Di dalam apartemen yang nyaman, Suri telah menyelesaikan rutinitas malamnya. Usai memandikan dan menyusui si kembar, ia menyelimuti mereka dengan hati-hati, memastikan mereka tidur dengan nyenyak di dalam boks bayi. Jeandra menggeliat sedikit, sedangkan Jevandro tampak lebih tenang, terlelap dalam tidurnya. Suri menatap mereka penuh kasih. Hatinya menghangat saat menyentuh rambut Jevandro dengan ujung jari, lalu berpindah membelai pipi Jeandra yang terasa lembut seperti kapas. Kedua buah hatinya adalah keajaiban paling indah yang ia miliki.Puas memandangi Jevandro dan Jeandra, Suri lantas beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Ia sudah menghafal dengan baik kebiasaan suaminya. Romeo pasti lapar setelah menemani Aira di rumah sakit, dan sebagai istri, ia ingin menyambut kepulangan sang suami dengan makanan lezat. Dengan penuh perhatian, Suri mulai menata meja makan, menyajikan hidangan hangat yang telah ia siapkan sejak tadi. Baru saja ia selesai, suara pintu apartemen te
Suri berdiri di depan lemari, tangannya terampil memilih kemeja dan jas untuk Romeo yang akan kembali bekerja, setelah satu tahun absen dari kantor. Ia harus memastikan bahwa suaminya tampil dengan sempurna pada hari yang istimewa ini. Romeo baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih lembap. Ia mengangkat satu alis, saat melihat istrinya begitu sibuk menyiapkan baju, bahkan lebih sibuk dari dirinya sendiri. Dengan ekspresi serius, Suri memeriksa satu per satu jas yang tergantung rapi. Keningnya sedikit berkerut saat menilai potongan dan warnanya. "Sebenarnya, kamu ingin aku terlihat seperti apa hari ini, hem?" goda Romeo dengan nada rendah, seraya mendekati istrinya yang tengah merapikan lipatan jas. Suri melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. "Seperti seorang CEO yang kembali ke tahtanya, setelah sekian lama menghilang," ujarnya ringan.Usai menimbang-nimbang, Suri mengambil dasi cokelat tua dengan pola sederhana, kemudian menyamakan dengan kemeja cokelat muda
Di gang sempit yang terhimpit antara bangunan tua dan rumah kontrakan sederhana, seorang pria berjalan tergesa-gesa. Ia mengenakan jaket hitam dengan topi yang sengaja ditarik rendah, menutupi wajahnya dari tatapan orang-orang yang mungkin mengenalnya.Udara di gang sempit itu terasa pengap, menyimpan aroma lembap dari tembok-tembok yang berlumut. Ivan berjalan dengan kepala tertunduk, sesekali menoleh ke belakang seperti seorang buronan.Pikirannya dipenuhi kecemasan yang terus menghantui, sejak ia melarikan diri dari apartemen. Tak ada tempat aman lagi baginya. Tak ada perlindungan.Di tangan lelaki itu, hanya tersisa uang lima puluh ribu rupiah—jumlah yang bahkan tak cukup untuk menyewa tempat persembunyian baru. Itu hanya bisa untuk membeli makanan hari ini, sekadar mengganjal perut yang sudah kelaparan. Ivan menelan ludah. Perutnya yang kosong berkontraksi, menciptakan rasa sakit yang merayap hingga ke dada.Ia berharap bisa menemukan warung murah di ujung gang, sekadar membeli
Suri menarik napas dalam-dalam, lalu mengulurkan tangan untuk membuka pintu. Sejenak, ia memejamkan mata, meredam debar di dadanya yang meningkat dua kali lipat.Benar saja. Begitu pintu terbuka, Romeo berdiri di hadapannya dengan senyum cerah.Satu lengan Romeo melingkar di bahu Aira —adik perempuan yang selama ini dikenal Suri sebagai sosok angkuh dan penuh percaya diri. Namun, gadis yang berdiri di hadapannya bukanlah Aira yang ia kenal dulu. Tubuh Aira tampak lebih kurus, wajahnya pucat, dan matanya kehilangan binar kesombongan. Sekilas, Suri menangkap kelelahan yang menguar dari raut wajah gadis itu, seakan beban yang ia pikul terlalu berat untuk tubuhnya yang ringkih. Di belakang mereka, Nyonya Valerie berdiri diam. Tidak seperti biasanya, perempuan paruh baya tersebut sedikit menunduk, tak mengucapkan sepatah kata pun.Suri segera menyadari kecanggungan yang menyelimuti mereka. Dengan seulas senyum lembut, ia menyapa Aira dan Nyonya Valerie. “Silakan masuk, Aira, Mama Valeri
Aura kebahagiaan terasa menyelimuti seluruh ruangan apartemen. Suri dan Romeo lantas mengajak Nyonya Valerie ke kamar mereka untuk melihat Jeandra. Langkah mereka terasa ringan, seakan-akan beban masa lalu telah terangkat dari bahu mereka.Setibanya di kamar, Suri dengan cekatan mulai mengganti popok Jevandro, dibantu oleh Romeo yang memegang botol bedak bayi. Mereka berbagi tawa kecil saat Jevandro meronta-ronta, kakinya yang mungil menendang udara.Di sudut ruangan, Nyonya Valerie duduk di samping Aira yang masih menggendong Jeandra. Diam-diam, ia merasa bersyukur karena putrinya telah menemukan kasih sayang dalam kehangatan seorang bayi.Tatapan mata Nyonya Valerie melembut saat ia membelai kepala Jeandra, merasakan ketenangan yang mengalir dari kulit lembut sang cucu. "Ini adalah kebanggaan terbesar bagi keluarga Albantara," gumam Nyonya Valerie terharu, matanya menatap Jeandra dengan penuh kasih. "Dua cucu sekaligus. Keluarga kita kini semakin lengkap."Aira mengangguk, air mat
Di ruang rapat utama Verdant Group, seluruh jajaran manajer dan dewan direksi telah duduk rapi, menunggu kedatangan pemimpin mereka. Presentasi dan laporan tahunan disiapkan dengan detail, dan para petinggi perusahaan nampak berbisik satu sama lain. Mereka membahas pencapaian luar biasa yang telah diraih perusahaan, di bawah kepemimpinan sang CEO muda.Jam digital di dinding menunjukkan pukul sembilan tepat, ketika pintu ruangan terbuka perlahan. Seorang pria tinggi dengan jas biru gelap melangkah masuk terlebih dahulu.Mateo, asisten pribadi sang CEO, memiliki perawakan tegap dengan rahang tegas. Matanya tajam seperti elang yang siap mengawasi segala situasi. Aura profesionalisme dan dedikasi terpancar dari setiap gerak-gerik lelaki itu.Tak berselang lama, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul.Jevandro Albantara, CEO Verdant Group, melangkah masuk. Jas abu-abu tua yang terjahit sempurna, mempertegas posturnya yang tinggi dan atletis. Rambut hitam tebal serta bentuk hidung yang
Setelah suapan terakhirnya, Liora meletakkan sumpit dengan anggun di tepi kotak makan siang, lalu menatap Jevandro dengan senyum lembut. "Aku harus pulang sekarang, nanti kita bertemu di butik, Sayang,” ujar Liora. “Sekalian, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting."Jevandro mengangkat sebelah alis, mata hazelnya menyorot penuh rasa penasaran. "Apa itu?"Senyum manis terukir di wajah Liora. "Kalau kuberitahu sekarang, nanti tidak menarik lagi," balasnya sembari berjalan ke pintu. Wanita muda itu melambaikan tangan sebelum melangkah keluar dari ruang CEO, meninggalkan jejak wangi mawar yang khas. Begitu pintu tertutup, Jevandro menghela napas tipis, lalu kembali membenamkan diri dalam pekerjaan. Matanya menelusuri deretan angka dan laporan di layar komputer.Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk," kata Jevandro tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Mateo, asistennya, masuk dengan langkah cepat. Melihat wajah lelaki itu sedikit tegang, Jevandro s
Di sebuah kamar yang diterangi cahaya siang, seorang gadis muda duduk dengan tenang, mengapit sebuah cello di antara pahanya. Ia bernama Serin.Dengan jemarinya yang lentik, Serin menggesek dawai-dawai cello itu penuh perasaan, menciptakan harmoni yang merasuk ke dalam setiap sudut ruangan. Nada-nada lembut dari lagu "The Sound of Silence" mengalun, membingkai keheningan siang dengan melodi yang sarat akan makna. Jari-jarinya menari di atas fingerboard, sementara busurnya bergerak naik turun, menekan dan menarik dengan ritme yang sempurna. Setiap gesekan memancarkan emosi mendalam, menciptakan resonansi yang menyimpan kesedihan tersembunyi. Matanya yang diselimuti kegelapan menatap lurus ke jendela, seolah melihat sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh orang lain. Ia tidak membutuhkan penglihatan untuk memahami keindahan dunia, karena musik telah menjadi matanya. Musik adalah jendela jiwanya, satu-satunya cara ia dapat mengekspresikan emosi tanpa kata-kata.Namun, ketenangan itu teru
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya