Suri tidak dapat menahan air matanya lagi. Perasaan haru dan syukur bercampur menjadi satu dalam dadanya, ketika mengetahui Romeo sudah bisa melihat.Tanpa banyak bicara, ia langsung merengkuh sang suami dalam pelukan erat, tubuhnya berguncang oleh tangis yang tak terbendung. Sambil menangis tersedu, Suri membenamkan wajahnya di bahu Romeo, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu nyata, begitu hidup. Selama ini, ia takut kehilangan Romeo, takut segalanya akan berakhir dalam perpisahan yang menyakitkan. Tak disangka, kini ia berada dalam dekapan Romeo, mendengar suara beratnya yang penuh kepastian.Romeo membalas pelukan itu, membiarkan Suri menangis di pelukannya. Ia mengusap lembut punggung sang istri, berusaha menenangkan tubuhnya yang gemetar. Setelah beberapa saat menyelami kehangatan yang indah, Romeo menyeringai kecil dan berkata dengan nada menggoda."Sayang, jangan terlalu erat. Dadaku masih nyeri, lenganku juga pegal karena terbentur tanah."Suri langsung terkejut dan mel
Dada Romeo bergemuruh hebat, tangannya mencengkeram erat jemari Suri, seakan takut kenyataan ini hanyalah mimpi yang bisa lenyap kapan saja. Napasnya tersengal, dan sebaris senyum penuh haru perlahan merekah di bibirnya. Sementara matanya mulai terasa panas, digenangi air mata kebahagiaan yang sulit dibendung. "Apa...? K-kita punya anak kembar?" tanya Romeo terbata-bata. Setiap kata yang terucap mengandung guncangan emosional yang begitu dalam.Suri mengangguk sambil tersenyum di tengah air matanya. "Ya, Romeo... kita punya dua bayi, satu laki-laki dan satu perempuan. Nama mereka Jevandro dan Jeandra.”Romeo tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menarik Suri ke dalam pelukan, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Tangisnya pecah di pundak istrinya."Jadi, dugaanku benar... Saat aku koma, kamu tengah mengandung anak kita."Suri terkejut, dahinya mengernyit penuh tanda tanya. "Dari mana kamu tahu? Apa Yonas yang memberitahumu?"Romeo menggeleng, bibirnya membentuk senyum samar. "Tid
“Pergilah ke luar negeri, Diva, setidaknya sampai situasi benar-benar aman,” ucap Randy yang ikut merasa ketakutan. Diva mengernyit, menatap Randy penuh keraguan. "Pergi? Sekarang?""Semakin cepat, semakin baik! Kalau Toni sampai membuka mulut, kamu bisa ditangkap polisi.”Diva menghela napas panjang. Pikirannya berkecamuk. Pergi ke luar negeri mungkin pilihan terbaik, tetapi itu juga berarti ia harus meninggalkan semua yang ia miliki di sini, termasuk karier dan kehidupannya yang sudah nyaman. Tenggorokannya terasa kering. Ia mengepalkan tangan, berusaha meredam kegelisahan yang meluap-luap di dadanya. Beberapa saat kemudian, Diva mengangkat wajahnya, kedua matanya menyala penuh tekad. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum menemukan Kak Romeo,” pungkas Diva. Seringai tipis muncul di sudut bibirnya. “Aku sudah bertindak sejauh ini, Randy. Aku tidak akan menyerah terlalu cepat."Tanpa menunggu tanggapan dari asistennya, Diva segera menundukkan kepala dan menekan nomor ponsel seseor
Aira melangkah keluar dari mansion dengan tergesa, sengaja menyembunyikan matanya yang sembap di balik kacamata hitam. Pikirannya penuh dengan kecemasan, tetapi ia berusaha menjaga langkahnya tetap stabil, agar para pelayan tidak menaruh curiga. Namun, saat ia hampir mencapai halaman, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat mobil ibunya, Nyonya Valerie, telah terparkir di sana. Aira pun mempercepat langkah, berharap bisa pergi sebelum sang ibu melihatnya."Aira, mau ke mana kamu?" panggil Nyonya Valerie.Aira berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum yang dipaksakan. "Aku mendapat undangan ulang tahun dari teman, Ma. Aku hampir terlambat."Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Aira masuk ke mobil dan menyalakan mesin dengan terburu-buru. Dari kaca spion, ia melihat ibunya mengernyit, tampak curiga dengan tingkahnya. Namun, ia mengabaikan hal itu, dan langsung mengemudikan mobilnya keluar dari gerbang mansion. Tak berselang lama, Aira tiba di apartemen Lili. Gadis itu sudah berdiri
Ketika sopir pribadi Romeo tiba, ia segera turun dari mobil dan membukakan pintu belakang dengan penuh hormat. Romeo menghela napas, merasakan dadanya berdebar tak karuan. Namun, saat jemari Suri menggenggam tangannya, mengalir kehangatan yang begitu menenangkan. Tanpa banyak bicara, mereka berdua masuk ke mobil. Begitu kendaraan beroda empat itu mulai melaju, Romeo merasakan kegugupan semakin menjalar. Lelaki itu mengusap tengkuknya, lalu menatap ke luar jendela, pikirannya melayang jauh.Suri yang memperhatikan bahasa tubuh Romeo, lantas menggenggam tangan sang suami yang mengepal di atas pahanya."Sayang," panggil Suri lirih. "Kenapa tegang sekali?"Terdengar helaan napas berat dari Romeo, sebelum ia menoleh ke arah Suri."Bertemu dengan kedua anak kita, rasanya seperti saat aku hendak menyatakan cinta padamu," katanya, setengah tertawa, setengah mendesah."Jadi, kamu seperti anak muda yang baru jatuh cinta?" goda Suri, matanya berbinar geli.Romeo mengangguk, lalu meremas jemari S
Setelah memastikan bahwa ketiga 'bayinya' telah tertidur pulas, Suri menghela napas lembut. Dua bayi kecilnya, Jevandro dan Jeandra, berbaring nyaman di box bayi mereka. Sementara satu bayi besar lainnya, yang tidak lain adalah sang suami, Romeo, terlelap di sampingnya. Suri tersenyum kecil, mengamati wajah ketiganya secara bergantian. Ada kemiripan yang begitu jelas di antara mereka—garis rahang, hidung mancung, bahkan ekspresi damai saat terlelap.Senyum Suri semakin merekah, hatinya terasa penuh dengan kebahagiaan. Mereka bertiga adalah hartanya yang paling berharga saat ini, sumber dari segala cinta dan kebahagiaan yang ia miliki.Jika ini hanya mimpi, ia tidak ingin bangun lagi.Lelah yang menggelayuti tubuh akhirnya menyeret Suri ke dalam tidur. Entah berapa lama ia terlelap di sisi Romeo, sampai ia merasa sesuatu yang hangat dan basah di lehernya. Kelopak mata Suri pun bergerak, sebelum terbuka perlahan. Ia terkejut melihat Romeo yang sedang menyurukkan wajah di lekuk leherny
Tatapan Romeo bertemu dengan Suri, seolah mereka berbagi pikiran yang sama. Tak ingin mengganggu istrinya yang mungkin mendapat kabar serupa, Romeo memilih keluar dari kamar. Pria itu menutup pintu dengan hati-hati, agar tidak membangunkan bayi-bayi mereka. Suri menarik napas dalam-dalam, kemudian tanpa ragu, ia menekan tombol jawab. "Halo, Om Josua.”"Maaf mengganggu istirahatmu, Suri," suara Tuan Josua terdengar di ujung sana. "Aku ingin menyampaikan kabar penting."Jantung Suri berdegup lebih cepat. Ia merasakan firasat buruk menyelimuti pikirannya. "Tidak apa-apa, Om. Ada apa?" tanyanya, berusaha menjaga ketenangan walau telapak tangannya mulai berkeringat. "Barusan aku mendapat konfirmasi dari pihak kepolisian. Pelaku utama yang menabrak Romeo sudah tertangkap. Dia dibawa kembali ke kota Velmora untuk menjalani proses hukum.""Siapa dia?" tanya Suri sembari mencengkeram ponselnya erat-erat."Namanya Toni. Ia seorang kriminal bayaran yang sebelumnya memiliki catatan kejahat
Dalam tidurnya, Aira bermimpi. Ia berdiri di tengah padang rumput luas yang luas, angin bertiup lembut mengibarkan helaian rambutnya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Langit di atasnya gelap, jauh lebih gelap dari seharusnya. Dalam kesunyian, ia mendengar suara lirih. "Mama.…”Suara lembut itu terdengar samar, seolah datang dari kejauhan. Aira menoleh, mencari asal suara itu. Dan di sana, berdiri seorang anak kecil perempuan.Anak itu menatapnya dengan mata bulat besar, wajahnya tidak jelas, tetapi Aira bisa merasakan tatapan penuh kesedihan darinya. "Kenapa, Ma? Kenapa Mama membenci aku?"Aira terperangah. Dadanya terasa sesak. Ia mencoba berjalan mendekat, tetapi setiap langkah yang ia ambil justru membuat anak itu semakin jauh. “Tunggu, Mama tidak membencimu ... Mama hanya…," Aira berbisik, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Dan kemudian, dalam hitungan detik, seluruh dunia di sekelilingnya runtuh, jatuh ke dalam kehampaan. Aira tersentak bangun. Dadanya naik turun den
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep