Di sudut kota yang lain, seorang gadis muda bernama Serin sedang bersiap memulai babak baru dalam hidupnya. Udara pagi yang masih segar menyentuh kulit wajahnya, menyusup lembut ke balik rambutnya yang tersanggul rapi. Hatinya penuh semangat dan debar-debar kecil yang tak henti berdentang.Setelah bersiap, Serin keluar dari kos sembari menggandeng tangan kecil Tristan. Ia ingin mengantar sang keponakan ke sekolah, sebelum berangkat ke kantor Verdant Group.Dengan pelukan hangat dan bisikan semangat di telinga Tristan, Serin melepas bocah kecil itu ke dalam gerbang sekolah. Kemudian, ia melangkah ringan menuju pinggir jalan, menunggu ojek motor yang telah ia pesan sejak tadi.Tangan kiri Serin menggenggam map berisi berkas-berkas penting yang diminta oleh Bu Marisa —identitas, fotokopi ijazah, dan buku tabungan. Mengingat hari ini adalah hari pertamanya bekerja, ia sengaja berangkat lebih pagi. Bukan hanya tak ingin terlambat, melainkan karena adanya dorongan yang begitu kuat di dalam
Serin melangkah menyusuri koridor lantai tiga dengan hati-hati, penuh rasa ingin tahu. Setelah mengikuti petunjuk arah yang tertempel rapi di dinding, akhirnya ia tiba di depan sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan “Ibu Marisa - Human Resource Development.”Serin menarik napas pelan, menenangkan degup jantungnya yang tak menentu, lalu mengetuk pintu tiga kali.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Serin membuka pintu perlahan lalu melangkah dengan sopan. Begitu pandangan Bu Marisa terangkat dari berkas di meja, wanita itu sejenak tertegun. Matanya menyipit sedikit, seolah memastikan bahwa penglihatannya sendiri tidak menipunya. Serin berdiri di sana, dengan mata bening yang memancarkan cahaya kehidupan dan fokus yang begitu nyata.“Silakan duduk, Serin. Kamu bisa melihat saya?” tanya Bu Marisa, setengah tak percaya.Serin tersenyum lembut dan mengangguk. “Iya, Bu. Saya menjalani operasi transplantasi kornea. Ini berkas yang Ibu minta,” katanya sambil menyodorkan map berisi i
Setelah meninggalkan kantin, Aura dan dua orang temannya bersiap untuk sesi pelatihan berikutnya. Mereka kembali menjalani serangkaian simulasi telepon. Serin belajar menjawab panggilan dengan suara yang profesional, mencatat keluhan fiktif dari "konsumen", hingga menyampaikan solusi sesuai dengan skrip yang telah disediakan. Tak terasa, waktu sudah merambat ke pukul empat sore. Matahari mulai condong ke barat, dan ruang kerja disinari oleh bias cahaya jingga yang mengintip dari balik jendela. Pelatihan pun mendekati babak akhir.Ketika akan mengakhiri sesi latihan, ponsel Citra yang tergeletak di atas meja bergetar, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Citra mengangkatnya dengan cepat dan menjauhkan sedikit dari keramaian. Suaranya terdengar berubah menjadi lebih formal.“Baik, Bu, akan saya sampaikan,” ujarnya sopan, lalu mematikan sambungan.Wajah Citra yang biasanya datar kini terlihat sedikit berbeda—seperti menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Ia melangkah ke depan dan
Tiba-tiba saja seluruh tubuh Serin menggigil, seolah udara di ruangan mewah itu berubah menjadi es yang membekukan setiap helaan napasnya. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Jevandro terasa menghantam rongga dadanya, seperti badai yang menerjang tanpa aba-aba.Dugaannya ternyata benar. Nama yang disebut Dara, nama tunangan mendiang Liora, kini berdiri nyata di hadapannya. Jevandro Albantara ternyata adalah CEO dari Verdant Group, sosok yang memegang kendali atas perusahaan tempatnya bekerja. Pria berkuasa, dingin, dan saat ini menatap matanya dengan kemarahan yang nyaris meledak. Serin tidak pernah menyangka bahwa takdir membawanya sejauh ini. Ia yang hanya seorang gadis sederhana, yang baru saja mendapatkan kembali penglihatannya, kini berada di bawah tatapan penuh benci dari pria yang mencintai Liora.Tubuh Serin terasa ringan seperti hendak rubuh, sementara matanya mulai memanas, membiaskan pandangan. Tanpa bisa ditahan, cairan bening mulai menggenang di pelupuk, mencipt
Dengan suara yang gemetar, Serin mulai berbicara, “Kak Liora,” katanya lirih, nyaris seperti berbisik kepada angin. “Nama saya Serin. Saya ... yang menerima sepasang kornea matamu.”Ia menunduk lebih dalam, pipinya basah oleh air mata, dan suaranya bergetar menahan emosi.“Saya tidak tahu … apakah saya pantas menerima pemberian ini. Tapi, saya ingin berterima kasih. Sangat... sangat berterima kasih,” isaknya lirih, “Dan saya juga meminta maaf. Maaf jika keberadaan saya menyakiti keluarga dan orang-orang yang mencintai Kak Liora."Jevandro memejamkan mata mendengar kata-kata itu. Tenggorokannya tercekat, tetapi ia belum bergerak dari tempatnya berdiri.Serin melanjutkan dengan suara pelan, seolah sedang berbicara kepada sahabat lama.“Saya tidak akan menyia-nyiakan pemberianmu ini, Kak. Saya akan menjaganya dengan baik, agar mata Kak Liora tidak pernah menyesal telah menatap lewat diri saya.”Jevandro akhirnya melangkah maju. Ia menarik lengan Serin, dan memaksa gadis itu untuk berdiri
Begitu mendengar tuduhan kasar yang keluar dari mulut Zico, Serin sontak menggeleng, nyaris berteriak dalam kepanikan yang bercampur luka.“Aku bukan wanita simpanan siapapun, Kak Zico! Aku sekarang bekerja. Aku mencari nafkah sendiri, dan hidup dengan cara yang jujur.”Suara Serin gemetar, tetapi sorot matanya menyala dengan keberanian—sebuah keberanian yang ia pelajari dari malam-malam penuh air mata.Namun, Zico hanya mendengus pelan, seperti meremehkan keteguhan yang ditunjukkan Serin. Ia melangkah maju ke arah adik tirinya itu. Tangan kekarnya menjulur cepat, mencengkeram lengan Serin dengan kasar. Serin tersentak, matanya melebar panik.“Kamu kira mamaku akan percaya begitu saja pada kebohonganmu?" desis Zico tajam. “Aku akan memberitahu Mama tentang kamu yang tinggal di kos murahan. Tentang kamu yang bersama pria ini. Kamu akan menerima hukuman yang pantas, karena telah mencoreng nama baik keluarga!”Serin menggeleng kuat-kuat, tetapi genggaman Zico semakin erat dan menarikny
Melihat Serin masih keberatan untuk menerima keputusannya, Jevandro lantas menatap gadis itu dalam-dalam. “Jangan berpikir aku menginginkan sesuatu darimu. Aku hanya melindungi apa yang ditinggalkan Liora.”Serin terdiam sesaat setelah mendengar ucapan Jevandro. Hatinya yang sejak tadi diliputi kebimbangan, kini terasa semakin sesak. Tadi ia sempat membayangkan—dengan sedikit harapan yang naif—bahwa mungkin Jevandro menolongnya karena rasa kasihan atau bahkan rasa peduli sebagai sesama manusia. Namun, kenyataan yang ia dengar dari bibir pria itu membuyarkan semua asumsinya. Jevandro menolongnya hanya demi mata Liora.Tentu saja, pikir Serin getir dalam hati. Jevandro mencintai Liora … begitu dalam, begitu abadi, hingga apapun yang menyentuh kenangan sang kekasih, akan ia jaga seolah bagian dari jiwanya sendiri. Sementara dia hanya perantara, tempat mata itu kini bersemayam. Oleh sebab itu, Jevandro bersedia turun tangan melindunginya.Namun tetap saja, usulan untuk pindah ke apartem
Sementara itu, di sebuah apartemen lain yang tak kalah mewah, Jeandra baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan piyama sutra berwarna pastel. Rambut panjangnya yang masih basah tergerai di bahu.Duduk di depan meja rias, Jeandra menggenggam hair dryer. Ia tertawa kecil, tawa riang yang mengambang di udara malam yang tenang. Tawa itu bukan karena lelucon atau hiburan, melainkan karena kepuasan batin yang ia rasakan. Bagaimana tidak. Bayangan ekspresi wajah Kenan sore tadi kembali berkelebat di benaknya—terpahat jelas dan begitu menyenangkan untuk dikenang.Jeandra menunduk sedikit, mempercepat aliran angin panas ke ujung rambutnya. Namun, pikirannya justru hanyut ke dalam sebuah kilas balik.Tatkala mentari menyemburatkan cahaya keemasan di jendela kaca Pradipta Group, Jeandra berdiri di depan pintu ruang CEO. Ia mengetuk perlahan, hingga suara datar dari dalam terdengar."Masuk!" Tanpa disertai anggukan kepala atau lirikan mata, Kenan tetap fokus menatap layar laptop, mengama
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh