Share

Pengakuan Winter

"Jangan gunakan sihirmu sembarangan! Ingat, disini berbeda dengan di utara. Orang timur menganggap seorang penyihir itu orang yang jahat dan manipulatif, mengerti!"

Race bicara dengan serius sembari menatap Ivy tajam. Ivy melihat ke arah Race sekilas lalu kemudian kembali menunduk. Kepalanya mengangguk mengiyakan dengan pelan, Race sendiri terus memperhatikan Ivy yang berdiri di hadapannya. Sejurus kemudian Race menautkan alisnya karena merasa heran, Race lalu melihat ke kanan dan kiri sepi tidak ada siapapun di depan paviliun ini. Sejak tadi juga Race hanya berdua bersama Ivy.

"Kemana para pelayan?" tanya Race pada Ivy.

Ivy terkejut karena tidak mengira kalau Race akan menanyakan hal ini. Ivy mengangkat kepalanya dan menatap Race dengan takut-takut.

"Aku, tidak tahu."

"Bagaimana bisa tidak tahu? Bukankah aku sudah bilang minimal ada 1 orang yang harus menemanimu kapanpun itu."

"Aku tahu."

"Lalu? Kemana mereka? Miranda? Selina? Gareta? Pergi kemana mereka?"

Race terus bertanya mendesak Ivy untuk mengatakan apa yang terjadi, Ivy sendiri menarik napas dalam lalu kembali melihat Race.

"Mungkin di dapur."

"Apa? Mereka sibuk bertiga dan membiarkanmu sendirian? Apa setiap harinya begini? Aku, harus menyadarkan mereka. Bisa-bisanya meninggalkan istriku sendirian seharian, memang aku membayar mereka hanya untuk memasak."

Race sudah emosi dan berjalan cepat meninggalkan Ivy, karena tidak mau masalah ini menjadi besar Ivy menahan tangan Race cepat. Race terkejut dan menepis tangan Ivy kasar.

"Kenapa menyentuhku!" hardik Race tanpa sadar.

Ivy terkejut dan memundurkan badan selangkah, tangan Ivy masih di udara. Gadis itu masih menatap nanar tangannya yang ditepis oleh Race baru saja.

"Kenapa dia sama sekali tidak mau aku sentuh? Apa, aku sangat menjijikkan baginya?" batin Ivy sembari terus menatap tangannya.

"Bukankah sudah aku bilang, jangan pernah menyentuhku sesuka hatimu. Aku, tidak suka."

Race kembali marah dan sudah akan berjalan masuk kembali ke paviliun. Ivy tidak mau Race marah pada semua pelayannya, jadi Ivy kembali memberanikan dirinya untuk menahan tangan Race lagi supaya tidak pergi.

"Maaf, aku menyentuhmu lagi. Jangan pergi mencari mereka! Aku, yang menyuruh mereka istirahat."

Akhirnya Ivy justru berbohong pada Race, padahal beberapa hari ini dia selalu diabaikan tanpa sebab oleh ketiga pelayan yang ada di paviliun itu.

Race menghentikan langkah kakinya dan melihat ke arah Ivy sekarang. Mata Race lalu tertuju pada tangannya yang dipegang oleh Ivy. Tangan gadis yang berstatus istrinya itu terasa sangat dingin. Race lalu melihat ke arah Ivy, dia bisa melihat kalau istrinya sedang ketakutan. Ivy sendiri menundukkan kepalanya dalam karena memang sedang ketakutan.

Race lalu melepaskan tangannya dari Ivy dan kemudian berbalik ke arah Ivy.

"Masuklah! Aku, akan kembali ke base camp," ujarnya kemudian.

Ivy menatap Race lalu mengangguk pelan dan kembali menundukkan kepalanya. Race sedikit terganggu dengan ekspresi wajah Ivy sekarang.

"Apa aku sudah keterlaluan?" tanya Race dalam hati.

Race lalu menarik napasnya berat dan berjalan meninggalkan Ivy begitu saja. Sepeninggal Race, Ivy mengangkat kepalanya dan terus memandangi punggung Race yang menjauh dari paviliun.

"Kenapa dia begitu tidak menyukaiku? Apa sebenarnya salahku padanya?" lirih Ivy terus saja bertanya-tanya sendiri.

***

Gareta mengetuk pintu kamar Ivy, sejak Race pulang tadi Ivy tidak keluar kamar sama sekali. Bahkan jam makan juga Ivy lewatkan, Ivy hanya duduk di depan jendela dan menatap kosong lurus ke depan. Ivy memang tidak mengharapkan pernikahan ini, sejak awal Ivy juga memang tidak menggunakan hatinya di perjodohan ini. Hanya saja diperlakukan sedemikian rupa oleh Race membuat Ivy tidak nyaman. Ivy menatap tangannya yang tadi memegang tangan Race.

"Apa aku ini memang benar-benar tidak diharapkan disini? Lalu, untuk apa aku menikah? Bukankah lebih baik aku hidup sendiri saja?" ujar Ivy bermonolog.

Ivy berhenti melamun ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.

"Masuk!" ujar Ivy.

Tidak lama pintu kamar Ivy terbuka, Gareta masuk dengan pelan lalu menundukkan badannya pelan.

"Nyonya muda, makan malam sudah siap. Apa, perlu aku bawa makanannya ke sini?" tanya Gareta kemudian.

"Ah? Sudah malam rupanya? Aku, belum lapar, Gareta. Tidak perlu menyiapkan makan malam, kalian saja makan lalu istirahat. Aku, juga ingin istirahat," ujar Ivy menanggapi.

"Tapi, Nyonya muda belum makan apapun hari ini. Bahkan minuman di meja, Nyonya muda tidak berkurang. Bisa-bisa nanti, Nyonya muda sakit," ucap Gareta lagi sedikit khawatir pada Ivy.

Ivy terdiam dan melihat ke arah Gareta, Ivy tersenyum dan berdiri dari duduknya.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Gareta. Aku, tidak apa-apa kembalilah ke kamarmu sekarang!" ucap Ivy lagi memerintah Gareta.

Akhirnya Gareta menuruti ucapan Ivy dan pergi meninggalkan kamar Ivy. Gareta lalu masuk ke dapur dan mendapati Selina dan Miranda sedang makan. Keduanya lalu melihat ke arah Gereta.

"Bagaimana? Apakah Nyonya muda mau makan?" tanya Selina juga sedikit khawatir pada Ivy.

"Tidak mau," singkat Gareta menjawab lalu duduk di kursi samping Selina.

"Sudahlah biarkan saja! Cepat makanlah, Gareta!" timpal Miranda yang terlihat santai saja walaupun Ivy tidak makan seharian.

"Aku, khawatir pada Nyonya muda," ujar Gareta lagi.

"Biarkan saja! Bukankah itu kemauannya sendiri? Dia pasti sangat sedih karena sikap suaminya, jadi dia menghukum dirinya sendiri," ujar Miranda kembali memasukkan sesuap makanan ke mulutnya.

"Memang apa yang dilakukan Tuan muda Race?" tanya Selina yang sedikit antusias mendengar ucapan Miranda.

Miranda melihat ke arah Selina lalu tersenyum smirk.

"Aku, tadi melihat Tuan muda Race menepis tangan Nyonya muda Ivy dengan kasar. Nyonya muda Ivy pasti sangat sedih sekarang, tapi aku sangat senang melihatnya sedih."

Gareta dan Selina terperangah mendengar ucapan Miranda yang terdengar begitu senang dengan apa yang terjadi pada Ivy. Sejurus kemudian Miranda kembali mengambil sesuap makanan, sebelum dia menyuapkan makanannya ke mulut. Miranda memandangi makanan itu dan tersenyum mengejek.

"Dia itu pantas mendapatkan ini semua. Dia yang bukan siapa-siapa justru bisa mendapatkan Tuan muda Race, aku juga tidak tahu bagaimana bisa keluarga Agnito melakukan perjodohan ini. Padahal Nyonya muda Ivy orang biasa yang beruntung karena diadopsi oleh bangsawan Marionet."

Setelah bicara seperti itu Miranda lalu memasukkan sesuap makanan itu ke mulutnya. Gareta dan Selina saling memandang satu sama lain, mereka berdua sama-sama bingung kenapa Miranda bisa tidak menyukai Ivy sampai seperti ini.

***

Winter turun dari kereta kuda dan masuk ke dalam base camp, Race sendiri sedang makan malam ketika Winter masuk tanpa permisi ke kamarnya.

"Di jam ini kau makan malam? Sejak tadi apa yang kau lakukan?" tanya Winter yang kemudian duduk di hadapan Race.

"Apa urusannya denganmu, Winter?" ujar Race tidak peduli.

Winter berdecak lalu kemudian mengambil gelas minum Race, dia meneguk minuman itu tanpa permisi dan kemudian melihat ke arah Race lagi.

"Race," panggilnya kemudian.

"Apa?" sahut Race singkat tanpa melihat ke arah Winter sedikitpun.

"Boleh aku bertanya?"

"Tanya saja!"

"Em,,,apa kau benar-benar tidak memiliki perasaan pada Ivy?"

Pertanyaan Winter itu sukses membuat Race berhenti mengunyah, Race lalu mendongak dan melihat ke arah Winter. Dia menatap sepupunya itu dengan kening mengkerut bingung.

"Memang kenapa?" tanyanya kemudian.

"Em,,,boleh aku jujur?" ujar Winter ragu-ragu.

Race hanya menanggapi dengan anggukan kepala pelan.

"Sepertinya aku yang tertarik pada Ivy, dia berbeda dengan banyak wanita bangsawan lain. Dia, lucu dan lugu. Aku, ingin lebih dekat dengannya."

Race tersedak makanannya karena mendengar ucapan Winter. Race lalu merebut gelas minumannya yang ada di dekat Winter. Setelah minum Race kembali melihat ke arah Winter dengan wajah mengeras karena menahan emosi.

"Dia istriku, Winter. Kau, sudah gila?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status