Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas.
"Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik.Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga."Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku.Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya.Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini.Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan.Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan."Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" tanya salah seorang tetangga."Iya, Bu. Takutnya terkena serangan jantung. Apa saya perlu menelepon mbak Dita?" tanya tetangga yang lain."Sepertinya memang perlu dibawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Perlu mendapat suntikan infus dengan jarum yang paling besar," sahutku dengan suara yang sengaja kukencangkan.Tiga orang tetangga yang membantuku mengangkat tubuh Bu Ambar tercengang."Separah itu kah, Bu Dinda?""Iya. Untuk berjaga-jaga juga terhadap kondisi Bu Ambar yang sudah setengah abad. Jadi saya akan menelepon ambulance dulu untuk membawa Bu Ambar ke faskes."Aku meraih ponsel ku dan mulai mengaktifkan loud speaker untuk menghubungi rumah sakit tempat ku bekerja.Nada sambungpun menjadi suara manusia."Selamat pagi dengan UGD RSUD Sidoarj*, ada yang bisa dibantu?""Selamat pagi, saya ...""Aaah, air .. air... saya haus. Saya tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Saya hanya kehausan karena mendadak pusing tadi," ujar Bu Ambar seraya membuka mata dan menatapku.Aku membalas pandangan mata Bu Ambar, ada ekspresi menyeringai dari wajahnya yang kutangkap sekilas karena Bu Ambar menghadap ke arahku.Salah seorang tetangga mengambilkan gelas air mineral yang ada di meja ruang tamu lalu memberikan nya pada Bu Ambar.Bu Ambar menegukkan perlahan lalu menatap para tetangga lainnya."Ibu-ibu saya sebenarnya mempunyai penyakit darah rendah, kadang migrain dan vertigo. Kalau boleh, tolong tinggalkan saya dan Bu Dinda berdua. Saya ingin berkonsultasi dengan Bu Dinda," ujar Bu Ambar."Ya sudah. Semoga lekas sembuh Bu."Para warga berpamitan pada Ambar lalu pergi dari rumah kontrakannya. Bu Ambar menatap ke arahku dan ke arah gelang yang kukenakan secara bergantian. Suasana hening sejenak. Aku mengedarkan pandangan mata ke seluruh ruang tamu. Hanya ada satu set sofa yang masih terlihat bagus dan kuat dan beberapa foto Dita, Bu Ambar, dan Rina."Hidup saya dan Dita susah sejak dia bercerai."Aku terdiam dan masih menebak arah pembicaraan nya."Apalagi semua harga sembako tidak ada yang murah sekarang. Saya hanya ingin Dita bahagia dan dinafkahi lahir batinnya dengan laki-laki yang bertanggung jawab.""Semoga doa Bu Ambar dikabulkan oleh Allah," ujarku. "Tapi setidaknya carilah lelaki yang lajang atau duda. Jangan suami orang, Bu.""Itu susah. Jaman sekarang tidak ada laki-laki tampan dan mapan kecuali suami orang."Aku tersenyum kecut. "Ya, ada istri yang merawat dan mendoakan suaminya agar selalu sehat, tampan, dan sukses.""Poligami boleh dalam Islam, Bu Dinda," ujar Bu Ambar.Aku tercengang. Sepertinya aku sudah tahu arah pembicaraan ini. Kemungkinan Bu Ambar sudah mengetahui kelakuan Dita selama ini."Dan dua orang istri yang mendoakan suami agar berhasil lebih baik dari hanya seorang istri yang mendoakan suami nya bukan?" sambung Bu Ambar lagi membuatku tercengang."Analogi Bu Ambar kacau. Rejeki suami bagus karena ikhtiar dan doa yang penuh keikhlasan dari sang istri. Kalau kemudian ada perempuan lain yang datang untuk merebut sang suami, bisa jadi rejekinya beda jauh. Bisa jadi rejekinya tidak berkah karena istri pertama tidak ikhlas. Perempuan yang merebut suami orang itu maling. Mana ada rejeki maling berkah, Bu Ambar," sahutku santai."Berarti Bu Dinda memusuhi poligami? Bu Dinda nggak mau mendapatkan pahala? Banyak janda terlantar yang membutuhkan pelindung lho, Bu. Lagipula rejeki itu kan sudah buanyak. Punya rumah, mobil, apa salahnya kalau ibu berbagi pada perempuan lain?" tanya Bu Ambar berapi-api.Aku mendelik dan tercengang. "Apa-apaan Bu Ambar ini? Kita jarang sekali ngobrol. Kok sekalinya ngobrol bu Ambar seperti nya menyuruh saya untuk menerima poligami? Wah, saya jadi curiga ini," ujarku menahan rasa kesal."Satu lagi, Bu Ambar. Banyak sekali sunah yang dilakukan Rasulullah bukan hanya poligami. Kenapa tidak mencoba meneladani sunah yang lain. Poligami itu masalah hati dan keikhlasan. Tapi kalau saya, mohon maaf, saya tidak akan mau dipoligami sampai kapanpun. Dan saya pastikan kalau ada perempuan yang berusaha merebut suami saya, saya akan langsung memberikan suami saya tanpa harta suami sama sekali!"Aku berdiri dan berjalan ke arah pintu rumah Bu Ambar. Tak kuhiraukan panggilan Bu Ambar padaku."Oh, ya satu lagi. Tentang gelang emas. Semoga mbak Dita memperoleh nya dengan cara halal. Karena kalau mbak Dita mendapatkannya dengan cara culas, saya pastikan tidak akan bertahan lama dan tidak berkah. Permisi, saya pulang dulu."Kutinggalkan Bu Ambar dengan rasa kesal yang membuncah. Dia pikir keluarga ku ini badan amal yang bergerak di bidang sosial? Berbagi rejeki? Wah, silakan saja ambil suamiku tanpa hartanya!***Aku duduk berhadapan dengan Fifi di kafe Mawar dengan rasa di hati yang bercampur aduk."Jadi apa yang baru saja kamu alami, Din? Ceritakan padaku. Semuanya!" instruksi Fivi. Perempuan ini tetap tegas dan tenang. Sama seperti saat dia masih menjadi teman sebangkuku kala berseragam putih abu.Aku mengambil tisu yang teronggok di meja di hadapan kami. Tangis ku pecah tanpa bisa kutahan. Akhirnya jebol juga pertahananku. Aku memang tidak pernah bisa terlihat pura-pura kuat di hadapan Fifi bila terjadi masalah."Mas Herman selingkuh dengan tetanggaku, Fi."Fifi tampak terkejut. "Kamu punya buktinya dan apa yang ingin kamu lakukan dengan suami kamu? Ingin bertahan atau lepaskan?""Aku ... Ingin cerai. Tapi hal ini akan menjadi hal yang berat untuk Rina. Bagaimana dia butuh figur ayah dalam keluarga yang utuh.""Jangan jadikan anak sebagai alasan untuk bertahan. Keputusan kamu bercerai memang sudah benar. Daripada sakit hati terus. Apalagi kalau selingkuhannnya suamimu hanya mengincar hartanya. Jangan biarkan perempuan lain menikmati harta yang telah kalian kumpulkan dengan susah payah. Windi nanti akan mengerti tentang keputusan yang kamu pilih adalah untuk kebaikan kalian."Fifi mengelus pundak ku."Tapi kamu butuh bukti kuat untuk dibawa ke pengadilan agama.""Aku mempunyai bukti nya. Foto dan video suamiku kumpul ke bo.""Itu sudah cukup untuk membuat hakim pengadilan agama mengabulkan gugatan kamu tanpa pisah ranjang. Kalau perlu kamu bisa menyeret pelakor itu ke penjara dengan bukti-bukti itu. Biar aku yang mendampingi sampai kasus ini tuntas.""Sebenarnya aku hanya ingin bercerai tanpa pembagian harta gono-gini. Apa bisa?"Fifi menatapku dengan serius. "Wah, ini hal yang sulit. Aku tanya dulu apa aset yang telah kamu punya sekarang?""Rumah, mobil, ada sawah yang sedang disewakan di kecamatan sebelah.""Hm, banyak juga. Semua yang telah kamu sebutkan tadi diperoleh sebelum atau setelah menikah?""Setelah menikah, Fi. Ada apa sih?""Di sertifikat nya tertulis atas nama siapa saja?""Kalau rumah atas nama aku, mobil dan sawah atas nama mas Herman. Jadi bisa kan kalau smua aset menjadi milikku dan anakku?""Sayang sekali tidak bisa. Karena semua aset diperoleh setelah kamu dan suami kamu menikah. Kecuali kalian sepakat menanda tangani surat persetujuan di atas materai untuk menjual semua aset itu dan semua uangnya untuk kamu."Aku menghela nafas panjang. "Wah, aku kira bisa mudah untuk mengurus balik nama di sertifikat lalu semua aset menjadi milikku dan Windi dan mas Herman tidak perlu mendapatkan satu rupiahpun. Lagipula mas Herman mana mau memberikan semua aset secara cuma-cuma padaku," sahutku bingung."Apa kamu tidak mempunyai perjanjian pranikah yang menyebutkan kalau salah satu pihak akan mendapatkan semua aset jika diselingkuhi?"Aku menggeleng lemah."Wah, kalau begitu susah untuk menguasai semua aset. Kecuali semua aset adalah harta bawaan atau harta warisan yang kamu bawa sebelum menikah.""Lalu aku harus bagaimana, Fi? Aku tidak mau kalau akhirnya pelakor itu hidup enak dengan harta gono-gini kami setelah kami bercerai."Fifi menyeruput es jeruknya pelan. "Tenang, masih ada satu cara lagi!""Cara apa, Fi?" tanyaku penuh minat."Katamu kamu punya bukti video dan foto as*sila perselingkuhan suamimu?""Ya, aku punya.""Ancam saja suami kamu agar tidak menuntut harta gono-gini saat kalian bercerai lalu jual semuanya sehingga tidak berbentuk bangunan lagi, atau kalau dia tidak mau, jebloskan saja suami kamu dan selingkuhannnya ke dalam penjara atas tuduhan perzinah*n atau kumpul ke bo!"Next?Beberapa saat sebelumnya, Herman yang gagal mencari informasi tentang keberadaan anaknya, tidak putus asa. Lelaki yang telah membaca pesan ancaman dari Dita ke nomor handphone Dinda bergegas ke alun-alun kota kendati masih belum jam tujuh malam. Akhirnya Herman menemukan sosok yang mencurigakan sedang mondar mandir di sekitar bak sampah alun-alun kota. Herman memilih bersembunyi di sekitar tempat sampah itu dengan menyamar memakai topeng dan masker warna hitam. Beberapa saat berlalu, dan setelah Herman melihat Dinda memasukkan tas ransel ke dalam tempat sampah itu, Herman memergoki sesosok tubuh yang mengambil tas itu dan langsung pergi. Herman pun langsung mengikutinya dengan hati-hati.Setelah sampai di vila dan melihat sosok itu masuk ke dalam vila, Herman segera mengitari hutan yang ada di belakang vila. Beberapa saat kemudian dia berpikir untuk menyelamatkan Windi lebih dahulu daripada polisi, karena dia ingin merebut hak asuh anak dari Dinda. "Lebih baik, aku membuat jebakan
Beberapa saat sebelumnya,"Kita jadi membawa anak ini ke bekas vila yang kemarin bapak tunjukkan padaku?" tanya Dita saat mereka dalam perjalanan setelah membawa Windi. "Jadi! Bapak sudah membuat kunci duplikat nya. Kebetulan vila itu adalah bangunan rusak yang tidak pernah dijenguk lagi oleh Sulis. Yah, mungkin karena dia lelah mengurus terlalu banyak aset, sehingga salah satu vilaya ya yang terburuk dan dan terpencil tidak tersentuh.""Baiklah, aku nurut saja. Yang penting nanti dapat duit dan aman," sahut Dita seraya memegangi badan Windi. Sementara itu di depannya, Santosa sedang fokus mengemudi. Mereka tiba di vila yang dimaksud Santosa dan segera menggendong tubuh Windi ke salah satu kamar lalu memotret nya dan mengirim fotonya melalui nomor baru ke nomor Dinda lalu membuang nomor itu. "Nanti kalau kamu menghubungi nomor Dinda, kamu bisa menggunakan nomor lama yang diprivat, Dit. Kalau untuk mengirim foto dan pesan, pakai nomor baru itu kemudian buang ya," pesan Santosa, Dita
[Sediakan uang tiga ratus juta dan letakkan di tempat sampah alun - alun kota kalau ingin anakmu selamat!]Dinda tercengang membaca pesan whatsapp dari nomor yang belum tersimpan di ponsel nya itu. Belum sempat Dinda berpikir untuk mengambil keputusan, pesan terbaru masuk lagi ke ponsel nya. [Jangan coba-coba lapor polisi, atau anak kamu akan kami habisi!][Kamu harus meletakkan uang senilai tiga ratus juta dalam sebuah tas, malam ini jam tujuh di tempat sampah warna hijau yang ada di ujung taman alun-alun.][Tempat sampah itu bertuliskan nomor tiga. Anak kamu akan dikembalikan selamat setelah uang itu kamu letakkan di sana!]Dengan cepat dia menelepon bi Inah. Namun sayang sekali, nada dering tidak kunjung berubah menjadi suara bi Inah. Dinda semakin bingung. Dia menarik napas panjang dan berusaha untuk tetap tenang. Akhir nya dia teringat dengan Adinata. Dengan cepat, Dinda menekan nomor telepon Adinata. Tak perlu menunggu lama, suara nada tunggu di hp langsung berubah menjadi s
Adinata berlalu dari rumahnya menuju ke rumah Dinda. Dan tidak seperti biasanya, dia yang selalu langsung menekan bel pintu sekarang duduk terpekur sendirian di kursi teras rumah Dinda. "Hah, hatiku berantakan sekali gara-gara pertemuan dengan papa dan anak simpanan nya. Sebenarnya nggak tega melihat papa yang meminta modal usaha, tapi melihat papa yang telah mengkhianati mama dan ternyata sampai mempunyai anak segede aku, membuatku sakit hati," ujar Adinata. Lelaki itu menangkupkan kedua belah tangannya di muka seraya membuang napas berat. "Ya Allah ternyata melihat orang tua bercerai sangat menyakitkan. Apalagi melihat papa selingkuh dari mama. Hatiku sakit banget. Jadi seperti ini rasa nya. Pasti sakit hati yang dirasakan oleh Dinda lebih parah dari yang kurasakan," gumam Adinata. Mendadak pintu terbuka dari dalam. "Mama, aku mau beli buku tulis dulu. Eh, ada papa baru! Kok disini saja, Pa? Biasanya kan masuk ke rumah?" tanya Windi terkejut melihat Adinata yang terbengong-bengo
"Bu Sulis! Bu Sulis! Bagaimana denganku? Angkat aku sebagai karyawan Ibu! Bukankah saya sudah memberikan informasi yang berharga?" tanya Herman dengan penuh harap.Sulis menatap ke arah Herman lalu menghela napas panjang. "Baiklah. Kamu bisa bekerja denganku. Tapi sebagai satpam di perusahaan. Bagaimana? Apa kamu bisa menerima hal itu?" tanya Sulis menatap ke arah Herman. Herman tercengang. "Hah? Saya kan seorang sarjana. Saya tidak mungkin bekerja sebagai satpam, Bu! Tolong lah yang masuk akal jika memberikan pekerjaan."Sulis mengangkat sebelah alisnya. "Saya sudah memeriksa penyebab kamu dipecat dari perusahaan, dan kesalahan kamu adalah telah melakukan korupsi kan?" tanya Sulis dengan mendelik. Herman tertunduk. Matanya tampak menatap ke arah bawah. Menekuri kakinya."Saya minta maaf. Waktu itu saya khilaf. Saya melakukan korupsi karena saya gelap mata dan saya dipaksa oleh Dita. Saya sangat menyesalinya, Bu," ujar Herman lirih. "Hm, kalau begitu kamu harus bisa membuktikan pa
Beberapa saat sebelumnya, "Mang Udin, kamu harus menjaga rahasia tentang hari ini. Tentang apapun perkataan Herman, pokoknya kamu harus menyimpan rahasia jika kita bertemu dengan Herman. Jangan membicarakan tentang Istri simpanan bapak maupun anaknya pada bapak, maupun pada Adinata dan Adista. Apa kamu paham, mang Udin?" tanya Sulis saat mereka baru saja masuk melalui pintu gerbang rumah. Mang Udin dengan wajah bingung menatap Sulis dari kaca spion tengah mobil nya. Tapi akhirnya Mang Udin hanya bisa menurut dan mengangguk kan kepalanya. "Baik, Bu. Bu Sulis yang semangat ya. Sebaiknya ibu lebih bijak dalam menghadapi hal ini, jangan terburu mengambil kepuasan agar Bu Sulis tidak menyesal pada akhirnya," ujar Mang Udin. Sulis melirik ke arah Mang Udin yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu. "Mang, mang! Kamu tidak tahu rasa nya dikhianati. Andai kan saja istri kamu yang berkhianat setelah kalian menikah sekian tahun bahkan sampai mempunyai anak dengan lelaki lain, apa