Malam itu, Deana berdiri di depan cermin dengan mengenakan gaun hitam panjang yang elegan, namun dengan rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Dia tahu ini bukan hanya sekadar acara amal, ini adalah ujian bagi kesetiaannya.Pintu kamar diketuk lagi, kali ini pelayan mengantarkan Raya yang telah tiba untuk menjemputnya. Wanita itu tampak sempurna dalam balutan gaun merah yang mencolok, kecantikannya yang tajam disertai aura dingin dan berbahaya."Sudah siap?" tanya Raya dengan senyum sinis di wajahnya, menatap Deana dari atas ke bawah.Deana tersenyum lemah. "Ya, aku siap."Mereka berdua keluar dari mansion menuju mobil mewah yang sudah menunggu di luar. Selama perjalanan menuju acara amal, keheningan yang tidak nyaman melingkupi mereka.Raya sesekali menatap Deana dengan tatapan yang tidak bisa diprediksi, membuatnya semakin merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat.Setibanya di gedung besar tempat acara amal berlangsung, Deana dan Raya segera menarik perhatian.Banyak orang pen
Keesokan harinya, Deana menyelinap keluar dari mansion Bastian dengan hati-hati. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh ketegangan, takut jika seseorang mengikuti atau mengawasi.Ia tahu bahwa Bastian dan Raya memiliki mata-mata di mana-mana, tapi kali ini, Deana tidak peduli. Ia harus bertemu William.Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak jauh dari pusat kota. William sudah menunggu di sudut ruangan, duduk dengan tenang sambil memegang secangkir kopi.Saat melihat Deana masuk, ia mengangkat pandangan dan mengangguk pelan.“Kau datang tepat waktu,” katanya tanpa basa-basi.Deana duduk di hadapannya dengan ekspresi tegang.“Apa yang ingin kau katakan? Situasi ini semakin berbahaya.”William mengamati wajahnya, seolah mencoba membaca pikirannya sebelum akhirnya berkata,“Aku telah menemukan sesuatu tentang Bastian. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah semuanya.”Deana merasa
Deana menatap ponselnya yang mati, merasakan hawa dingin menyusupi setiap pori tubuhnya. Ancaman itu nyata, dan sekarang dia tahu bahwa waktu yang ia miliki semakin menipis.Mereka tahu. Bastian, Raya, dan siapa pun di balik sindikat itu telah menyadari bahwa ia bukan hanya sekadar Lady Dee, pelacur yang mereka kira mudah diatur.Namun, meski ancaman itu terasa menakutkan, Deana tahu dia tidak bisa mundur. Jika dia menyerah sekarang, bukan hanya dirinya yang hancur, tapi banyak nyawa akan terus terjebak dalam kejahatan Bastian.Dia harus bergerak cepat, lebih cepat dari sebelumnya, sebelum mereka menutup seluruh jalur kaburnya.Malam itu, Deana mencoba bersikap setenang mungkin di hadapan Bastian. Dia tahu setiap gerak-geriknya bisa diawasi.Bahkan, kemungkinan besar Bastian sendiri telah memasang perangkap, menunggu satu kesalahan kecil yang bisa mengungkap jati dirinya.Bastian sedang duduk di ruang kerjanya ketika Deana masuk dengan membawa secangkir teh, seperti biasa.Namun, malam
Dengan jari yang gemetar, ia mengetik pesan singkat."Aku akan menjebak Raya. Siapkan semuanya."Pesan terkirim. Ini adalah pertaruhan terbesar dalam hidupnya, dan dia tahu jika dia gagal, segalanya akan berakhir di tangan Bastian. Namun, jika berhasil, dia bisa membalikkan keadaan.Sementara itu, di ruang bawah tanah mansion, Raya berdiri dengan senyuman puas di hadapan Bastian.“Dia tidak bisa kau percaya,” ucap Raya dengan nada lembut tapi penuh racun. “Lady Dee bukan hanya pelacur biasa. Aku telah melihat gerak-geriknya, dan aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.”Bastian menatap Raya, mencoba menilai apakah ucapan itu didasari kecemburuan atau informasi yang valid. Tapi satu hal yang ia tahu, Raya jarang sekali salah.“Jika apa yang kau katakan benar, maka Lady Dee sudah menandatangani surat kematiannya,” jawab Bastian dingin.Raya menyeringai, puas. “Aku akan mengawasinya lebih dekat, sayang. Jangan khawatir. Dia tidak akan pergi ke mana-mana tanpa sepengetahuanku.”Di sisi lain
Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut lebih jauh, pintu ruang tamu terbuka. Raya masuk dengan anggun, senyum licik terukir di wajahnya.Seperti biasanya, tatapannya penuh perhitungan ketika ia melihat Deana dan Bastian bersama."Apa aku mengganggu sesuatu?" tanya Raya dengan nada manis namun menyesakkan.Bastian menoleh ke Raya dengan ekspresi yang tak terbaca, tetapi Deana bisa merasakan perubahan suasana di ruangan itu. Ada ketegangan yang semakin menguat."Tidak," jawab Bastian dingin, sebelum melangkah menjauh dari Deana. "Kami hanya berbicara tentang potret lama ini."Raya melangkah mendekat, lalu memiringkan kepalanya sedikit, menatap Deana dari ujung kepala hingga kaki."Oh? Kau tampaknya sangat tertarik pada sejarah keluarga Bastian."Deana menahan diri agar tidak bereaksi berlebihan. Dia tahu bahwa Raya sedang mencoba memprovokasi."Aku hanya terpesona dengan semua detail yang ada di rumah ini. Semuanya sangat indah."Raya mengangkat alis, kemudian tersenyum lagi."Tentu s
"Kau tahu," Bastian menatapnya penuh arti, "ada banyak hal yang bisa terjadi di pesta semacam ini, terutama jika seseorang tahu cara memanfaatkan suasana."Deana menahan napas sejenak, berusaha membaca maksud di balik kata-kata Bastian. Apakah pria ini mencurigainya? Atau itu hanya godaan halus seperti biasa?Namun sebelum dia sempat membalas, perhatian Bastian teralihkan oleh seseorang yang menghampiri mereka. Raya."Maaf mengganggu," Raya berbicara dengan nada yang dibuat-buat manis, "Aku ingin mengajak Bastian berbicara sebentar. Ada hal penting yang harus kubicarakan dengannya."Deana bisa merasakan tatapan tajam Raya seolah menusuk dirinya, tetapi dia tidak bisa menunjukkan kelemahan."Tentu, aku akan membiarkan kalian berdua. Sampai jumpa nanti, Bastian." Dia tersenyum lembut sebelum melangkah menjauh, meninggalkan pasangan itu.Raya membawa Bastian ke sudut yang lebih sepi di mansion. Dengan hati-hati, dia mengeluarkan beberapa foto dari tas kecilnya dan menyerahkannya pada Bas
Namun Bastian hanya tertawa pelan, sebuah suara yang terdengar jauh lebih menakutkan daripada yang Deana bayangkan. "Kau terlalu meremehkanku. Dan aku terlalu cerdas untuk membiarkan sesuatu yang menarik lewat begitu saja."Saat itulah, suara langkah lain terdengar dari lorong di belakang mereka. Deana menoleh, dan William muncul dari bayangan, ekspresinya kaku namun terkontrol. Dia bergerak cepat ke arah mereka, dan tanpa sepatah kata pun, langsung menghampiri Deana. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan nada yang penuh dengan kewaspadaan.Bastian mengangkat alisnya, memandang William dengan penuh rasa ingin tahu. "Ah, detektif yang terkenal," katanya dengan nada mengejek. "Kau sepertinya selalu muncul di saat yang tepat."William tidak membalas ejekan itu. Sebaliknya, dia berdiri di antara Bastian dan Deana, memberikan jarak yang cukup bagi Deana untuk merasa lebih aman. "Lady Dee di bawah perlindunganku malam ini. Jadi, jika ada masalah, sebaiknya kau beritahu aku."Bastian t
Deana menelan ludah. Pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Jika Raya sudah mengetahui rencana mereka, ini bukan hanya masalah misi yang gagal—ini bisa mengancam nyawanya. “Kau tidak mengerti, Raya. Ini bukan hanya tentang aku dan Bastian. Dia berbahaya, bahkan untukmu.”Raya tertawa sinis, seolah kata-kata Deana hanyalah lelucon baginya. "Berbahaya? Tentu saja dia berbahaya. Tapi itulah yang membuatku jatuh cinta padanya." Dia menatap Deana penuh kesombongan. "Dan aku tidak akan membiarkan wanita manapun merebutnya dariku. Tidak kau, dan tidak siapapun."Deana menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang meskipun darah di nadinya terasa membeku. “Ini bukan tentang cinta, Raya. Kau tahu Bastian. Dia memanipulasi, menghancurkan hidup orang. Bahkan hidupmu.”“Dan kau pikir kau lebih baik dariku?” Raya membalas, suaranya semakin tajam. “Kau juga hanya bagian dari permainannya, Deana. Seperti boneka yang akan dia buang setelah bosan.”Seketika, Deana merasakan amarah bangkit di dadan
Di sudut lain kota, Deana berjalan pelan di jalanan yang gelap. Langkah-langkahnya terasa ringan meski pikirannya berat. Ia tahu bahwa bermain-main dengan Bastian adalah tarian berbahaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Jika dia ingin membalas dendam dan menyelesaikan misi yang diembannya, Bastian adalah kunci dari semuanya.Namun, tatapan penuh kebencian Raya tadi masih terbayang jelas di benaknya. Deana tahu betul bahwa wanita itu tidak akan tinggal diam. Raya memiliki pengaruh, uang, dan—yang paling penting—akses langsung ke kehidupan Bastian. Jika Raya merasa terancam, dia akan melakukan apa saja untuk menjatuhkan Deana.Tapi aku tidak akan gentar, pikir Deana, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari kepastian di tengah kegelapan. Jika Raya ingin bermain, aku siap meladeninya. Tapi ini adalah permainanku, dan aku tidak akan kalah.Malam itu, di bawah langit kota yang gelap dan sunyi, Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun rencana Raya, dia akan selalu selangkah
Deana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Bastian yang memandangnya dengan tatapan membara. Deana tahu bahwa obsesi Bastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Pria itu akan terus mengejarnya, menghantui setiap langkahnya, tetapi Deana tidak akan menyerah. Ia memiliki misinya sendiri, dan itu jauh lebih penting daripada sekadar menjadi milik seseorang.Saat Deana keluar dari ruangan, ia bisa merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Malam ini mungkin baru permulaan, tetapi Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, inilah saat di mana ia akan mulai benar-benar memainkan permainannya.Bastian berpikir dia memegang kendali. Tapi Deana tahu, dalam diam, dialah yang akan menulis akhir cerita ini.Raya menatap punggung Deana yang semakin menjauh, rahangnya mengeras dengan perasaan iri dan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Selama ini, Bastian memang dikenal sebagai pria yang tidak pernah setia pada satu wanita, bahka
Bastian tersentak dengan pernyataan itu. Untuk pertama kalinya, Deana bisa melihat sedikit keraguan di mata pria itu. Tapi sebelum Bastian sempat menjawab, Raya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memecah ketegangan yang menggantung di udara."Apa yang terjadi di sini?" suara Raya terdengar ceria, meski ada rasa curiga yang tersirat dalam tatapannya. Ia mendekati mereka berdua dengan senyuman lebar, seolah tidak menyadari intensitas yang baru saja terjadi.Deana melirik ke arah Raya dengan tenang, kemudian kembali menatap Bastian, yang tampaknya sedang berusaha menenangkan diri dari badai emosinya."Aku hanya memastikan bahwa Bastian tahu apa yang ia inginkan," jawab Deana dengan senyum penuh arti.Raya memandang Bastian dengan tatapan penuh harapan, seolah mencari kepastian. "Bastian? Apa maksudnya ini?"Bastian berdiri tegap, mengalihkan pandangannya dari Deana ke Raya. Ada ketegangan di sana, namun Deana tahu bahwa pria itu tidak akan memperlihatkan kelemahannya di depan Raya.“Kau t
"Aku bukan milik siapa pun, Bastian. Bahkan kau," ucap Deana dengan suara yang lebih kuat daripada yang ia rasakan. Kata-kata itu adalah tantangan yang tak bisa ia tarik kembali.Bastian membalas dengan cengkeraman yang lebih kuat di bahunya, matanya menyala dengan amarah yang membara."Kau salah besar jika berpikir bisa lari dariku. Aku akan memastikan kau tetap di sisiku, bahkan jika itu berarti menghancurkan semua yang kau miliki."Deana merasa ada yang berubah dalam sikap Bastian. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang memberinya sedikit celah. Apakah mungkin ia mulai terperangkap dalam permainan Lady Dee? Deana tidak ingin kehilangan momentum ini. Jika Bastian mulai goyah, maka ia harus memanfaatkannya."Kau selalu ingin memiliki segalanya,"Deana mendekatkan wajahnya ke Bastian, suara lembut namun penuh tipu muslihat."Tapi aku akan memberimu pilihan. Jika aku memang milikmu, maka kau harus memilih antara aku… atau Raya."Bastian terdiam sejenak, jelas terkejut dengan pernya
Raven berbalik, meninggalkan Deana dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Pria itu jelas berbahaya, dan sekarang dia telah menjadi bagian dari lingkaran yang semakin menjeratnya ke dalam permainan penuh intrik ini. Pertemuan mereka malam ini hanyalah permulaan, dan Deana tahu bahwa dia harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang.Deana berdiri sejenak di ruangan itu, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Bastian mungkin berkuasa di permukaan, tetapi Raven adalah bayangan di balik semua itu, mengamati dan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Pertemuan ini bukanlah kebetulan; Raven sengaja mengujinya, mencoba melihat seberapa kuat ia mampu bertahan dalam permainan yang lebih besar daripada dirinya.Dan Deana, meski terjebak di tengah-tengahnya, harus memastikan bahwa dia tetap memegang kendali atas dirinya sendiri. Tidak ada ruang untuk kesalahan.*Bastian berjalan kembali ke kamar dengan langkah berat dan tatapan yang dingin, amarahnya belum mereda. Ia merasa dipermainkan, tida
Deana menatap Bastian dengan mata yang tak sedikitpun goyah, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa situasi ini jauh dari aman. Kehadiran Bastian yang mendadak dan nada suaranya yang dingin seperti es memberi tanda jelas bahwa pria itu tidak senang. Raven, di sisi lain, berdiri dengan senyum licik yang seolah menikmati ketegangan di antara mereka."Aku tidak sedang melakukan sesuatu yang salah, Bastian," Deana berbicara dengan nada rendah namun tegas. Dia tahu dia harus berhati-hati dalam memilih kata-kata, karena satu kesalahan kecil bisa membuat situasi ini meledak dalam sekejap.Bastian melangkah lebih dekat, tatapannya tajam menembus Deana. "Tidak ada yang berada di ruangan ini tanpa seizinku. Dan kau tahu itu."Deana tidak mundur. "Aku hanya memenuhi undangan Raven," jawabnya, sambil melirik ke arah Raven yang masih tersenyum penuh tipu muslihat.Raven, yang sejak tadi hanya menyaksikan, kini melangkah maju, menempatkan dirinya di tengah-tengah ketega
"Baik," ucap Deana sambil berdiri. "Aku akan mencari tahu. Tapi ingat, jika ini jebakan, aku tidak akan segan-segan menghancurkan permainanmu juga."Raven tersenyum samar, tak tergoyahkan oleh ancaman halus itu. "Aku tidak bermain dengan cara yang mudah, Lady Dee. Tapi aku juga bukan musuh yang mudah dikalahkan."Deana meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk. Ada ketegangan dan rasa waspada, tapi di balik itu semua, ada rasa penasaran yang tumbuh. Siapa sebenarnya Raven? Apa rencana besarnya? Dan bagaimana dia bisa menggunakan informasi ini untuk keuntungannya sendiri?Satu hal yang pasti—permainan ini semakin berbahaya. Deana harus memainkan setiap kartu dengan hati-hati, karena kesalahan sekecil apa pun bisa menghancurkan semuanya.*Malam semakin larut ketika Bastian berjalan menuju kamar Deana, langkah kakinya tegas, penuh dengan dominasi yang biasa ia tunjukkan. Setelah menjalani pertemuan dengan beberapa rekan bisnis, pikiranny
Raven tertawa kecil, nada gelinya terdengar tajam. "Aku mengundangmu karena aku penasaran. Sejauh mana kau akan melangkah untuk mencapai tujuanmu? Seberapa dalam kau bisa tenggelam dalam peranmu sebagai Lady Dee?"Deana menahan diri untuk tidak merespons terlalu cepat. Pria ini sedang mengujinya. Bukan sekadar untuk mengetahui seberapa profesional dirinya sebagai pelacur elit, tetapi lebih dari itu, Raven ingin mengetahui apakah Deana benar-benar sanggup bermain dalam permainan yang jauh lebih berbahaya."Kau ingin menguji aku?" tanya Deana, angkat alisnya. "Lalu apa hadiahnya jika aku lulus ujiannya?"Raven mendekatkan wajahnya ke arah Deana, hampir seolah-olah sedang membisikkan rahasia. "Hadiahku adalah informasi yang kau cari. Aku tahu apa yang kau inginkan dari Bastian. Dan aku bisa membantumu."Deana terdiam. Jebakan atau peluang? Bagaimanapun, Raven tahu lebih dari yang dia perkirakan. Jika dia bisa memanfaatkannya, mungkin ini akan menjadi langkah
Nama itu muncul di antara bisikan-bisikan samar dari beberapa orang dalam lingkaran Bastian. Dia bukan orang yang sering muncul di permukaan, tetapi kehadirannya terasa kuat. Beberapa kali Deana menangkap percakapan yang menyebutnya sebagai "bayangan di balik layar," seorang pria yang memiliki pengaruh besar, meski jarang terlihat. Hingga kini, Deana belum pernah bertemu langsung dengannya, namun firasatnya mengatakan bahwa dia adalah kunci untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang Bastian.Malam itu, Deana sedang memutar-mutar gelas anggur di tangannya, mencoba merenungkan langkah selanjutnya. Pikirannya terus memikirkan cara untuk lebih mendekati pusat kekuasaan, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.Pesan itu singkat, namun jelas."Aku ingin bertemu denganmu. Malam ini, jam 9. Di ruang rahasia di lantai bawah. —Raven."Deana menatap pesan itu dengan kerutan di dahinya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Raven. Akhirnya, pria itu memutuskan untuk keluar d