"Kalian ngomongin apa?" tanyaku pada Yola, setelah memasukkan kembali ponsel kedalam tas."Nggak ada," jawab Yola dengan senyum aneh. Bikin penasaran aja."Masak nggak sadar sih, kalau Mas Bima itu punya perhatian lebih sama kamu?" Yola melanjutkan."Sadar nggak sadar," jawabku."Sadar nggak sadar gimana?" "Ya, walau kadang nggak nggeh maksudnya. Aku sadar kalau Mas Bima punya perhatian lebih. Tapi, aku sadar posisiku sepenuhnya. Aku tak mau berpikiran terlalu jauh, apalagi sesuatu hal yang belum pantas aku pikirkan." Aku memberi penjelasan pada Yola."Terus, perasaan kamu sama dia, Say?" "Masih terlalu dini memikirkan hal selain anak-anak. Biarlah mengalir begitu saja," jawabku lagi."Bang Awan juga? Aku tau loh.""Sama saja, Ibarat kata luka dalam hati ini masih basah. Ada juga semacam trauma, akan sebuah hubungan. Entahlah, aku belum memikirkan apapun." Kembali aku memberi penjelasan."Aku paham, sekarang memang bukan saatnya. Tapi, ingat … jangan berlarut lama-lama. Kamu berhak b
Pembicaraan masalah hati antara aku dan Awan terhenti begitu saja. Kami bertiga membicarakan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat, Awan berpamitan terlebih dahulu karena dia ada janji dengan klien. Aku dan Yola masih di cafe untuk mengepaskan waktu jemput.[Foto][Cantik]Aku membuka ponsel yang tiba-tiba bergetar, menandakan kalau ada sebuah pesan masuk. Sebuah foto Awan kirimkan, dia mengambilnya diam-diam saat kami mengobrol tadi.[Abang curi-curi?]Balasku kemudian, Awan hanya mengirim emo tertawa sebagai balasan.[Abang kerja dulu, kasus besar. Doain abang ya]Pesan Awan kembali masuk.[Semangat selalu untuk Abang, semoga lancar kerjaannya]Kirimku sebagai balasan.[Pasti semangat kerjanya, sekarang tambah semangat]Aku hanya membalasnya dengan sebuah gambar jempol.Ada rasa takut dan semacam trauma, untuk menjalin sebuah kedekatan. Secara tidak sadar aku membatasi hatiku, meski aku tau Awan jelas-jelas menginginkan hubungan lebih dari sekarang. Yola benar, lajang, mapan dan t
"Mas bicara apa?" "Bicara tentang kita," jawab Mas Bima. "Aku tau belum pantas. Tapi, paling tidak kamu sudah tau apa yang aku rasakan."Aku mengangguk, sedari lama aku sudah menyadari semuanya. Aku bukanlah tidak peka, hanya memang belum memikirkannya. Dan, belum pantas memikirkannya."Masih terlalu dini, Hana belum berani terlalu jauh memikirkan hal itu. Kita jalani saja … seperti biasanya." Hanya itu yang bisa aku katakan sekarang. "Mas paham, mas ngerti. Maafkan atas kelancangan ini. Tapi, itulah perasaanku sebenarnya."Mas Bima lelaki baik, sosok yang dewasa dan bertanggung jawab. Aku mengakui segala kelebihan yang pria ini miliki.•Memulai dengan berusaha hidup normal, memberi penjelasan kepada anak-anak kenapa sudah tak bersama papanya. Tidak mudah, tapi, lambat laun mulai terbiasa. Meski banyak pertanyaan awalnya, dan aku harus benar-benar berhati-hati dalam memberi penjelasan. Meski tak selalu bersama, mereka tak kehilangan sosok papanya. Mas Andrian selalu memanfaatkan
Ya ampun, ish … kenapa juga sampai seperti ini aku menanggapinya. Wajahku terasa panas bukan lagi hangat. Entahlah, kenapa bisa seperti ini, aku menutup mulut dengan tangan dan melempar pandangan keluar jendela."Mas, serius. Dah dapet banget feelnya tadi." Mas Bima masih terus menggodaku."Apaan," balasku tanpa melihatnya, aku gigit bibir bawahku. Menahan rasa malu atas sikapku yang berlebihan barusan. Mas Bima masih saja terus tertawa."Bund … dah keluar tuh anaknya." Aku menoleh ke arah Mas Bima, dia menunjuk ke arah gerbang dengan dagunya. Aku masih terdiam tak membalas apapun."Bunda aja yang nyusul, takut digodain akunya … ntar ada yang ngambek lagi." Mataku membulat, Mas Bima tak henti-hentinya menggodaku. Aku segera turun, membiarkan pria itu dengan sisa tawanya. Tapi, kenapa lebay banget responku. Semakin senang dia, punya bahan sekarang. Entahlah semua keluar begitu saja."Bunda …." Dari dalam gerbang El sudah memanggilku. Aku berjalan cepat menuju gerbang sekolah. "Saya
"Sayang … banget." Aku menjawab dengan tersenyum, sambil melihat ke arah sosok kecil yang tengah tertawa itu."Kalau papanya?" tanya Mas Bima kemudian."Sayang juga." "Sayang?" suara Mas Bima seperti sebuah penegasan atas jawabanku.Aku langsung menoleh, bola mataku berputar. Aku bicara apa barusan. Itu jawaban yang spontan keluar dariku begitu saja."Apa?" tanyaku pura-pura tak sadar dengan yang aku katakan. Kan malu …"El sini!" Mas Bima kemudian memanggil El yang duduk di seberang meja bersama yang lainnya.El langsung berdiri dan berjalan ke arahku dan Mas Bima."El, papa mau tanya? El sayang Bunda nggak?" tanya Mas Bima pada anak laki-lakinya itu. Aku melihat kedua pria yang berbeda generasi itu dengan kening sedikit mengkerut."Sayang banget." El tersenyum melihatku seraya merapat tubuh kecilnya padaku."Pengen nggak jadiin Bundanya El beneran?" tanya Mas Bima lagi. Aku menoleh ke arah Mas Bima, tak mengira dia akan menanyakan hal itu pada anaknya. "Iya." El mengangguk dengan
Langkahku terhenti seketika, raga ini seolah tak bertenaga. Rasa sakit dengan cepat mengalir dan serasa membekap dada. Kehilangan cinta Hana telah membuat aku terpuruk. Tetapi, ini lebih buruk dari itu. Melihat Luna berada dalam gendongan pria itu, rasanya sakit sekali hatiku.Semua memang salahku, buah dari perbuatan bejatku, Yang telah menyia-nyiakan permata demi pecahan kaca. Bima benar tentang itu, tapi, apa dengan kehilangan cinta Hana belum cukup menjadi hukuman untukku. Apa aku juga harus kehilangan cinta anak-anakku."Liat apaan sampai segitunya?" tanya Hendra temanku sama-sama seorang kepala cabang hanya berbeda perusahaan. Beruntung tak ada yang mengenal Hana diantara teman-temanku hari ini. "Nggak papa, ditunggu dimana kita?" Aku mencoba mengalihkan perhatian. Ingin menghindar tidak mungkin malah akan menjadi pertanyaan. Hendra menunjuk sebuah saung dengan nomor 8A. Aku bergegas mengikuti langkahnya, tetap saja perhatianku masih fokus pana Hana dan anak-anak. Mereka terli
"Iya, ada masalah? Hana berhak bahagia, dan aku akan melakukan segalanya untuk itu." Bersamaan aku menoleh ke arah asal suara, entah sejak kapan Mas Bima mendengar pembicaraanku dengan Mas Andrian. Antara kaget dan malu, bahkan aku tadi tak memberi jawaban apa-apa atas pertanyaannya."Aku akan menikahi Hana, secepatnya," ucap Mas Bima lagi. Dengan yakin Mas Bima mengucapkan di depan Mas Andrian. Sudah kepalang basah, bukankah aku tadi yang mengawalinya. "Hana … pikirkan anak-anak. Maafkan mas, beri kesempatan sekali lagi. Mas yakin masih bisa memperbaiki semuanya. Kalau perlu kita pergi dari sini, kita mulai hidup baru di tempat yang baru," bujuk Mas Andrian padaku.Aku menggeleng pelan, apa yang Mas Andrian lakukan sudah sangat fatal dan keterlaluan. Maaf mungkin mudah untuk diberikan secara lisan. Tapi, luka hati dan trauma yang mendalam akan sulit dilupakan."Biarkan Hana bahagia denganku, cukup dengan cara itu luka Hana akibat pengkhianatanmu akan berusaha aku sembuhkan." Mas Bim
Sesuai dengan janjinya, malam ini Mas Bima mengutarakan keinginannya untuk segera menikahiku. Mama yang sudah tahu kami cukup dekat dan sudah mengenal Mas Bima, mengembalikan sepenuhnya keputusan padaku. Pada intinya dia menyukai Mas Bima dan menyetujui hubungan kami.Lampu hijau dari dua keluarga, izin dan dukungan juga sudah kami dapatkan. Hanya tinggal mengurus surat-surat alias berkas yang dibutuhkan nantinya. Janda dan duda, sama-sama memiliki anak. Semoga kami bisa saling belajar dari kegagalan pernikahan sebelumnya.Malam itu juga Mas Bima memperkenalkan aku pada teman-temannya. Dia tanpa ragu menyebutku Bundanya El. Tidak ada yang salah, El memang memanggilku demikian. Senyum tersungging sepanjang acara."Nanti giliran kita," ucap Mas Bima saat melihat sepasang pengantin yang terus saja mengumbar senyumnya di pelaminan."Hana mau yang sederhana. Di KUA aja selesai, lagi dah sama-sama tuanya kan?!""Yang penting, sah." Mas Bima menambahkan, aku mengangguk dan tersenyum. Hampir