Share

bab 5. Menyusun Rencana

Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas.

"Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik.

Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga.

"Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku.

Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya.

Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini.

Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan.

Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan.

"Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" tanya salah seorang tetangga.

"Iya, Bu. Takutnya terkena serangan jantung. Apa saya perlu menelepon mbak Dita?" tanya tetangga yang lain.

"Sepertinya memang perlu dibawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Perlu mendapat suntikan infus dengan jarum yang paling besar," sahutku dengan suara yang sengaja kukencangkan.

Tiga orang tetangga yang membantuku mengangkat tubuh Bu Ambar tercengang.

"Separah itu kah, Bu Dinda?"

"Iya. Untuk berjaga-jaga juga terhadap kondisi Bu Ambar yang sudah setengah abad. Jadi saya akan menelepon ambulance dulu untuk membawa Bu Ambar ke faskes."

Aku meraih ponsel ku dan mulai mengaktifkan loud speaker untuk menghubungi rumah sakit tempat ku bekerja.

Nada sambungpun menjadi suara manusia.

"Selamat pagi dengan UGD RSUD Sidoarj*, ada yang bisa dibantu?"

"Selamat pagi, saya ..."

"Aaah, air .. air... saya haus. Saya tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Saya hanya kehausan karena mendadak pusing tadi," ujar Bu Ambar seraya membuka mata dan menatapku.

Aku membalas pandangan mata Bu Ambar, ada ekspresi menyeringai dari wajahnya yang kutangkap sekilas karena Bu Ambar menghadap ke arahku.

Salah seorang tetangga mengambilkan gelas air mineral yang ada di meja ruang tamu lalu memberikan nya pada Bu Ambar.

Bu Ambar menegukkan perlahan lalu menatap para tetangga lainnya.

"Ibu-ibu saya sebenarnya mempunyai penyakit darah rendah, kadang migrain dan vertigo. Kalau boleh, tolong tinggalkan saya dan Bu Dinda berdua. Saya ingin berkonsultasi dengan Bu Dinda," ujar Bu Ambar.

"Ya sudah. Semoga lekas sembuh Bu."

Para warga berpamitan pada Ambar lalu pergi dari rumah kontrakannya. Bu Ambar menatap ke arahku dan ke arah gelang yang kukenakan secara bergantian. Suasana hening sejenak. Aku mengedarkan pandangan mata ke seluruh ruang tamu. Hanya ada satu set sofa yang masih terlihat bagus dan kuat dan beberapa foto Dita, Bu Ambar, dan Rina.

"Hidup saya dan Dita susah sejak dia bercerai."

Aku terdiam dan masih menebak arah pembicaraan nya.

"Apalagi semua harga sembako tidak ada yang murah sekarang. Saya hanya ingin Dita bahagia dan dinafkahi lahir batinnya dengan laki-laki yang bertanggung jawab."

"Semoga doa Bu Ambar dikabulkan oleh Allah," ujarku. "Tapi setidaknya carilah lelaki yang lajang atau duda. Jangan suami orang, Bu."

"Itu susah. Jaman sekarang tidak ada laki-laki tampan dan mapan kecuali suami orang."

Aku tersenyum kecut. "Ya, ada istri yang merawat dan mendoakan suaminya agar selalu sehat, tampan, dan sukses."

"Poligami boleh dalam Islam, Bu Dinda," ujar Bu Ambar.

Aku tercengang. Sepertinya aku sudah tahu arah pembicaraan ini. Kemungkinan Bu Ambar sudah mengetahui kelakuan Dita selama ini.

"Dan dua orang istri yang mendoakan suami agar berhasil lebih baik dari hanya seorang istri yang mendoakan suami nya bukan?" sambung Bu Ambar lagi membuatku tercengang.

"Analogi Bu Ambar kacau. Rejeki suami bagus karena ikhtiar dan doa yang penuh keikhlasan dari sang istri. Kalau kemudian ada perempuan lain yang datang untuk merebut sang suami, bisa jadi rejekinya beda jauh. Bisa jadi rejekinya tidak berkah karena istri pertama tidak ikhlas. Perempuan yang merebut suami orang itu maling. Mana ada rejeki maling berkah, Bu Ambar," sahutku santai.

"Berarti Bu Dinda memusuhi poligami? Bu Dinda nggak mau mendapatkan pahala? Banyak janda terlantar yang membutuhkan pelindung lho, Bu. Lagipula rejeki itu kan sudah buanyak. Punya rumah, mobil, apa salahnya kalau ibu berbagi pada perempuan lain?" tanya Bu Ambar berapi-api.

Aku mendelik dan tercengang. "Apa-apaan Bu Ambar ini? Kita jarang sekali ngobrol. Kok sekalinya ngobrol bu Ambar seperti nya menyuruh saya untuk menerima poligami? Wah, saya jadi curiga ini," ujarku menahan rasa kesal.

"Satu lagi, Bu Ambar. Banyak sekali sunah yang dilakukan Rasulullah bukan hanya poligami. Kenapa tidak mencoba meneladani sunah yang lain. Poligami itu masalah hati dan keikhlasan. Tapi kalau saya, mohon maaf, saya tidak akan mau dipoligami sampai kapanpun. Dan saya pastikan kalau ada perempuan yang berusaha merebut suami saya, saya akan langsung memberikan suami saya tanpa harta suami sama sekali!"

Aku berdiri dan berjalan ke arah pintu rumah Bu Ambar. Tak kuhiraukan panggilan Bu Ambar padaku.

"Oh, ya satu lagi. Tentang gelang emas. Semoga mbak Dita memperoleh nya dengan cara halal. Karena kalau mbak Dita mendapatkannya dengan cara culas, saya pastikan tidak akan bertahan lama dan tidak berkah. Permisi, saya pulang dulu."

Kutinggalkan Bu Ambar dengan rasa kesal yang membuncah. Dia pikir keluarga ku ini badan amal yang bergerak di bidang sosial? Berbagi rejeki? Wah, silakan saja ambil suamiku tanpa hartanya!

***

Aku duduk berhadapan dengan Fifi di kafe Mawar dengan rasa di hati yang bercampur aduk.

"Jadi apa yang baru saja kamu alami, Din? Ceritakan padaku. Semuanya!" instruksi Fivi. Perempuan ini tetap tegas dan tenang. Sama seperti saat dia masih menjadi teman sebangkuku kala berseragam putih abu.

Aku mengambil tisu yang teronggok di meja di hadapan kami. Tangis ku pecah tanpa bisa kutahan. Akhirnya jebol juga pertahananku. Aku memang tidak pernah bisa terlihat pura-pura kuat di hadapan Fifi bila terjadi masalah.

"Mas Herman selingkuh dengan tetanggaku, Fi."

Fifi tampak terkejut. "Kamu punya buktinya dan apa yang ingin kamu lakukan dengan suami kamu? Ingin bertahan atau lepaskan?"

"Aku ... Ingin cerai. Tapi hal ini akan menjadi hal yang berat untuk Rina. Bagaimana dia butuh figur ayah dalam keluarga yang utuh."

"Jangan jadikan anak sebagai alasan untuk bertahan. Keputusan kamu bercerai memang sudah benar. Daripada sakit hati terus. Apalagi kalau selingkuhannnya suamimu hanya mengincar hartanya. Jangan biarkan perempuan lain menikmati harta yang telah kalian kumpulkan dengan susah payah. Windi nanti akan mengerti tentang keputusan yang kamu pilih adalah untuk kebaikan kalian."

Fifi mengelus pundak ku.

"Tapi kamu butuh bukti kuat untuk dibawa ke pengadilan agama."

"Aku mempunyai bukti nya. Foto dan video suamiku kumpul ke bo."

"Itu sudah cukup untuk membuat hakim pengadilan agama mengabulkan gugatan kamu tanpa pisah ranjang. Kalau perlu kamu bisa menyeret pelakor itu ke penjara dengan bukti-bukti itu. Biar aku yang mendampingi sampai kasus ini tuntas."

"Sebenarnya aku hanya ingin bercerai tanpa pembagian harta gono-gini. Apa bisa?"

Fifi menatapku dengan serius. "Wah, ini hal yang sulit. Aku tanya dulu apa aset yang telah kamu punya sekarang?"

"Rumah, mobil, ada sawah yang sedang disewakan di kecamatan sebelah."

"Hm, banyak juga. Semua yang telah kamu sebutkan tadi diperoleh sebelum atau setelah menikah?"

"Setelah menikah, Fi. Ada apa sih?"

"Di sertifikat nya tertulis atas nama siapa saja?"

"Kalau rumah atas nama aku, mobil dan sawah atas nama mas Herman. Jadi bisa kan kalau smua aset menjadi milikku dan anakku?"

"Sayang sekali tidak bisa. Karena semua aset diperoleh setelah kamu dan suami kamu menikah. Kecuali kalian sepakat menanda tangani surat persetujuan di atas materai untuk menjual semua aset itu dan semua uangnya untuk kamu."

Aku menghela nafas panjang. "Wah, aku kira bisa mudah untuk mengurus balik nama di sertifikat lalu semua aset menjadi milikku dan Windi dan mas Herman tidak perlu mendapatkan satu rupiahpun. Lagipula mas Herman mana mau memberikan semua aset secara cuma-cuma padaku," sahutku bingung.

"Apa kamu tidak mempunyai perjanjian pranikah yang menyebutkan kalau salah satu pihak akan mendapatkan semua aset jika diselingkuhi?"

Aku menggeleng lemah.

"Wah, kalau begitu susah untuk menguasai semua aset. Kecuali semua aset adalah harta bawaan atau harta warisan yang kamu bawa sebelum menikah."

"Lalu aku harus bagaimana, Fi? Aku tidak mau kalau akhirnya pelakor itu hidup enak dengan harta gono-gini kami setelah kami bercerai."

Fifi menyeruput es jeruknya pelan. "Tenang, masih ada satu cara lagi!"

"Cara apa, Fi?" tanyaku penuh minat.

"Katamu kamu punya bukti video dan foto as*sila perselingkuhan suamimu?"

"Ya, aku punya."

"Ancam saja suami kamu agar tidak menuntut harta gono-gini saat kalian bercerai lalu jual semuanya sehingga tidak berbentuk bangunan lagi, atau kalau dia tidak mau, jebloskan saja suami kamu dan selingkuhannnya ke dalam penjara atas tuduhan perzinah*n atau kumpul ke bo!"

Next?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status