"Aduh, Mas. Perutku kram sepertinya." Aku masih memegangi perut."Ka-kamu ... Mau Mas bawa ke Klinik?" tanya Mas Bayu yang kulihat dengan wajah sedikit panik."Aduh, rasanya ngga perlu, Mas. Ini udah mendingan. Tapi, kalau bisa jangan sebut nama wanita itu lagi!" Aku berusaha meraih pinggiran tempat tidur."Maksud kamu ... Arumi?""Awwwhh! Tuh kan kenapa kamu nyebut lagi. Makin melilit ini perut." Aku masih memegangi perut. Duduk di tepi ranjang."Iya, maaf!" Mas Bayu akhirnya mengankatkan kakiku untuk selonjor pada tempat tidur."Kamu ini aneh, mana ada begitu. Nyebutin nama orang bikin sakit perut!" Mas Bayu ngedumel."Loh ada, Mas! Ini buktinya. Banyak kok yang begitu, apalagi nama yang disebut itu calon madunya. Jelas jabang bayi pasti sedang protes tak terima!" Aku mendengkus kesal.Mas Bayu memilih diam. Ia pergi keluar dan aku memilih bermain ponsel. Aku mencoba berselancar di dunia Maya. Dengan modal nama lengkap, aku mencoba untuk menscroll akunnya. Siapa tahu ada petunjuk.A
"Oh ... Begitu ya? Ya udah ngga papa deh. Di screenshot saja. Jangan sampai ada yang kelewat," ucapku via telfon.Setelah mematikan telfon barang sejenak. Aku duduk menghela nafas. Entah kenapa rasanya perutku sedikit begah."Mbak, aku kedepan sebentar ya! Mau beli burjo," pamitku pada Mbak Desi yang tengah sibuk membungkus gula."Iya, Fit. Titip sekalian ya! Aku juga pengen," ujarnya. Aku hanya mengangguk. Tak seberapa harga burjo, yang terpenting mereka baik padaku, itu sudah cukup dan aku tak akan pelit untuk urusan apapun.Tiba di jalan raya, dimana tempat biasa penjual Bubur kacang ijo. Ternyata zonk. Pedagang tak jualan. Aku menemui kecewa. Tentu karena tak mendapatkan apa yang di inginkan setelah jauh melangkah. Mana panas lagi.[Mas, pulangnya belikan burjo yang ada di simpang lima ya!] Kukirim pesan WA pada Mas Bayu. Berharap nanti dia yang akan membelikan.Tiba kembali di toko. Aku pasang tampang sedih. Sudah tahu Mbak Desi jika pasti aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan.
"Tadi Panji mengancam akan membuat Natasya bertekuk lutut padanya, sama halnya Bayu pada Arumi. Lupa akan keluarga." Mbak Desi berkata dengan sedih."Apa tadi yang di tempat pedagang Ayam bakar itu Panji?" tanyaku memastikan."Iya, Fit. Makanya tadi aku begitu marah. Melihat Natasya tengah makan dengan Panji dan juga sedang suap-suapan."Aku tertegun. Bagaimanapun Panji dengan Natasya kan masih saudara. Walau keponakan. Aku tak tahu apakah boleh ponakan di nikahi?"Panji bilang jika dia mencintai Natasya. Tapi, aku yakin itu bukan cinta. Karena jelas Panji sadar jika mereka saudara."Aku mengangguk mengerti. Panji memang terlalu misterius. Dia sudah ketangkap basah memiliki pesugihan tapi, entah kenapa masih saja tak punya malu."Aku khawatir, Fit. Tadi di rumah Natasya ngamuk-ngamuk ngga jelas. Seolah tak terima cintanya di tentang." Kini Mas Jali yang berbicara. Aku memijit pelipis. Kenapa satu orang tapi serumit ini. Belum selesai masalah Mas Bayu, tapi ini udah datang masalah yan
"Sudahlah, memang kamu sudah di butakan cinta oleh Arumi, hingga tidak sadar mana yang salah dan mana yang benar. Bahkan sekarang terang-terangan dzolim kepadaku dan calon anak kita!" cerocosku.Mas Bayu hanya menghela nafas panjang, kemudian kembali mengebulkan asap rokok ke udara. Aku memilih menjauh, tentu itu sangat menganggu pernafasan.Tak biasa memang Mas Bayu begini, biasanya ia tak merokok di dalam rumah. Mungkin karena stres saja karena mengetahui semuanya jika ternyata Arumi bukan gila karenanya."Kalau sudah seperti ini aku harus bagaimana, Fit?" ucapnya kemudian saat aku sudah hampir mendekati pintu kamar. Aku berbalik."Kenapa harus tanya aku? Yang harus kamu lakukan adalah mengambil sikap tegas. Menjauhi Arumi karena dia bukan lagi tangung jawabmu atau ... Kita cerai!" ungkapku ketus. Sungguh rasanya aku di buat gila oleh tingkahnya. Kenapa dia justru seperti sangat keberatan untuk meninggalkan Arumi?Aku segera masuk kekamar. Berniat untuk menggambil catatan. Hari suda
