncul perlahan, diiringi hangat yang asing namun menenangkan di sekeliling tubuhnya. Lengannya terasa berat, pinggangnya terkunci, dan ketika matanya akhirnya terbuka sepenuhnya, ia langsung menyadari alasan semua itu.Kevin.Pria itu masih tertidur, satu lengannya melingkari tubuh Vanya dengan posesif. Wajah Kevin tampak berbeda saat tidur. Tidak ada sorot dingin, tidak ada rahang mengeras, tidak ada aura CEO yang membuat orang lain gentar. Yang ada hanya ketenangan.Ini bukan pertama kalinya ia terbangun di pelukan Kevin.Namun tentu saja sangat berbeda dari pagi-pagi sebelumnya yang mereka tidak melakukan apapun pada malam sebelumnya! Perasaan yang tidak bisa dijelaskan, apalagi saat Vanya benar-benar sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan beberapa waktu lalu.Vanya mengangkat tangannya pelan, nyaris ragu, lalu menyentuh rahang Kevin dengan ujung jari. Kulit itu hangat, sedikit kasar, nyata. Sentuhan kecil itu membuat Kevin meng
Kevin melangkah mendekat. Tatapannya tajam, dalam, seperti sedang menilai apakah Vanya sanggup mendengar jawabannya atau tidak.Beberapa detik hening, hanya suara debur ombak di luar balkon yang terdengar samar.Lalu Kevin akhirnya membuka mulut. Suaranya rendah dan dingin, tetapi bukan marah pada Vanya. Lebih seperti ... seseorang yang merasa terusik.“Mereka baru saja membuat kesenanganku terganggu,” ucapnya singkat.Vanya hampir mengerutkan kening, tetapi sebelum ia sempat bertanya lagi, Kevin menariknya ke dalam pelukan dan mencium keningnya dalam seperti ingin menenangkan sekaligus menandai.“Kau istirahat saja dulu,” ucapnya pelan.Tanpa memberi kesempatan untuk membalas, Kevin berbalik dan berjalan santai menuju balkon. Siluet tubuhnya terlihat gagah saat berdiri menghadap laut. Vanya hanya bisa menatap punggung itu.Lalu, pelan-pelan kantuk menyerangnya. Perutnya terasa hangat, mungkin karena sisa malu dan degup jantung yang belum stabil. Akhirnya mata Vanya menutup, menyeretn
Ciuman itu datang begitu tiba tiba, seperti hembusan angin panas yang membakar tenda kesadaran Vanya sampai runtuh. Bibir Kevin menempel pada bibirnya dengan ketegasan yang membuat napasnya terhenti. Vanya terkejut, tubuhnya menegang, tangannya menahan dada Kevin, tetapi genggaman Kevin seolah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkannya pergi satu inci pun.Rasa berontaknya hanya bertahan beberapa detik. Hawa hangat Kevin merayap masuk, memecah lapisan demi lapisan pertahanannya. Napas Vanya menjadi berat dan terpotong potong, lututnya nyaris tidak sanggup menahan tubuhnya sendiri. Setiap kali bibir Kevin bergerak, pikirannya seperti padam dan hidup kembali dalam gelombang yang tak bisa ia kendalikan.Kevin menurunkan ciumannya ke rahang, lalu ke lehernya, meninggalkan jejak panas yang membuat tubuh Vanya seperti meleleh di bawah sentuhannya. Desah di tenggorokannya keluar tanpa sempat ia tahan. Tangannya terangkat, meraih tengkuk Kevin, menariknya lebih dekat, lebih dalam, lebih
Hani duduk di kursi empuk ruang istirahat awak kabin, namun rasa nyaman itu sama sekali tidak sampai ke tubuhnya. Ia gelisah. Kakinya bergoyang tanpa henti, jarinya memukul ujung ponsel seperti sedang memaksa layar itu mengeluarkan jawaban. Sejak turun dari pesawat tadi, pikirannya tidak pernah tenang. Wajah Vanya yang pucat tetapi tetap terlihat cantik sangat mengganggunya, juga sosok pria yang begitu dingin dan menakutkan itu, pria yang membuatnya dipermalukan di depan umum.Ia menunggu balasan pesan. Orang yang ia mintai data itu adalah kekasihnya, lebih tepatnya mereka cukup dekat. Biasanya dia sangat cepat merespons, tetapi kali ini tidak. Hani menghela napas kasar lalu membanting tubuhnya ke sandaran kursi. Sudah lebih dari satu jam sejak ia mengirim pesan, rasa penasaran dan sebel menumpuk menjadi satu. Baru saat ia hendak bangkit untuk mengambil minum, ponselnya bergetar.Satu pesan masuk.Kenapa kau tanya tentang dua penumpang ini?Hani langsung mengetik balasan, jarinya berg
Begitu mobil berhenti di area drop off resort, udara asin bercampur angin hangat khas pantai langsung menyapa mereka. Bangunan utama resort tampak seperti melayang di atas air, kaca-kacanya memantulkan cahaya keemasan matahari sore. Jalur kayu yang menghubungkan lobi dan deretan villa memanjang rapi, seakan menuntun langsung ke laut biru jernih yang terus berkilauan.Risa turun lebih dulu lalu mempersilakan Kevin dan Vanya keluar. Angin Costa Mora terasa lebih lembut dari sebelumnya, seperti belaian halus yang mengusap kulit tanpa terburu-buru.“Sebelum saya meninggalkan Tuan dan Nyonya untuk beristirahat,” ucap Risa tetap sopan, “apakah ada preferensi untuk makan malam nanti? Ingin makan di restoran utama, di area pantai, atau saya aturkan untuk dikirimkan ke kamar?”Vanya sudah hendak menjawab, tetapi Kevin lebih dulu menatap Risa. Tenang. Datar. Tegas seperti biasa.“Makan malamnya, kirimkan ke kamar,” ujarnya singkat, seolah keputusan itu sudah tidak bisa dibantah.Risa langsung m







