Share

bab 4. Gelang yang Sama

Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu.

"Pagi, Bu Dinda!"

"Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."

Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah.

"Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki.

"Sudah, Bu Dinda."

"Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."

Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas.

"Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi.

"Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk ini," sahutku.

Bi Inah melongo. "Lho, kok diberikan pada saya, Bu? Bu Dinda kan sudah repot-repot memasak nya untuk pak Herman?"

Aku menggeleng pelan. "Yang memasak lauk itu bukan saya, tapi saya diberi oleh tuh, Bu Dita."

Wajah bi Inah berubah tegang saat mendengar nama Dita.

"Ada apa, Bi? Kok pucat wajah nya setelah mendengar nama Dita?" tanyaku heran.

"Anu, Bu. Saya mau cerita tapi saya tidak mengajak ibu ghibah. Karena saya tahu Bu Dinda paling anti soal ghibah," sahut bi Inah menatapku dengan takut-takut.

Aku mengerut kan dahi.

"Ada apa sih, Bi? Cerita saja kalau memang penting."

Bi Inah mendekat dan menatapku. "Ini ... Ini tentang Bu Dita, Bu," ujar Bi Inah melangkah mendekatiku.

"Hah? Dita? Kenapa dengan Dita?" Tanpa sadar jiwa kekepoan dan kekesalanku muncul saat aku mendengar nama valakor itu.

"Tapi Bu, rahasiakan dulu dari orang lain ya? Takutnya cuma prasangka saya dan bisa menimbulkan fitnah."

Aku mengangguk. "Iya, Bi. Saya berjanji bahwa hal ini merupakan rahasia kita berdua."

Bi Inah menghela nafas perlahan. "Jadi begini, bu Dinda kenal dengan pemilik kontrakan depan kan?"

"Kontrakan tempat Bu Dita tinggal?"

Bi Inah mengangguk. "Iya. Rumah kontrakan Bu Dita."

"Kan pemilik nya pak Andre yang katanya pindah ke kecamatan sebelah karena mendapat kan warisan rumah dari orang tuanya yang baru meninggal. Jadi rumahnya sendiri dikontrakkan."

"Hm, iya. Lalu?"

"Beberapa kali saya melihat Bu Dita ngobrol akrab dengan pak Andre sebelum Bu Dita berangkat ke warung tempatnya bekerja. Pernah saya lihat saat Bu Dita belum diterima bekerja di warung, pak Andre ngobrol sama Bu Dita di depan teras. Mereka ngobrol kayak mesra gitu."

Bi Inah menjeda kalimat nya. Wajahnya terlihat ragu. Sementara aku mulai bisa merab* kemana arah pembicaraan ini.

"Apa mungkin tiap bulan Bu Dita ngerayu pak Andre agar tidak usah membayar kontrakan rumahnya ya? Eh, ini baru dugaan saya sih Bu Dinda. Jangan langsung dipercaya."

Akh tergelak sambil menatap ke arah Bi Inah.

"Oh, jadi Bi Inah sempat melihat hal-hal seperti itu ya? Padahal pak Andre sudah menikah. Bagaimana kalau istri pak Andre tahu tentang kelakuan pak Andre yang seperti itu?"

Bi Inah mengedikkan bahunya. "Yah, nggak tahu, Bu. Kan yang saya bilang terakhir tadi baru dugaan saya. Soalnya kadang pak Andre ngobrolnya sama megang-megang dagu Bu Dita.

Saya tahu kalau perumahan di sini orangnya cuek-cuek dan masa bod*h dengan urusan tetangga, tapi kalau terjadi tindakan yang enggak-enggak, masa mereka akan diam saja?"

Aku pun terdiam lalu akhirnya nenghela nafas panjang. Jadi Dita ini bukan hanya genit pada mas Herman saja, melainkan pada pak Andre juga.

"Memang Bu Dita cantik sih, Bu. Tapi kan nggak beres namanya kalau janda yang seperti itu merayu suami orang. Banyak lajang, banyak duda, kenapa harus menggoda suami orang?" tanya Bi Inah.

Aku memegang pundak bi Inah. "Memang musim valakor itu berbahaya, Bi. Kalau sampai terjadi makar di perumahan ini, saya pastikan saya yang akan mengusir Dita dengan tangan saya sendiri dari sini," sahutku. "Oh, ya apa bi Inah masih ingat tanggal pak Andre mendatangi rumah Bu Dita?"

Bi Inah menggeleng. "Saya lupa, Bu. Saya tidak mengingat tanggal nya. Yang jelas sejak pindah ke seberang rumah itu, pak Andre beberapa kali ke sana saat pagi. Pernah saat sore juga sih," sahut bi Inah tampak berusaha mengingat-ingat.

Baru saja aku hendak menanggapi ucapan bi Inah, mendadak terdengar suara tukang sayur di depan rumah.

"Bu, ada tukang sayur, Bu Dinda mau belanja apa?" tanya bi Inah seraya berdiri.

"Biar saya saja yang beli ke tukang sayur nya, Bi. Bi Inah lanjut membersihkan rumah, mencuci dan mengepel."

"Oh. Baik, Bu."

Aku berjalan ke arah teras, tampak Ambar, ibu dari Dita yang berumur lima puluh tahunan berada di antara para asisten rumah tangga lainnya.

"Belanja bu Dinda?" tanya beberapa tetangga padaku.

Aku mengangguk dan tersenyum. Mulai memilih sayur dan lauk. Seraya menajamkan pendengaran.

"Wah, Bu Ambar keren ya. Anaknya janda tapi tiap hari belanjanya banyak. Memang Bu Dita itu janda high class, mandiri, cantik, dan pekerja keras," ujar salah seorang tetangga.

Aku tertawa dalam hati. 'Jadi para tetangga ini belum tahu belang nya Dita? Apa yang akan terjadi kalau mereka tahu foto sekaligus video Dita dan mas Herman?'

"Iya, anak saya itu memang luar biasa. Dia bahkan kemarin membelikan saya gelang ini," ujar Bu Ambar sambil menunjukkan gelang emas berbentuk rantai mungil dengan permata-permata putih yang indah.

Aku mendelik. Gelang itu persis seperti yang telah diberikan mas Herman sebelum aku dinas malam! Gelang sebagai hadiah ulang tahun ku yang memang hanya berjarak tiga hari dari anniversary pernikahan kami.

Diam-diam aku memotret gelang yang ada di tangan Bu Ambar.

"Eh, gelang Bu Ambar dan Bu Dinda persis lho. Apa belinya barengan?" tanya salah seorang tetangga yang tanpa sengaja melihat gelangku.

Wajah Bu Ambar memucat dan melihatku lalu beralih ke tanganku bergantian.

"Oh, ini hadiah ulang tahun dari suami saya. Saya juga kaget saat tahu gelang saya dan Bu Ambar sama."

Suasana hening dan tegang sejenak.

"Eh, tapi ada yang aneh nggak sih? Kalau pak Herman yang membelikan gelang pada Bu Dinda wajar sih, kan kerja di perusahaan gede. Lha kalau Dita? Maaf nih, Bu Ambar, kerja jadi asisten koki di warung kan nggak sampai tiga juta. Kok bisa beli gelang bagus gitu? Apa jangan-jangan mbak Dita ... eh, Bu Ambar! Bu Ambar!"

Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status