Share

Bab 2

"Mayitnya dibawa ke sini sekarang, ya. Biar langsung dimandikan!" perintah seorang lelaki paruh baya yang bertugas memandikan orang yang sudah meninggal. Dalam proses memandikan dan mengafani dilakukan oleh dua orang yaitu Pak Kardi dan Pak Paijo yang sudah terbiasa dalam menangani pengurusan mayit.

"Baik, Pak," jawab Ratmi, putri Lik Paino yang langsung melangkah ke luar gerbang untuk memberitahukan keluarga yang lainnya.

Aku tidak banyak bicara. Sedari tadi hanya memikirkan tentang tempat tinggalku saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang dalam bayang-bayang kematian seseorang yang mayitnya diurus di rumah ini.

Seperti saat ini, aku merasa gelisah ketika melihat beberapa orang yang sedang masuk ke dalam gerbang sambil membopong tubuh Lik Paino yang sudah terbujur kaku. Dari kaca jendela ruang tamu aku dapat melihatnya dengan jelas.

"Hati-hati!" pinta Ibu sambil menunjuk arah tempat pemandian.

"Langsung diturunin tirainya!" Masih terdengar suara Ibu yang memberi instruksi.

Ketika melihat sekilas mayitnya tadi aku memilih untuk melangkah ke dapur, tak berani menengok hingga sampai ke halaman depan. Khawatir bayang-bayang orang yang telah selesai kehidupannya itu akan membekas di ingatan.

Benda bulat yang terpajang di dinding menunjukkan sudah pukul sembilan pagi. Tak ada yang bisa aku kerjakan. Suami dan mertua masih sibuk mengarahkan di depan sedangkan Mbak Resti masih belum pulang dari pasar.

Aku meraih teko bening di atas meja makan, kemudian menuangkan air di gelas. Ketika hendak meneguk cairan bening tersebut mendadak ada angin yang menerpa tengkukku. Seperti ada yang meniup-niup. Aku tertegun sejenak kemudian meletakkan benda berwarna putih itu ke meja dan menengok ke belakang. Tak ada siapa-siapa. "Kok, merinding gini, sih!" Aku mengeluh tertahan.

Aroma yang menyengat menyapa hidungku. seketika bulu kudukku berdiri, kemudian mengamati dapur yang luasnya sama dengan kamar. Tampak sepi. Namun, dari ekor mata, aku seperti melihat ada yang melintas. Dengan segera kutengok ke kanan dan kembali tak menemukan siapa-siapa.

"Aneh. Perasaan tadi ada yang lewat." Aku menengok kembali, memastikan ada sesorang yang melewati dapur. Nihil.

"Hei!" Sebuah tepukan menganggetkanku.

"Astagfirulloh!" Aku terpekik kemudian berbalik. "Aduh, Mbak Resti bikin kaget!" Aku menghela napas dengan wajah pucat sambil mengelus dada.

Resti tersenyum simpul sambil menggeleng. "Kamu ini, lagian bengong sendirian. Nanti ada yang nemenin gimana?" Perempuan yang telah memiliki dua anak kembar itu berlalu menuju meja makan.

"Ditemenin siapa, Mbak?" keningku berkerut tak mengerti.

"Temenmu, sih! Itu di sebelah!" sahut kakak perempuan suamiku itu.

"Siapa, Mbak?" Aku penasaran. Perasaan dari tadi ga ada yang menemani.

"Itu yang ga kelihatan." Mbak Resti terkekeh melihat wajah kebingunganku. "Haha ... becanda, Mel." Perempuan yang beda tiga tahun di atas suamiku itu tersenyum tipis dan duduk di sebelahku. Aku menghela napas lega.

"Fino sama Fila dimana, Mbak?" Melihat Mbak Resti datang sendiri aku teringat kedua anaknya yang baru berusia empat tahun.

"Aku antar ke rumah neneknya tadi pagi. Khawatir mereka takut kalau melihat mayit." Sebuah bungkus nasi diambil dari tudung saji kemudian dibukanya.

"Kamu sudah sarapan?" Dengan menggunakan tangan langsung, Mbak Rasti mulai mengaduk-ngaduk nasi dengan lauknya. Sebelumnya ia sudah mencuci tangan di wastafel.

"Sudah, Mbak." Aku mengangguk.

"Aku sarapan dulu, ya. Ini baru pulang dari pasar." Satu suapan telah mendarat di mulut Mbak Resti. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Oh, ya, Mel. Jangan keseringan ngelamun! Ga baik! Nanti habis makan mendingan kamu bantu Mbak masak di rumah sebelah, ya, buat yang pulang nguburin," ucapnya lagi.

"Iya, Mbak. Aku juga bingung tadi mau ngapain. Di depan sudah banyak orang." Ingin rasanya proses ini segera berlalu. Hatiku seperti merasa tak tenang. Mungkin karena tak terbiasa. Apalagi aku semakin resah ketika perempuan berjilbab ungu di hadapanku ini menceritakan tentang kematian Lik Paino.

"Kamu takut, ya?" Melihatku yang menyendiri di dapur Mbak Resti seperti tahu ketakutanku.

Aku memang menghindar dari melihat proses pemandian dan pengafanan mayit. Apalagi yang meninggal bukan keluarga. Ada kekhawatiran yang menyelimuti hati. Sama seperti saat aku pertama kali tinggal di sini dan mengalami hal yang aneh. Aku bergeming.

"Kamu harus membiasakan diri, Mel! Apalagi kalau ketemu hal-hal aneh," ucap Mbak Resti yang telah mencapai suapan terakhirnya. Kemudian membungkus kertas yang sudah tak ada isinya.

"Maksud Mbak Resti?" Aku menuntut jawaban. Pernyataan kakak iparku ini membuat tubuhku menegang.

"Nanti kamu juga tahu sendiri," jawab Mbak Resti sambil beranjak berdiri dan berlalu ke wastafel.

Aku menatap punggung kakak ipar yang sedang mencuci tangan. Ucapan Mbak Resti membuat kedua alisku tertaut. Ada apa sebenarnya?

***

Terik matahari kian terasa. Kulirik benda bulat yang menempel di dinding dapur. Sudah pukul setengah sepuluh.

Kulangkahkan kaki menengok keadaan di halaman depan. Tampak berjejer beberapa kain sebagai penghalang, agar mayit tidak terlihat ketika sedang dimandikan.

Sepertinya saat ini Bapak yang bertugas membersihkan jenazah, sedang memberi kesempatan pada keluarga yang ingin ikut memandikan. Sekedar mengguyur air atau ikut menyabuni.

"Guyurnya dari atas sampai kaki, ya. Pelan-pelan aja!" Kudengar Bapak pengurus jenazah memberi instruksi.

"Bu, Tadi Melia dengar ada anaknya Lik Paino yang belum datang, ya?" Setelah cukup melihat situasi ketika proses pemandian, kuhampiri ibu mertua di dapur yang sedang menghabiskan sarapan yang tertunda tadi. Kugeser kursi dan duduk tepat di hadapan perempuan yang memiliki tiga anak itu.

Kutatap wajah teduh ibu mertuaku. Meskipun usianya sudah kepala enam akan tetapi kulitnya masih terlihat kencang. Sepertinya, karena beliau rajin perawatan luar dalam sejak masih muda. Minum jamu dan memakai lulur rempah.

"Anak itu emang nyusahin orangtuanya terus." Ibu menghembuskan napas berat dan terlihat menggeleng kecil.

"Padahal anak laki satu-satunya. Bukannya ngebantuin orang tua malah nyusahin." Ada nada kesal keluar dari ucapanya.

Aku belum terlalu banyak tahu tentang kondisi lingkungan di sini. Mengenal tetangga pun baru beberapa orang yang kutahu namanya. Selebihnya hanya mengetahui wajah karena ketika hendak keluar gang, jika bertemu hanya tersenyum dan menyapa sekedarnya.

"Nyusahin gimana maksudnya, Bu?" Sebenarnya aku tak ingin membicarakan ini tapi penasaran juga.

"Lah itu, suka mabok, udah gitu pengangguran, sering berantem juga. Wes, pokoknya amburadul. Sudah Bapaknya sakit, eh uang berobatnya malah dicolong buat beli minuman anggur." Ibu kembali menggeleng-geleng. Wajah ibu memerah, sepertinya menahan marah. Mungkin beliau merasa kesal, ada anak yang tega dengan orangtuanya.

Terlihat Ibu menarik napas dan menghembuskannya perlahan, setelah itu Ibu menghabiskan suapan terakhirnya. Aku mengangguk dan mencoba mengalihkan obrolan. Merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan apalagi melihat garis wajah Ibu yang berlipat jika membicarakan hal ini.

"Assalamu'alaikum." Suara Bapak mertua memberi salam. Butiran air menetes di wajah yang tampak lelah. Satu kursi ditariknya dan duduk di sebelah Ibu.

"Wa'alaikummussalam. Sudah selesai toh, Pak?" Ibu menuangkan air putih yang sudah tersedia di meja ke dalam gelas dan memberikannya kepada lelaki yang telah menemaninya hampir tiga puluh dua tahun

"Wes, Bu. Alhamdulillah akhirnya ada lahan yang kosong." Bapak mulai meneguk cairan putih itu dan menghabiskannya dalam sekejap. Sepertinya Bapak benar-benar kehausan.

Dari obrolan Ibu dan Bapak, aku mengetahui jika pihak keluarga sempat kesulitan mencari lahan kosong untuk pemakaman. Akhirnya bapak membantu dengan mencarikan di TPU lainnya. "Tapi, Bu, banyak kejanggalan tadi selama di pemakaman," ucap Bapak dengan raut wajah terlihat cemas.

Aku dan ibu saling pandang, kemudian kembali menengok ke bapak. Menunggu penjelasan selanjutnya. Keganjilan apa yang terjadi selama di pemakaman?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status