Aline menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Matanya memang terfokus pada layar itu, tapi tidak pikirannya. 'Duh, apa lagi yang harus aku katakan pada Pak Devan? Mungkin Pak Devan sendiri juga tidak mau mengatakan pada siapapun, bukankah itu adalah hal yang memalukan?' pikir Aline.'Ah, tapi kalau itu adalah hal yang memalukan, kenapa sampai sekarang Pak Devan masih getol sekali membicarakan Hana? Buktinya, begitu tahu kalau Hana bekerja pada perusahaan milik Pak Dion, Pak Devan langsung memperingatkan. Jangan-jangan Pak Devan--'"Lin, sudah jam makan siang. Apa kau mau terus disana saja? Tidak lapar?" Sandy yang sudah berjalan ke pintu ruang kerja bersama membuyarkan lamunan Aline. Aline mengangkat wajahnya. Dia tersenyum pada Sandy."Kau pergi lebih dulu saja, masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku bereskan," jawab Aline. Sebenarnya yang mau dibereskan Aline bukanlah tentang pekerjaan kantor, melainkan tentang Hana."Okelah kalau begitu, aku duluan," ujar Sandy. Melihat S
Pagi ini Hana akan bersiap pergi keluar kota untuk meninjau proyek yang ada di sana, namun sedari tadi, Kendra terus saja menangis entah ada apa dengan anak itu pagi ini, tidak biasa-biasanya bersikap demikian.Kendra terus saja menangis tiada henti, jerit tangisnya membuat Hana keluar dari kamarnya setelah ia selesai menyiapkan persiapannyaHana lantas menghampiri Kendra yang kini tengah bersama Feny, "Kendra kenapa Fen, mengapa dia tiba-tiba seperti ini?" Hana sedikit khawatir melihat Kendra yang seperti itu.Hana berusaha membantu Feny mendiamkan Kendra, namun tetap saja anak itu menangis, Hana menggendong Kendra dan mengusap kepala anak itu."Anak kecil memang seperti itu Hana, dia akan menangis jika akan di tinggal bekerja beberapa hari oleh ibunya, itu hal yang wajar kau tak perlu khawatir, setiap anak mempunyai insting jika ia akan di tinggal pergi."Hana menatap Feny saat wanita itu berbicara, sambil berusaha mendiamkan Kendra yang kini tengah bersamanya.Namun anak itu teta
Ketegangan yang ada di dalam sana tentu berbeda dengan ketegangan yang dirasakan Hana di luar ruang kerja Dion. Di dalam sana, Dion tegang, Selfi mungkin juga tegang. Yang pasti, di luar Hana tegang karena merasa takut dan terancam.Hana mundur pelan dari depan pintu ruang kerja Dion. Dia tidak mau membuat kegaduhan, bisa-bisa Hana dikira sedang menguping kegiatan mereka di dalam.Setelah mundur beberapa langkah, baru saja Hana akan berbalik, terdengar suara yang menyapa Hana dengan penuh semangat. "Hai, Hana. Kau ada disini rupanya. Mau menemui Pak Dion? Aku juga perlu menemui Pak Dion," ujar Abi. Abi adalah manajer produksi di perusahaan milik Dion itu. Suaranya terdengar lantang, Abi memang orang yang selalu bersemangat."Eh ... Oh ... Umm, Ya, Pak Abi. Saya mau menemui Pak ... Eh, tidak, saya tidak mau menemui, saya ingin bertanya pada ...." Hana memandang ke arah meja Selfi."Kau ingin bertanya pada Selfi? Lebih baik langsung bertanya pada Pak Dion saja. Apakah mengenai proyek ya
Hana duduk di meja kerjanya. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Hana menunggu jam keberangkatan mereka dengan perasaan yang galau berat. Dia tak ingin pergi, tapi terpaksa dan pasrah dengan keadaan.Dalam benak Hana kembali terbayang lenguhan Selfi dari balik pintu ruang kerja Dion. 'Ih, menjijikkan sekali. Aku tak habis pikir ada lelaki beristri yang bisa main gila, di kantor lagi, dengan sekretarisnya sendiri lagi, tidak malu sama sekali!' Hana membatin sendiri, mengeluarkan segala uneg-uneg di dalam pikirannya.Sekarang, Hana seolah tak punya alasan untuk tidak ikut. Akomodasi sudah siap, lagipula yang menugaskan Hana bukan orang sembarangan di perusahaan ini, melainkan pemilik langsung. 'Tapi kalau pemilik perusahaan ini segitu gatelnya, rasa-rasanya mengerikan sekali kalau harus terus bekerja jadi karyawannya.' Hana khawatir pada kelangsungan karirnya di perusahaan itu. Apa yang akan terjadi pada karir Hana kalau dia sampai diinginkan bosnya itu.'Apa cerita Aline kemarin be
Saat Devan tiba di rooftop Hotel itu, Devan melihat Hana tengah duduk disana bersama Dion, Devan terus saja melirik dan melihat ke arah Hana, Entah mengapa hatinya merasa tak senang melihat wanita itu duduk bersama lelaki lain apalagi dia duduk bersama dengan Dion.Hana terlihat sangat akrab wanita itu mengobrol dan sesekali tersenyum, sambil menyuapkan makanan kedalam mulutnya.Dimeja itu memang bukan hanya ada Hana dan Dion tapi juga ada karyawan lain dan juga manager di perusahaan mereka. Semua yang ada di meja itu laki-laki, namun hanya Hana satu-satunya perempuan yang ada di meja itu.Ravi mengerutkan keningnya saat pandangan depan ke arah lain, Ravi menjadi penasaran apa yang tengah di perhatikan oleh Devan, Ravi lantas mengikuti arah pandangan Devan.Ravi melihat di meja itu ada Dion dan karyawannya, ada juga seorang wanita di tengah-tengah mereka, Ravi lalu melihat lagi ke arah Devan lelaki itu masih saja memperhatikan meja Dion. Ravi pun tersenyum, ia tahu kini sahabatnya itu
Devan sampai di meja Hana, Devan melihat wanita itu tengah menenggak minuman yang ada di gelas, Devan buru-buru merebut Gelas itu dari tangan Hana, meraih gelas itu lalu menjauhkannya dari Hana, namun ia terlambat.Isi di dalam gelas itu tinggal sedikit, Devan menatap ke arah Hana, Hana sudah meminumnya, Hana yang melihat tindakan Devan seperti itu langsung merasa terkejut, wanita itu merasa heran dengan tingkah laku Devan, Hana lalu berdiri dan marah padanya, Hana menampar Devan.Plakk ..."Apa-apaan ini?!"Hana berteriak kesal, dia tidak lagi bisa menjaga volume dan intonasi suaranya. Hana kesal pada Devan yang tiba-tiba saja datang dan merebut gelas yang sekarang ada di tangannya.Devan memandang Hana, dia sedikit gentar mendengarkan teriakan perempuan cantik itu. Devan termangu dengan gelas di tangannya. Dia menatap ke dada Hana, bukan karena ingin berpikiran kotor, melainkan karena sedikit cairan di dalam gelas itu tumpah ke baju Hana yang berwarna putih."Apa yang kau lakukan di
Devan berlari mengejar Hana, lelaki itu berjalan menuju ke arah lift, Ravi yang melihatnya pun merasa heran dengan sikap Devan. Di terus menatap punggung Devan yang mulai menjauh."Ada apa dengannya, mengapa Devan seperti itu." Ravi kemudian menyusul Devan untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh lelaki itu. "Aisss ... Kenapa dengan Devan, ada hubungan apa dia dengan Hana sebenarnya, aku sungguh bingung." Sambil berjalan melangkah mengikuti Devan Ravi terus saj bergumam, baru kali ini Devan bersikap aneh, terlebih lagi yng membuat ia seperti ini adalah seorang wanita.Devan menekan beberapa kali tombol yang ada di lift tersebut, Devan menunggu lama sekali karena lift itu tengah digunakan oleh pengunjung lain, Ia pun beralih ke lift yang sebelahnya menekan tombol itu berkali-kali. Namun kedua lift itu masih mengangkut pengunjung lain. Devan dengan gelisah mondar-mandir di depan lift, menunggu lift itu terbuka.Sesekali pandangan matanya tertuju ke atas ke arah layar yang menunjukkan a
Ravi melihat Devan begitu frustasi, Ravi tak pernah melihat Devan seperti itu sebelumnya terlebih lagi hanya untuk seorang wanita, ini benar-benar aneh. Ravi begitu penasaran tentang hubungan mereka, namun dia hanya diam saja memperhatikan Devan.Ravi mencoba menenangkan Devan, Ravi menghampiri Devan merangkulnya dan menepuk pundak lelaki itu, Devan pun menoleh ke arah Ravi."Sabarlah dulu, kau tunggu di sini, aku akan kebawah sebentar, kau tenanglah dulu di sini jangan buat keributan apapun, aku akan mencari bantuan di bawah meminta kunci kebagian resepsionis semoga saja mereka bisa membantu kita," ujar Ravi.Ravi langsung berjalan ke arah lift, meninggalkan Devan, Ravi langsung masuk ke dalam lift dan turun ke bawah, dia berniat untuk ke resepsionis yang ada di bawah meminta pertolongan di sana.Ting, ...Pintu lift itu terbuka Ravi langsung keluar dari sana dan berjalan ke arah resepsionis, Ravi menghampiri pegawai yang memakai pakaian hitam dengan panjang sebatas lengan."Permisi