Setelah pakaian-pakaian terakhir dilipat dengan rapi di dalam koper, Serin menghembuskan napas panjang. Ia menutup koper itu dengan gerakan perlahan, seperti ingin menutup bab terakhir dari sebuah buku yang usang. Ia menatap deretan busana indah yang berkilau dalam pencahayaan lampu kamar, gaun-gaun mewah berlabel internasional yang diberikan Jevandro. Serin tidak memilih satu pun dari gaun-gaun itu. Semua pakaian mahal itu bukan untuknya—melainkan untuk membentuk ulang sosok Liora dalam dirinya. Serin tahu, dirinya selama ini hanyalah ilusi yang digunakan untuk mengisi kekosongan hati Jevandro. Dengan mata yang berembun, Serin berjalan meninggalkan deretan gaun itu. Ia mendorong koper besar ke ruang tamu, meletakkannya di sudut agar esok hari ia bisa segera pergi.Tangannya sempat menyentuh gagang koper itu beberapa detik lebih lama, seakan berat untuk melepaskannya begitu saja. Namun ia tahu, tak ada lagi yang bisa menahannya di tempat ini.Ponselnya ia raih dari atas meja. Serin
Di sudut rumah sakit, Serin duduk di ruang tunggu dengan kedua tangan saling menggenggam. Jemari-jemarinya yang gemetar tampak begitu tegang, hingga Dara yang duduk di sampingnya tak kuasa tinggal diam. “Tenanglah, Serin,” ucap Dara lirih. Ia memegang tangan sahabatnya itu dengan penuh empati.“Aku ada di sini. Kamu tidak sendiri.”Serin menoleh, matanya yang berkabut menyimpan begitu banyak kekhawatiran. Sebelum sempat membalas, seorang perawat memanggil namanya dengan sopan. Serin berdiri dan menarik napas panjang. Bersama Dara, ia kemudian melangkah memasuki ruangan praktik dokter kandungan.Di dalam ruangan dengan harum antiseptik yang menguar samar, seorang dokter wanita berusia empat puluhan, menyambut mereka dengan senyum bersahabat.“Selamat siang, Ibu Serin. Apa keluhan yang Anda rasakan?” tanyanya hangat.Serin menggeser posisi duduknya sedikit, lalu menjawab dengan nada ragu.“Saya belum menstruasi bulan ini, Dok. Saya juga sudah mencoba testpack, dan hasilnya menunjukkan
Serin berdiri di dapur, mengenakan apron sederhana di atas piyama sutranya. Tangannya cekatan menyiapkan sarapan, menyusun telur dadar, nasi goreng, dan roti panggang dalam piring, walau pikirannya berkelana ke banyak arah. Di sela aroma bawang dan mentega yang mewangi, perasaan Serin berkecamuk—antara tenang dan gelisah. Ada gerakan kecil di perutnya yang membuatnya ingin mundur.Tak lama, Jevandro keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Pria itu mengenakan handuk di leher dan celana panjang kain yang belum lengkap dipadu kemeja. Jevandro tersenyum hangat, tampak puas melihat semua yang telah disiapkan istrinya pagi ini.“Kamu menyiapkan semuanya untukku?” tanyanya sambil menghampiri. “Termasuk bajuku?”Serin mengangguk, lalu mengambil kemeja biru yang telah disetrika rapi dan menyodorkannya. “Sudah saya siapkan di gantungan. Tapi kalau Kak Jevan mau, saya bisa bantu mengancingkannya.”Jevandro mendekat dan berdiri di hadapan Serin, membiarkan gadis itu mengancingkan
Setelah merasa cukup kuat, Serin menyusuri koridor restoran, menuju meja tempat Jevandro menunggu. Walau di dalam hatinya masih bergemuruh, Serin menegakkan kepala dan berusaha menampilkan ekspresi wajar.Jevandro langsung berdiri begitu melihat istrinya datang. Matanya mengamati wajah Serin yang masih menyimpan bekas lelah. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya, penuh perhatian.Serin mengangguk pelan. “Sudah baikan, Kak. Mungkin perut saya tidak cocok dengan rasa bumbunya,” jawabnya singkat, mencoba tersenyum kecil.Ekspresi kecewa melintas cepat di wajah Jevandro. Mungkin ia sudah membayangkan makan malam ini akan jadi semacam kenangan manis sebelum kepergiannya besok pagi.“Kalau kamu tidak sanggup makan lagi, kita bungkus saja makanannya. Atau kamu ingin makanan yang berbeda?” Jevandro melirik makanan di atas meja yang sebagian besar belum tersentuh."Kita bisa pergi ke restoran yang lain,” lanjut Jevandro, mencoba menurunkan kekecewaan dalam nada yang lebih lembut.Serin tersenyum tip
Setelah dua keluarga menyepakati tanggal resepsi pernikahan—yang akan digelar pada tanggal delapan belas bulan depan—segala persiapan mulai dilakukan dengan matang. Antusiasme terasa meluap-luap, baik dari pihak Suri maupun Navisa. Rencana demi rencana disusun secara detail, mulai dari pilihan hotel yang akan dijadikan tempat resepsi, hingga desain undangan dan souvenir bagi para tamu. Begitu pula dengan komposisi bunga-bunga di altar dan iringan lagu yang akan dimainkan, saat Jeandra menyongsong hidup baru bersama Kenan.Di tengah gegap gempita itu, Jeandra merasa kebahagiaannya terasa lengkap. Meski hatinya merindu, tetapi Kenan hampir setiap hari menelepon dengan nada manja serta keluhan rindu yang tak pernah usai. Jeandra tetap meminta suaminya itu untuk bersabar, hingga mereka kembali diizinkan tinggal bersama setelah resepsi usai. Ia ingin segala sesuatu berjalan sesuai aturan dan penuh kesakralan.Berbeda dengan Jeandra yang hatinya mulai tenang, Serin masih terkungkung dalam
Kenan tak langsung menjawab. Napasnya tertahan di kerongkongan, seakan ada duri tajam yang menusuk, menunggu saat yang tepat untuk meledak menjadi kejujuran. Matanya bergerak perlahan ke arah Jeandra—satu tatapan singkat yang penuh makna. Di sana, di wajah sang istri, ia menemukan keberanian. Maka, Kenan pun mengangkat kepalanya, menatap lurus pada Romeo yang menjadi gerbang utama menuju restu.“Om Romeo... Saya mencintai Jeandra.”Kalimat itu terlontar begitu saja. Tak ada alasan berbelit, tak ada pembelaan panjang yang terdengar seperti pembenaran. Hanya satu jawaban sederhana yang melukiskan segala kompleksitas hatinya.Kenan menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih mantap.“Awalnya, memang tidak masuk akal. Pernikahan kami terjadi karena kesalahpahaman yang... mungkin terdengar konyol. Tapi jika ditarik ke belakang, sejak pertama kali saya melihat Jeandra di kantor, saya tahu ada sesuatu yang berbeda. Ada ketertarikan yang tidak bisa saya jelaskan. Karena itu