Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk.
"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu."Pagi, Bu Dinda!""Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah."Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki."Sudah, Bu Dinda.""Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas."Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi."Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk ini," sahutku.Bi Inah melongo. "Lho, kok diberikan pada saya, Bu? Bu Dinda kan sudah repot-repot memasak nya untuk pak Herman?"Aku menggeleng pelan. "Yang memasak lauk itu bukan saya, tapi saya diberi oleh tuh, Bu Dita."Wajah bi Inah berubah tegang saat mendengar nama Dita."Ada apa, Bi? Kok pucat wajah nya setelah mendengar nama Dita?" tanyaku heran."Anu, Bu. Saya mau cerita tapi saya tidak mengajak ibu ghibah. Karena saya tahu Bu Dinda paling anti soal ghibah," sahut bi Inah menatapku dengan takut-takut.Aku mengerut kan dahi."Ada apa sih, Bi? Cerita saja kalau memang penting."Bi Inah mendekat dan menatapku. "Ini ... Ini tentang Bu Dita, Bu," ujar Bi Inah melangkah mendekatiku."Hah? Dita? Kenapa dengan Dita?" Tanpa sadar jiwa kekepoan dan kekesalanku muncul saat aku mendengar nama valakor itu."Tapi Bu, rahasiakan dulu dari orang lain ya? Takutnya cuma prasangka saya dan bisa menimbulkan fitnah."Aku mengangguk. "Iya, Bi. Saya berjanji bahwa hal ini merupakan rahasia kita berdua."Bi Inah menghela nafas perlahan. "Jadi begini, bu Dinda kenal dengan pemilik kontrakan depan kan?""Kontrakan tempat Bu Dita tinggal?"Bi Inah mengangguk. "Iya. Rumah kontrakan Bu Dita.""Kan pemilik nya pak Andre yang katanya pindah ke kecamatan sebelah karena mendapat kan warisan rumah dari orang tuanya yang baru meninggal. Jadi rumahnya sendiri dikontrakkan.""Hm, iya. Lalu?""Beberapa kali saya melihat Bu Dita ngobrol akrab dengan pak Andre sebelum Bu Dita berangkat ke warung tempatnya bekerja. Pernah saya lihat saat Bu Dita belum diterima bekerja di warung, pak Andre ngobrol sama Bu Dita di depan teras. Mereka ngobrol kayak mesra gitu."Bi Inah menjeda kalimat nya. Wajahnya terlihat ragu. Sementara aku mulai bisa merab* kemana arah pembicaraan ini."Apa mungkin tiap bulan Bu Dita ngerayu pak Andre agar tidak usah membayar kontrakan rumahnya ya? Eh, ini baru dugaan saya sih Bu Dinda. Jangan langsung dipercaya."Akh tergelak sambil menatap ke arah Bi Inah."Oh, jadi Bi Inah sempat melihat hal-hal seperti itu ya? Padahal pak Andre sudah menikah. Bagaimana kalau istri pak Andre tahu tentang kelakuan pak Andre yang seperti itu?"Bi Inah mengedikkan bahunya. "Yah, nggak tahu, Bu. Kan yang saya bilang terakhir tadi baru dugaan saya. Soalnya kadang pak Andre ngobrolnya sama megang-megang dagu Bu Dita.Saya tahu kalau perumahan di sini orangnya cuek-cuek dan masa bod*h dengan urusan tetangga, tapi kalau terjadi tindakan yang enggak-enggak, masa mereka akan diam saja?"Aku pun terdiam lalu akhirnya nenghela nafas panjang. Jadi Dita ini bukan hanya genit pada mas Herman saja, melainkan pada pak Andre juga."Memang Bu Dita cantik sih, Bu. Tapi kan nggak beres namanya kalau janda yang seperti itu merayu suami orang. Banyak lajang, banyak duda, kenapa harus menggoda suami orang?" tanya Bi Inah.Aku memegang pundak bi Inah. "Memang musim valakor itu berbahaya, Bi. Kalau sampai terjadi makar di perumahan ini, saya pastikan saya yang akan mengusir Dita dengan tangan saya sendiri dari sini," sahutku. "Oh, ya apa bi Inah masih ingat tanggal pak Andre mendatangi rumah Bu Dita?"Bi Inah menggeleng. "Saya lupa, Bu. Saya tidak mengingat tanggal nya. Yang jelas sejak pindah ke seberang rumah itu, pak Andre beberapa kali ke sana saat pagi. Pernah saat sore juga sih," sahut bi Inah tampak berusaha mengingat-ingat.Baru saja aku hendak menanggapi ucapan bi Inah, mendadak terdengar suara tukang sayur di depan rumah."Bu, ada tukang sayur, Bu Dinda mau belanja apa?" tanya bi Inah seraya berdiri."Biar saya saja yang beli ke tukang sayur nya, Bi. Bi Inah lanjut membersihkan rumah, mencuci dan mengepel.""Oh. Baik, Bu."Aku berjalan ke arah teras, tampak Ambar, ibu dari Dita yang berumur lima puluh tahunan berada di antara para asisten rumah tangga lainnya."Belanja bu Dinda?" tanya beberapa tetangga padaku.Aku mengangguk dan tersenyum. Mulai memilih sayur dan lauk. Seraya menajamkan pendengaran."Wah, Bu Ambar keren ya. Anaknya janda tapi tiap hari belanjanya banyak. Memang Bu Dita itu janda high class, mandiri, cantik, dan pekerja keras," ujar salah seorang tetangga.Aku tertawa dalam hati. 'Jadi para tetangga ini belum tahu belang nya Dita? Apa yang akan terjadi kalau mereka tahu foto sekaligus video Dita dan mas Herman?'"Iya, anak saya itu memang luar biasa. Dia bahkan kemarin membelikan saya gelang ini," ujar Bu Ambar sambil menunjukkan gelang emas berbentuk rantai mungil dengan permata-permata putih yang indah.Aku mendelik. Gelang itu persis seperti yang telah diberikan mas Herman sebelum aku dinas malam! Gelang sebagai hadiah ulang tahun ku yang memang hanya berjarak tiga hari dari anniversary pernikahan kami.Diam-diam aku memotret gelang yang ada di tangan Bu Ambar."Eh, gelang Bu Ambar dan Bu Dinda persis lho. Apa belinya barengan?" tanya salah seorang tetangga yang tanpa sengaja melihat gelangku.Wajah Bu Ambar memucat dan melihatku lalu beralih ke tanganku bergantian."Oh, ini hadiah ulang tahun dari suami saya. Saya juga kaget saat tahu gelang saya dan Bu Ambar sama."Suasana hening dan tegang sejenak."Eh, tapi ada yang aneh nggak sih? Kalau pak Herman yang membelikan gelang pada Bu Dinda wajar sih, kan kerja di perusahaan gede. Lha kalau Dita? Maaf nih, Bu Ambar, kerja jadi asisten koki di warung kan nggak sampai tiga juta. Kok bisa beli gelang bagus gitu? Apa jangan-jangan mbak Dita ... eh, Bu Ambar! Bu Ambar!"Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas.Next?Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas. "Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik. Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga. "Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku. Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya. Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini. Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan. Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan. "Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" t
Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA. "Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo. Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku. Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku me
"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den
"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge
Sejenak wajah Herman tercengang. Dia menghela nafas panjang. "Aku ... aku hanya asal menebaknya, Ma. Sepertinya aku terlalu banyak bekerja sehingga asbun, asal bunyi, dan asma, asal mangap saja. Maafkan aku," ucap Herman lirih dengan memijit pangkal keningnya. "Hm, ya sudah. Aku buatin teh hangat dulu ya? Nanti pas mandi, pakai air hangat saja. Kan tinggal menyalakan shower," ujar Dinda berlalu ke arah dapur. Herman termenung sesaat lalu segera menuju ke kamarnya mencari kabel isi ulang daya.Dengan sabar, dilihatnya ponsel nya walaupun terus menerus menampilkan layar hitam karena ponselnya masih dalam keadaan ma ti. "Mas, tehnya sudah siap," ujar Dinda yang muncul dari pintu kamar nya. Ponsel yang dipegang Herman seketika nyaris jatuh karena dia terkejut mendengar sapaan Dinda. "Eh, kamu, Ma." "Heem. Ini tehnya." Dinda meletakkan cangkir teh yang beraroma melati di atas nakas. "Terima kasih, Ma.""Sama-sama. Oh ya, dari tadi, kuperhatikan kamu menatap ke ponsel kamu terus, Ma
"Selamat terpuruk, Dit. Kamu harus merasakan kesakitan yang jauh lebih parah dari yang kurasakan sekarang!"Dinda menyeringai lalu menghapus pesan yang tadi diketiknya untuk Dita, sekaligus pesan balasan dari janda itu. Dia lalu bangkit dan menuju ke lemari baju tempat menyimpan berbagai sertifikat aset dan BPKB mobilnya. Dinda kemudian berjalan mengendap-endap dengan membawa map yang berisi dokumen itu lalu menyimpan nya di lemari baju milik Windi. Dengan perlahan-lahan Dinda kembali ke kamarnya lalu merebahkan diri di ranjang dan menghela nafas panjang. Mempersiapkan dan memantapkan hati serta menata penjelasan yang akan diberikan pada orang tuanya, orang tua Herman, sekaligus pada Windi, anaknya tentang perpisahan yang sudah terpampang di depan mata. Hingga tak terasa dia terlelap dalam buaian mimpi.***Dinda terbangun saat pipi nya ditepuk-tepuk lembut oleh tangan Herman."Bangun, Sayang."Dinda membuka mata nya yang nyaris terasa berat. "Happy anniversary pernikahan kita yang
"Selamat malam, Dita. Saya sudah menunggumu dari tadi. Ayo, masuk dulu," sapa Dinda ramah pada Dita yang memucat. Dita tercengang melihat wajah Dinda yang di hadapannya. Dia terdiam dan terpaku di depan kamar hotel."Kok B-bu Dinda di sini?" tanya Dita terbata-bata. "Yah, saya di sini karena memang saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu dan suami ...""Lama banget, Yang ... lho kamu ..." Suara Herman terhenti saat melihat Dita yang berdiri dengan gugup di depan pintu kamar hotelnya. Dita pun menatap balik ke arah Herman yang hanya mengenakan handuk di bagian pinggang. Herman dan Dita saling berpandangan dengan bingung. Dinda tersenyum. "Masuklah, Dit. Ada yang ingin kubicarakan dengan kalian."Dita menggelengkan kepalanya perlahan. Lelaki itu berdiri di belakang punggung Dinda sehingga Dinda tidak bisa melihat ke arah wajah Herman, hanya Dita yang berdiri di hadapannya lah yang bisa memandang Herman dengan jelas. "Sa-saya pasti salah kamar. Saya tadi kesini untuk bertemu d