LOGINSebagai anak haram keluarga Dirgantara, Vanya selalu dipandang rendah dan menjadi pelampiasan amarah ibu serta kakak-kakak tirinya. Hingga suatu hari, ia dipaksa menghadiri pesta pemilihan calon istri Kevin Wicaksana—pewaris keluarga Wicaksana yang terkenal kejam dan penuh rumor gelap. Vanya yakin dirinya tak akan terpilih, namun— “Vanya Dirgantara, aku hanya ingin menikah denganmu.” Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pria paling kejam di ibu kota justru berlutut dan memohon untuk menikahinya!?
View More“Masak begini aja gak becus? Dasar gak punya otak!”
Byurr!
Semangkuk sup panas itu melayang ke arah Vanya, membuat kepala wanita itu basah dengan cairah mendidih. Perih terbakar rasanya, tapi Vanya tak bergeming. Rasa sakit seperti ini sudah terlalu sering ia rasakan untuk bisa membuatnya kaget.
“Rasa supnya asin banget, tahu nggak? Kamu sengaja ya biar aku cepet darah tinggi dan mati? Kamu mau celakain aku, ‘kan?!” teriak Vira, kakak tiri Vanya, dengan emosi menggebu.
Vanya segera membungkuk, meski bagian belakang tubuhnya masih terasa panas dan basah.
“Maaf,” bisiknya lirih. “Aku akan buat yang baru.”
“Tidak perlu! Aku sudah tidak nafsu lagi! Lebih baik kamu pergi saja! Muak aku melihat wajahmu!”
Diperintahkan demikian, Vanya lekas membersihkan lantai dan meraih mangkuk sebelum kemudian berjalan pergi meninggalkan area ruang makan menuju dapur.
Di saat Vanya melewati sejumlah pelayan, beberapa komentar bisa didengarnya.
“Lagi-lagi anak haram itu yang berulah.”
“Heran, kenapa Tuan masih bersedia mengurusnya ya?”
“Betul, kenapa tidak dibuang saja kalau hanya tahu jadi beban?”
Mendengar itu, Vanya hanya diam, tidak berniat membalas. Hinaan-hinaan itu sudah seperti makanan sehari-hari.
Lagi pula, mereka benar. Dirinya, Vanya Dirgantara, adalah putri haram keluarga besar Dirgantara yang lahir dari hubungan terlarang antara Lesmana Dirgantara dan seorang pelayan.
Awalnya, Vanya hidup di desa bersama sang ibu yang diusir dari kediaman setelah diketahui pernah berhubungan dengan Lesmana. Namun, ibu Vanya meninggal ketika ia berusia tujuh tahun, yang berakhir membuat Vanya dibawa kembali oleh sang ayah ke mansion keluarga ini. Bukan untuk diurus, tapi untuk diperbudak dan diamankan dari mata publik agar tidak mencoreng reputasi keluarga Dirgantara.
Sebagai anak haram keluarga, kedudukan Vanya adalah yang paling rendah di kediaman, bahkan pelayan saja lebih dihormati dibandingkan dirinya. Dan itu semua berkat ibu tiri sekaligus istri sah sang ayah, Febiola, yang begitu membencinya.
Demikian, kejadian seperti tadi adalah hal biasa. Lagi pula, Vanya dianggap sebagai dalang kehancuran keharmonisan keluarga tersebut.
Dan sang ayah … Lesmana, hanya bisa diam karena rasa bersalah kepada istrinya.
Saat dirinya baru saja selesai mencuci piring, tiba-tiba seseorang memanggil, “Nona.”
Vanya menoleh, lalu tersenyum saat melihat siapa yang memanggilnya. “Elena.”
Elena adalah salah satu pelayan di kediaman yang sempat berteman baik dengan ibu Vanya saat dia masih bekerja. Walau masih menjaga jarak karena khawatir menyinggung Febiola dan ketiga putrinya, tapi Elena adalah satu-satunya yang bersikap ramah dan sopan kepada Vanya.
“Tuan Besar memanggilmu ke ruang keluarga.”
