Suri sedang memasak sup ayam sambil menunggu Axel pulang dari rumah sakit. Pria itu biasanya makan siang di apartemen, sebelum kembali ke rumah sakit untuk menjaga sang ibu. Hari ini, Suri berencana akan bicara mengenai keinginannya pulang ke kota Velmora.Begitu Axel masuk, ia segera berdiri dan menyambut sepupunya itu. Suri mengajak Axel ke ruang makan dan menunjukkan hidangan yang sudah ia siapkan.“Wah, kalau kamu memasak setiap hari, aku jadi merasa punya istri,” canda Axel sambil mencicipi masakan Suri yang menurutnya sangat lezat.Suri menunggu hingga Axel selesai makan, lalu mulai membuka percakapan."Xel, aku ingin kembali ke Velmora sendiri," kata Suri dengan suara mantap. "Aku ingin mencari informasi tentang Romeo, sekaligus menghadiri resepsi pernikahan sahabatku, Raysa. Aku sudah merasa lebih sehat sekarang."Axel menatapnya tajam, matanya menyiratkan ketidaksetujuan. "Jangan, Suri. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Kamu tahu bahwa situasinya tidak aman. Selain
Diva tengah bersiap menuju rumah sakit. Jemarinya dengan cekatan menyapukan bedak halus ke wajahnya, memastikan setiap detail sempurna.Perlahan, ia meraih sepasang anting kecil bermata berlian dan memasangnya di telinga. Hari ini, ia harus terlihat luar biasa di hadapan Romeo.Namun, tepat ketika ia hendak mengambil tas, ponselnya bergetar. Sejenak, dadanya berdebar. Ia merasakan firasat buruk, tetapi tetap menekan tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Randy," sapanya sedikit malas."Diva, kita punya masalah besar." Suara Randy terdengar tegang di seberang sana.Alis Diva mengernyit. "Masalah apa lagi?""Anak buah Toni sudah ada yang tertangkap polisi."Diva membeku sejenak. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, seakan mencoba mencari jawaban dari ketakutan yang menyergapnya."Berapa orang? Apa mereka sudah bicara?" tanya Diva cepat, berusaha menekan rasa panik."Aku belum tahu pasti, tapi menurut informasi yang kudapat, polisi sedang menginterogasi mereka. Mungkin, hanya
Dalam perjalanan menuju mansion, Suri menyandarkan kepalanya ke jendela taksi, memandangi jalanan yang terasa begitu asing meskipun ini adalah kotanya sendiri. Ia menghela napas panjang sebelum mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang. Terdengar nada sambung sejenak sebelum suara berat dan berwibawa itu menjawab. "Halo, Suri?""Paman Josua, ini aku," sapa Suri. "Aku sudah kembali ke Velmora."Di seberang sana, Tuan Josua terdengar lega. "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Aku juga punya kabar penting untukmu,” pungkas Tuan Josua.“Dua dari pelaku tabrak lari sudah tertangkap polisi, tapi ketuanya masih buron. Jadi, kamu harus berhati-hati, Suri. Jika perlu, sewa bodyguard yang bisa melindungimu."Suri mengepalkan tangannya di pangkuan. Rasa marah terhadap mereka yang telah mencelakai Romeo masih menyala di dada, tetapi ia berusaha menguasai diri. "Terima kasih, Paman. Tolong bantu aku untuk memantau perkembangan kasus itu,” tandas Suri. “Dan, aku butuh dukungan lain dari Pam
Di dalam kamar perawatan yang sunyi, Nyonya Valerie duduk di samping ranjang tempat Romeo berbaring. Ia menatap wajah sang putra yang terlelap sambil merapikan selimutnya. Meski terbaring lemah, Romeo masih tampak begitu tampan dan karismatik. Setiap tarikan napasnya terdengar pelan, tetapi stabil. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang wanita melangkah masuk dengan anggun, dia adalah Diva."Tante," sapanya lembut. "Bagaimana kondisi Kak Romeo? Apa ada perkembangan?""Dia masih belum bisa melihat,” jawab Nyonya Valerie sedih. “Dokter bilang butuh waktu lebih lama untuk pemulihan total. Selain itu, emosi Romeo masih sangat labil. Kita harus berhati-hati dalam menghadapinya."Diva mengangguk dengan penuh pengertian. "Jangan khawatir, Tante. Aku akan selalu sabar merawat Kak Romeo dan mencurahkan semua perhatianku. Aku ingin membuktikan bahwa aku adalah pasangan yang paling tepat untuknya."Nyonya Valerie menatap Diva dengan penuh harapan. "Tentu saja, Diva. Romeo butuh seseor
Aira menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan rasa kesal yang hampir meledak. Ia tahu ia tidak bisa menang dalam situasi ini. Dengan enggan, ia mundur selangkah dan menatap Suri penuh kebencian. “Ini belum selesai, Suri.”Suri tersenyum kecil. “Aku yakin belum.”Aira menggeram dan akhirnya berbalik, berjalan keluar dengan kedua bodyguardnya yang kini tampak tak berguna. Setelah Aira pergi, Suri menghela napas panjang. Ia yakin Aira tak akan tinggal diam begitu saja, begitu pula dengan sang ibu mertua. Namun, ia tidak akan gentar. Ini adalah perjuangan yang harus ia lakukan demi Romeo dan juga bayi dalam kandungannya. Suri lantas menoleh kepada lima bodyguard yang siap sedia berada di sampingnya. Dengan suara tegas, Suri memberikan instruksi. “Dua dari kalian ikut dengan saya. Tiga lainnya tetap di sini. Saya ingin mansion ini dijaga ketat, jangan biarkan siapapun masuk tanpa izin dari saya.”Para bodyguard mengangguk serempak, menunjukkan kesetiaan mereka terhadap tugas yang baru dib
Usai jam kantor, Suri merapikan berkas-berkas di atas meja kerjanya yang baru. Ia menghela napas panjang, merasakan betapa cepat hidupnya berubah dalam beberapa hari terakhir. Dari seorang istri yang terusir, kini ia menduduki kursi direktur perusahaan yang diwariskan oleh kakeknya. Namun, satu hal yang tak berubah—rindunya pada Romeo. Ia mengusap perutnya yang mulai membuncit, menguatkan hati bahwa semua yang ia lakukan ini demi anak mereka. Suri lalu berpamitan kepada Axel. "Aku akan pergi menemui sahabatku, Raysa. Sudah lama sekali kami tidak bertemu."Axel tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati di jalan."Suri segera mengambil ponselnya untuk menelepon Raysa. Mengetahui Suri telah kembali, Raysa sangat gembira dan langsung mengajaknya makan malam bersama.Setibanya di restoran, Suri melihat Raysa dan Kenzo duduk di salah satu meja dekat jendela. Raysa buru-buru bangkit dan berlari menghampiri Suri, memeluknya erat. "Suri, aku sangat merindukanmu! Aku lega melihatmu baik-baik saja
Nyonya Valerie meraih tangan Romeo dengan lembut, suaranya terdengar lebih pelan, penuh bujukan."Romeo, kamu harus mulai berpikir realistis. Tidak ada gunanya memikirkan Suri lagi. Seandainya kamu bersikeras menemui Suri, dia juga tidak akan menerimamu.”"Apa maksud Mama?" suara Romeo terdengar dingin."Sekarang, kamu belum bisa melihat dan belum bisa berjalan dengan normal," ucap Nyonya Valerie tanpa ragu. "Suri akan membuangmu. Dia pasti memilih pria yang sehat dan bisa memberinya keturunan. Mama tidak ingin kamu sakit hati.”Romeo menoleh ke arah suara ibunya. Pandangannya mungkin buram, tetapi amarahnya begitu nyata. "Keluar!" sentaknya penuh tekanan."Romeo, dengarkan Mama. Mama bisa memanggil pengacara untuk —”"Aku bilang keluar!" Romeo membentak, suaranya menggema di ruangan itu. "Aku tidak ingin mendengar satu kata lagi! Pergi!"Diva dan Nyonya Valerie terlonjak. Mereka tidak punya pilihan selain menuruti perintah Romeo. Dengan enggan, mereka pun keluar dari kamar, meninggal
Tanpa berpikir panjang, Sagara lebih dulu memegangi tubuh Suri dan mengangkatnya dalam gendongan."Siapkan mobil, cepat! Suri sepertinya akan melahirkan!" perintahnya tegas.Axel segera berlari menuruni tangga untuk menyiapkan mobil. Sementara beberapa karyawan lain membantu Sagara untuk membawa Suri ke depan. Setelah Axel siap di kursi kemudi, Suri didudukkan oleh Sagara di kursi penumpang dengan ditemani seorang staf wanita. Sementara Sagara masuk ke mobilnya sendiri.Tanpa banyak bicara, Axel langsung melaju ke jalan raya untuk menuju rumah sakit bersalin. Pria itu berusaha menembus kemacetan agar mereka lekas sampai.Sepanjang perjalanan, Suri terus mengerang kesakitan. Tangannya mencengkeram lengan staf wanita yang menemaninya, berusaha menahan kontraksi yang semakin sering datang. Keringat di dahinya sudah bercucuran, dan bibirnya terlihat pucat.Sesampainya di rumah sakit, para perawat membawa Suri ke ruang persiapan persalinan dengan kursi roda. Axel dan Sagara berjalan cepat
Janji suci itu akhirnya terucap dari bibir Jevandro dengan nada datar. Ia bersikap seolah tengah membaca naskah kewajiban yang harus dituntaskan, bukan ikrar tulus yang lahir dari kedalaman hati. Kalimat-kalimat yang biasanya penuh makna bagi sepasang pengantin, kini hanyalah deretan kata yang kosong tanpa getaran. Meski wajah Jevandro tetap tenang, Serin bisa melihat mata itu menyimpan rasa kecewa yang tak bisa dipadamkan. Ia berdiri di sana, seperti aktor dalam pertunjukan yang tidak ingin ia mainkan. Jevandro menuntaskan tugasnya tanpa benar-benar merasai setiap ikrar yang ia lafalkan.Serin pun menyusul, mengucapkan sumpahnya dengan suara yang sempat tersendat di tengah. Ia buru-buru menyelesaikan kalimat terakhir, seakan takut suaranya akan pecah bila ia diam terlalu lama. Hatinya bergetar saat pendeta menyuruh mereka bertukar cincin. Di tangannya, cincin berlian itu terasa berat. Ia tahu persis, itu adalah cincin yang pernah dibeli Jevandro untuk dikenakan Liora. Cincin yang
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga