Setelah meninggalkan kantin, Aura dan dua orang temannya bersiap untuk sesi pelatihan berikutnya. Mereka kembali menjalani serangkaian simulasi telepon. Serin belajar menjawab panggilan dengan suara yang profesional, mencatat keluhan fiktif dari "konsumen", hingga menyampaikan solusi sesuai dengan skrip yang telah disediakan. Tak terasa, waktu sudah merambat ke pukul empat sore. Matahari mulai condong ke barat, dan ruang kerja disinari oleh bias cahaya jingga yang mengintip dari balik jendela. Pelatihan pun mendekati babak akhir.Ketika akan mengakhiri sesi latihan, ponsel Citra yang tergeletak di atas meja bergetar, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Citra mengangkatnya dengan cepat dan menjauhkan sedikit dari keramaian. Suaranya terdengar berubah menjadi lebih formal.“Baik, Bu, akan saya sampaikan,” ujarnya sopan, lalu mematikan sambungan.Wajah Citra yang biasanya datar kini terlihat sedikit berbeda—seperti menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Ia melangkah ke depan dan
Tiba-tiba saja seluruh tubuh Serin menggigil, seolah udara di ruangan mewah itu berubah menjadi es yang membekukan setiap helaan napasnya. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Jevandro terasa menghantam rongga dadanya, seperti badai yang menerjang tanpa aba-aba.Dugaannya ternyata benar. Nama yang disebut Dara, nama tunangan mendiang Liora, kini berdiri nyata di hadapannya. Jevandro Albantara ternyata adalah CEO dari Verdant Group, sosok yang memegang kendali atas perusahaan tempatnya bekerja. Pria berkuasa, dingin, dan saat ini menatap matanya dengan kemarahan yang nyaris meledak. Serin tidak pernah menyangka bahwa takdir membawanya sejauh ini. Ia yang hanya seorang gadis sederhana, yang baru saja mendapatkan kembali penglihatannya, kini berada di bawah tatapan penuh benci dari pria yang mencintai Liora.Tubuh Serin terasa ringan seperti hendak rubuh, sementara matanya mulai memanas, membiaskan pandangan. Tanpa bisa ditahan, cairan bening mulai menggenang di pelupuk, mencipt
Dengan suara yang gemetar, Serin mulai berbicara, “Kak Liora,” katanya lirih, nyaris seperti berbisik kepada angin. “Nama saya Serin. Saya ... yang menerima sepasang kornea matamu.”Ia menunduk lebih dalam, pipinya basah oleh air mata, dan suaranya bergetar menahan emosi.“Saya tidak tahu … apakah saya pantas menerima pemberian ini. Tapi, saya ingin berterima kasih. Sangat... sangat berterima kasih,” isaknya lirih, “Dan saya juga meminta maaf. Maaf jika keberadaan saya menyakiti keluarga dan orang-orang yang mencintai Kak Liora."Jevandro memejamkan mata mendengar kata-kata itu. Tenggorokannya tercekat, tetapi ia belum bergerak dari tempatnya berdiri.Serin melanjutkan dengan suara pelan, seolah sedang berbicara kepada sahabat lama.“Saya tidak akan menyia-nyiakan pemberianmu ini, Kak. Saya akan menjaganya dengan baik, agar mata Kak Liora tidak pernah menyesal telah menatap lewat diri saya.”Jevandro akhirnya melangkah maju. Ia menarik lengan Serin, dan memaksa gadis itu untuk berdiri
Begitu mendengar tuduhan kasar yang keluar dari mulut Zico, Serin sontak menggeleng, nyaris berteriak dalam kepanikan yang bercampur luka.“Aku bukan wanita simpanan siapapun, Kak Zico! Aku sekarang bekerja. Aku mencari nafkah sendiri, dan hidup dengan cara yang jujur.”Suara Serin gemetar, tetapi sorot matanya menyala dengan keberanian—sebuah keberanian yang ia pelajari dari malam-malam penuh air mata.Namun, Zico hanya mendengus pelan, seperti meremehkan keteguhan yang ditunjukkan Serin. Ia melangkah maju ke arah adik tirinya itu. Tangan kekarnya menjulur cepat, mencengkeram lengan Serin dengan kasar. Serin tersentak, matanya melebar panik.“Kamu kira mamaku akan percaya begitu saja pada kebohonganmu?" desis Zico tajam. “Aku akan memberitahu Mama tentang kamu yang tinggal di kos murahan. Tentang kamu yang bersama pria ini. Kamu akan menerima hukuman yang pantas, karena telah mencoreng nama baik keluarga!”Serin menggeleng kuat-kuat, tetapi genggaman Zico semakin erat dan menarikny
Melihat Serin masih keberatan untuk menerima keputusannya, Jevandro lantas menatap gadis itu dalam-dalam. “Jangan berpikir aku menginginkan sesuatu darimu. Aku hanya melindungi apa yang ditinggalkan Liora.”Serin terdiam sesaat setelah mendengar ucapan Jevandro. Hatinya yang sejak tadi diliputi kebimbangan, kini terasa semakin sesak. Tadi ia sempat membayangkan—dengan sedikit harapan yang naif—bahwa mungkin Jevandro menolongnya karena rasa kasihan atau bahkan rasa peduli sebagai sesama manusia. Namun, kenyataan yang ia dengar dari bibir pria itu membuyarkan semua asumsinya. Jevandro menolongnya hanya demi mata Liora.Tentu saja, pikir Serin getir dalam hati. Jevandro mencintai Liora … begitu dalam, begitu abadi, hingga apapun yang menyentuh kenangan sang kekasih, akan ia jaga seolah bagian dari jiwanya sendiri. Sementara dia hanya perantara, tempat mata itu kini bersemayam. Oleh sebab itu, Jevandro bersedia turun tangan melindunginya.Namun tetap saja, usulan untuk pindah ke apartem
Sementara itu, di sebuah apartemen lain yang tak kalah mewah, Jeandra baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan piyama sutra berwarna pastel. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di bahu.Duduk di depan meja rias, Jeandra menggenggam hair dryer. Ia tertawa kecil, tawa riang yang mengambang di udara malam yang tenang. Tawa itu bukan karena lelucon atau hiburan, melainkan karena kepuasan batin yang ia rasakan. Bagaimana tidak. Bayangan ekspresi wajah Kenan sore tadi kembali berkelebat di benaknya—terpahat jelas dan begitu menyenangkan untuk dikenang.Jeandra menunduk sedikit, mempercepat aliran angin panas ke ujung rambutnya. Namun, pikirannya justru hanyut ke dalam sebuah kilas balik.Tatkala mentari menyemburatkan cahaya keemasan di jendela kaca Pradipta Group, Jeandra berdiri di depan pintu ruang CEO. Ia mengetuk perlahan, hingga suara datar dari dalam terdengar."Masuk!" Tanpa disertai anggukan kepala atau lirikan mata, Kenan tetap fokus menatap layar laptop, mengama
Pagi itu, belum genap pukul enam Jeandra sudah membuka mata. Entah karena was-was akan perjalanan panjang ke lokasi proyek yang cukup terpencil, atau karena diam-diam ada sejumput rasa khawatir yang melanda. Pikiran Jeandra seakan sudah melangkah lebih dulu, membayangkan hari yang mungkin saja mengubah arah dari misi penyamarannya.Dengan gerakan ringan, Jeandra bangkit dari tempat tidur untuk mempersiapkan diri. Selesai mandi, ia melangkah ke depan cermin. Meraih sebuah blazer warna krem lembut, lalu memadukannya dengan celana panjang cokelat tua yang mempertegas siluet ramping tubuhnya. Rambut panjang yang semula tergerai, kini ia tarik ke belakang dan dikuncir ekor kuda. Wajah Jeandra hanya dirias tipis, sekadar memberi kesan segar dan profesional. Dan terakhir, ia menyempurnakan penyamarannya dengan sepasang kacamata berbingkai tebal.Setelah mengambil tas tenteng hitam yang sudah ia siapkan semalam, Jeandra menyambar ponselnya dan menekan nomor yang sudah sangat ia hafal di luar
Matahari belum tinggi, ketika Serin kembali ke kos usai mengantar Tristan ke sekolah. Langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena lelah, melainkan karena sebuah keputusan besar yang tidak bisa ditawar.Sesampainya di kamar kos yang mungil, Serin membuka lemari dan mulai membereskan barang-barangnya ke dalam koper besar. Bi Janti, perempuan paruh baya yang setia membantu Serin, ikut berkemas dengan gerakan tangannya yang lincah. Sesekali, ia melipat pakaian dan seragam sekolah milik Tristan dengan hati-hati.“Non Serin benar-benar mau pindah?” tanya Bi Janti pelan, suaranya sarat dengan rasa tak ingin kehilangan.Serin mengangguk lemah, lalu berhenti melipat jaket untuk sesaat. Matanya menatap ke luar jendela yang dipenuhi bayangan pepohonan rindang.“Iya, Bi. Ini perintah atasan di kantor. Saya tidak bisa membantah, apalagi setelah kejadian dengan Kak Zico kemarin,” jawabnya lirih.Bi Janti diam sejenak, lalu memberanikan diri berkata, “Apa saya boleh ikut, Non? Saya kha
Janji suci itu akhirnya terucap dari bibir Jevandro dengan nada datar. Ia bersikap seolah tengah membaca naskah kewajiban yang harus dituntaskan, bukan ikrar tulus yang lahir dari kedalaman hati. Kalimat-kalimat yang biasanya penuh makna bagi sepasang pengantin, kini hanyalah deretan kata yang kosong tanpa getaran. Meski wajah Jevandro tetap tenang, Serin bisa melihat mata itu menyimpan rasa kecewa yang tak bisa dipadamkan. Ia berdiri di sana, seperti aktor dalam pertunjukan yang tidak ingin ia mainkan. Jevandro menuntaskan tugasnya tanpa benar-benar merasai setiap ikrar yang ia lafalkan.Serin pun menyusul, mengucapkan sumpahnya dengan suara yang sempat tersendat di tengah. Ia buru-buru menyelesaikan kalimat terakhir, seakan takut suaranya akan pecah bila ia diam terlalu lama. Hatinya bergetar saat pendeta menyuruh mereka bertukar cincin. Di tangannya, cincin berlian itu terasa berat. Ia tahu persis, itu adalah cincin yang pernah dibeli Jevandro untuk dikenakan Liora. Cincin yang
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga