Share

Bab 4 - Memalukan

Sial. Fifi sama sekali tidak menjawab telepon Sakina. Tentu saja Sakina merasa kesal. Ia akhirnya memutuskan mendatangi tempat tinggal sahabatnya itu. Untungnya mereka tinggal di apartemen yang sama, sehingga tidak perlu membuang-buang waktu Sakina langsung berjalan kaki menuju apartemen Fifi.

Setelah meminta Erzha menunggu di lobi, Sakina pun naik lift menuju lantai 15. Ia dan Fifi memang tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Setelah sampai di depan pintu, Sakina tak sungkan untuk menekan bel. Cukup lama pintu tak kunjung dibuka, Sakina bahkan nyaris mengira sahabatnya itu tak ada di dalam. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, Sakina bisa mengerti kenapa Fifi tak mengangkat teleponnya.

"Ya ampun, diteleponin nggak diangkat. Ternyata masih tidur dan sekarang baru bangun? Bagus," ujar Sakina seraya memperhatikan Fifi yang masih mengenakan piama, penampilannya pun acak-acakan khas orang baru bangun tidur.

"Ada apa sih, Na? Bukannya kita nggak ada acara, ya?" Suara Fifi masih terdengar parau.

Sakina pun masuk tanpa dipersilakan. "Aku to the point aja deh, ya. Kemarin kamu ingat nggak, merek lipstik yang Erzha bawa?"

Fifi mengernyit, nyawanya yang semula belum kumpul seolah dipaksa kumpul. Ia sampai-sampai tidak menyimak dengan baik pertanyaan Sakina. "Lipstik apa? Kita kemarin beli sepatu, Na. Bukan lipstik."

"Dengar baik-baik, Fifi. Lipstik yang Erzha bawa, yang jatuh dan dia kira punya aku," ucap Sakina penuh penekanan.

"Oh, yang itu. Tapi kenapa kamu nanya mereknya? Jangan bilang mau beli."

Sungguh, kalau sudah seperti ini Sakina merasa malas. Bicara dengan Fifi memang harus jelas, jika tidak pasti wanita itu akan terus bertanya sampai benar-benar tuntas.

"Iya, aku mau beli," kata Sakina cepat. Biarlah, ia akan menjelaskan hal ini lain waktu saja.

Fifi tampak berpikir sejenak. Sampai akhirnya ia berkata, "Aku chat aja, ya. Kalau aku sebutin pasti nanti minta diulang, namanya emang ribet. Entahlah, apa yang ada di pikiran yang punya merek," balas Fifi seraya berjalan ke kamar untuk mengambil ponselnya. Tak lama kemudian, Fifi keluar bersamaan dengan getaran di ponsel Sakina yang menandakan chat-nya sudah terkirim.

"Jadi ini lima panggilan tak terjawab cuma buat nanyain merek lipstik?" tanya Fifi heran.

"Wah, ada tamu." Belum sempat Sakina menjawab, Heru suami Fifi keluar dari kamar menghampiri mereka berdua.

Meskipun Sakina belum menikah, tapi ia sepertinya paham dengan apa yang sudah dilakukan pasangan suami istri ini semalaman sampai-sampai jam segini mereka masih mengenakan pakaian tidur. Sakina juga bersyukur, kedatangan Heru akan menjadi pemutus rantai pertanyaan yang akan Fifi tanyakan. Dengan begitu, pembahasan tentang lipstik ini tidak akan merembet ke mana-mana.

"Cuma sebentar, kok. Ini juga mau pamit," jawab Sakina.

"Kok sebentar?" tanya Heru yang kini sudah duduk di samping istrinya.

"Biasa, urusan wanita. Aku pamit ya, Fi, Mas Heru."

Sebelum menutup pintu, samar-samar terdengar suara khas orang berciuman. Sakina berjanji tidak akan menoleh ke belakang. Fifi dan suaminya memang cenderung blakblakan dalam bermesraan. Terlebih di depan jomlo seperti Sakina, mereka seolah ingin memanas-manasi.

"Sayang ... lagi, yuk!"

Itu adalah kalimat terakhir yang Sakina dengar sebelum pintu benar-benar tertutup. Ini gila, ia harus menjernihkan pikirannya sebelum kembali menemui Erzha.

***

Di lobi, Erzha tampak sedang mengobrol dengan seseorang melalui telepon. Sakina yang melihat itu spontan berhenti, padahal sebentar lagi ia sampai di hadapan pria itu.

Sakina jadi berpikir, bagaimana kalau merek lipstiknya ia forward saja dari chat Fifi. Dengan begitu, ia tidak perlu repot-repot berbicara dengan Erzha lagi.

Sungguh, meskipun pembicaraan mereka tentang lipstik, tapi tetap saja Sakina merasa tak nyaman. Menurutnya, tidak perlu berlama-lama bicara terlebih berdua dengan suami orang. Ia tidak ingin orang lain salah paham.

"Gimana, udah?"

Sakina terperanjat dari lamunannya. Erzha kini sudah ada di hadapannya. Kalau sudah seperti ini, ia tidak mungkin langsung pergi.

"Udah. Aku kirim via chat aja, ya. Setelah itu, Mas Erzha tinggal ke toko kosmetik."

"Loh, kenapa dikirim? Jangan bilang kamu mau ngebiarin aku ke toko kosmetik sendiri," balas Erzha.

Ah, benar dugaan Sakina. Erzha pasti akan minta diantar. Sebentar bersama pria itu saja bisa membuat detak jantung Sakina berdegup cepat. Apalagi kalau lebih lama dari itu?

"Ayo," ajak Erzha kemudian.

"Eh?" Lagi, Sakina baru menyadari kalau Erzha sudah berjalan lebih dulu.

"Kita balik ke mal tadi, ya. Lagian mobilku juga di basemen sana," ucap Erzha seraya memutar tubuhnya kembali menghadap Sakina.

Tentu saja Sakina refleks menghentikan langkahnya. Hampir saja. Jika wanita itu tidak berhenti, pasti mereka sudah bertabrakan seperti di novel, drama atau film.

Erzha pun tersenyum. Senyuman yang dulu sempat membuat Sakina terpesona. Sialnya, senyuman itu masih tetap seperti dulu, membuat tatapan mata Sakina terpaku pada bibir manis itu. Bedanya, saat ini senyuman Erzha milik orang lain. Oh, jangan sampai senyuman suami orang ini membuat Sakina salah tingkah.

"Ayo," kata Erzha lagi.

Ayo?

"Ke mana?" tanya Sakina spontan. Ia merasa sangat konyol, bukankah ia sudah tahu ke mana tujuan mereka? Ya Tuhan, rasa gugup kadang jadi berbahaya seperti ini, bahkan seolah memicu amnesia.

"Ke toko kosmetik, Sakina. Masa ke Gurun Sahara," kekeh Erzha. "Yuk, kamu jalannya di samping dong, jangan di belakang begitu," lanjutnya.

Di samping?!

Jangan tanya bagaimana ekspresi Sakina. Ini benar-benar … memalukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status