Suasana malam yang mencekam. Seharian hujan terus turun membasahi kota. Jalanan licin, tidak banyak orang yang berlalu-lalang. Jalanan sangat lengang, tidak ada aktifitas yang berarti di sana.
“Ma, nanti kalau udah sampai di rumah, Karin mau langsung bobo aja deh, nggak jadi nemenin papah nonton bola.” Celotehan anak berusia 15 tahun itu didengarkan dengan sangat baik oleh kedua orangtua yang duduk di bangku depan.
“Ah, Karin ingkar janji, tadi pagi katanya kau nemenin papah nonton bola, kok sekarang nggak jadi?” sang ayah menimpali dengan nada bercanda.
“Benar kata ayah, kamu ingkar janji. Tadi pagi kamu semangat banget mau nonton bolanya.” Sang ibu tertawa melihat ekspresi menggemaskan dari putrinya itu.
“Ih, mama,” keluh sang putri, ia memasang wajah cemberut.
Tawa kecil menghiasi keluarga kecil ini. Sepasang suami-istri itu terus menggoda putri mereka dengan berbagai candaan dan sang putri menanggapinya dengan raut wajah cemberut walau sebenarnya ia merasa bahagia.
Sampai pada suatu saat, suara tawa itu berubah menjadi suara jeritan histeris tanpa henti.
“Papaaaaaahh!”
Mobil hitam itu dihantam keras oleh sebuah truk bermuatan semen yang melaju kencang di tengah jalan. Mobil terguling beberapa kali lalu berhenti dengan posisi terbalik.
Lalu…
Sepasang mata terbuka paksa, Karina terbangun dari tidurnya dengan perasaan tidak nyaman.
“Mama, Papah—haahh.”
Jantungnya mendadak berpacu cepat, keringat bercucuran membasahi dahinya, dan napasnya terdengar tidak beraturan. Matanya langsung melihat sekeliling. Kamar tidurnya terlihat gelap, hanya ada cahaya dari lampu tidur yang terletak di atas meja sebelah kasur.
“Cuma mimpi.” Karina menyeka dahinya yang basah, ia menghela napas lega.
Karina bangkit dari kasur, berjalan keluar kamar menuju ke dapur. Ia ingin mengambil air minum. Tenggorokannya terasa sangat kering. Setelah meneguk habis air minumnya, Karina duduk sebentar di kursi. Ia sedang mencoba mencerna kembali mimpinya, ah, itu bukan mimpi. Melainkan sisa trauma dari memorinya di masa lalu.
“Argh, mimpi aneh itu datang lagi.” Karina memijat kepalanya.
Insiden kecelakaan itu kembali terlintas jelas di kepalanya. Bagaimana ia menyaksikan kedua orangtuanya merenggang nyawa setelah menerima banyak luka di sekujur tubuhnya.
Saat Karina berusia 15 tahun, ia mengalami kecelakaan beruntun dan menewaskan kedua orangtuanya. Saat itu hanya Karina yang selamat, ia merasa tidak adil, kenapa hanya dirinya yang selamat.
“Ahh, pusing sekali.” Karina memijat keningnya, ia terus memikirkan mimpi buruk itu.
Karina terus berpikir, sampai-sampai ia tertidur di dapur. Kepalanya ia tumpukan pada tangan kanan yang menekan permukaan meja. Ia tertidur di sana sampai matahari pagi muncul.
“Nona itu kenapa tidur di situ?” Gerutu salah satu maid. Ia berlari menghampiri Karina yang masih tertidur di meja makan.
Beberapa maid menghampiri Karina yang masih terlelap dalam tidurnya.
“Kenapa bisa tidur di sini?” maid itu bertanya-tanya.
Para maid yang lain juga bingung kenapa Karina bisa tidur di dapur seperti itu. Padahal tempat ini bukan tempat yang layak untuk tidur. Karina tersentak kaget ketika sebuah tangan menyentuh bahunya, ia langsung tersadar dan melihat sekeliling.
Ia sudah di kelilingi para maid yang siap untuk melayaninya hari ini. Karina memijat dahinya pelan dan menhela napas pelan. Bagaimana bisa dia ketiduran di tempat ini?
“Nona, kenapa tidur di sini?” tanya salah satu maid.
“O-O-Oh, Aku ketiduran, Astaga.” Karina menyeka rambutnya kebelakang. Ia merasa sedikit canggung karena para maid itu terus melihat ke arahnya.
Para maid menatapnya dengan tatapan aneh, dari awal Karina sudah merasa kalau para maid sedikit tidak menyukai kehadirannya. Tetapi Karina tidak bisa mengatakan apapun. Bukan maunya berada di tempat ini, ia juga dipaksa.
“Sedang apa kau?”
Suara berat itu menginterupsi seluruh orang yang ada di dapur tak terkecuali Karina. Ia menoleh ke arah Joshua. Pria itu berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Joshua sudah memakai pakaian yang rapi, sepertinya ia akan keluar.
“O-Oh, tidak ada.” Karina membalas dengan suara yang bergetar, ia masih belum terbiasa dengan kehadiran Joshua di sekitarnya.
“Di rumah ini ada banyak kamar tidur, kenapa kau malah tidur di dapur seperti ini?” Tanya Joshua sambil melangkah maju ke arah Karina.
“Oh, aku ketahuan, ya?” Karina bergumam.
Seketika itu para maid langsung undur diri dan meninggalkan mereka berdua di sana. Joshua merasa senang bisa melihat wajah Karina yang polos tanpa riasan sama sekali. Ia suka penampilan natural Karina, sangat indah dan nyaman di pandang.
“Kau sangat cantik tanpa riasan sama sekali,” puji Joshua.
“T-T-Terima kasih.” Karina merasa ketakutan dengan kehadiran Joshua.
Joshua suka melihat Karina yang merasa terintimidasi di bawah kuasanya. Ia tersenyum tipis, lalu jemarinya mengusap pipi Karina sangat lembut.
“Kau beruntung berada di sini.” Joshua berkata dengan nada datar namun memiliki kesan mengintimidasi.
Untuk saat ini ia ingin terus bersama Karina, ia menyukai wanita ini sejak mereka melakukan ronde kedua di dalam kolam air panas. Ia suka suara merdu Karina yang memanggilnya dan tubuh yang indah.
“Mainan ku yang sangat indah.” Jemari Joshua mengusap permukaan bibir Karina yang polos.
Wajah Joshua mendekat ke wajah Karina, ia mencium bibir gadis itu singkat. Ia sangat suka rasanya, bibir itu terlihat seperti tidak pernah di sentuh sama sekali. Terlihat dari sikap Karina yang selalu terkejut setiap ia menciumnya, sama seperti kemarin.
“Kau tidak perlu takut dengan saya, Saya tidak makan orang.” Suara berat itu selalu mampu membuat Karina merinding.
“Baiklah, Tuan.” Ia mencoba tersenyum tipis untuk menutupi rasa gugupnya.
“Hmm, hari ini saya ada beberapa urusan di luar. Kemungkinan akan pulang atau mungkin juga tidak. Jangan sungkan, gedung ini milikmu, jadi kau bebas untuk melakukan apa saja. Jangan takut untuk menyuruh para maid, mereka memang di pekerjaan untukmu.”
Karina menyimak dengan baik penjelasan Joshua. Ia masih bingung kenapa Joshua mau membeli wanita rendahan sepertinya dan memberikan fasilitas sebanyak ini padanya.
“Kalau tidak ada pertanyaan, saya akan pergi.” Joshua berbalik dan melangkah menjauh.
“Uumm, tuan,” panggil Karina ragu-ragu.
Joshua langsung menghentikan langkahnya dan berbalik melihat Karina yang sepertinya masih di selimuti rasa takut. Ia menunggu wanita itu untuk membuka suara, cukup lama.
“Sebenarnya saya sedikit penasaran, kenapa tuan mau membeli saya?” Karina menunduk takut ketika Joshua menaikkan satu alisnya setelah mendengar pertanyaan itu.
Kemudian Joshua tersenyum, ia memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana “Anggap saja untuk membayar hutang di masa lalu.”
Setelah mengatakan itu Joshua pergi meninggalkan Karina yang masih bingung dengan jawaban yang ia berikan. Apa maksudnya membayar hutang di masa lalu?
“Membayar hutang di masa lalu?”
Karina bingung bukan main. Ia baru pertama kali bertemu dengan Joshua, bagaimana bisa pria itu memiliki hutang padanya?
“Hutang bagaimana? Jangan membuatku penasaran.”
Karina menjambak rambutnya frustasi. Ia kembali duduk dan memikirkan perkataan yang baru saja ia dengar.
“Memangnya aku pernah bertemu dengannya?” Karina mencoba memecahkan teka-teki di dalam kepalanya.
“Memang sih, mukanya seperti tidak asing. Tapi aku tidak tau dia itu siapa dan dia berhutang apa padaku.”
Karina menempelkan pipinya pada permukaan meja, “Aku tidak mengerti sama sekali,” gumamnya pelan, terdengar seperti ia menyerah untuk mengorek-korek ingatannya yang sudah terkubur lama.
Di saat ia sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri, Karina di kejutkan oleh kedatangan si tuan tangan kanan.
“Tuan tangan kanan?” Bingung Karina.
“Panggil saya Elliot, Nona.” Tuan tangan kanan itu dengan cepat menyalip ucapan Karina.
Elliot menatap Karina dengan tatapan yang serius, ia berdiri di hadapan Karina, menaruh kedua tangan di depan lalu berdiri tegap tanpa melirik kanan dan kiri.
“ah, iya, tuan Elliot.” Karina membenarkan panggilannya.
“Tidak perlu pakai tuan, Nona.” Tuan tangan kanan itu sangat kaku.
Karina menghela napas pasrah “Baiklah, Elliot.” Karina tampak acuh dengan apa yang barusan ia ucapkan.
“Ada apa?” tanya Karina kemudian.
“Saya di tugaskan untuk menemani Nona saat Tuan sedang pergi.”
Karina tersenyum cangkung, ia tidak biasa di ikuti seperti ini. Ia lebih nyaman sendirian, kalau ada yang mengikuti rasanya akan sangat aneh.
Derap langkah terdengar jelas di lorong sepi bagunan yang dindingnya menjulang tinggi. Kaki jenjang berbalut sepatu berwarna hitam mengkilap itu melangkah dengan irama pelan. Kaki itu berhenti ketika ia sampai di depan pintu besar berbahan besi yang terbuka dengan sendirinya.“Anda sudah tiba, Tuan?” Seorang pria bertubuh kekar dengan tato di lengan sebelah kanannya membungkuk singkat.“Bagaimana kabarnya?” Pria itu menyeringai saat bertanya.“Tidak terlalu baik, Tuan.”Pria itu mengangguk pelan sebagai jawaban. Laku ia kembali melangkah masuk dan langsung disambut oleh seorang wanita dalam keadaan berlutut di lantai dengan rantai yang membelenggu kaki dan tangannya.“Tuan, Carrington.” Wanita itu langsung merangkak menghampiri pria yang baru saja tiba di hadapannya.“Oh, anda masih terlihat sangat baik, Nyonya Soraya.” Sebuah seringaian terukir di bibir sang pria, ia menatap seperti ia sedang mengutuk wanita yang ada di hadapannya ini.“Tuan, saya mohon lepaskan saya. Saya berjanji t
Mata Karina terbuka, ia melihat sekitar yang sepi. Ia sendirian berada di dalam kamarnya. Ia kemudian mencoba mengingat-ingat bagaimana cara ia kembali ke kamar semalam.“Kemarin aku ada di kolam dan— dan, ah, apa aku ketiduran saat berciuman dengan tuan?”Karina mencoba menerka-nerka apa yang telah terjadi kemarin malam. Karena jujur saja Karina tidak mengingatnya. Ia mempunyai ingatan yang buruk.“Ah, terserahlah.” Karina akhirnya menyerah.Karina bangkit dari kasurnya, berjalan pelan menuju jendela kamar yang masih tertutup gorden. Ia membuka kain penutup jendela itu. Cahaya matahari pun langsung menyapanya dengan ramah.“Indah sekali.” Karina tersenyum tipis, merasa sangat senang masih bisa melihat indahnya pagi.Setelah puas memandangi indahnya pagi dari balik jendela ia pun berjalan keluar dari kamar. Ia tiba-tiba saja ingin keluar dan berjalan-jalan di taman. Taman itu sudah lama ia perhatikan, namun belum ada kesempatan untuk menginjakkan kaki di sana.“Woah, bunganya banyak s
“Di mana Boss kalian? Kembalikan semua uangku, kembalikan!” Seorang pria paruh baya tengah mengamuk di tengah-tengah keramaian, ia mengancam dengan pisau dan juga jerigen 30 liter berisi bensin yang ia pegang di tangan kirinya. Ia berteriak tanpa henti seperti orang yang terkena gangguan jiwa. “Carrington, tunjukkan mukamu! Bajingan sialan, kembalikan semua uangku! Kau penipu, Carrington.” Orang-orang mencoba melerainya tetapi satu pun tidak ada yang berhasil. Pria paruh baya itu terus berteriak marah sambil mengayunkan pisaunya dan jerigen bensin berukuran 30 liter yang ia pegang. Beberapa orang dari divisi keamaan juga mencoba melerai, namun selalu saja gagal karena pria tua itu menyiram mereka dengan bensin dan mengancam akan membakar mereka jika berani mendekat. “Waah, kau membuat keributan di sini dan membuat karyawan-karyawanku tidak bisa bekerja, tuan Hong.” Sebuah suara terdengar dari lantai dua. Dari balik batas teralis besi itu Joshua menampilkan dirinya. Matanya mengge
“Seret dia ke ruang mainku, sekarang!” Titah Joshua“Baik, Tuan.”Elliot membungkuk lalu segera pergi dari hadapan Joshua. Niat hati ingin beristirahat punah sudah, ada hal yang lebih menyenangkan untuk Joshua lakukan malam ini. Hidangan penutup untuk makan malamnnya.Sepertinya akan seru, Joshua berjalan keluar dari bangunan tempat Karina tinggal. Berjalan cukup jauh ke ujung jalan setapak, sebuah bangunan berukuran sedang yang sekilas terlihat seperti banguna rumah biasa, namun isi dalam rumah itu sangat menengangkan. Siapapun tidak akan bisa membayangkan, sudah barapa nyawa yang minta di ampuni di dalam ruangan itu.Bibir Joshua bersiul santai, kakinya menapak di ruangan. Pintu yang menjulang tinggi itu tertutup rapat setelah Joshua masuk ke dalam, pintu itu di jaga oleh dua orang algojo bertubuh besar. Tidak sembarang orang boleh datang. Tempat ini sama seperti penjara yang Joshua buat untuk menghabisi para tawanannya.Tempat ini hanya di peruntukkan para penghiatan di dalam mansi
Air hangat sudah tidak lagi menjadi obat untuk menenangkan diri. Semakin air itu mengenai permukaan kulit yang penuh guratan luka, sakit yang luar biasa langsung menyerbu ke sejujur tubuh. Tubuh ringkih itu bergetar, penuh amarah dan denam di dalamnya. “Segitu hinanya kah aku, sampai-sampai harus diperlakukan seperti ini?” Karina menatap langit-langit kamar mandi. Kepalanya ia sandarkan pada ujung bathtub dan tubuhnya sengaja ia tenggelam di dalam air hangat. “Akhh.” Kadang luka-luka itu terasa sangat perih ketika terkena sapuan gelombang kecil yang diakibatkan oleh pergerakannya. Di tangan kanannya ia menggenggam sebuah tusuk konde berwarna emas yang memiliki ujung yang tajam. Sudah berulang kali ia memikirkan hal ini, berulang kali juga ia meyakinkan diri. Jika bukan jalan ini, jalan seperti apa yang harus ia tempuh untuk mendapastkan keadilan. “Ma, Pah, tunggu Karin, ya.” *** Di lorong panjang menuju kamar Karina sangat ricuh. Para maid berbondong-bondong berlari menuju kama
Karina terbangun dari tidurnya. Wajahnya sangat pucat dan penuh dengan peluh. Kali ini mimpinya menjadi lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Bukan hanya tentang kecelakaan di masa lalu, ia juga melihat sosok yang tak asing di dalam mimpinya.“Lelah sekali.”Gia mengusap dahinya dengan punggung tangan. Ia melihat ke sekitar yang masih sepi. Langit juga belum terlalu terang. Ia melihat lengannya yang masih terpasang jaum infus. Dengan kasar ia mencabutnya dan membiarkan darah di tangannya menetes.Perlahan ia turun dari kasur, kakinya melangkah perlahan keluar dari dalam kamar. Kakinya menyusuri lorong panjang yang masih sangat sepi dari aktifitas orang-orang.“Nona?”Langkah Karina terhenti ketika mendengar suara tuan tangan kanan. Ia menoleh ke sumber suara. Elliot sedang duduk di sofa ruang tengah, ia sepertinya berjaga semalaman.Laki-laki itu berdiri, melangkah ringan ke arah Karina, raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran yang besar. Elliot memperhatikan wajah Karina, tatapan w
Mari kita tarik undur dulu sebentar ke kejadian beberapa hari lalu saat Karina ditinggal begitu saja oleh Joshua setelah menghancurkannya untuk yang kesekian kalinya. Karina sungguh putus asa dengan hidupnya. Sekeras apapun ia mencoba untuk melawan, pada akhirnya ia akan dijatuhkan lagi oleh Joshua.Tidak mudah untuk mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal itu. Melawan, bukanlah hal yang bisa Karina lakukan. Ia selalu hidup dalam tekanan dan selalu di tuntut untuk selalu menuruti perintah.Namun, kemalangan itu bukanlah akhir dari segalanya. Disaat Karina hampir putus asa dengan perjalanan hidunya. Secercah cahaya muncul dari kegelapan. Sebuah tangan mengulur kearahnya untuk memberikan pertolongan. Sebuah suara familiar menusuk indera pendengarannya dan membuat kepalanya mendongak ke atas.“Izinkan saya untuk patuh kepada Nona, saya berjanji akan menolong Nona dari segala macam penderitaan. Tolong izinan saya untuk patuh pada anda, Nona.”Apa yang sedang manusia gila ini bicaraka
“Aku ingin penampilanku jadi sorotan, aku akan menunjukkan kepada tuan sombong itu kalau aku ini sangat cantik dan penuh karisma.”Wanita bergaun indah itu memutar dirinya beberapa kali untuk melihat penampilan sempurnanya di depan cermin. Wajah cantik yang riasan yang sedikit mencolok, gaun panjang berwarna merah menyala dengan bagian dada yang sedikit terbuka mampu membuat dirinya puas.“Nona sangat menawan, mau pakai apapun Nona tetap jadi juaranya.” Sang kepala pelayan berucap dengan percaya diri, ia melihat sang majikan yang terus memandang dirinya yang sempurna di depan cermin besar.“Benar, aku selalu menawan, aku adalah putri tuan tuan Barnard yang paling cantik.”Rebecca Barnard adalah putri bungsu dari pengusaha ternama bernama Wiliams Barnard. Seorang putri yang selalu menjadi pusat perhatian dan rebutan kaum adam pada abad ini. Namun, walaupun begitu, ia sudah memantapkan hatinya untuk satu pria, Joshua Rionard Carrington.“Oh, ya, Tuan Carrington akan datang ke pesta mala