Akhirnya, tugas Sakina sudah selesai. Lipstik sudah dibeli, dan kini ada di tangan Erzha. Sebaiknya sekarang Sakina pamit pergi. Ia tidak mau terus-terusan bersama pria itu. Lagi pula, Sakina sudah ada janji dengan Nita—mamanya. Ya, setiap hari Minggu, rutinitas Sakina yaitu mengunjungi rumah makan yang dikelola mamanya.
Biasanya Sakina ke sana sore hari karena saat pagi sampai siang gravitasi kasurnya lebih kuat sehingga membuatnya lebih memilih 'hibernasi'. Namun, berhubung ia sudah rapi, lebih baik langsung ke sana sekarang. Jika kembali ke apartemen terlebih dahulu, ia bisa terserang mager kemudian tidak jadi menemui mamanya.
"Kamu ngapain pesan ojek online?" Suara Erzha mengalihkan fokus Sakina dari yang semula menatap ponsel, lalu beralih menatap Erzha. Sakina bahkan ingin bertanya, kenapa mata Erzha bisa sangat jeli?
"Maaf, aku nggak sengaja lihat layar ponsel kamu," kata Erzha lagi.
Sakina tidak langsung menjawab, ia kesal kenapa status pesanannya terus 'mencari driver' padahal biasanya kurang dari lima detik driver sudah ditemukan. Sakina jadi curiga, jangan-jangan paket internetnya habis, dan benar saja ... tak lama kemudian di aplikasi tertulis koneksinya terputus.
Menyebalkan. Kenapa Sakina sampai lupa kalau hari ini ia kehabisan paket internet? Sepertinya Sakina harus ke kafe lagi agar bisa menumpang fasilitas wifi. Ia bahkan bisa sekalian mengakses m-banking di sana untuk mengisi paket internetnya karena kebetulan Sakina hanya membawa uang cash seperlunya, sedangkan ia juga tidak membawa kartu ATM-nya.
"Kamu sebenarnya mau ke mana, Sakina?"
Sakina sedikit terkejut, ia baru sadar kalau Erzha masih bersamanya. "Oh, nggak ke mana-mana, kok."
"Rumah kamu di mana? Aku antar, ya," tawar Erzha. Ia sama sekali tidak tahu kalau apartemen Sakina tepat di samping mal ini sehingga tidak membutuhkan kendaraan kalau hendak pulang.
"Enggak usah, Mas. Tapi sebelumnya terima kasih, ya."
Selama beberapa saat mereka saling diam, Sakina jadi salah tingkah ketika Erzha terus menatapnya. Untungnya pria itu jauh lebih tinggi darinya, sehingga wajah mereka tidak benar-benar dekat. Sakina perlahan mendongak, rupanya Erzha masih menatapnya.
"Ke-kenapa, Mas?" tanya Sakina agak terbata. "Kalau mau pulang, silakan pulang aja. Aku masih ada urusan di sini," lanjutnya. Ya, Sakina memang faktanya memiliki urusan, yakni kembali ke kafe demi koneksi internet.
"Apa aku ada salah sama kamu?" tanya Erzha tiba-tiba.
Sontak pertanyaan itu membuat Sakina terkejut. "Kenapa nanya begitu?"
"Berarti betul, ya, aku ada salah?"
Sakina secepatnya menggeleng. "Enggak, Mas nggak ada salah apa pun. Aneh banget pertanyaannya."
"Kalau beneran nggak ada salah ... ayo aku antar kamu, ya. Aku tahu kamu mau pergi ke suatu tempat."
"Ya ampun, Mas ... serius nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok."
"Anggap aja ini ucapan terima kasih karena kamu mau repot-repot bantu aku cari lisptik ini."
"Aku nggak repot, Mas. Seriu—"
"Ayo," potong Erzha seraya berjalan menuju tangga yang terhubung langsung dengan basemen.
Sakina merasa serba salah. Ia ingin kabur saja, tapi sialnya kedua kakinya malah melangkah mengikuti Erzha.
***
Kecanggungan macam apa ini? Mobil sudah berjalan selama beberapa menit, tapi Sakina dan Erzha hanya saling diam, tidak ada satu pun yang membuka suara. Tentu saja ini tidak nyaman, Sakina ingin secepatnya sampai, hanya saja jika mengingat jarak dari mal ke rumah makan mamanya yang cukup jauh, akhirnya Sakina hanya bisa bersabar.
"Kamu masih takut hantu?" tanya Erzha seraya mengemudikan mobilnya, matanya pun fokus menatap jalanan di depannya. Akhirnya, pria itu mulai memecah keheningan untuk mengusir rasa canggung.
Sumpah demi apa pun, dari sekian milyar pertanyaan ... kenapa yang meluncur dari mulut Erzha adalah pertanyaan macam itu? Sakina bahkan sempat terkejut, bisa-bisanya pria itu mengingat hal yang seharusnya sudah dilupakan.
"Masih takut?" ulang Erzha.
"Enggak," jawab Sakina akhirnya.
"Yakin?" Erzha tampak memastikan.
"Sedikit," koreksi Sakina, tampak malu.
Erzha sempat terkekeh selama beberapa saat. "Rupanya masih."
"Lucu, ya?"
Erzha mengangguk. "Iya, kamu nggak berubah. Penakut."
Erzha bilang Sakina tidak berubah? Sungguh, Sakina ingin menyangkal, tapi ia malas membahasnya. Baru kali ini ada yang bilang Sakina tidak berubah, padahal sebenarnya wanita itu merasa sangat berbeda dengan dulu.
Ya, Sakina tidak memungkiri kalau dulu ia sangat takut terhadap hantu. Namun, itu wajar karena masih remaja. Semenjak SMA, kuliah, bahkan bekerja, takaran ketakutannya terhadap hantu lambat laun berkurang. Terbukti sekarang ia tinggal sendirian di apartemennya. Meskipun sampai saat ini ia paling menghindari pembahasan atau film yang berbau horor, tapi tetap saja tidak seharusnya Erzha mengira Sakina masih penakut.
"Ngomong-ngomong, sekarang kamu sibuk apa?" tanya Erzha lagi.
Pertanyaan ini pasti akan merambat pada pembahasan tentang pekerjaan, dan ujung-ujungnya pasti menjelma jadi pertanyaan yang berbau pernikahan. Memang tidak selalu, tapi setidaknya sebagian besar orang yang Sakina temui akan menanyakan perihal statusnya.
Sungguh, sampai detik ini Sakina tidak menyukai pertanyaan 'kapan nikah?' Ia benar-benar sudah kenyang dengan pertanyaan sialan itu.
"Sakina...," panggil Erzha yang membuat Sakina langsung terperanjat dari lamunannya.
"Eh, iya, maaf. Ta-tadi apa?" Sakina agak terbata.
"Kamu melamun, ya? Awas, jangan melamun di sini nanti kesuru—"
"Enggak," potong Sakina. "Aku nggak ngelamun."
"Oke, oke, aku ulang ya kalau begitu. Sekarang lagi sibuk apa?"
"Biasa aja, sih. Aku nggak sibuk-sibuk banget," jawab Sakina.
Detik berikutnya Sakina langsung merutuki jawabannya sendiri. Betapa tidak, itu jawaban yang seakan kode membuka pintu bahwa ia bisa diajak bertemu kapan saja. Sial. Sakina berjanji lain kali akan memfilter ucapannya. Ia tidak mau seakan sedang berharap pada suami orang. Catat, suami orang!
"Biasa aja?" Erzha menuntut penjelasan.
"Ya begitulah, susah jelasinnya, Mas."
Erzha mengangguk paham. "Kerja di mana sekarang?"
Tuh kan benar, pasti akan merambat pada pekerjaan dan status. Kenapa pertanyaan orang Indonesia pasaran sekali, sih? batin Sakina.
"Aku baru resign, Mas."
Erzha tampak terkejut. "Berarti sekarang nganggur dong?"
Kenapa? Mau nawarin jadi pengasuh anaknya? Ogah! batin Sakina lagi.
"Ya, gitu deh," jawab Sakina kemudian.
"Maaf kalau banyak tanya, memangnya kenapa resign?"
"Pengen istirahat aja sih, Mas," jelas Sakina.
"Kalau mau istirahat seharusnya cuti, bukan resign."
Sebenarnya, alasan Sakina cuti bukan itu. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Erzha. Ya, Sakina keluar dari tempat kerjanya karena alasan yang sangat pribadi, sangat tidak mungkin ia menjelaskannya pada Erzha.
"Hmm, terus kamu nggak punya kegiatan dong?"
"Punya," jawab Sakina cepat, sebelum Erzha menawarkan menjadi pengasuh anaknya. Sungguh, ini memang pemikiran Sakina saja, tapi tetap saja ia tidak mau meski sekadar memikirkannya. "Nulis," lanjutnya. Sakina sengaja mengatakannya agar Erzha tahu kalau ia punya kesibukan. Sakina tidak mau dianggap pengangguran yang bisa diajak bertemu kapan saja. Mengingat kedekatannya dengan Erzha dulu, tentu saja sekarang situasinya berbeda. Ya, sekarang mereka tidak boleh sering bertemu. Sakina butuh kesibukan dan menulis adalah hal yang terlintas dalam pikirannya.
