"Jangan gunakan sihirmu sembarangan! Ingat, disini berbeda dengan di utara. Orang timur menganggap seorang penyihir itu orang yang jahat dan manipulatif, mengerti!"
Race bicara dengan serius sembari menatap Ivy tajam. Ivy melihat ke arah Race sekilas lalu kemudian kembali menunduk. Kepalanya mengangguk mengiyakan dengan pelan, Race sendiri terus memperhatikan Ivy yang berdiri di hadapannya. Sejurus kemudian Race menautkan alisnya karena merasa heran, Race lalu melihat ke kanan dan kiri sepi tidak ada siapapun di depan paviliun ini. Sejak tadi juga Race hanya berdua bersama Ivy.
"Kemana para pelayan?" tanya Race pada Ivy.
Ivy terkejut karena tidak mengira kalau Race akan menanyakan hal ini. Ivy mengangkat kepalanya dan menatap Race dengan takut-takut.
"Aku, tidak tahu."
"Bagaimana bisa tidak tahu? Bukankah aku sudah bilang minimal ada 1 orang yang harus menemanimu kapanpun itu."
"Aku tahu."
"Lalu? Kemana mereka? Miranda? Selina? Gareta? Pergi kemana mereka?"
Race terus bertanya mendesak Ivy untuk mengatakan apa yang terjadi, Ivy sendiri menarik napas dalam lalu kembali melihat Race.
"Mungkin di dapur."
"Apa? Mereka sibuk bertiga dan membiarkanmu sendirian? Apa setiap harinya begini? Aku, harus menyadarkan mereka. Bisa-bisanya meninggalkan istriku sendirian seharian, memang aku membayar mereka hanya untuk memasak."
Race sudah emosi dan berjalan cepat meninggalkan Ivy, karena tidak mau masalah ini menjadi besar Ivy menahan tangan Race cepat. Race terkejut dan menepis tangan Ivy kasar.
"Kenapa menyentuhku!" hardik Race tanpa sadar.
Ivy terkejut dan memundurkan badan selangkah, tangan Ivy masih di udara. Gadis itu masih menatap nanar tangannya yang ditepis oleh Race baru saja.
"Kenapa dia sama sekali tidak mau aku sentuh? Apa, aku sangat menjijikkan baginya?" batin Ivy sembari terus menatap tangannya.
"Bukankah sudah aku bilang, jangan pernah menyentuhku sesuka hatimu. Aku, tidak suka."
Race kembali marah dan sudah akan berjalan masuk kembali ke paviliun. Ivy tidak mau Race marah pada semua pelayannya, jadi Ivy kembali memberanikan dirinya untuk menahan tangan Race lagi supaya tidak pergi.
"Maaf, aku menyentuhmu lagi. Jangan pergi mencari mereka! Aku, yang menyuruh mereka istirahat."
Akhirnya Ivy justru berbohong pada Race, padahal beberapa hari ini dia selalu diabaikan tanpa sebab oleh ketiga pelayan yang ada di paviliun itu.
Race menghentikan langkah kakinya dan melihat ke arah Ivy sekarang. Mata Race lalu tertuju pada tangannya yang dipegang oleh Ivy. Tangan gadis yang berstatus istrinya itu terasa sangat dingin. Race lalu melihat ke arah Ivy, dia bisa melihat kalau istrinya sedang ketakutan. Ivy sendiri menundukkan kepalanya dalam karena memang sedang ketakutan.
Race lalu melepaskan tangannya dari Ivy dan kemudian berbalik ke arah Ivy.
"Masuklah! Aku, akan kembali ke base camp," ujarnya kemudian.
Ivy menatap Race lalu mengangguk pelan dan kembali menundukkan kepalanya. Race sedikit terganggu dengan ekspresi wajah Ivy sekarang.
"Apa aku sudah keterlaluan?" tanya Race dalam hati.
Race lalu menarik napasnya berat dan berjalan meninggalkan Ivy begitu saja. Sepeninggal Race, Ivy mengangkat kepalanya dan terus memandangi punggung Race yang menjauh dari paviliun.
"Kenapa dia begitu tidak menyukaiku? Apa sebenarnya salahku padanya?" lirih Ivy terus saja bertanya-tanya sendiri.
***
Gareta mengetuk pintu kamar Ivy, sejak Race pulang tadi Ivy tidak keluar kamar sama sekali. Bahkan jam makan juga Ivy lewatkan, Ivy hanya duduk di depan jendela dan menatap kosong lurus ke depan. Ivy memang tidak mengharapkan pernikahan ini, sejak awal Ivy juga memang tidak menggunakan hatinya di perjodohan ini. Hanya saja diperlakukan sedemikian rupa oleh Race membuat Ivy tidak nyaman. Ivy menatap tangannya yang tadi memegang tangan Race.
"Apa aku ini memang benar-benar tidak diharapkan disini? Lalu, untuk apa aku menikah? Bukankah lebih baik aku hidup sendiri saja?" ujar Ivy bermonolog.
Ivy berhenti melamun ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Masuk!" ujar Ivy.
Tidak lama pintu kamar Ivy terbuka, Gareta masuk dengan pelan lalu menundukkan badannya pelan.
"Nyonya muda, makan malam sudah siap. Apa, perlu aku bawa makanannya ke sini?" tanya Gareta kemudian.
"Ah? Sudah malam rupanya? Aku, belum lapar, Gareta. Tidak perlu menyiapkan makan malam, kalian saja makan lalu istirahat. Aku, juga ingin istirahat," ujar Ivy menanggapi.
"Tapi, Nyonya muda belum makan apapun hari ini. Bahkan minuman di meja, Nyonya muda tidak berkurang. Bisa-bisa nanti, Nyonya muda sakit," ucap Gareta lagi sedikit khawatir pada Ivy.
Ivy terdiam dan melihat ke arah Gareta, Ivy tersenyum dan berdiri dari duduknya.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Gareta. Aku, tidak apa-apa kembalilah ke kamarmu sekarang!" ucap Ivy lagi memerintah Gareta.
Akhirnya Gareta menuruti ucapan Ivy dan pergi meninggalkan kamar Ivy. Gareta lalu masuk ke dapur dan mendapati Selina dan Miranda sedang makan. Keduanya lalu melihat ke arah Gereta.
"Bagaimana? Apakah Nyonya muda mau makan?" tanya Selina juga sedikit khawatir pada Ivy.
"Tidak mau," singkat Gareta menjawab lalu duduk di kursi samping Selina.
"Sudahlah biarkan saja! Cepat makanlah, Gareta!" timpal Miranda yang terlihat santai saja walaupun Ivy tidak makan seharian.
"Aku, khawatir pada Nyonya muda," ujar Gareta lagi.
"Biarkan saja! Bukankah itu kemauannya sendiri? Dia pasti sangat sedih karena sikap suaminya, jadi dia menghukum dirinya sendiri," ujar Miranda kembali memasukkan sesuap makanan ke mulutnya.
"Memang apa yang dilakukan Tuan muda Race?" tanya Selina yang sedikit antusias mendengar ucapan Miranda.
Miranda melihat ke arah Selina lalu tersenyum smirk.
"Aku, tadi melihat Tuan muda Race menepis tangan Nyonya muda Ivy dengan kasar. Nyonya muda Ivy pasti sangat sedih sekarang, tapi aku sangat senang melihatnya sedih."
Gareta dan Selina terperangah mendengar ucapan Miranda yang terdengar begitu senang dengan apa yang terjadi pada Ivy. Sejurus kemudian Miranda kembali mengambil sesuap makanan, sebelum dia menyuapkan makanannya ke mulut. Miranda memandangi makanan itu dan tersenyum mengejek.
"Dia itu pantas mendapatkan ini semua. Dia yang bukan siapa-siapa justru bisa mendapatkan Tuan muda Race, aku juga tidak tahu bagaimana bisa keluarga Agnito melakukan perjodohan ini. Padahal Nyonya muda Ivy orang biasa yang beruntung karena diadopsi oleh bangsawan Marionet."
Setelah bicara seperti itu Miranda lalu memasukkan sesuap makanan itu ke mulutnya. Gareta dan Selina saling memandang satu sama lain, mereka berdua sama-sama bingung kenapa Miranda bisa tidak menyukai Ivy sampai seperti ini.
***
Winter turun dari kereta kuda dan masuk ke dalam base camp, Race sendiri sedang makan malam ketika Winter masuk tanpa permisi ke kamarnya.
"Di jam ini kau makan malam? Sejak tadi apa yang kau lakukan?" tanya Winter yang kemudian duduk di hadapan Race.
"Apa urusannya denganmu, Winter?" ujar Race tidak peduli.
Winter berdecak lalu kemudian mengambil gelas minum Race, dia meneguk minuman itu tanpa permisi dan kemudian melihat ke arah Race lagi.
"Race," panggilnya kemudian.
"Apa?" sahut Race singkat tanpa melihat ke arah Winter sedikitpun.
"Boleh aku bertanya?"
"Tanya saja!"
"Em,,,apa kau benar-benar tidak memiliki perasaan pada Ivy?"
Pertanyaan Winter itu sukses membuat Race berhenti mengunyah, Race lalu mendongak dan melihat ke arah Winter. Dia menatap sepupunya itu dengan kening mengkerut bingung.
"Memang kenapa?" tanyanya kemudian.
"Em,,,boleh aku jujur?" ujar Winter ragu-ragu.
Race hanya menanggapi dengan anggukan kepala pelan.
"Sepertinya aku yang tertarik pada Ivy, dia berbeda dengan banyak wanita bangsawan lain. Dia, lucu dan lugu. Aku, ingin lebih dekat dengannya."
Race tersedak makanannya karena mendengar ucapan Winter. Race lalu merebut gelas minumannya yang ada di dekat Winter. Setelah minum Race kembali melihat ke arah Winter dengan wajah mengeras karena menahan emosi.
"Dia istriku, Winter. Kau, sudah gila?"
***
Ivy melenguh pelan, dia lalu menggerakkan badannya yang terasa kaku. Ternyata Ivy justru tertidur di kursinya, Ivy lalu menguap dan melihat ke arah jendela."Aku, tidur sambil duduk?" ujarnya.Ivy lalu mencoba berdiri tapi tiba-tiba dia terhuyung karena merasa badannya begitu lemah."Apa karena aku tidak makan apa-apa kemarin? Sepertinya aku tidak memiliki tenaga lagi," ucap Ivy sembari duduk di kursinya lagi.Ivy menarik napas dalam lalu kemudian kembali melihat ke luar jendela."Hari ini sepertinya sangat cerah, aku ingin jalan-jalan keluar," ujar Ivy bermonolog.Tidak lama pintu kamar Ivy terbuka pelan dan Ivy tidak menghiraukan itu. Ivy mengira itu pasti Gareta atau kalau tidak Selina, Ivy bahkan tidak mengira kalau itu Miranda. Karena sejak kedatangan Nyonya besar Maria, Miranda sama sekali tidak mengurus kebutuhannya sedikitpun."Aku, belum mau makan ataupun mandi, Gareta, Selina," ucap Ivy tanpa menoleh sedikitpun dan tetap melihat keluar jendela.Anehnya tidak ada tanggapan ap
"Sejak kapan istriku itu temanmu?" tanya Race kemudian meneguk minumannya cepat.Winter melihat Race sekilas lalu kemudian tersenyum tipis."Sejak pertama kali kami bertemu," ujar Winter menjawab."Bagaimana bisa? Kau, bahkan baru mengenalnya dan sekarang mengklaimnya teman. Apa-apaan?"Race terdengar tidak suka dengan ucapan Winter, Race lalu kembali meneguk minumannya lagi."Kenapa responmu seperti itu? Kau, cemburu? Bukankah sejak awal kau menikahi Ivy hanya karena tidak mau repot-repot menolak perjodohan itu. Sejak awal kau juga sudah tahu kalau Ivy itu hanya alat kedua orang tuamu untuk melebarkan bisnis ruby mereka," ujar Winter panjang lebar mengembalikan tujuan awal Race menikah dengan Ivy.Race menatap tajam Winter, kali ini ucapan Winter sukses membuatnya diam seribu bahasa. Sejak awal memang Race tidak memiliki tujuan mendekati Ivy, ataupun menjadi suami Ivy yang sebenarnya. Race hanya ingin terhindar dari tekanan untuk cepat menikah sekaligus membantu kedua orang tuanya da
Plakk!!!Tamparan keras mendarat ke pipi Miranda, tepat sekali saat Race datang ke taman. Race terbelalak melihat apa yang Ivy lakukan pada Miranda."Ivy!" hardik Race lalu menarik tangan Ivy kasar untuk menjauh dari Miranda.Ivy menatap ke arah Race dengan wajah terkejut, sedangkan Miranda sendiri memegangi pipinya yang terasa panas lalu kemudian mulai terisak."Maaf, jika kata-kataku salah, Nyonya muda Ivy. Aku, tidak bermaksud membuat anda marah. Tuan muda Race sudah menunggu anda untuk makan siang. Aku, tidak mengira kalau kata-kataku mengajak anda untuk pulang ke paviliun justru membuat anda marah," ucap Miranda sembari terisak.Ivy melihat ke arah Ivy dengan wajah tidak percaya sekarang."Wah,,,bagaimana bisa kau bicara seperti itu sekarang? Kau, tadi bahkan mengatakan aku ini anak pungut."Ivy yang biasanya lembut dan penurut tiba-tiba saja mendadak marah, Ivy berteriak dan melepas tangan Race yang memegang tangannya sekarang. Race melebarkan matanya tidak percaya melihat kelak
Race dan beberapa ksatria kerajaan melawan mahluk-mahluk aneh yang tiba-tiba menyerbu base camp. Winter bahkan juga ikut turut serta dalam melawan mahluk-mahluk itu. Akhirnya setelah hampir berjam-jam melakukan perlawanan, akhirnya mahluk-mahluk itu kalah dan lenyap dengan sendirinya. Situasi di base camp benar-benar tidak terkendali. Tanah di base camp banyak berlubang, beberapa ruby dan batu pengasih berserakan begitu saja. Race menghela napas berat lalu kemudian mengerang frustasi melihat kondisi base camp."Bagaimana bisa makhluk seperti itu muncul? Siapa yang mengutus mereka untuk menjarah disini?" ujar Race bertanya-tanya sendiri."Race!" panggilan Winter itu membuat Race menoleh dan melihat ke arah Winter yang sekarang sedang berlari ke arahnya."Race, kau baik-baik saja?" tanya Winter sembari memperhatikan sepupunya itu dari atas hingga bawah."Aku, baik-baik saja, Winter. Kau, sendiri?" tanya Race yang juga memperhatikan Winter dari atas hingga bawah juga."Aku, tidak apa-apa
Ivy terus mencoba melawan para mahluk aneh yang sedikit mirip babi hutan tapi juga seperti banteng. Ukurannya tidak terlalu besar hanya saja jumlahnya cukup banyak. Ivy terus menggunakan sihir yang dia miliki untuk melawan mahluk itu. Sedangkan Race dan Winter mengikuti ucapan Ivy untuk mengungsikan semua pengawal yang ada di base camp itu. Setelah merasa semua pengawal sudah aman, Winter lalu berlari masuk ke dalam basecamp lagi. Race mengikuti Winter lalu kemudian menahan tangan Winter supaya tidak masuk ke dalam."Biar aku saja, Winter."Winter melihat ke arah Race lalu kemudian menepis tangan sepupunya itu kasar."Bukan saatnya berdebat aku boleh masuk atau tidak. Ivy ada di dalam, dia perempuan dan sedang melawan mahluk-mahluk aneh yang bahkan jumlahnya saja sangat banyak."Setelah bicara seperti itu Winter lalu berlari masuk ke dalam basecamp, dia menuju lapangan latihan tanpa berlama-lama lagi berdebat dengan Race. Sedangkan Race sendiri berdecak kesal lalu kemudian ikut berlar
"Kenapa, kau keluar? Kondisimu masih seperti ini," ucap Race membantu Ivy untuk berdiri dengan tegak.Ivy melihat ke arah Race lalu kemudian memegangi tangan Race supaya dirinya tidak jatuh."Maaf, Race," lirihnya."Iya, kau memang bersalah. Untuk apa kau datang ke basecamp dan membantu kami melawan mahluk-mahluk itu? Aku dan Winter saja sudah bisa melawan mereka semua," ucap Race sembari menatap Ivy lekat."Aku, tidak mau melihatmu dan Winter terluka. Kau lupa, selain keturunan penyihir aku juga peramal terakhir di utara?" ujar Ivy dengan suara pelan.Winter semakin terkejut dengan ucapan Ivy, Winter ternganga dan menatap Ivy dengan wajah tidak percaya sekarang. Winter lalu melihat ke arah Race seakan minta penjelasan. Race sendiri menganggukkan kepalanya pelan."Kalian tidak sedang berbohong padaku, 'kan?" tanya Winter akhirnya mengeluarkan suaranya."Tidak, Winter aku memang keturunan penyihir dan peramal. Aku, diadopsi keluarga Marionet setelah orang tua dan kerabatku meninggal. M
Ivy baru saja selesai diperiksa oleh ahli kesehatan. Race terus menemani Ivy yang sedang meminum obatnya lagi."Jika kondisinya tidak kunjung membaik, sepertinya kita harus mencari alternatif lain, Tuan muda Race," ucap ahli kesehatan itu pada Race."Alternatif lain apa? Apakah kondisi Ivy separah itu?" tanya Race yang mendadak kembali khawatir pada Ivy."Tubuh Nyonya muda Ivy ternyata begitu lemah, sangat terlihat jelas dari denyut nadinya. Nyonya muda Ivy butuh istirahat total dan beliau bisa lekas sembuh jika disembuhkan dengan penyihir yang memiliki ilmu sihir penyembuhan."Ahli kesehatan itu menjelaskan dengan rinci pada Race, mendengar nama penyihir Ivy langsung bereaksi lalu memegang tangan Race cepat. Menyadari lagi-lagi menyentuh sang suami tanpa izin, Ivy dengan cepat lalu melepas tangan Race."Maaf," cicitnya pelan.Race hanya melihat sekilas pada Ivy, lalu kemudian melihat tangan Ivy yang melepas tangannya begitu saja."Aku, tidak butuh sihir penyembuhan. Aku, sudah baik-b
Gareta sedang membantu Ivy membersihkan badannya, Ivy sudah mulai membaik walaupun ahli kesehatan belum menemukan penyihir penyembuh untuk mengobati Ivy. Gareta sedang menggosok pelan punggung Ivy yang penuh dengan bekas luka. Gareta berhenti menggosok dan kemudian menyentuh pelan bekas luka yang ada beberapa terlihat timbul seperti keloid. Ivy bisa merasakan itu, Ivy justru tersenyum dan kemudian menjauhkan dirinya dari Gareta dan berbalik melihat pelayannya itu."Kenapa? Kau, tidak nyaman menggosok punggungku? Kau, pasti merasa geli dan itu menjijikkan ya? Sudah berhentilah, Gareta. Kau, bisa kembali ke dapur. Aku, akan mandi sendiri," ucap Ivy sembari tersenyum.Gareta melebarkan matanya terkejut dengan ucapan Ivy, kepala Gareta lalu menggeleng dengan cepat."Tidak begitu, Nyonya muda Iv. Aku, sama sekali tidak merasa jijik. Anda salah paham," ujar Gareta yang cenderung merasa kasihan pada Ivy bukannya yang lain.Ivy tersenyum lagi lalu merebut penggosok yang Gareta pegang."Sudahl