"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Winter pada seorang ahli kesehatan dari kerajaan yang sengaja Winter panggil untuk memeriksa Ivy.
"Nyonya Ivy baik-baik saja, Tuan Winter," ucap ahli kesehatan itu.
"Lalu, kenapa dia bisa pingsan seperti itu?" tanya Winter lagi masih belum kehilangan rasa khawatirnya sedikitpun.
"Sepertinya Nyonya Ivy hanya kelelahan, saya juga tidak tahu apa penyebabnya. Sekarang kondisinya sudah baik-baik saja dan hanya perlu istirahat," ujar ahli kesehatan itu lagi.
Winter baru menghela napas lega sekarang, Winter lalu menganggukkan kepalanya dan beralih melihat ke arah Ivy yang sedang terlelap tidur.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Dia, tidak mungkin pingsan hanya karena kelelahan secara tiba-tiba," ucap Winter di dalam hati.
Setelah ahli kesehatan yang memeriksa Ivy pergi, Winter lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang Ivy. Winter terus saja memandangi Ivy dengan wajah penuh dengan tanda tanya. Lamunananya terhenti saat pintu kamar Ivy terbuka cukup keras dan Race berlari masuk. Winter berdiri dan melihat ke arah sepupunya itu.
"Winter, kenapa kau ada disini?" tanya Race bingung.
"Sejak tadi aku memang ada disini," jawab Winter enteng.
Race tidak bertanya lagi dan melihat ke arah Ivy sekarang.
"Kenapa dia?" tanyanya kemudian.
"Pingsan," singkat Winter menjawab.
"Bagaimana bisa?"
"Aku, juga tidak tahu. Dia tiba-tiba memelukku dan memintaku untuk diam sebentar lalu dia pingsan begitu saja. Sejak tadi aku juga sedang berpikir dia ini kenapa."
Mendengar penjelasan Winter, Race kembali melihat ke arah Ivy.
"Kenapa kejadian ini tidak muncul di mimpiku? Kenapa, aku tidak tahu kalau akan terjadi hal ini?" batin Race yang juga merasa aneh kenapa dia tidak mengetahui sebelumnya tentang hal buruk yang akan menimpa Ivy ini.
***
Ivy membuka matanya pelan lalu kemudian melenguh merasakan badannya yang masih sakit, Ivy juga merasa dadanya sedikit panas. Ivy memegangi dadanya dan menarik napas dalam.
"Kenapa efeknya belum hilang?" lirih Ivy.
"Efek apa?" tanya Race tiba-tiba hingga membuat Ivy terkejut.
Ivy melihat ke arah Race dan sedikit memundurkan badannya.
"Kenapa kau ada disini?" tanya Ivy seperti tidak percaya melihat Race ada di kamarnya.
Diam-diam Race menghela napas lega karena mendengar suara Ivy yang terdengar sudah sehat.
"Menurutmu untuk apa aku disini?" ujar Race dengan ketus.
"Tidak tahu," jawab Ivy polos, cepat dan singkat.
Tanpa sadar Race lalu mendengus kesal mendengar jawaban Ivy. Sedangkan Ivy sendiri lalu mengambil posisi duduk dan bersandar. Dia melihat ke arah Race dan menautkan alisnya heran.
"Bukankah kau bilang hanya pulang ketika ada hal mendesak. Memang apa yang mendesak kali ini? Pagi tadi kau sudah ke sini dan hanya makan sambil membahas batu ruby dengan Winter. Bukankah itu bisa kau bahas di base camp atau tidak di rumah Winter," ujar Ivy yang mulai mengeluarkan isi di kepalanya.
Race tidak segera menjawab pertanyaan Ivy, karena Race sendiri bingung kenapa mendengar Ivy pingsan dia langsung berlari pulang dari base camp. Sedangkan tujuannya pagi ini ada di paviliun bersama Ivy dan Winter, karena untuk melindungi Winter yang di mimpi Race akan terkena sihir saat melihat para kesatria berlatih di base camp.
"Race!" panggil Ivy lagi sedikit meninggikan suaranya.
Race terjingkat dan melihat ke arah Ivy sekarang. Race berdehem menghilangkan perasaannya yang tiba-tiba saja grogi.
"Ini mendesak, istriku pingsan dan semua orang di base camp tahu. Tidak mungkin aku hanya diam di sana, akan ada gosip jelek yang menyebar nanti tentang ku," ujar Race mencari-cari alasan.
Ivy terdiam dan melihat ke arah Race sekarang. Dia menatap laki-laki yang belum pernah dia kenal sebelumnya ini, sepertinya Ivy sudah terlalu tamak karena berpikir kalau Race mengkhawatirkan dirinya.
"Jangan gunakan perasaanmu, Ivy! Kau, tidak lebih seorang tawanan di rumah megah ini," ujar Ivy di dalam hati menyadarkan dirinya sendiri.
"Begitu rupanya, aku sudah bangun sekarang. Sebaiknya kau kembali ke base camp. Sudah tidak akan ada yang menggosipkanmu karena sepertinya kau berlari pergi ke paviliun ini tadi," ujar Ivy yang kemudian memalingkan wajahnya tidak mau melihat Race lagi.
Race sedikit terkejut dengan respon Ivy sekarang, dia lalu menarik napas dalam dan kemudian berdiri.
"Ok, aku kembali ke base camp dulu," ujarnya kemudian.
Ivy tidak menjawab lagi dan hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan. Race sendiri seperti menunggu respon Ivy, namun ternyata tidak ada respon yang seperti Race harapkan. Race lalu pergi meninggalkan kamar Ivy tanpa berkata-kata lagi. Sepeninggal Race, Ivy melihat ke arah pintu dan kemudian menghela napas dalam. Ivy mengusap wajahnya pelan.
"Kenapa aku kecewa mendengar alasan Race kesini? Bukankah sejak awal aku ini tidak dia harapkan?" lirih Ivy bermonolog.
***
Setelah istirahat beberapa hari, hari ini Ivy sudah kembali sehat dan sedang berendam air hangat. Ivy mulai terbiasa tidak diurus oleh pelayan-pelayannya lagi. Ketiga pelayan perempuan Ivy hanya menyiapkan makan pagi, siang dan malam saja. Bahkan Ivy harus menyiapkan baju dan keperluannya sendiri sejak hari dia pingsan karena menolong Winter itu. Gareta yang biasanya begitu ramah dan dengan riang mengurus Ivy, bahkan irit bicara ketika bersama Ivy. Gareta seperti menarik jarak dengan Ivy. Lagi pula sejak Ivy kecil apapun memang Ivy lakukan sendiri, jadi Ivy tidak terlalu masalah. Hanya saja Ivy semakin kesepian di rumah mewah milik Race ini.
Setelah berendam air hangat, Ivy bangun dan mengambil handuknya. Tepat saat Ivy menutup badannya dengan handuk, pintu kamar mandi terbuka lebar dan membuat Ivy terkejut bukan main. Ivy menatap nanar ke arah Race yang terlihat kikuk sekarang.
"Ra,,,Race, apa yang kau lakukan? Kenapa masuk ke kamar mandi secara tiba-tiba?" tanya Ivy yang begitu terkejut, lebih tepatnya Ivy takut ada yang melihat bekas luka di badannya itu.
Race memalingkan wajahnya dan menutup bibirnya sendiri. Race berdehem menghalau perasaannya yang tidak karuan.
"Maaf, aku pikir kau dimana."
Ivy mengerut heran saat mendengar nada khawatir dari ucapan Race. Ivy lalu merapatkan handuknya dan kembali menggunakan sihir untuk menutupi bekas lukanya di bagian tubuh lain. Ivy mendekat pada Race dan membuat laki-laki yang berstatus menjadi suaminya itu mundur selangkah.
"Kenapa mencariku?" tanya Ivy.
"Ehem,,,ganti bajumu dulu! Setelah itu kita bicara," ucap Race yang kemudian memilih pergi meninggalkan Ivy di kamar mandi sendiri.
Ivy tertegun dengan tingkah laku Race, gadis itu lalu mengedikkan bahunya tidak peduli. Ivy lalu memilih mengganti bajunya terlebih dahulu.
Ivy duduk berhadapan dengan Race sekarang, ini kali pertama Ivy duduk saling berhadapan dengan sang suami setelah sekian bulan dia menjadi Nyonya Ivy Agnito. Ivy melihat Race sekilas lalu kemudian berdehem pelan.
"Kenapa ingin mengajakku bicara berdua?" tanya Ivy tanpa melihat ke arah Race.