“Ayah?” Vanya bertanya lagi, tampak bingung.
Selama empat belas tahun tinggal di kediaman ini, tidak pernah sebelumnya sang ayah meminta kehadirannya seperti ini.
Apa yang terjadi?
Samar, perasaan gugup melingkupi Vanya. Mungkinkah karena masalah dengan Vira tadi?
Walau merasa tidak tenang, tapi Vanya akhirnya melangkah cepat menuju ruang keluarga.
Begitu masuk, Vanya melihat semua anggota keluarga sudah berkumpul. Febiola, sang ibu tiri, duduk dengan anggun di sofa utama. Sementara itu, di seberangnya terduduk tiga wanita cantik yang samar memiliki sedikit gambaran wajahnya. Itu adalah Vira, Lira, dan Dira, tiga kakak tiri Vanya.
Dan di kursi tunggal yang selalu menjadi simbol kekuasaan, duduklah Lesmana Dirgantara, sosok berjas mewah dengan ekspresi dingin yang mengintimidasi, ayah Vanya.
Melihat Vanya datang, Vira langsung mendengus keras. “Kenapa anak haram itu ada di sini?” sindirnya dengan nada tajam.
Lira, putri sulung Lesmana yang bermuka dua persis sang ibu, berkata dengan nada memperingati, “Vira, jangan kasar. Ayah yang sudah mengundangnya.”
Dira, putri kedua Lesmana yang paling emosian dan tidak sabaran, memutar bola mata. Dia langsung menatap Vanya. “Apa kakimu mendadak cacat jadi tidak bisa bergerak? Mau sampai kapan berdiri seperti orang bodoh di situ? Cepat masuk!” titahnya, membuat Vanya langsung berjalan cepat ke pojokan, berdiri dalam diam selagi yang lain terduduk di sofa.
“Jadi, kenapa Ayah memanggil kami? Tolong agak cepat, aku masih ada janji setelah ini,” tanya Dira, ketus.
Lesmana menyesap tehnya perlahan sebelum membuka laci meja. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah undangan berwarna hitam dengan aksen emas di tepinya. Dari tampilannya saja sudah jelas, itu undangan yang sangat eksklusif.
"Ini undangan khusus dari The K Group.” Lesmana melanjutkan, “Mereka akan mengadakan pesta eksklusif yang wajib dihadiri putri-putri tiap keluarga kalangan atas.”
Lira menautkan alis. “Mendadak? Kenapa?”
Lesmana menatap putrinya lurus “Mereka ingin mencari calon istri untuk pimpinan mereka, Kevin Wicaksana.”
"APA?!" seruan kaget serempak datang dari Febiola, Vira, Dira, dan Lira. Wajah mereka berubah seketika. Antara terkejut dan takut.
Di sisi lain, Vanya hanya terdiam, tenang. Dia paham pikiran ibu dan ketiga saudara tirinya.
Kevin Wicaksana, pria itu adalah pemimpin perusahaan multinasional terbesar di Asia, The K Group. Seorang pria yang dibicarakan orang dengan beragam sebutan mengerikan: berdarah dingin, kejam, iblis berwajah manusia. Konon, ia bisa menghabisi nyawa seseorang semudah membunuh seekor semut, terlepas orang tersebut pria maupun wanita.
Demikian, mendatangi pesta tersebut sama saja dengan membahayakan diri sendiri kalau-kalau terpilih oleh Kevin sebagai calon istri!
Namun, Vanya tidak merasa takut. Lagi pula, acara penting seperti itu, tidak mungkin dirinya dibiarkan ikut, terutama karena Lesmana selalu menyembunyikan keberadaannya dari publik.
Di saat ini, Febiola langsung berkata dengan cepat, “Sayang, kamu tidak bermaksud untuk mengirim putri kita ke acara itu, kan?”
“Semua anakku perempuan.” Suara Lesmana tenang, tapi dingin. “Bagaimana mungkin keluarga Dirgantara tidak mengirim satu pun? Apa kita mau kehilangan muka, atau bahkan menyinggung Keluarga Wicaksana?”
Mendengar hal itu, pandangan Vanya jatuh ke lantai. Memang khas seorang Lesmana Dirgantara. Demi reputasi dan koneksi, pria itu akan mengorbankan apa pun, bahkan keselamatan putrinya sendiri.
Di saat seperti ini, Vanya bersyukur dirinya adalah putri yang tidak dianggap.
“Tapi—”
Belum sempat Febiola mengutarakan bantahannya, tiba-tiba Lesmana menatap ke satu arah.
“Jadi, Vanya.” Suaranya terdengar mantap. “Kau yang akan pergi mewakili Keluarga Dirgantara.”
Seketika mata Vanya melebar.
Ayahnya itu … bilang apa?
Setelah acara selesai, tamu dari keluarga dekat dan orang-orang kepercayaan Keluarga Wicaksana sudah berangsur pulang. Di sisi lain, Keluarga Dirgantara perlahan melangkah mendekat ke arah Vanya yang kini berdiri agak jauh dari Kevin. Pria itu masih tampak berbincang ringan dengan beberapa kerabatnya. Orang pertama yang mendekatinya adalah Febiola, ibu tiri, diikuti oleh dua putrinya di belakangnya.Vanya sedikit membungkukkan tubuhnya memberikan penghormatan padanya dan juga kedua kakak tirinya yang hadir, Vira dan Dira,“Terima kasih sudah datang, Ibu, Kakak.” Vanya berkata dengan suara lembutnya.Seperti biasanya, Febiola tentu saja menunjukkan sisi malaikatnya di hadapan keluarga Kevin yang lain, dia tersenyum indah dan memberikan ucapan selamat padanya, lalu setelah itu memeluknya sambil berbisik pelan di telinga Vanya, “Dengar Vanya, kau pikir hidupmu akan aman di bawah pengaruh keluarga Wicaksana? Lihat saja nanti.”Vanya tidak lagi terkejut mendengarkan kalimat ancaman itu, ta
Setelah Kevin dan Vanya tiba di depan altar, Seorang pembawa acara dengan suara lembut memecah keheningan. “Upacara penyatuan kedua mempelai akan segera dimulai.” Lampu kristal yang baru saja menyala terang saat keduanya tiba di depan altar, sekarang kembali meredup perlahan, berganti dengan cahaya hangat lilin-lilin aromatik yang menyala di sekeliling altar kecil di tengah aula. Kemudian, musik lembut perlahan berhenti ketika seorang tetua adat Averland melangkah maju. Suaranya berat namun tenang, mengisi seluruh ruangan yang kini hening. “Dalam adat Averland, sebelum dua jiwa disatukan oleh cahaya, mereka harus terlebih dahulu menghormati keluarga sebagai asal mereka datang ke dunia dan membesarkan mereka. Karena dari sanalah segala restu bermula.” Tetua itu memberi isyarat, dan dua keluarga besar dipersilakan naik ke atas. Dari pihak Wicaksana, Johnson dan Dellia melangkah anggun mendekati altar. Sementara dari pihak Dirgantara, Lesmana dan Febiola berdiri berseberangan. Suasa
Di antara decak kagum tamu undangan, Vanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum cepat. Tatapan-tatapan itu menusuk, sebagian memuja, sebagian heran, sebagian lagi ... tidak percaya. Akan tetapi, yang membuatnya paling gugup adalah suara kecil di kepalanya yang terus bertanya, “Apakah ini sungguh aku? Apakah ini nyata?”Musik lembut mulai mengalun. Kamera berputar, para tamu berdiri. Namun di sudut ruangan, keluarga Dirgantara masih terpaku, wajah-wajah mereka campuran antara keterkejutan dan rasa tak percaya tentu saja.Vira, yang sedari tadi selalu berkata penuh ejekan dan merendahkan sekarang malah menahan napas, menggigit bibir bawahnya. “Dia … ternyata sangat tampan,” gumamnya, hampir seperti mengutuk.Sama halnya yang dilakukan Dira, gadis itu tampak tak berkedip melihat Kevin dan Vanya. “Apa itu benar-benar Kevin? Lalu di sebelahnya itu si anak haram?”“Kenapa dia … jadi sangat berbeda?” Dira mendesis.Keduanya yang berekspektasi tinggi untuk kehancuran pernikahan i
Beberapa waktu sebelumnya di Kediaman Dirgantara.“Kak Lira, kau yakin tidak ingin pergi ke acara itu?” tanya Vira memastikan sekali lagi pada saudaranya itu.Lira melirik sebentar dari ponselnya, lalu menggeleng. “Tidak. Aku ada urusan malam ini. Pastikan saja kau merekam semuanya, terutama wajah si monster itu. Setelahnya, kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?”Vira mengangguk. Ia memang terbiasa memegang kamera dan tampil di depan publik. Sebagai influencer di bidang finansial, reputasinya di dunia maya cukup tinggi. Apalagi didukung oleh latar belakang pendidikan dan keluarganya. “Ya, aku tahu. Jujur saja, aku juga penasaran sama tampangnya itu. Sejak muncul di dunia bisnis, tidak ada satu pun foto Kevin Wicaksana yang bocor ke publik. sok misterius sekali, kan?”Lira tertawa pendek, dingin. “Itu karena wajahnya pasti memalukan. Jelek, gendut, pendek, dan menyeramkan. Makanya calon istrinya kabur dan mati sebelum sempat menikah.”Vira ikut terkekeh kecil. “Benar juga, kalau tid
“Vanya.” Suara itu terdengar begitu lembut di telinganya, namun terasa jauh … seolah datang dari mimpi.“Vanya, bangunlah. Kita akan melangsungkan acara adat pernikahan malam ini.” Nada itu kembali terdengar. Terasa hangat, sabar, mengetuk perlahan gendang telinganya. Sesaat kemudian, sesuatu yang lembut menyentuh keningnya. Sentuhan itu membuat kesadarannya perlahan kembali.Mata Vanya terbuka lebar. Wajah Kevin begitu dekat, hanya berjarak sejengkal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan untuk sepersekian detik Vanya baru menyadari sepertinya sentuhan lembut dan dingin itu adalah kecupan singkat yang diberikan Kevin untuknya.“Astaga! Aku ketiduran!” serunya terbata, suara seraknya memecah keheningan.Baru saat itu ia sadar, posisinya sudah berubah. Sebelumnya Kevin bersandar di pangkuannya, tapi kini dia malah berada dalam pelukan Kevin dan lengannya sendiri justru melingkar di tubuh pria itu, seolah enggan dilepaskan.Ini … benar-benar gila! Vanya menjadi panik, segera melarikan ta
Vanya tertegun mendengar ucapan suaminya barusan.“Kenapa diam? Apa kau dengar aku bilang apa?” tanya Kevin lagi.Vanya mengangguk. “Tapi ….” “Tidak ada yang salah kalau untuk membela diri.” Kevin lalu mengelus kepala Vanya dengan lembut menciptakan rasa tenang sekaligus tegang di tubuh Vanya.“Aku … bahkan tidak bisa membantah ucapan mereka, kalau sampai itu terjadi ….” Vanya menggantung kalimatnya, dia menarik napas dalam dan pandangannya ke arah depan tampak kosong.“Kau akan mendapatkan hukuman?” tebak Kevin. Diam. Hanya saja diamnya Vanya itu adalah sebuah jawaban.“Mulai saat ini, kalau ada yang kau tidak suka katakan saja, kau perlu mengeluarkan pendapatmu sendiri, jangan hanya ikut ucapan orang lain.”“Tapi aku takut kalau nantinya akan disebut menantang dan keras kepala.”Mendengar pernyataan Vanya barusan Kevin tersenyum.“Kenapa harus takut? Tidak ada yang perlu ditakuti di dunia, kecuali Penciptamu. Bedakan menantang dan membela diri, itu dua hal yang berbeda. Aku tahu i






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments