Share

Numpang Memandikan Jenazah
Numpang Memandikan Jenazah
Author: Maya Har

Bab 1

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2023-09-16 11:54:32

"Bu Sumi, kami numpang memandikan dan mengafani Paino di sini, ya?" Dari dapur, samar kudengar suara seseorang di ruang depan meminta izin kepada ibu. Keningku berkerut memikirkan permintaan perempuan tersebut.

"Kok mandiin sama ngafaninya di sini?" Aku bergidik ketika membayangkan jenazah orang lain yang akan diurus di rumah ini.

"Mas, siapa yang meninggal?" Kuhampiri Mas Aryo yang baru turun dari tangga.

"Lik Paino, tetangga depan yang rumahnya di ujung gang," jelas lelakiku yang saat ini mengenakan celana bahan hitam dan kaos biru muda.

"Mas ga kerja?" Aku berpikir seharusnya Mas Aryo sudah bersiap untuk berangkat kerja. Namun, ia belum mengenakan pakaian seragam kantornya.

"Mas izin ga masuk, Dik. Mau ikut bantu nguburin." Aku mengangguk mengerti, mungkin karena masih satu gang jadi laki-laki yang baru menikahiku dua bulan ini meliburkan diri. Rumah mertuaku berada di dalam gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu motor. Posisinya pun paling pojok. Meskipun paling terpencil tetapi tempat tinggal mereka yang paling besar dan memiliki halaman.

"Aryo!" Obrolan kami terhenti seiring suara ibu yang memanggil. Mas Aryo melangkah ke depan menghampiri perempuan yang sudah melahirkannya tiga puluh tahun yang lalu. Kuikuti langkahnya menuju ruang depan.

"Yo, kamu tolong angkatin kursi dan meja ke dapur, ya! Gotongan berdua Haris! Ruangannya mau dipakai mengafani Lik Paino," titah ibu mertua sambil menunjuk beberapa barang yang harus diungsikan. "Nanti kamu pinggirin aja di samping tangga, supaya ga menghalangi jalan." titahnya lagi.

"Iya, Bu," sahut Mas Aryo dan Haris bersamaan Dengan segera kedua kakak beradik itu melakukan permintaan sang ibu. Sedangkan, aku menatap pemandangan di ruang tamu yang telah dipenuhi barang-barang yang akan digunakan untuk mengurus jenazah.

Sebuah tikar yang terbuat dari anyaman bambu diletakkan di bawah jendela, kemudian di sebelahnya telah tersedia kain kafan, minyak wangi, kapas, bedak, dan kapur barus. Melihat semua peralatan itu tubuhku meremang. Terlebih seperti ada angin yang bertiup dan membuat tengkukku terasa dingin. "Mel, kamu lagi apa?" panggil ibu.

Aku terkesiap mendengar suara ibu, kemudian menoleh dan mendapati perempuan yang sudah berusia enam puluh tahun itu sedang membawa kantong plastik di tangan kiri dan kanannya. "Ibu kapan keluar beli sarapan?" Terakhir aku melihat ibu sedang sibuk mengatur, tetapi di tangannya sudah terdapat makanan.

"Ini Resti yang beli tadi," jawab ibu menyebut kakak iparku. "Ayo, Mel ke dapur!" pintanya sambil terus melangkah.

"Sekarang Mbak Resti kemana, Bu?" Aku mengambil beberapa kantong plastik yang dipegang ibu.

"Mbakmu lagi belanja bahan mentah buat makan siang yang nguburin," sahut ibu. Tangannya sibuk membuka bungkusan nasi yang aku letakkan di atas meja. "Mbakmu nanti masak di rumah depan. Kamu di sini aja, ya. Jaga rumah!" pintanya.

"Iya, Bu." Aku mengiyakan sambil menuang air ke dalam gelas.

"Mel, ini sarapan dulu sebelum banyak orang. Ibu menyodorkan satu bungkus nasi uduk kepadaku. Ia juga menyajikan untuk dirinya sendiri. Masih tersisa tiga bungkus untuk Mas Arya, Haris, dan Mbak Resti.

"Bu, Lik Paino punya anak berapa?" Aku menarik kursi dan duduk di hadapan ibu yang sudah mulai mengunyah.

"Ada tiga, yang dua udah nikah, satunya lagi masih bujang," jawabnya setelah menelan suapan pertama.

"Meninggal kenapa, Bu?" Aku mulai menyuapkan nasi ke mulut dengan pandangan ke arah ibu yang tengah menenggak air putih.

"Diabet kata anaknya. Udah komplikasi juga," jawab ibu kemudian kembali memasukan tempe goreng ke mulutnya.

"Oh, iya, Bu. Kenapa mayitnya diurus di sini?" Akhirnya keluar juga pertanyaan yang membuatku penasaran sejak tadi. Karena setahuku rumah tetangga tersebut masih cukup untuk membereskan orang yang telah meninggal tersebut.

"Biar lebih gampang, Mel. Soalnya sekalian dimandikan. Tahu sendiri, kan, gang kita ini sempit banget. Jadi kalau mandinya di sini, terus diberesin di rumahnya. Kasihan yang mengangkutnya, kejauhan." Kepalaku mengangguk pelan. Tetap merasa heran.

Aku membatin, kenapa tidak di luar gang saja dimandikannya? Bukankah rumah yang meninggal itu berada di ujung gang yang otomatis langsung keluar jalanan. Aku rasa jalanan depan yang bisa dilalui dua mobil itu tidak akan menimbulkan kemacetan jika dipakai sedikit untuk tempat memandikan jenazah? Bibirku hampir terbuka ingin bertanya langsung, tetapi kuurungkan.

Ah, sudahlah. Toh ibu mertuaku juga mengizinkan. Mengapa aku yang penghuni baru harus bimbang? Melihat gerakan tanganku yang berhenti menyuap dengan wajah bingung, ibu memberi penjelasan lagi.

"Lagipula ini udah biasa, Mel. Dari dulu kalau ada tetangga sekitar gang sini yang meninggal pasti dikafani dan dimandikan di sini." Kedua mataku membulat mendengar penuturan perempuan paruh baya di depanku. Sudah biasa? Jantungku berpacu lebih cepat. Setiap detaknya membuat pikiranku melayang-melayang, berpikir yang aneh-aneh.

Kutatap kembali wajah perempuan yang telah menerimaku menjadi bagian keluarganya. "Beneran, Bu?" Aku mencoba memastikan.

"Iya," jawabnya mantab. Tak terbayang olehku. Rumah yang aku tinggali kini sering ditumpangi untuk memandikan dan mengafani jika ada tetangga yang meninggal.

Terdengar suara orang memanggil dari depan, membuat ibu menghentikan makannya dan gegas menghampiri ke ruang depan. Aku pun mengikuti langkah ibu.

"Budeh, ini tempat pemandiannya taruh dimana?" Seorang pemuda bertanya di ambang pintu hendak memastikan letak barang yang dibawa bersama ketiga temannya. Perempuan berusia hampir enam puluh tahun itu melangkah ke luar melihat benda yang disebutkan.

"Taruh di situ aja, Man!" tunjuk ibu mertua ke arah halaman yang biasa dipakai untuk memarkirkan motor.

"Ya, Budeh." Dengan segera keempat lelaki berusia sekitar dua puluhan itu menggotong tempat pemandian ke arah yang sudah ditentukan, kemudian keluar lagi setelah menginformasikan akan mengambil tempat penampung air yang dikhususkan untuk memandikan jenazah.

"Haris, ambilin selang yang panjang buat nanti ngisi airnya," perintah ibu mertua sambil terus menyuruh ini dan itu kepada orang-orang di sekitar untuk mempersiapkan proses pemandian.

Semuanya berjalan sesuai petunjuk ibu. Karena sibuk mengarahkan, ibu sampai lupa jika belum menghabiskan makananya. Aku yang melihat dari depan pintu hendak memghampiri untuk mengingatkan. Namun, terlihat seorang pemuda datang bersama dua orang lelaki paruh baya.

"Budeh, ini orang yang mau memandikan mayitnya sudah datang." Dengan sigap ibu mertua meminta dua orang yang memakai baju koko putih untuk masuk ke ruang tamu dan langsung mempersilahkan untuk mempersiapkan proses pengafanan.

Aku beranjak ke dapur, menyiapkan minuman untuk tamu yang datang. "Silahkan diminum, Pak!" Kusodorkan dua cangkir kopi hitam dan sepiring kue di dekat mereka.

"Makasih, Neng," jawab salah seorang dari mereka dan memindahkannya ke meja setelah disesap sedikit. Terlihat mereka tengah merentangkan tali-tali pengikat, kemudian merentangkan kain kafan, membalurinya dengan wewangian, lalu meletakkan lagi kain berwarna putih itu sesuai tempat yang menurut mereka sudah pas, setelah itu melakukan hal yamg sama pada kain ketiga. Sebelumnya, mereka juga sudah menyiapkan kapas, kapur barus dan sisir.

"Mayitnya bisa dibawa kesini sekarang, ya. Biar langsung kami mandikan!"

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 18

    POV Tini***Aku terdiam sejenak ketika berada di depan kamar Bu Sumi. Udara di kamar terasa panas dengan aura yang membuat hati merasa tak nyaman. Bau amis menguar menyapa indera penciuman. Kesiur angin yang masuk dari jendela terbuka, menyapa kulit, tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Aku membulatkan mata dengan apa yamg terlihat di hadapan. Bukan? Yang kulihat bukan darah yang melekat ditubuh Pak Karso ataupun seprai di sekitarnya. Bukan pula Bu Sumi yang sedang menangis, khawatir dengan kondisi sang suami, melainkan sosok menyeramkan yang berada di samping mertua Melia itu.Ia menatap tajam kepadaku, ada aura permusuhan yang dikibarkan. Ketidaberhasilanku mencegah pembongkaran kamar khusus di lantai dua membuat sosok hitam besar dengan mata merah menyala itu terlihat sangat marah. Bahkan, ia mengusirku dan meminta untuk tidak memcampuri urusan keluarga ini.Aku bergeming, masih terpaku dengan apa yang diucapkan makhluk mengerikan tersebut. "Pergi!" pinta sosok tersebut. Ia me

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 17

    Masih dalam balutan mukena aku mengambil mushaf dan hendak membacanya. Biasanya setiap salat fardhu aku selalu mewajibkan diri untuk tilawah minimal dua lembar sehingga ketika selesai ibadah terakhir maka aku sudah menyelesaikan satu juz. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini perasaan terasa berat ketika membuka lembaran Al-quran. Entah mengantuk atau ada saja yang tiba-tiba mengalihkan pikiran sehingga terkadang sampai tidak jadi tilawah.Setelah mendapat peringatan dari Mas Aryo, saat ini dalam kondisi apa pun aku berusaha tetap melaksanakan ibadah yang sebelumnya sudah rutin kukerjakan. Kami membuat program mengaji bersama selepas salat maghrib dan isya. Namun, saat ini Mas Aryo sedang menghadiri tahlilan Pak Tarmo. yang ke tujuh hari.Tangan kananku mulai membuka lembaran dalam kitab suci dengan sampul berwarna hitam itu dan mulai melantunkan beberapa ayat dalam surah Al Maidah. Beberapa menit membaca tengkukku terasa sangat dingin kemudian disusul kepala yan

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 16

    Setelah selesai membawa Bapak ke Puskesmas Mas Aryo membersihkan tubuh lelaki yang telah membesarkannya. Bapak pun sama seperti Ibu, suka dengan kebersihan. Jadi, walaupun sakit ia selalu meminta dimandikan dua kali sehari. Tidak betah katanya jika berkeringat dan hanya dilap saja tubuhnya.Mas Aryo sangat telaten mengurus Bapak. Dengan menggunakan kursi untuk tempat duduk Bapak di kamar mandi, ia mulai memberi sabun dan sampo. Jika hari kerja Mas Aryo akan bangun lebih awal untuk memandikan Bapak sebelum berangkat. Untuk sore hari Ibu meminta bantuan suami Tini ketika datang menjemput untuk membawa ke kamar mandi dan ibu yang akan memandikan."Makan, Pak!" Aku menyodorkan sendok berisi nasi dengan lauk dan sayur yang direbus."Sudah," katanya setelah masuk tiga sendok."Lagi ya, Pak. Baru sedikit." Aku sedikit membujuk Bapak. Dalam kondisi seperti ini asupan makan Bapak harus dijaga agar tubuhnya tidak semakin lemah."Ga enak m

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 15

    Desakan dalam kandung kemih membuatku terjaga. Kedua mata yang masih terasa lengket seolah enggan terbuka membuatku mencoba untuk terlelap kembali. Namun, hentakan cairan bening sepertinya sudah tidak bisa tertahan lagi.Dengan mata terpejam aku meraba keberadaan suamiku di samping. Namun, beberapa kali berpindah tempat tak kutemukan juga sosoknya. "Mas Aryo." Tak ada sahutan."Mas Aryo." Hening."Mas Aryo." Kedua netraku langsung terbuka dan menatap kasur yang tak ada penghuninya. Kemana Mas Aryo? Dengan malas kuturunkan kaki dan duduk di bibir ranjang. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya.Karena keasikan membaca tanpa sadar sudah terlewat tengah malam dan aku baru tertidur. Saat ini kulihat waktu telah menujukkan pukul tiga pagi. Itu artinya aku baru saja tidur selama dua jam. Pantas saja rasanya berat sekali mataku untuk terbuka.Aku beranjak berdiri dan menekan saklar untuk menyalakan lampu. Kutatap lagi keliling ruangan men

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 14

    Pov Karso ---Bapak---Mendengar kegaduhan di luar membuatku terjaga dari alam mimpi. Kugerakkan kaki perlahan mencoba untuk menuruni ranjang. Akan tetapi rasa sakit itu semakin menjadi.Aneh! Padahal dokter memgatakan kakiku hanya terkilir saja. Tetapi kenapa rasanya sesakit ini dan belum mengalami perubahan yang lebih baik. Semua obat luar dan dalam yang diberikan lelaki berbaju putih itu selalu rutin aku meminumnya. Berharap agar segera bisa sembuh dan beraktivitas kembali.Kutengok benda bulat di atas pintu kamar. Pukul dua siang. Sebenarnya ada apa di luar? Kenapa terdengar seperti suara seseorang yang sedang marah. Beberapa kali aku mencoba memanggil istriku dan Melia. Namun, tak ada yang menyahut. Kemana mereka?Kuhela napas kasar. Rasanya sungguh tidak enak sekali sakit seperti ini. Seluruh kegiatan benar-benar terhambat dan membutuhkan bantuan orang lain. Mau melihat keadaan di luar pun harus menunggu penghuni yang lain datang untuk menany

  • Numpang Memandikan Jenazah   Bab 13

    POV Melia***"Ya Allah, Mbak, di dalam ada yang marah." Nani ---istri Mang Karman--- beringsut mundur setelah menengok ke dalam ruangan dimana tempat suaminya bekerja. "Masa, sih, Nan?" Aku yang hendak menuruni tangga langsung berbalik arah dan menghampiri kembali kamar pojok yang sedang dibongkar. Sejak awal aku mengamati suaminya bekerja semua terlihat baik-baik saja. Dan tidak ada siapa pun di sana selain Mang Karman."Ga ada, Nan!" Kutelusuri setiap sudut ruangan. Di sana hanya ada puing-puing bebatuan yang telah berhasil di hancurkan Mang Karman. Aku menghela napas. Mungkin saja Nani salah melihat. "Ada, Mbak. Matanya merah, kepalanya ada tanduk. Dan tadi dia ngusir saya. Dia kaya lagi marah." Aku mengernyit. Bulu kudukku jadi berdiri, sehingga aku pun memundurkan langkah menjauhi kamar yang sudah rubuh dinding penutupnya. Aku tertegun ketika menoleh ke arah perempuan yang sebaya denganku. Buliran bening banyak meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status