Hafsah Laila Azzahra. Gadis tulen dengan segala kesederhanaan yang dimiliknya. Gadis bermanik mata hitam dengan pakaian yang selalu menutup tubuhnya menjadikannya terkesan anggun dan menawan. Tak lupa memiliki gingsul di bagian kanannya.
Hidup dengan kekayaan yang sangat sederhana menjadikan seorang Laila mensyukuri atas setiap pemberian dari sang Maha Pencipta. Bahkan sekolah pun ia lakukan hanya karena mendapat beasiswa akan prestasinya. Dan semua itu ia berhasil sampai dirinya menginjak di fakultas kampus terkenal.Menginjak semester 3, Laila semakin difokuskan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di kampusnya. Hal itu ia lakukan untuk mencapai cita-cita. Lagian, sebentar lagi ia akan menginjak semester 4, menjadikan ia harus lebih bersemangat dalam hal apapun lagi.Namun, sampai pada tragedi malam itu, malam di mana Laila yang akan dilecehkan ditukar dengan sebuah pernikahan yang tidak ia harapkan sama sekali. Apalagi dengan lelaki itu, yang tak lain ialah Praditya Albara, seorang lelaki yang dikenal badboy di kampusnya dengan kenakalan yang super duper menjengkelkan.Laila terus menangis di dalam kamarnya, memikirkan mimpi, dan harapannya yang akan pupus dengan sia-sia.Beberapa kali Laila menyeka air mata, namun tak urung air matanya selalu jatuh dan jatuh tanpa diminta.Teringat kembali saat acara malam itu. Di mana seseorang memberikannya sebuah minuman yang tidak lain berisi wine. Membuat Laila harus merasakan perasaan gejolak yang malah berakhir dijebak oleh Bara."Ya Allah ... bagaimana Laila akan menghadapi Abi dan Umi setelah ini?" ucapnya pelan dalam ringkukan lutut.Drrtt... Drrtt...Suara ponsel Laila terus bergetar menandakan tengah ada yang menelfonnya. Dengan malas Laila menyeka terlebih dahulu tangisnya dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas.083889xxxxxxIs CallingAlis Laila berkerut saat mendapati nomer yang tidak dikenal menelfonnya. Dengan ragu Laila mengangkat telfon itu sebelum menyeka air matanya terlebih dahulu."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikumussalam warahmatullah, " jawab Laila."Laila, gue harap lo nepatin janji lo kan?" tanya seseorang di sebrang sana. Walau terkesan bengis dia tidak lupa untuk mengucapkan salam."Bara..." Laila melirihkan namanya saat tahu suara itu, ia menjauhkan sedikit ponsel untuk menetralkan rasa takutnya terlebih dahulu."Ya, gue Bara. Inget, lo yang pertama kali melamar gue! Dan gue harap lo segera bicarain hal ini kepada keluarga lo, ngerti?" peringat Bara di sebrang sana. Ternyata pendengarannya sangat tajam sampai bisa mendengar lirihan Laila menyebut namanya.Laila hanya diam, jujur hatinya tidak menginginkan ini. Melamarnya? Yang benar saja! Seharusnya dia sadar bahwa itu tidak akan pernah terjadi kalau saja dia tidak memulainya! pikir Laila marah."Laila?! Lo denger kan?" Sepertinya Bara tengah menahan emosinya, terlihat dari nada bicaranya yang mulai meninggi."Bara, a- aku...""Gue gak butuh penjelasan apapun! Dan ya, gue minta satu hal lagi yang harus lo tepatin janji!"Dengan ragu, Laila menjawa "A-apa?""Setelah pernikahan itu terjadi, lo harus siap memberi hak itu ke gue. Kalo enggak, hari ini gue bakal paksa rebut kesucian lo itu!"Deg!Layaknya petir di siang hari Laila langsung melebarkan pupil matanya dan meneguk salivanya susah payah."Gue gak mau lama-lama, jadi secepatnya lo beritahu niat baik ini ke orang tua lo!" tukasnya yang langsung memutuskan sambungan.Laila mengigit bibirnya tak kuat dengan rasa sesak yang tiba-tiba menyerangnya. Dengan bibir yang begetar Laila menjatuhkan kembali cairan bening di pupil matanya."Ya Allah..." Laila semakin terisak. "A-apa ini jalan pilihan Laila..." Laila menggelengkan kepalannya pelan. Mengingat seorang Bara yang dikenal nakal dan kasar di kampusnya membuat hati Laila menciut takut.Dengan sesenggukan nafas Laila tertahankan. "Aku tidak mengerti takdir ini Ya Allah... aku menginginkan seseorang yang baik hati, mampu menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab dengan agamanya. Tapi--" ucapan gemetar Laila tercekat, ia tidak bisa melanjutkan ucapannya yang begitu menyesakkan. Menikahi seorang yang dikenal bengis menjadikan setiap harapannya pupus sudah.Laila terus berkecamuk dengan pikirannya. Sungguh, ditempatkan pada dua pilihan yang sama-sama merusak mental dan hatinya adalah pilihan terberat baginya. Jika ia menolak dan menghindar, tentu kesuciannya yang akan menjadi taruhannya.Laila menggeleng keras, melakukan hubungan tanpa status suami istri adalah dosa besar dan akan menjadi sebuah hutang. Tentu melakukan zina adalah hutang yang akan turun-temurun sampai anak dan cucunya, ia tidak ingin hal itu terjadi. Ia ingin menciptakan keturunan yang baik dan diterima oleh agama.Maka mungkin dengan berat hati, Laila lebih memilih menikahi Bara daripada harus melakukan dosa zina. Ya, walaupun dirinya tahu bahwa menikah dengan Bara itu, sama seperti menjebloskan dirinya sendiri ke sarang buaya.Namun didetik yang sama di tempat yang berbeda."Bara, lo kenapa sih pengen banget nikah sama tuh, cewe?" tanya Jay menatap Bara heran."Iyaa, lho Bar. Yang dikatakan Jay bener. Padahal cewe itu biasa aja," timpal Bagas membenarkan ucapan Jay. Ah iya, Bagas Arlan. Salah satu sahabat Bara yang suka menggoda kaum hawa, hanya saja kepribadiannya yang sengklek menjadikan para gadis enggan kepada nya. Sifatnya yang ceplas ceplos sebelas dua belas dengan Jay."Terserah gue lah," sinis Bara, "lagian gue bosen ngelajang mulu. Emang lo pada enggak mau nikah napa? Umur udah pada tua juga!""Eeehh si bos, kan kalo kita lagi ikhtiar dulu bos. Nyari yang lebih," seru Jay dengan tatapan menggoda."Heh! Jangkrik. Lo ajak kali, gue mah kagak. Sory-sory ya! Lo nyari yang lebih maka gue nyari yang jauh lebih !"Tuk!"Otak lo pada itu kenapa sih cuman dipenuhi cewe ... mulu!" Bukan Bara, melainkan Revan yang berucap dengan menjitak kening Bagas.Revan Carvin Aydn, seorang lelaki dingin namun selalu menampilkan wajah kalem. Sifatnya yang tidak terlalu bar-bar menjadikan para gadis tergoda akan kepribadiannya. Dan mungkin ... sepertinya dialah yang paling waras diantara yang lain."Kalo Bara mau nikah, ya udah nggak pa-pa. Apalagi kalau cewenya juga udah baik gitu," tutur Revan menepuk pundak Bara."Halah! Si bos mah cuman mau ekhem, ekhem nya aja, ya kan bos?" ledek Jay dengan tampang menyebalkan.Bara tertawa kecil menanggapi. "Lo emang paling bener dah,Jay."Tuh kan, sepertinya mereka memang pada tidak waras semua, kecuali Revan yang kini menggeleng sebagai tanggapan."Eh Bos! Bukannya lo punya tunangan ya? Kenapa enggak nikah sama dia aja sih? Padahal dia itu ..." Jay sudah mulai berpikir k0tor kembali.Bara dengan cepat menyentil kening Jay dengan sedikit keras, menjadikan sang empu meringis mengusap keningnya."Sekali aja lo mikir tentang tunangan gue. Gue jamin lidah lo itu gak bakal bisa berucap lagi!" tekan Bara membuat Jay bergidik ngeri. Bos nya itu jika sudah berkata tegas penuh penekanan, maka ia sedang dalam mode marahnya."Hehe." Jay mulai cengengesan, hal itu tentu membuat jijik bagi yang melihat. "Gue cuman bercanda kali, Bos.""Tapi, yang dikatakan Jay bener." Kini Revan ikut membenarkan. "Bara, gimana ceritanya lo nikah dengan cewe lain padahal posisi lo saat ini sedang bertunangan?" Revan menatap Bara heran. Jay dan Bagas juga ikut menatap Bara karena penasaran."Heh! Asal kalian tau aja, selagi suami bisa mencukupi keperluan istrinya, kenapa harus satu coba?" Sontak hal itu membuat seisi ruangan kini digelak tawa yang menggelegar."Astaga..." Revan menggeleng terkekeh, "Dahlah, emang omongan lo itu selalu yang paling bener Bar.""Yoi, Bro. Malah enak kan kalau setiap hari beda-beda masukin lubang?" Dengan polosnya Jay berucap seperti itu. Tentu membuat seisi yang tadinya digelak tawa kini berubah menatap horror Jay.Yang ditatap lagi-lagi hanya cengengesan dengan menampilkan deretan gigi yang bewarna sedikit kuning. Bukan sedikit kuning, lebih tepatnya memang kuning."Bunda? Di dalam pelut Bunda ini, nanti bakal ada belapa bayi?" tanya anak kecil berumur 3 tahun. Dia Albyshaka Ghibran Arseno, anak pertama Bara dan Laila. Setelah proses yang sempat tertunda akibat kecelakaan dahulu membuat Laila bisa kembali hamil. "Eum, berapa ya ...?" Laila nampak berpikir, jari telunjuknya tersimpan di dagu. "Emangnya kakak maunya berapa?" tanya Laila. Bukannya menjawab Laila malah balik bertanya. "Alby maunya sih satu. Laki-laki lagi! Kalau pelempuan Alby gak mau, pelempuan itu banyak maunya Bunda, telus celewet lagi! Shaka gak mau!" Laila tertawa atas keinginan Alby yang terlewat jujur. "Tapi kalau nanti adik kamu perempuan, gimana? Semuanya kan, sudah kehendak Allah," ucap Laila. "Kehendak itu apa Bunda?" tanya Alby mengerutkan keningnya. Laila yang tengah duduk di kursi taman itu membuat Alby ikut duduk di samping sang Bunda. "Kehendak itu sebuah keinginan, kemauan atau juga bisa harapan. Suatu hal yang tidak bisa kita paksakan kecuali dengan mengikut
Suara tangis bayi menggema di udara, membuat Laila yang tengah membereskan beberapa pakaian harus terhenti. Ah, anaknya sudah bangun ternyata. Dengan segera Laila menuju ranjang, hendak mengambil anaknya namun gerakannya terhenti kala melihat Bara yang tengah tertidur pulas. "Astaghfirullah, di mana bayinya?" Suara tangis itu ada, hanya saja kenapa anaknya tidak terlihat. Namun sedetik kemudian Laila melotot terkejut kala selimut besar malah membungkus bayi tersebut. "Astaghfirullah, anak Bunda ... " Dengan segera Laila menyibak kasar selimut hingga selimut itu menutupi muka Bara yang asik tidur. "Cup, cup, cup. Anak Bunda ternyata udah bangun, iya? Eumm, manisnya ..." ujar Laila yang kini Alby dalam gendongannya. Anak Laila yang bernama Albyshaka itu terhenti dari tangisnya. Dia tersenyum ceria kala sang Bunda terus berceloteh sembari menggoyang-goyangkan badannya ke sana ke mari. Kini usia Alby sudah menginjak 9 bulan, yang mana sudah bisa berceloteh bahasa planet. Terbukti de
"La, Mas mohon ... bertahanlah ..." Tangis Bara kian luruh. Tubuhnya gemetar dengan tatapan mata yang mengarah pada lampu bewarna merah, di mana sang istri berada. "Bara?" Sebuah seruan di belakang sana membuat Bara membalikkan badan hingga melihat Vano berlari ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Vano cemas. Dia berdiri di hadapan Bara, dan bukannya menjawab pertanyaan sang Ayah, Bara dengan segera memeluk tubuh Vano. "Ayah, Bara takut .. Laila---""Kita doakan keselamatan untuk Laila. Insya Allah dia pasti akan baik-baik saja," ucap Vano berusaha menenangkan sang anak. Walau nyatanya dia juga ikut merasakan takut. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu kian bertambah kala pintu di mana Laila berada terbuka. Membuat Bara dan Vano langsung menatap sang Dokter yang baru keluar. "Dok--?""Siapa wali dari pasien ini?""Saya, saya suaminya Dok? A--ada apa?" tanya Bara berusaha mungkin untuk tenang. Walau faktanya tidak. "Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal. Menja
Dalam remang-remang Laila membuka mata pelan. Masih dalam proses kesadaran, Laila menatap ruangan serba putih itu. Bukan rumah sakit atau ruangan lainnya. Melainkan warna putih yang tidak berbentuk apa-apa. Laila masih dalam keterdiaman, masih merasakan kenyamanan yang baru kali ini ia rasakan. Sebuah kenyamanan yang terasa sejuk nan menentramkan. Sampai saat sebuah suara terdengar membuat lamunan Laila terbuyarkan. "Hah!" Laila beranjak duduk. Nafasnya sedikit memburu. Yang kemudian matanya melirik di sekitar ruangan tersebut. Putih, hanya putih yang Laila tangkap di dalam ruangan ini. "Putri Abi ..."Sebuah seruan membuat Laila kembali menoleh yang mana membuat Laila terbelalak. "Abi?!" pekik Laila dengan segera berlari. Berlari menuju Abinya yang tengah tertawa. Detik berikutnya Laila memeluk Rahman yang sudah lama ini tidak Laila peluk. Ya, setelah 5 tahun lamanya atas kepergian sang Ayah membuat Laila merindukan sosoknya. "Abi, ternyata Abi ada di sini juga? Ya Allah, Laila
Makin besar perut Laila makin besar pula harapan yang selalu Laila nantikan. Ya, akan kelahiran bayi ini yang mungkin sebulan lagi. Kini Laila tengah duduk bersantai di depan TV. Semakin hari dirinya hanya berdiam diri di tempat. Jik tidak paling hanya membereskan rumah dengan menyapu lantai, membantu Mbok Eka. Tidak banyak, namun cukup membuat keringat Laila bercucuran. Kata Uminya hal seperti ini baik untuk Ibu hamil. Karena dengan begitu akan memperlancar dalam melahirkan. Dan tentu, setiap pagi Laila selalu jalan pagi bersama Bara. Hal itu pun katanya memudahkan dalam lahiran.Rumah kini sepi. Bara yang tengah bekerja, Mbok Eka yang pergi berbelanja, dan Pak Imron yang katanya istrinya tengah sakit. Menjadikan dia harus pulang untuk menjenguk. "Ya Allah bosan ..," keluh Laila. Menjadi Ibu hamil terasa serba salah. Duduk begini pegal, duduk begitu sakit, mau duduk seperti apapun rasanya benar-benar tidak nyaman. Derrrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar membuat atensi Laila
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tidak terasa, usia kandungan Laila sudah naik 8 bulan. Pemeriksaan rutin mingguan sering dilakukan, demi sang bayi yang ingin sehat, apapun akan Bara dan Laila lakukan."Assalamu'alaikum?" Bara baru masuk ke dalam. Laila yang tengah makan buah apel di atas karpet langsung menjawab panggilan sang suami. "Wa'alaikumussalam," jawabnya. Bara tersenyum kala melihat sang istri tengah lesehan di atas karpet. Dengan segera dia ikut lesehan di atas karpet dengan menjatuhkan kepalanya di atas kaki Laila yang diselonjorkan. Sebelum itu Laila mencium punggung tangan Bara yang habis pulang kerja. "Enggak biasanya pulang siang, Mas?" tanya Laila masih sibuk mengupas apel. Sedang Bara sudah mencium perut Laila yang sudah membesar itu."Mas rindu kamu, emang enggak boleh?"Laila terkekeh, "boleh dong sayang, apa sih yang enggak boleh buat kamu? Kamu ngidam aneh aja Laila lakuin!" sindirnya dengan sehalus mungkin. Namun, sang empu malah tertawa mendeng