"Wah, kamu penulis? Aku nggak nyangka sekarang kamu penulis. Aku tahu betul dulu kamu nggak begitu tertarik sama dunia literasi."
"Bukan penulis juga, sih ... aku cuma iseng aja."
"Justru yang bilang iseng biasanya berakhir serius. Oh ya, nulis apa?"
"Fiksi," jawab Sakina singkat.
"Wah, keren! Ada berapa buku yang kamu bikin?"
"Satu aja belum, Mas. Dibilangin cuma iseng aja. Aku nulis di salah satu platform gitu, nggak aku jadikan novel. Lagian belum tamat juga."
"Aplikasi ini, kan?" Erzha memastikan sambil menunjukkan ponselnya pada Sakina.
Sakina tentu saja tampak terkejut. "Kok tahu?"
"Tentu saja aku tahu, aku punya teman yang mengurusi para penulis untuk menovelkan karyanya. Mau dikenalin?"
"Maksudnya penerbit?"
"Iya. Aku bisa ajak kamu ke sana sekadar melihat-lihat, syukur-syukur kalau berjodoh naskahnya."
"Belum tamat, Mas," ulang Sakina.
"Apa salahnya lihat-lihat dulu? Siapa tahu aja mereka tertarik sama naskah kamu."
Entah harus berapa kali Sakina mengatakan bahwa novelnya belum tamat. Awalnya ia menduga Erzha termasuk dalam daftar orang yang tidak akan pernah tertarik atau bahkan tahu apa itu aplikasi menulis, tapi ternyata dugaannya salah besar.
Ya ampun, ganteng-ganteng menjengkelkan! batin Sakina.
"Kayaknya nggak perlu deh, Mas."
"Kita ke sana bareng aja, Sakina."
Gila, kan? Suami macam apa ini? Bagaimana kalau istrinya tahu? Ya Tuhan, Sakina benar-benar merasa tidak nyaman kalau begini. Mungkin tujuan Erzha baik, hanya saja apa pria itu lupa sekarang menjadi suami orang? Kenapa enteng sekali mengajak seorang wanita pergi bersama ke suatu tempat.
"Enggak usah," tolak Sakina teguh pada pendiriannya.
"Baiklah kalau begitu, aku nggak bisa maksa."
Tak terasa mobil Erzha kini sudah sampai di depan rumah makan mamanya Sakina. Secepatnya Sakina bersiap untuk turun, tapi kemudian Erzha menahannya.
"Tunggu," ucap Erzha.
Ya Tuhan, sebenarnya apa yang Erzha inginkan dariku?
Sakina tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat melihat sampel novel yang dibawa Elina. “Wah, ini bagus banget covernya,” puji Sakina. “Saat masih dalam bentuk soft copy aja aku udah jatuh cinta banget sama covernya, ternyata versi fisiknya lebih bikin aku terpesona.”“Ini Tayo yang bikin,” kata Elina. “Tadi aku mampir ke percetakan dan sekalian bawa sampelnya deh. Mas Erzha kemarin telepon buat ngasih tahu kalau kalian udah sampai rumah. Aku senang banget,” sambungnya.“Makasih ya, El. Udah mau bawain ini.”“Kamu cek lagi, Na. Takutnya ada yang kelewat, kalau ada revisi tinggal kasih tahu Tayo aja. Setelah semuanya aman … bakal diperbanyak. Rencana pre-order Minggu depan, kan?”“Iya, El. Rencananya Minggu depan. Eh, tapi Mas Erzha ke mana? Kamu udah sempat ketemu, kan?”“Di gudang depan sama Ujang dan Tayo karena kebetulan ada novel yang baru aja datang. Mau ke sana?”“Boleh,” balas Sakina.“Ngomong-ngomong, honeymoon-nya lancar, kan?” tanya Elina saat mereka sudah berjalan
“Sayang … bangun yuk,” ucap Erzha seraya mengelus-elus rambut panjang Sakina. Ia bahkan sesekali mengecup pipi sang istri yang kini masih tertidur lelap. Padahal, matahari sudah semakin naik.Sakina menggeliat, membuat Erzha spontan sedikit memundurkan tubuhnya. “Ini jam berapa, Mas?” tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, matanya bahkan belum seratus persen terbuka.“Jam setengah sembilan, Sayang. Jadi pergi hari ini, kan?”Mendengar itu, Sakina langsung membuka lebar matanya. “Ya ampun, Mas … aku belum mandi dan siap-siap.”“Makanya ayo bangun, Kina. Selagi kamu mandi dan siap-siap … aku bakal siapin sarapan buat kita.”Hari ini, tepat dua bulan mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Selama itu pula mereka melakukan perjalanan panjang. Ya, Sakina dan Erzha baru pulang dari acara bulan madu keliling Eropa.Semenjak menikah, Erzha menyerahkan beberapa bisnisnya kepada manajer profesional, kecuali Aluna Publishing yang ia percayakan pada Biru sampai dirinya kembali. Se
Kata orang, menjelang pernikahan akan banyak sekali cobaan dan rintangan yang biasanya dihadapi para calon pengantin. Namun, Sakina dan Erzha bersyukur tidak menemukan cobaan-cobaan yang berat selama enam bulan menjelang hari H. Ya, mereka akhirnya memutuskan pernikahan akan dilangsungkan enam bulan setelah kepergian Aluna.Mungkin waktu akan terasa begitu singkat karena baik Erzha maupun Sakina sama-sama sibuk bekerja. Erzha dan Sakina memang melakukan rutinitas seperti biasa. Sakina bahkan berhasil melakukan self edit sekaligus merevisi cerita bersambungnya dan kini tinggal ia serahkan ke meja editor. Ya, Biru akan mengeditnya dan kemungkinan bisa terbit dalam waktu beberapa bulan ke depan.Formasi Aluna Publishing masih tetap sama dan mereka semakin kompak, terlebih saat Ujang dan Sutaryo mengetahui rencana pernikahan Sakina dan Erzha. Dua pria itu benar-benar super heboh.Biru? Pria itu masih tetap sama, kadang marah-marah tak jelas jika naskah yang dieditnya begitu banyak kesalah
Sherly cukup lama sendirian berada di makam Aluna, ia tahu hari ini pasti tiba. Hanya saja, wanita itu tidak menyangka betapa cepatnya Aluna pergi meninggalkannya. Sebagai seorang ibu, hatinya hancur. Sangat hancur. Namun, tidak ada pilihan selain berusaha merelakan dan berdoa agar Aluna tenang di alam sana.Saat keluar dari area pemakaman, Sherly mendapati Biru sedang berdiri di dekat gerbang. Sepertinya pria itu sedang menunggunya. Ya, tidak ada siapa-siapa di sini, sudah pasti Biru ingin berbicara dengannya.Menghampiri pria itu, Sherly kemudian bertanya, “Belum pulang?”Biru memperhatikan raut wajah Sherly yang begitu jelas menunjukkan kesedihannya. Matanya bahkan sembap. “Lo belum makan, kan?” tanya Biru kemudian.“Belum. Lo juga belum?”Mereka kemudian memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Keduanya sama-sama membawa mobil sehingga mereka mengemudikan mobilnya masing-masing.“Gue turut berduka cita ya, Sher,” ucap Biru yang sudah kesekian kalinya. Saat ini mereka berdua sud
"Kina....""I-iya, Mas?" balas Sakina gugup.“Gimana keadaan kamu?” tanya Biru.Sakina tidak langsung menjawab, ia memperhatikan Biru yang sepertinya sudah bersikap seperti biasa seolah pembicaraan kemarin sekaligus penolakannya tidak pernah terjadi. Jujur, Sakina masih merasa canggung. Sangat.“Wah, malah ngelamun. Tapi kamu kelihatannya udah sehat, sih. Buktinya datang ke sini sendiri,” kata Biru lagi.“Itu tahu. Ngapain nanya?” balas Sakina dengan nada bercanda demi mengusir kecanggungan. Ya, mulanya Sakina pikir hubungannya dengan Biru akan sangat canggung, tapi melihat sikap dan ekspresi pria itu ternyata seperti biasa jelas membuatnya sangat lega.“Emang pria yang udah ditolak nggak berhak nanya, ya?”“Bu-bukan begitu, Mas.”“Tapi?”“Maaf, kita seharusnya nggak membahas ini, Mas. Terlebih di sini,” balas Sakina.“Sori, sori. Bercanda.”“Oh iya, kalau boleh tahu … apa Mas Biru tahu Aluna sakit apa?” tanya Sakina kemudian.“Tumor otak,” jawab Biru. “Erzha sama Sherly rapi banget m
Setelah tertidur hampir lima jam, Sakina mengerjapkan matanya perlahan. Saat matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia memperhatikan sekeliling. Tidak salah lagi, kini ia berada di ruangan rumah sakit. Terlebih infus terpasang di tangannya yang semakin mendukung keyakinannya.“Kina, kamu udah bangun.”Menoleh ke sumber suara, Sakina mendapati Fifi sedang duduk di sofa dan kini mendekat ke arahnya. Sakina tidak akan heran kalau Biru yang ada di sini karena ingatan terakhirnya yaitu sedang berbicara serius dengan Biru. Namun, bagaimana bisa Fifi yang berada di sini?“Kenapa kamu di sini?” tanya Sakina sambil berusaha duduk. Tentu saja Fifi secepatnya membantu.“Pertanyaan kamu ada-ada aja. Aku di sini karena kamu ada di sini, Kina.”“Kamu yang bawa aku ke sini? Thanks banget kalau gitu.”“Aku sama Biru,” jawab Fifi.Sakina mengernyit. “Kok bisa?”“Biru nelepon aku. Dia nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain aku.”“Kok dia tahu nomor kamu?”“Bukan itu yang penting, Kina. Sekarang piki
Biru mengajak Sakina menikah? Apa tidak gila?Berbicara tentang Sherly, Sakina jadi teringat tentang pembicaraan mereka di kafe tadi....________“Saya pengen rujuk sama Erzha.”Jawaban Sherly seharusnya sudah cukup mampu membuat Sakina mundur teratur. Benar kata Biru, seharusnya dirinya mendengarkan pria itu dari awal. Hanya saja, Sakina tidak mau mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya yakni men-judge sembarangan. Ya, ia pernah menganggap Erzha adalah suami orang tanpa mendengar langsung fakta sebenarnya sehingga ia cukup lama tenggelam dalam kesalahpahaman.Oleh karena itu, saat Sherly mengajaknya bertemu, Sakina tidak mau langsung berpikir yang tidak-tidak. Meskipun sebenarnya perasaannya tidak tenang, khawatir Sherly akan memintanya menjauhi Erzha, tapi Sakina tetap datang untuk menemui wanita itu. Ia ingin mendengar sendiri apa yang akan Sherly katakan agar tidak larut dalam berbagai prasangka.Dengan begitu, Sakina akan bisa memutuskan langkah mana yang seharusnya diambil
Begitu sampai, Sakina langsung turun dan membuka helmnya. Biru yang baru saja turun setelah memarkirkan motornya, tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah pucat Sakina. Biru tidak menyangka Sherly benar-benar menerima sarannya untuk memisahkan Erzha dan Sakina.Jujur, Biru senang jika Sakina menyerah pada cinta pertamanya. Dengan begitu, ia memiliki kesempatan untuk bersama Sakina. Namun, jika melihat Sakina sampai pucat begini, Biru jadi agak merasa bersalah.“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Biru kemudian.Sakina mengangguk. “Aku duluan ya, Mas. Makasih atas tumpangannya.” Tanpa menunggu jawaban Biru, Sakina bergegas menuju lift. Tentu saja Biru segera mengikuti.Dalam diam, mereka kini sudah sampai di lantai yang mereka tuju. Sakina masih bertahan dengan kebungkamannya, begitu juga dengan Biru yang masih tetap mengikuti Sakina.“Aku masuk dulu ya, Mas,” pamit Sakina yang kini berada tepat di depan pintu.“Aku boleh masuk?”Pertanyaan Biru membuat Sakina mengernyit. “Ma-mau apa?”
Waktu seolah berjalan sangat lambat saat menunggu. Ya, Sakina merasa sudah cukup lama menanti kedatangan Sherly. Sambil menunggu, Sakina bahkan sempat melakukan panggilan video dengan Fifi, tapi sampai detik ini Sherly belum juga tiba.Sakina memang datang lebih awal dari waktu yang mereka janjikan, hanya saja sekarang sudah satu jam berlalu. Kenapa Sherly tidak ada kabar sama sekali? Sakina bahkan menunda makannya demi menunggu Sherly. Ia takut jika makan lebih dulu, lalu tiba-tiba Sherly datang, tentu hal itu sangat tidak enak baginya.Bersamaan dengan minuman ketiga yang mulai tandas, seorang wanita tersenyum seraya berjalan ke arah Sakina. Mungkinkah itu Sherly? Sakina belum pernah melihat wajahnya sehingga tidak bisa memastikan rupa wanita itu.Namun, saat wanita itu sudah benar-benar di hadapannya, Sakina spontan berdiri. Sepertinya wanita yang sangat cantik di hadapan Sakina memang benar mantan istri Erzha.“Sakina, ya? Maaf udah bikin kamu nunggu lama,” ucap Sherly penuh rasa