MasukSuasana di salon VIP milik Madam Elena terasa begitu menenangkan. Wangi aromaterapi melati dan mawar memenuhi ruangan yang kedap suara itu. Vera sedang berbaring santai dengan handuk hangat membungkus rambutnya, sementara seorang ahli manikur mengerjakan kuku-kukunya dengan sangat teliti. Di sampingnya, Madam Elena melakukan hal yang sama."Kau terlihat lebih segar hari ini, Vera. Sepertinya Kaelan benar-benar menjagamu dengan... sangat baik," Elena berujar dengan nada menggoda, matanya melirik sekilas melalui masker mata yang menyejukkan.Vera terkekeh pelan, tawa yang manis dan terdengar lucu di telinga. "Dia hanya sedikit berlebihan, Madam. Anda tahu sendiri bagaimana pria seperti dia.""Aku tahu," Elena menghela napas panjang. "Pria seperti Kaelan Sterling menganggap dunia adalah papan catur mereka. Tapi, aku tidak menyangka kau bisa membuatnya memberikan izin untuk keluar hari ini."Vera tersenyum tipis. Ia tahu ini saatnya. Ia tidak ingin membuang waktu hanya dengan membicarakan
Malam telah larut di Manor Sterling. Di atas ranjang besar, Vera tertidur lelap, wajahnya tampak damai meskipun tubuhnya masih menyisakan rona merah akibat pergulatan panas di bawah shower tadi sore. Ia meringkuk di bawah selimut sutra, tidak menyadari bahwa di sudut kamar yang gelap, sepasang mata sedang mengawasinya tanpa henti.Kaelan duduk di sofa velvet hitam tepat di hadapan tempat tidur. Kamar itu hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu tidur yang redup. Kaelan menyilangkan kakinya yang panjang, memegang sebatang rokok di antara jemarinya. Asap abu-abu melayang ke udara, menari-nari sebelum menghilang di kegelapan, persis seperti rahasia yang sedang ia susun.Tatapannya dingin, tajam, dan penuh perhitungan. Ia menatap Vera bukan dengan kehangatan seorang suami, melainkan dengan kepuasan seorang pemilik yang baru saja memastikan hartanya tidak akan pernah bisa lari.Kaelan menarik laci meja rias di samping sofa dengan gerakan yang sangat pelan, hampir tak terdengar.
Esok siangnya, sebuah limusin perak berhenti di depan Manor. Vera terkejut saat pelayan mengumumkan bahwa Madam Elena datang berkunjung. Wanita itu masuk dengan langkah anggun, membawa sebuah kotak beludru kecil."Madam Elena, sebuah kehormatan bisa menyambut Anda di sini," sapa Vera dengan senyum tulus."Aku hanya ingin mengembalikan kain indahmu, Vera. Tentu saja sudah dibersihkan dengan standar terbaik," Elena menyerahkan kotak itu, lalu duduk dengan tenang. "Dan sejujurnya, aku merasa sangat nyaman berbicara denganmu semalam. Jarang sekali aku menemukan wanita muda yang tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan memiliki intuisi setajam dirimu."Vera merespons dengan rendah hati, mengimbangi pembicaraan Elena tentang tren kecantikan dan gaya hidup dengan sangat baik. Namun, seiring berjalannya waktu, Vera yang jeli mulai menyadari sesuatu. Setiap kali Elena berbicara tentang bisnis atau rencana pembangunan baru, arah pembicaraannya selalu kembali pada satu titik: Kaelan."Ngomong-ng
Lampu kristal di ballroom hotel bintang lima itu memantulkan kemewahan yang menyilaukan. Saat pintu besar terbuka, perhatian seluruh ruangan tersedot pada satu titik: Kaelan dan Vera Sterling. Mereka terlihat seperti definisi kesempurnaan. Kaelan dengan aura gelap dan dominasinya yang tak tergoyahkan, serta Vera yang terlihat seperti malaikat anggun dalam balutan gaun hijau zamrudnya.Vera melingkarkan lengannya di lengan kokoh Kaelan, kepalanya sedikit bersandar dengan cara yang sangat manis, memberikan kesan istri yang patuh. Namun, di balik tatapan lembut yang ia berikan pada setiap tamu yang menyapa, matanya bergerak tajam, merekam setiap wajah, setiap lencana nama, dan setiap gerak-gerik para penguasa modal di sana.Vera tahu posisinya saat ini sangat rentan. Di mata dunia, dia adalah Nyonya Sterling—wanita paling beruntung. Namun, di dalam hatinya, dia tahu Kaelan adalah badai yang bisa berubah kapan saja. Ia tidak boleh hanya menjadi pajangan. Ia harus memiliki pondasinya sendi
Uap air masih memenuhi kamar mandi saat Vera menelan pil kecil itu dengan cepat, memastikan tidak ada sisa air yang tumpah di wastafel. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang berembun, lalu jemarinya bergerak turun, mengelus perutnya yang rata dengan gerakan perlahan dan penuh kerinduan yang tertahan. “Maaf,” bisiknya dalam hati. Ada rasa perih yang nyata saat ia menyadari bahwa ambisinya telah memaksanya menunda kehadiran nyawa baru di sana. Ia menginginkan keturunan, ia menginginkan bagian dari Kaelan yang tumbuh di dalam dirinya, tapi dunia luar masih terlalu kejam, dan kedudukannya di Sterling belum benar-benar aman. Vera menarik napas dalam, menghapus jejak kesedihan di matanya, dan menggantinya dengan senyum manis yang sering ia gunakan untuk menaklukkan dunia—dan suaminya. Saat ia melangkah keluar, aroma parfum maskulin Kaelan menyambutnya. Kaelan sedang berdiri di depan cermin besar, mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan sepenuhnya, memperlihatkan otot dadan
Pagi itu, Kaelan dan Vera sudah berpakaian rapi, siap mengantar Naomi ke vila barunya. Namun, suasana di kamar tidur utama terasa tegang, bukan karena jadwal, melainkan karena transaksi keuangan yang baru saja diselesaikan Kaelan. Di atas meja rias, tergeletak dokumen transfer bank dan sertifikat hak milik atas sebuah vila mewah di kawasan elit. Jumlah di dokumen transfer bank membuat Vera pucat: delapan puluh miliar. Vera, suaranya tajam dan tidak percaya, berujar, "Kaelan! Apa yang kau lakukan? Delapan puluh miliar? Kau memberikan kompensasi itu hanya karena Mama memintanya? Itu bukan kewajibanmu!" Kaelan mendekati Vera, tangannya dimasukkan ke saku celana suit mahalnya. Wajahnya datar, tetapi matanya memancarkan rasa superioritas yang dingin. "Itu kewajibanku," jawab Kaelan. "Kewajibanku adalah menjaga kedamaianmu, Vera. Dan selama Mamamu masih bisa mengganggumu, kedamaian itu tidak ada. Uang itu hanyalah biaya administrasi untuk menjamin fokusmu sepenuhnya padaku dan Sterling.