Aku segera menatap sekeliling. Mungkin bersembunyi adalah pilihan yang paling tepat. Tak mungkin aku bisa keluar segera karena jarak pintu dan tempat dimana aku berdiri cukup jauh.Aku langsung menyelinap pada sebuah patung berukuran besar. Entah patung apa aku tak memperhatikan dengan segsama, intinya disini aku bisa bersembunyi.Patung berukuran besar, lebih besar dari badanku. Tentu memudahkan aku agar tak terlihat. Ternyata yang datang adalah suster Arumi. Ia seperti membawa nampan makanan.Dia mengetuk pintu di kamar Arumi. Tak lama Panji keluar."Saya mau kasih makan, Nona, Tuan!" Suster berkata. Aku sempat terheran dengan panggilan Tuan pada Panji. Apa dia sudah merasa ningrat"Tak usah kamu beri makan dia! Lebih baik kamu hubungi Bayu, bilang kalau Arumi ngga mau makan karena dia tak datang!" Panji menahan Suster untuk masuk."Tapi bagaimana, Tuan. Sedangkan ponsel Pak Bayu saja tertinggal disini?" Suster menunjuk kearah meja. Aku mengintip dari celah tangan patung."Kenapa bi
"Kamu sebut Mas Bayu, Suami? Artinya?" Arumi akhirnya mengeluarkan kata-kata, setelah sejenak bergeming. Aku bingung dan celingukan. Bagaimana kalau Arumi marah dan mengamuk padaku. Kemudian dengan brutal menghajarku. Mencabik-cabik tubuhku hingga ... Aku begidig ngeri. Menyiapkan siasat untuk seribu kemungkinan yang terjadi."Mbak? Kamu betul istrinya Mas Bayu?" Kali ini ia mengoncangkan tubuhku. Keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengangguk pelan."Benarkah?" tanpa diduga Arumi tersenyum saat berkata menyakinkan. Dia langsung memelukku erat. Aku makin bingung dibuatnya."Alhamdulilah, kalau benar. Do'aku selama ini terkabul."Aku menyempitkan mata, sekilas aku bisa melihat jika Arumi baik-baik saja. Dia benar-benar waras dan pengingat yang baik."Mbak, aku selalu berdoa agar dapat bertemu dengan. Sungguh, aku sudah yakin jika kamu tentu sedang makan hati karena Mas Bayu yang memiliki keinginan untuk menikahiku. Tapi, sungguh, aku tak menginginkan itu. Sudah kuiklaskan jauh-jauh
"Kamu ngapain si, Fit? Datang kesini dan marah-marah!" Mas Bayu segera melepaskan gandengan tanganku saat kami masih menunggu taxi online yang terlihat baru akan tiba dua menit lagi."Lah, aku kesal, Mas. Kenapa kamu harus datang kesini. Mau saja jadi pembantu Panji!" cebikku.Tak berapa lama taxi datang. Aku langsung menyuruh Mas Bayu masuk."Aku pamit dulu pada Arumi," Mas Bayu akan beranjak kembali masuk. Aku melarangnya."Sudah aku pamit kan padanya, ngga perlu repot-repot masuk kedalam lagi!" Protesku. Terlihat Mas Bayu ragu, namun akhirnya menurut juga. Aku menyerahkan ponsel Mas Bayu padanya."Kok ada di kamu? Dan, kenapa kamu datang tiba-tiba. Bahkan aku tak melihat kamu datang dari depan." Mas Bayu mulai curiga."Aku datang lebih dulu dari pada kamu! Saat kamu datang, aku ngumpet di samping sofa, takut ketahuan Panji. Berniat mengambil ponsel kamu yang tertinggal. Eh, ternyata justru kamu malah datang kesini sama Panji!" gerutuku. Mas Bayu hanya menghela nafas. "Harusnya ka
"Tolong, pikirkan sekali lagi!" ungkapku sebelum Alif benar-benar melangkah.Dia melihatku sekilas, aku berusaha memasang wajah melas demi meyakinkan dirinya. Tentu hanya dia harapanku saat ini. Sungguh aku begitu berharap."Akan saya pikirkan!" Akhirnya kata terakhir di ucapkan Alif, sedikit memberi harapan atas apa yang kuminta.Aku menghela nafas berlahan. mengisi rongga paru-paru agar terisi oksigen dengan baik. Kukecap jus jeruk yang tinggal separuh. Aku harus mengusahakan sesuatu.Aku berfikir tentang ustadz. Setelah Googling beberapa kali, aku memutuskan memilih ustadz Danu. Ustadz yang terkenal dengan banyak pasien menggunakan metode ruqyah masal dan mandiri."Hanya dia kali ini harapanku." Aku bergumam.Rasa simpati pada Arumi juga untuk mengakhiri drama yang di buat Panji, aku harus bisa menguak semuanya dan menyelamatkan keluargaku, jika memungkinkan juga Arumi.Kuambil tas yang tergeletak dimeja tak jauh saat aku duduk. Beranjak dengan lemas karena tak jua membuahkan hasil