Race sendiri melihat ke arah Ivy dan kemudian menarik napas dalam. Race mengambil sesuatu dari dalam sakunya kemudian menyerahkannya pada Ivy.
"Apa ini?" tanya Race to the point.
Ivy melihat ke arah buku kecil yang Race tunjukkan, mata Ivy terbelalak lebar. Ivy lalu melihat ke arah Race lagi.
"Dari mana kau mendapatkan buku ini?" tanya Ivy lalu mengambil buku kecil itu cepat.
"Jawab pertanyaanku! Apa itu? Kenapa isinya semua mantra sihir dan juga mantra untuk meramal?" tanya Race penuh dengan intimidasi.
Ivy tidak bisa menjawab, dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau dirinya ini adalah keturunan penyihir dan juga belajar sihir dan ramalan. Ivy menelan ludahnya sendiri kesusahan, Ivy lalu menatap Race dengan wajah ketakutan.
"Jadi benar, kau keturunan terakhir penyihir dan peramal di utara?" tanya Race lagi.
Ivy semakin melebarkan matanya tidak percaya, bagaimana bisa Race tahu tentang itu?
"Race, bagaimana kau bisa tahu?" tanya Ivy dengan suara bergetar.
"Jadi benar tebakanku? Ternyata kau benar-benar penyihir," ucap Race sembari menatap tajam Ivy.
***
Di wilayah selatan Ivy sedang merapikan semua baju-bajunya. Tidak lama pintu kamarnya diketuk dari luar."Masuk!" titah Ivy singkat.Pintu kamarnya lalu terbuka dan Tesla masuk dengan membawa nampan makanan."Iv, ayo kita sarapan dulu. Perjalanan kita akan panjang dan lama," ujar Tesla yang kemudian meletakkan nampan berisi makanan itu di meja yang ada di kamar Ivy."Aku, belum lapar, Tesla," ujar Ivy yang kemudian menghentikan Ivy untuk mengemas bajunya."Meskipun belum lapar, tetaplah makan, Iv! Kau, butuh tenaga untuk tetap kuat. Energi mana dan harasmu baru saja kembali seimbang, kau bisa sakit lagi kalau mereka tidak seimbang lagi," tukas Tesla memaksa Ivy.Ivy berjalan mendekat pada Tesla lalu duduk di samping Tesla yang sedang sibuk mengambil makanan."Sebenarnya kita akan pergi kemana, Tesla?" tanya Ivy."Ke suatu daerah yang membutuhkan sihir penyembuhan, ini juga bisa jadi caramu melatih sihirmu yang sudah kembali, Iv," ucap Tesla."Kau benar, tapi apa aku sudah bisa?" tanya
Ivy terus saja diam dan melihat keluar jendela kamarnya. Sejak pulang dari istana tadi, Ivy hanya berdiam diri di kamarnya. Race sendiri tidak ikut pulang dan sedang ada di paviliun kedua orang tuanya sekarang. Ivy mengusap wajahnya pelan lalu menarik napas dalam."Jadi seperti ini cara Race mencegah semua yang sudah kami lewati kembali terjadi nanti. Apakah aku harus bersyukur karena pada akhirnya aku justru bisa meninggalkan Race tanpa membuatnya terluka, karena dia sendiri yang melepasku?" gumam Ivy bermonolog.Ivy tersenyum miris memikirkan nasibnya sendiri. Sejurus kemudian senyum Ivy menghilang begitu saja."Apa dengan begini aku justru aku akan kembali dipulangkan ke barat? Apakah aku harus kembali menjadi putri Marionet?" ucapny lagi.Ivy berhenti berbicara sendiri setelah pintu kamarnya diketuk dari luar. Ivy melihat ke arah pintu lalu menautkan alisnya heran."Siapa?" tanyanya singkat."Ini Gareta, Nyonya muda Iv. Di ruang tengah ada tamu yang menunggu anda," ujar Gareta dar
