Bab 3
"Tolong ambilkan handukku dong," pintanya berteriak dari dalam.
"Iya, di mana handuknya?"
"Di samping lemari."
Gegas kuambil handuk tebal berwarna putih tersebut.
Aku kembali. Hendak memberikan handuk ini pada Keynan. Sebenarnya ingin mengerjai dia, tapi takut nanti Keynan enggak jadi memberiku uang.
"Mana? Lama amat!" pekiknya.
Tangan Keynan menjulur ke luar lewat celah pintu yang ia buka sedikit.
"Nih!" Kugantungkan handuk tersebut di tangannya.
Keynan tak berucap apa pun. Sekadar berterimakasih pun tidak.
Astaga! Aku baru ingat sesuatu. Kenapa aku tidak minum pil KB. Haduh … gimana ini? Meski peluang hamil sangat kecil karena baru sekali melakukannya. Tetap saja aku takut kalau sampai benar-benar hamil. Padahal, pil itu kubeli diam-diam. Untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Dan nyatanya aku malah lupa. Semoga tetap aman.
"Sana mandi, keburu siang. Aku juga udah lapar."
Aku terperanjat. Tiba-tiba Keynan sudah berada di kamar ini.
"Kenapa bengong?" tanyanya lagi. Pikiran takut kebobolan merajai otakku. Dan ini yang membuat tidak bisa konsen pada hal apa pun.
"Nggak pa-pa." Segera aku beringsut mandi. Membawa satu stel baju dan celana yang sengaja kusampirkan di pundak.
*
Meski hari libur. Jalanan kota tak hentinya ramai kendaraan. Mentari hampir meninggi di atas kepala, tepat pukul sepuluh pagi menjelang siang, aku dan Keynan menuju rumah Bapak.
Karena kontrakan yang Bapak dan Ibu tiriku tempati berada masuk gang. Jadi Keynan memarkir mobilnya agak jauh. Lalu kami berjalan kaki ke sana.
Telingaku mendengar isak tangis yang memilukan. Mata langsung menatap ke teras kontrakan Bapak. Di sana ada Pakde, Mayang, Ibu dan Bapak.
"Tunggu!" Kutarik tangan Keynan lantas mengajaknya bersembunyi di dekat tiang listrik.
"Kenapa? Bukankah harusnya …."
"Sstt!" desisku mengode. Agar Keynan berhenti bicara.
"Saya juga nggak nyangka kalau Tiara akan pergi secepat itu. Padahal, dulu dia sempat merengek minta dibelikan boneka. Tapi, saat itu kami lagi nggak punya uang. Kami sangat menyesal tidak bisa menuruti keinginan Tiara untuk yang terakhir kalinya." Ibu tiriku menangis tersedu-sedu.
Pergi? Minta boneka? Yang terakhir kalinya? Kebohongan yang dikatakan iblis betina itu.
"Sabar, Bu … Mbak Tiara sudah tenang di alam sana." Mayang mengelus lengan ibunya. Wajahnya juga terlihat pura-pura sedih.
"Aku nggak nyangka kalau Tiara sudah pergi. Dua tahun lalu, saat aku kembali ke pulau Jawa, Tiara baik-baik saja. Tapi kenapa bisa meninggal secepat ini," kata Pakde. Lelaki bertubuh tambun itu mengusap wajahnya. Berkali-kali ia menggeleng seolah tak menyangka.
"Tiara anak yang baik dan penurut. Entah kenapa Tuhan memberinya penyakit yang begitu ganas." Lagi. Ibu semakin piawai bersandiwara, merangkai kalimat tanpa benar adanya. Dia menganggapku sudah mati.
"Sakit ganas apa?" Pakde tercengang.
"Kanker otak," jawab Mayang. Yang membuat air mataku meluncur, ialah Bapak. Lelaki yang harusnya menjadi tempat berlindung. Malah membiarkan dua iblis di depannya berlakon bagai drama dalam sinema.
Bapak hanya membisu. Tanpa menyangkal ucapan anak istrinya yang terlalu menohok bagi aku yang juga anak kandungnya sendiri. Mulai detik ini, dendamku menggumpal, membentuk benci yang tak bertepi. Aku berjanji, akan membuat mereka merasakan apa yang kurasa.
"Tiara …." lirih Keynan. Ia menatapku iba. "sekarang kita beri mereka semua pelajaran," lanjutnya.
Aku pun sudah tak tahan. Ingin membuat mereka terkejut dan mati kutu atas kedatanganku.
Drrtt! Drrtt!
Ponselku bergetar.
"Sebentar, Key."
Kubuka pesan yang masuk di aplikasi hijau. Gawai ini sengaja aku stel hanya getar saja agar tidak mengganggu saat bekerja.
[Mbak Tiara, tolong ke rumah sakit sekarang. Penting!]
Pesan dari Dokter Rima membuat niatku untuk menggebrak mereka jadi terurung. Jika menyangkut tentang Ibu, aku tidak bisa mentoleransi lagi.
"Key, jangan sekarang. Ibuku jauh lebih penting dari mereka. Kita ke rumah sakit sekarang ya."
"Nggak bisa gitu dong, Ra! Keluargamu yang toxic itu udah keterlaluan sama kamu."
"Udah biarin aja, nanti akan ada waktunya buat aku ngehancurin mereka. Kita pergi dari sini."
Keynan terpaksa mengikuti kemauanku. Karena bagaimanapun, nyawa Ibu segalanya bagiku.
*
Di rumah sakit.
Dokter Rima duduk di kursi depan ruangan rawat Ibu. Wajah cantik Dokter baik hati tersebut terlihat lesu.
"Ada apa, Dok? Ibu saya baik-baik aja 'kan?"
Dokter Rima berdiri. Lalu merengkuhku dalam pelukannya.
"Yang sabar ya, Mbak Tiara. Tuhan memanggil Ibu Embak lebih dulu karena dia lebih sayang," perkataan Dokter Rima membuat jantungku berhenti berdetak.
Segera kulepas pelukan Dokter berusia lebih dari 40 tahun tersebut.
"Ibu …!" Teriaku sambil berlari masuk ke ruangan.
Di atas bangsal. Selembar kain putih menutup seluruh tubuh Ibu hingga wajahnya.
Aku tak percaya, kusibak kain itu untuk memastikan.
Hancur seketika duniaku. Ketika mendapati belahan jiwa sudah tak bernyawa.
Aku memeluknya, menumpahkan segala sebah di dada. Membuat napasku terasa ikut berhenti.
"Jangan tinggalin Tiara, Bu!"
Guncangan demi guncangan yang kuberikan. Tak membuat tubuh Ibu bergerak. Aku tak percaya, bahwa wanita yang amat sangat kucintai pergi untuk selama-lamanya.
"Sabar Tiara."
Entah sejak kapan datangnya Keynan. Ia menarikku di dekapannya. Mengelus lenganku lembut. Kata demi kata penenang ia lontarkan. Dan itu sama sekali tidak mengurangi rasa sedihku atas meninggalnya Ibu.
"Satu-satunya orang yang ada dalam hidupku pergi. Sekarang, aku hanya sendiri di dunia ini." Suaraku serak nyaris habis.
"Kamu nggak sendirian Ra, di dunia ini. Kamu masih punya aku. Ikhlaskan, agar almarhumah ibumu bisa pergi dengan tenang.
*
Gundukan tanah bertabur bunga menjadi tempat peristirahatan terakhir untuk Ibu.
Sekarang kita sudah benar-benar berpisah, Bu. Selamat jalan, sekarang Ibu sudah tidak merasakan sakit lagi. Doakan semoga aku mampu menjalani hari yang mungkin akan berat tanpamu.
Kukecup lama nisan bertuliskan nama Ibu. Semua orang sudah pulang, hanya tinggal aku berdua dengan Keynan.
Sengaja aku tidak memberitahu Bapak dan dua setan itu. Aku tak mau mereka mengotori pemakaman dengan hati mereka yang busuk.
"Ra, ayo pulang. Sudah sore."
Sentuhan di kedua lengan memapahku untuk berdiri.
"Ayo pulang, jangan terus larut dalam kesedihan. Nanti Ibu kamu sedih lihat anak perempuannya nggak bisa ikhlas. Lagian, Mama sama Papa udah nunggu di mobil. Ayo."
Kakiku terasa berat meninggalkan pusara mendiang Ibu.
Dengan sabar Keynan terus menyemangati. Memberi wejangan yang kadang aku sendiri tak mengerti.
*
Sudah lebih dari dua Minggu. Aku masih terpuruk dalam kesedihan yang terlarut dalam.
Aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Menenangkan diri lebih dulu. Mengurung diri dalam kesendirian tanpa ingin melihat lagi gemerlapnya Ibu Kota.
Pagi ini, Keynan sudah berangkat bekerja. Sejauh ini perlakuan dia baik. Bahkan sangat perhatian. Begitu juga keluarganya, kedua mertuaku sama-sama baik. Terkaanku perihal kejamnya keluarga Keynan, itu salah besar. Justru keluargaku sendiri yang telah jahat.
Gelas dan nampan bekas teh semalam. Kubawa turun ke dapur.
"Tiara, kalau masih belum mood ke luar. Ya di kamar aja. Semua kerjaan biar diatasi sama Embak," celetuk Mama mertua. Embak adalah sebutan untuk ART di rumah ini.
Ia tengah duduk sembari mengupas bawang-bawangan.
"Nggak pa-pa kok, Ma." Kuletakan gelas di wastafel. Lalu mencucinya.
"Biar aku bantu ngupas bawangnya, Ma." Pisau yang kubawa sudah siap bertempur dengan bawang putih yang kupegang.
"Huek!"
Perutku mendadak mual. Aroma bawang putih tercium menusuk hidung. Kepala ini juga terasa pusing serta mata berkunang-kunang. Sedetik kemudian, tubuhku ambruk dan semuanya gelap.
*
Ketika kubuka mata. Senyum Mama mertua menyambut.
"Aku di mana?" lirihku. Karena tempat ini terlihat asing.
"Di rumah sakit. Selamat ya, kamu hamil. Itu artinya, sebentar lagi kamu sama Keynan akan jadi orangtua," cecar Mama bersemangat. Tak hentinya senyuman lebar terus disinggungkan olehnya.
Aku terperanjat, dalam geming yang membuatku ingin pingsan lagi rasanya. Bagaimana bisa aku hamil? Pasti Keynan akan sangat marah kalau tahu hal ini. Terlebih lagi, soal janji yang sudah disepakati
***
Bab 29POV AuthorKeynan hanya menelan Saliva susah payah. Apa yang dikatakan Tiara sukses membungkamnya.Lama-lama merasa malu, Tiara memilih mengakhiri tingkahnya yang kadang diluar nalar.Keynan membiarkan Tiara saat wanita itu bangkit dan memilih duduk sembari menyugar rambut.'Asem! Kenapa ini mulut nggak bisa dijaga banget sih! Pasti Keynan ngira aku perempuan berpikiran mesum," batin Tiara merutuk menyesali apa yang telah ia katakan perihal burung tadi."Kenapa? Ternyata gini ya kelakuan kamu! Nggak mau tanggung jawab!" Keynan protes. Ia pun ikut duduk namun di belakang Tiara.Lantas mendelik tajam mata Tiara. Ia melirik Keynan dengan ekor mata."Tanggung jawab apa? Aku 'kan nggak ngelakuin kesalahan apa-apa." "Udah lupain aja. Perempuan emang selalu benar kok. Meski kamu nggak peka, aku memahaminya. Nanti lama-lama kamu juga akan yang sering minta duluan." Keynan berdiri seraya menepuk pundak Tiara pelan.Celingukan sendiri Tiara. Otaknya berpikir apa arti yang Keynan bicarak
Bab 28POV Author'Oh Tidak!' batin Tiara berteriak. "Hei, kenapa diam? Ayo pijitin!" Keynan berseru lagi. Ia melirik Tiara dengan posisi tengkurap."Tapi aku nggak bisa pijit Key, jadi mendingan aku panggilin kamu tukang pijit beneran ya, kebetulan aku juga punya kenalan." Tiara pelan-pelan beranjak dari atas kasur. Tak kuat bila ia lama-lama melihat Keynan bertelanjang dada begitu. "Nggak! Aku maunya dipijitin sama kamu. Titik!" Keynan ngotot. Bahkan tangannya cekatan menarik Tiara hingga kembali terduduk paksa."Tapi aku nggak bisa!" Lagi, Tiara mencoba menghindari."Tadi katanya kamu mau pijitin aku. Berarti bisa pijit dong?" Kerlingan serta senyum miring terus Keynan sunggingkan. Hatinya tertawa geli melihat tingkah sang istri yang gelisah seperti cacing kepanasan."Iya, tapi kamu pakai baju ya?" Jemari Tiara merambat pelan hendak mengambil baju Keynan yang tergeletak di sana."Nggak!" Ditolak mentah-mentah oleh Keynan. Seketika baju tersebut langsung dilempar ke lantai oleh le
Bab 27POV Author"Cincin apa, Key?" Tiara berlagak nggak tahu."Jangan kira aku nggak tahu y Ra, kamu tuh kenal 'kan sama Farel? Bahkan kayaknya malah dekat banget." Alis tebal Keynan saling bertaut rapat.Langsung tercelos batin Tiara. Tak habis pikir ia kalau Keynan tadi tahu saat Tiara mengobrol dengan Farel."Mana! Kalau kamu nggak mau ngasih itu barang. Biar aku cari sendiri!" Keynan mengulurkan telapak tangan di depan Tiara."Iya, iya." Dari saku celana, Tiara merogoh benda berbentuk lingkaran tersebut. "ini," lanjutnya. Terpaksa memberikan yang Keynan minta. Lagipun, Tiara juga kini telah memilih Keynan. Dengan arti ia juga harus melupakan semua tentang Farel. 'Cinta itu buta ya, meski nggak buta fisik. Tapi cinta itu buta hati. Saat berkali-kali harus menelan kecewa atas yang Keynan lakukan. Tapi kenyataannya tetap saja aku masih teguh bertahan. Dan … salah besar jika aku bertahan karena harta. Memang niat awalnya begitu, tapi seiring berjalannya waktu … ternyata cinta ini
Bab 26Kalimat Keynan terpenggal sejenak. Namun Tiara tetap sigap menyimak meski debar dalam dadanya pun berdentang kencang tak karuan."Tapi aku memilih … kamu." Meski pelan Keynan melanjutkan. Kata itu masuk ke gendang telinga Tiara dengan baik.Hampir tak percaya dengan yang didengar. Tiara tersenyum senang campur entah. Rasa itu sungguh kelu untuk diutarakan."Kamu beneran pilih aku 'kan Key?! Aku nggak salah dengar 'kan?!" tegas Tiara lantas menekan kedua lengan Keynan dengan tangannya untuk mengsejajarkn pandangan.Keynan mengangguk pelan. "Iya Ra, aku nggak ingin kalau anak kita lahir dia nggak punya orang tua yang lengkap. Jadi, aku mohon sama kamu Ra, untuk lebih bersabar dengan sikap ini." Begitu dalam netra bening Keynan menatap lawan jenisnya.Walau sudah mendapatkan jawaban yang sesuai keinginan. Tapi ada saja yang masih mengganjal di hati kecil Tiara."Kalau masalah bersabar, jelas aku akan maju paling depan Key. Tapi … bagaimana dengan Nadia jika kamu memilih aku? Kamu
OBAT PER4NGS4NG YANG DIBERIKAN IBU TIRIKU Bab 25POV Author.Farel tercengang cukup lama sembari terus menatap lekat kedua insan di ujung sana. Adegan Keynan yang tengah menggendong Tiara dengan mesra, memberi cubitan kecil pada hati Farel hingga terasa nyeri di ulu hati.Tubuh ramping Tiara itu seketika cepat sekali terengkuh sempurna dalam dekapan Keynan lalu membawanya masuk ke dalam kamar.Kini, hanya tatapan hampa dari pria beropini mengenai perasaan sepupunya terhadap teman kecilnya tersebut. Farel sulit percaya jika Keynan sama sekali tidak ada rasa terhadap istrinya. Meski acap kali elakan Keynan membantah, tapi perangai dan sorot mata tak bisa berbohong. Sesama seorang pria dan juga mengenal lama. Farel paham betul bagaimana watak adik sepupunya itu, tergolong susah ditebak.Gelengan pelan diiringi kerjapan mata berkali-kali Farel lakoni, ia menepis semua pikiran ranjau yang mengganggu setiap hembusan napasnya. Tangan Farel mengangkat laptop lalu membawanya meninggalkan
Bab 24Keynan langsung melepaskan kedua tangannya yang tadi menyangga di punggung Tiara lalu beralih memegang pipi yang barusan terkena tamparan."Aaa!" Tiara berteriak sesaat sebelum ia perlahan tenggelam karena air kolam itu lebih tinggi dibanding dirinya.Sadar akan hal itu, Keynan cepat membawa Tiara naik ke permukaan kembali. Ia tahu, bahwa istrinya tidak bisa berenang."Mau gampar aku lagi? Tenggelam 'kan jadinya?" Keynan menatap tajam Tiara.Kedua insan itu kini kembali di posisi yang sama seperti tadi sebelum adegan tamparan mendarat sempurna di pipi kiri Keynan."Kamu sih matanya jelalatan," rutuk Tiara dengan bibir maju beberapa senti. "bawa aku ke pinggir Key, aku mau ke kamar.""Nggak! Kalau mau ke pinggir ya sana kamu berenang sendiri." Keynan tersenyum menyeringai. Melihat wajah istrinya ketakutan kesal Keynan malah semakin senang.Bukannya lekas membawa Tiara ke pinggir. Justru Keynan malah membawa Tiara melangkah semakin ke tengah-tengah kolam dengan lebar enam kali de