Sial. Fifi sama sekali tidak menjawab telepon Sakina. Tentu saja Sakina merasa kesal. Ia akhirnya memutuskan mendatangi tempat tinggal sahabatnya itu. Untungnya mereka tinggal di apartemen yang sama, sehingga tidak perlu membuang-buang waktu Sakina langsung berjalan kaki menuju apartemen Fifi.
Setelah meminta Erzha menunggu di lobi, Sakina pun naik lift menuju lantai 15. Ia dan Fifi memang tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Setelah sampai di depan pintu, Sakina tak sungkan untuk menekan bel. Cukup lama pintu tak kunjung dibuka, Sakina bahkan nyaris mengira sahabatnya itu tak ada di dalam. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, Sakina bisa mengerti kenapa Fifi tak mengangkat teleponnya.
"Ya ampun, diteleponin nggak diangkat. Ternyata masih tidur dan sekarang baru bangun? Bagus," ujar Sakina seraya memperhatikan Fifi yang masih mengenakan piama, penampilannya pun acak-acakan khas orang baru bangun tidur.
"Ada apa sih, Na? Bukannya kita nggak ada acara, ya?" Suara Fifi masih terdengar parau.
Sakina pun masuk tanpa dipersilakan. "Aku to the point aja deh, ya. Kemarin kamu ingat nggak, merek lipstik yang Erzha bawa?"
Fifi mengernyit, nyawanya yang semula belum kumpul seolah dipaksa kumpul. Ia sampai-sampai tidak menyimak dengan baik pertanyaan Sakina. "Lipstik apa? Kita kemarin beli sepatu, Na. Bukan lipstik."
"Dengar baik-baik, Fifi. Lipstik yang Erzha bawa, yang jatuh dan dia kira punya aku," ucap Sakina penuh penekanan.
"Oh, yang itu. Tapi kenapa kamu nanya mereknya? Jangan bilang mau beli."
Sungguh, kalau sudah seperti ini Sakina merasa malas. Bicara dengan Fifi memang harus jelas, jika tidak pasti wanita itu akan terus bertanya sampai benar-benar tuntas.
"Iya, aku mau beli," kata Sakina cepat. Biarlah, ia akan menjelaskan hal ini lain waktu saja.
Fifi tampak berpikir sejenak. Sampai akhirnya ia berkata, "Aku chat aja, ya. Kalau aku sebutin pasti nanti minta diulang, namanya emang ribet. Entahlah, apa yang ada di pikiran yang punya merek," balas Fifi seraya berjalan ke kamar untuk mengambil ponselnya. Tak lama kemudian, Fifi keluar bersamaan dengan getaran di ponsel Sakina yang menandakan chat-nya sudah terkirim.
"Jadi ini lima panggilan tak terjawab cuma buat nanyain merek lipstik?" tanya Fifi heran.
"Wah, ada tamu." Belum sempat Sakina menjawab, Heru suami Fifi keluar dari kamar menghampiri mereka berdua.
Meskipun Sakina belum menikah, tapi ia sepertinya paham dengan apa yang sudah dilakukan pasangan suami istri ini semalaman sampai-sampai jam segini mereka masih mengenakan pakaian tidur. Sakina juga bersyukur, kedatangan Heru akan menjadi pemutus rantai pertanyaan yang akan Fifi tanyakan. Dengan begitu, pembahasan tentang lipstik ini tidak akan merembet ke mana-mana.
"Cuma sebentar, kok. Ini juga mau pamit," jawab Sakina.
"Kok sebentar?" tanya Heru yang kini sudah duduk di samping istrinya.
"Biasa, urusan wanita. Aku pamit ya, Fi, Mas Heru."
Sebelum menutup pintu, samar-samar terdengar suara khas orang berciuman. Sakina berjanji tidak akan menoleh ke belakang. Fifi dan suaminya memang cenderung blakblakan dalam bermesraan. Terlebih di depan jomlo seperti Sakina, mereka seolah ingin memanas-manasi.
"Sayang ... lagi, yuk!"
Itu adalah kalimat terakhir yang Sakina dengar sebelum pintu benar-benar tertutup. Ini gila, ia harus menjernihkan pikirannya sebelum kembali menemui Erzha.
***
Di lobi, Erzha tampak sedang mengobrol dengan seseorang melalui telepon. Sakina yang melihat itu spontan berhenti, padahal sebentar lagi ia sampai di hadapan pria itu.
Sakina jadi berpikir, bagaimana kalau merek lipstiknya ia forward saja dari chat Fifi. Dengan begitu, ia tidak perlu repot-repot berbicara dengan Erzha lagi.
Sungguh, meskipun pembicaraan mereka tentang lipstik, tapi tetap saja Sakina merasa tak nyaman. Menurutnya, tidak perlu berlama-lama bicara terlebih berdua dengan suami orang. Ia tidak ingin orang lain salah paham.
"Gimana, udah?"
Sakina terperanjat dari lamunannya. Erzha kini sudah ada di hadapannya. Kalau sudah seperti ini, ia tidak mungkin langsung pergi.
"Udah. Aku kirim via chat aja, ya. Setelah itu, Mas Erzha tinggal ke toko kosmetik."
"Loh, kenapa dikirim? Jangan bilang kamu mau ngebiarin aku ke toko kosmetik sendiri," balas Erzha.
Ah, benar dugaan Sakina. Erzha pasti akan minta diantar. Sebentar bersama pria itu saja bisa membuat detak jantung Sakina berdegup cepat. Apalagi kalau lebih lama dari itu?
"Ayo," ajak Erzha kemudian.
"Eh?" Lagi, Sakina baru menyadari kalau Erzha sudah berjalan lebih dulu.
"Kita balik ke mal tadi, ya. Lagian mobilku juga di basemen sana," ucap Erzha seraya memutar tubuhnya kembali menghadap Sakina.
Tentu saja Sakina refleks menghentikan langkahnya. Hampir saja. Jika wanita itu tidak berhenti, pasti mereka sudah bertabrakan seperti di novel, drama atau film.
Erzha pun tersenyum. Senyuman yang dulu sempat membuat Sakina terpesona. Sialnya, senyuman itu masih tetap seperti dulu, membuat tatapan mata Sakina terpaku pada bibir manis itu. Bedanya, saat ini senyuman Erzha milik orang lain. Oh, jangan sampai senyuman suami orang ini membuat Sakina salah tingkah.
"Ayo," kata Erzha lagi.
Ayo?
"Ke mana?" tanya Sakina spontan. Ia merasa sangat konyol, bukankah ia sudah tahu ke mana tujuan mereka? Ya Tuhan, rasa gugup kadang jadi berbahaya seperti ini, bahkan seolah memicu amnesia.
"Ke toko kosmetik, Sakina. Masa ke Gurun Sahara," kekeh Erzha. "Yuk, kamu jalannya di samping dong, jangan di belakang begitu," lanjutnya.
Di samping?!
Jangan tanya bagaimana ekspresi Sakina. Ini benar-benar … memalukan.
Sakina tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat melihat sampel novel yang dibawa Elina. “Wah, ini bagus banget covernya,” puji Sakina. “Saat masih dalam bentuk soft copy aja aku udah jatuh cinta banget sama covernya, ternyata versi fisiknya lebih bikin aku terpesona.”“Ini Tayo yang bikin,” kata Elina. “Tadi aku mampir ke percetakan dan sekalian bawa sampelnya deh. Mas Erzha kemarin telepon buat ngasih tahu kalau kalian udah sampai rumah. Aku senang banget,” sambungnya.“Makasih ya, El. Udah mau bawain ini.”“Kamu cek lagi, Na. Takutnya ada yang kelewat, kalau ada revisi tinggal kasih tahu Tayo aja. Setelah semuanya aman … bakal diperbanyak. Rencana pre-order Minggu depan, kan?”“Iya, El. Rencananya Minggu depan. Eh, tapi Mas Erzha ke mana? Kamu udah sempat ketemu, kan?”“Di gudang depan sama Ujang dan Tayo karena kebetulan ada novel yang baru aja datang. Mau ke sana?”“Boleh,” balas Sakina.“Ngomong-ngomong, honeymoon-nya lancar, kan?” tanya Elina saat mereka sudah berjalan
“Sayang … bangun yuk,” ucap Erzha seraya mengelus-elus rambut panjang Sakina. Ia bahkan sesekali mengecup pipi sang istri yang kini masih tertidur lelap. Padahal, matahari sudah semakin naik.Sakina menggeliat, membuat Erzha spontan sedikit memundurkan tubuhnya. “Ini jam berapa, Mas?” tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, matanya bahkan belum seratus persen terbuka.“Jam setengah sembilan, Sayang. Jadi pergi hari ini, kan?”Mendengar itu, Sakina langsung membuka lebar matanya. “Ya ampun, Mas … aku belum mandi dan siap-siap.”“Makanya ayo bangun, Kina. Selagi kamu mandi dan siap-siap … aku bakal siapin sarapan buat kita.”Hari ini, tepat dua bulan mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Selama itu pula mereka melakukan perjalanan panjang. Ya, Sakina dan Erzha baru pulang dari acara bulan madu keliling Eropa.Semenjak menikah, Erzha menyerahkan beberapa bisnisnya kepada manajer profesional, kecuali Aluna Publishing yang ia percayakan pada Biru sampai dirinya kembali. Se
Kata orang, menjelang pernikahan akan banyak sekali cobaan dan rintangan yang biasanya dihadapi para calon pengantin. Namun, Sakina dan Erzha bersyukur tidak menemukan cobaan-cobaan yang berat selama enam bulan menjelang hari H. Ya, mereka akhirnya memutuskan pernikahan akan dilangsungkan enam bulan setelah kepergian Aluna.Mungkin waktu akan terasa begitu singkat karena baik Erzha maupun Sakina sama-sama sibuk bekerja. Erzha dan Sakina memang melakukan rutinitas seperti biasa. Sakina bahkan berhasil melakukan self edit sekaligus merevisi cerita bersambungnya dan kini tinggal ia serahkan ke meja editor. Ya, Biru akan mengeditnya dan kemungkinan bisa terbit dalam waktu beberapa bulan ke depan.Formasi Aluna Publishing masih tetap sama dan mereka semakin kompak, terlebih saat Ujang dan Sutaryo mengetahui rencana pernikahan Sakina dan Erzha. Dua pria itu benar-benar super heboh.Biru? Pria itu masih tetap sama, kadang marah-marah tak jelas jika naskah yang dieditnya begitu banyak kesalah
Sherly cukup lama sendirian berada di makam Aluna, ia tahu hari ini pasti tiba. Hanya saja, wanita itu tidak menyangka betapa cepatnya Aluna pergi meninggalkannya. Sebagai seorang ibu, hatinya hancur. Sangat hancur. Namun, tidak ada pilihan selain berusaha merelakan dan berdoa agar Aluna tenang di alam sana.Saat keluar dari area pemakaman, Sherly mendapati Biru sedang berdiri di dekat gerbang. Sepertinya pria itu sedang menunggunya. Ya, tidak ada siapa-siapa di sini, sudah pasti Biru ingin berbicara dengannya.Menghampiri pria itu, Sherly kemudian bertanya, “Belum pulang?”Biru memperhatikan raut wajah Sherly yang begitu jelas menunjukkan kesedihannya. Matanya bahkan sembap. “Lo belum makan, kan?” tanya Biru kemudian.“Belum. Lo juga belum?”Mereka kemudian memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Keduanya sama-sama membawa mobil sehingga mereka mengemudikan mobilnya masing-masing.“Gue turut berduka cita ya, Sher,” ucap Biru yang sudah kesekian kalinya. Saat ini mereka berdua sud
"Kina....""I-iya, Mas?" balas Sakina gugup.“Gimana keadaan kamu?” tanya Biru.Sakina tidak langsung menjawab, ia memperhatikan Biru yang sepertinya sudah bersikap seperti biasa seolah pembicaraan kemarin sekaligus penolakannya tidak pernah terjadi. Jujur, Sakina masih merasa canggung. Sangat.“Wah, malah ngelamun. Tapi kamu kelihatannya udah sehat, sih. Buktinya datang ke sini sendiri,” kata Biru lagi.“Itu tahu. Ngapain nanya?” balas Sakina dengan nada bercanda demi mengusir kecanggungan. Ya, mulanya Sakina pikir hubungannya dengan Biru akan sangat canggung, tapi melihat sikap dan ekspresi pria itu ternyata seperti biasa jelas membuatnya sangat lega.“Emang pria yang udah ditolak nggak berhak nanya, ya?”“Bu-bukan begitu, Mas.”“Tapi?”“Maaf, kita seharusnya nggak membahas ini, Mas. Terlebih di sini,” balas Sakina.“Sori, sori. Bercanda.”“Oh iya, kalau boleh tahu … apa Mas Biru tahu Aluna sakit apa?” tanya Sakina kemudian.“Tumor otak,” jawab Biru. “Erzha sama Sherly rapi banget m
Setelah tertidur hampir lima jam, Sakina mengerjapkan matanya perlahan. Saat matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia memperhatikan sekeliling. Tidak salah lagi, kini ia berada di ruangan rumah sakit. Terlebih infus terpasang di tangannya yang semakin mendukung keyakinannya.“Kina, kamu udah bangun.”Menoleh ke sumber suara, Sakina mendapati Fifi sedang duduk di sofa dan kini mendekat ke arahnya. Sakina tidak akan heran kalau Biru yang ada di sini karena ingatan terakhirnya yaitu sedang berbicara serius dengan Biru. Namun, bagaimana bisa Fifi yang berada di sini?“Kenapa kamu di sini?” tanya Sakina sambil berusaha duduk. Tentu saja Fifi secepatnya membantu.“Pertanyaan kamu ada-ada aja. Aku di sini karena kamu ada di sini, Kina.”“Kamu yang bawa aku ke sini? Thanks banget kalau gitu.”“Aku sama Biru,” jawab Fifi.Sakina mengernyit. “Kok bisa?”“Biru nelepon aku. Dia nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain aku.”“Kok dia tahu nomor kamu?”“Bukan itu yang penting, Kina. Sekarang piki
Biru mengajak Sakina menikah? Apa tidak gila?Berbicara tentang Sherly, Sakina jadi teringat tentang pembicaraan mereka di kafe tadi....________“Saya pengen rujuk sama Erzha.”Jawaban Sherly seharusnya sudah cukup mampu membuat Sakina mundur teratur. Benar kata Biru, seharusnya dirinya mendengarkan pria itu dari awal. Hanya saja, Sakina tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya yakni men-judge sembarangan. Ya, ia pernah menganggap Erzha adalah suami orang tanpa mendengar langsung fakta sebenarnya sehingga ia cukup lama tenggelam dalam kesalahpahaman.Oleh karena itu, saat Sherly mengajaknya bertemu, Sakina tidak mau langsung berpikir yang tidak-tidak. Meskipun sebenarnya perasaannya tidak tenang, khawatir Sherly akan memintanya menjauhi Erzha, tapi Sakina tetap datang untuk menemui wanita itu. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan Sherly katakan agar tidak larut dalam berbagai prasangka.Dengan begitu, Sakina akan bisa memutuskan langkah mana yang seharusnya diambil
Begitu sampai, Sakina langsung turun dan membuka helmnya. Biru yang baru saja turun setelah memarkirkan motornya, tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah pucat Sakina. Biru tidak menyangka Sherly benar-benar menerima sarannya untuk memisahkan Erzha dan Sakina.Jujur, Biru senang jika Sakina menyerah pada cinta pertamanya. Dengan begitu, ia memiliki kesempatan untuk bersama Sakina. Namun, jika melihat Sakina sampai pucat begini, Biru jadi agak merasa bersalah.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Biru kemudian.Sakina mengangguk. “Aku duluan ya, Mas. Makasih atas tumpangannya.” Tanpa menunggu jawaban Biru, Sakina bergegas menuju lift. Tentu saja Biru segera mengikuti.Dalam diam, mereka kini sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Sakina masih bertahan dengan kebungkamannya, begitu juga dengan Biru yang masih tetap mengikuti Sakina.“Aku masuk dulu ya, Mas,” pamit Sakina yang kini berada tepat di depan pintu.“Aku boleh masuk?”Pertanyaan Biru membuat Sakina mengernyit. “Ma-mau apa?”
Waktu seolah berjalan sangat lambat saat menunggu. Ya, Sakina merasa sudah cukup lama menanti kedatangan Sherly. Sambil menunggu, Sakina bahkan sempat melakukan panggilan video dengan Fifi, tapi sampai detik ini Sherly belum juga tiba.Sakina memang datang lebih awal dari waktu yang mereka janjikan, hanya saja sekarang sudah satu jam berlalu. Kenapa Sherly tidak ada kabar sama sekali? Sakina bahkan menunda makannya demi menunggu Sherly. Ia takut jika makan lebih dulu, lalu tiba-tiba Sherly datang, tentu hal itu sangat tidak enak baginya.Bersamaan dengan minuman ketiga yang mulai tandas, seorang wanita tersenyum seraya berjalan ke arah Sakina. Mungkinkah itu Sherly? Sakina belum pernah melihat wajahnya sehingga tidak bisa memastikan rupa wanita itu.Namun, saat wanita itu sudah benar-benar di hadapannya, Sakina spontan berdiri. Sepertinya wanita yang sangat cantik di hadapan Sakina memang benar mantan istri Erzha.“Sakina, ya? Maaf udah bikin kamu nunggu lama,” ucap Sherly penuh rasa