Ivy mengeliat pelan, badannya seperti remuk pagi ini. Itu membuat Ivy enggan turun dari ranjang, dia masih berselimut tebal dan melihat Race sudah tidak ada di sampingnya."Apa karena aku sekarang manusia biasa, jadi aku merasa sangat lelah setelah pertempuran semalam? Lalu, kenapa Race sepertinya tidak lelah? Atau aku yang terlalu mendramatisir?" gumam Ivy bertanya-tanya sendiri.Ivy menghela napas dalam lalu kembali menyembunyikan kepalanya di dalam selimut."Seperti ini saja lelah, lalu bagaimana bisa aku memiliki anak dengan Race?" ujarnya lagi.Ivy baru membuka selimut yang menutupi wajahnya saat merasa ada yang duduk di tepi ranjang. Ivy terkejut melihat Race yang sepertinya baru selesai mandi sudah ada di depannya."Race, sejak kapan kau disini?" tanya Ivy yang merasa malu karena apa yang dia ucapkan pasti didengar Race tadi.Race tersenyum lalu kemudian memukul kaki Ivy pelan."Apa yang membuatmu terus menggerutu seperti itu, Iv?" tanya Race yang merasa lucu mendengar ucapan I
Raja Michel sedang berkumpul dengan para petinggi kerajaan. Ada laporan tentang pergerakan pasukan wilayah utara menuju perbatasan. Mereka belum bisa tahu apa tujuan mereka kembali menuju wilayah timur. Yang jelas ini semua membuat Raja Michel kembali cemas."Jadi bagaimana, Raja Michel? Saya rasa tersebarnya berita Nyonya Ivy akan dieksekusi membuat pihak utara kembali memiliki keberanian," ucap salah satu petinggi kerajaan mengutarakan kegundahannya.Raja Michel tidak segera menanggapi dan terlihat berpikir skarang, Tuan Milano berdehem lalu mendekat pada Raja Michel."Sepertinya apa yang Winter katakan terjadi, Raja Michel," ujarnya.Raja Michel melihat ke arah Tuan Milano. Kepalanya mengangguk setuju dengan pemikiran sang kakak."Kau, benar, Kak. Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Raja Michel kemudian.Tuan Milano terdiam dan menatap sang adik dalam."Tidak ada cara lain," tuturnya."Maksudmu membebaskan Ivy? Bagaimana mungkin? Dia itu terlibat dalam banyak hal, Ka
Ivy tidak bisa menolak ajakan Race untuk tidur sekamar sekarang. Tidak biasanya suaminya yang selalu marah-marah itu mengajak tidur sekamar saat belum memiliki perasaan apapun pada Ivy dulu. Ivy terus saja gelisah dan belum bisa terlelap. Sedangkan Race sendiri sudah tidur pulas di samping Ivy. Sejurus kemudian Ivy melihat ke arah Race. Ivy mengambil posisi tidur menyamping dan terus memandangi wajah Race dengan teliti. Ivy mengulurkan tangannya dan mengusap pelan hidung Race dari atas hingga bawah."Kalau kita memang ditakdirkan untuk memiliki anak, aku yakin jika dia laki-laki maka dia akan setampan dirimu, Race," lirih Ivy setengah berbisik.Air mata Ivy lalu meleleh dengan sendirinya, Ivy menghapus air matanya dengan cepat lalu kemudian mengalihkan pandangannya dari Race. Ivy menghela napas dalam lalu memilih untuk duduk. Baru saja akan turun dari ranjang, tangan Ivy ditahan oleh tangan Race. Ivy melihat ke arah Race terkejut, sedangkan Race sendiri membuka matanya pelan."Tidur,
Race berlari memasuki kamar Ivy, dia baru saja bermimpi Ivy menjatuhkan dirinya dari jendela kamarnya. Setelah membuka pintu kamar dengan keras, Race lalu menarik Ivy yang sedang berdiri di dekat jendela."Kau, gila? Bukankah aku bilang kalau mau mati jangan di paviliun ku!" hardik Race penuh dengan amarah.Ivy sendiri melebarkan matanya terkejut mendengar ucapan Race, Ivy lalu berkedip beberapa kali. Race sendiri terdengar menghela napas gusar lalu kemudian menyeret Ivy menuju ranjang. Race mendudukkan Ivy sedikit kasar hingga membuat Ivy hampir saja jatuh ke belakang."Kau, gila?" tanya Race dengan suara keras"Aku?" tanya Ivy balik."Ya, siapa lagi? Kalau kau tidak gila, untuk apa kau berpikiran lompat dari jendela itu?" ujar Race yang terlihat begitu kesal dengan apa yang Ivy lakukan."Lompat? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku berpikir seperti itu?" batin Ivy sembari menatap Race tidak percaya."Jawab! Kenapa diam saja? Kau, tidak akan sedikitpun kekurangan disini. Aku, akan berta