Masuk“Bagaimana keadaanmu, Michael?”Beberapa detik berlalu dalam diam. Michael mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sebuah senyuman pahit—rapuh, tanpa sisa wibawa. “Beginilah keadaanku,” ucapnya pelan. “Di penjara. Menjadi korban fitnah.” Ia tertawa singkat, getir. “Dan aku kehilangan putriku, Noelle. Semuanya terjadi begitu saja. Terlalu cepat.”Tatapannya naik ke arah Zara.“Kau tak mungkin datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mengasihaniku.”Zara terdiam cukup lama. Dadanya naik turun perlahan, seolah ia harus menata napas sebelum menjawab.“Tidak,” katanya akhirnya. Suaranya tenang. “Aku tidak datang untuk mengasihanimu.”Michael menunggu.“Aku datang karena empati,” lanjut Zara. “Setidaknya, aku masih menghargai sosok ayah dari anak didikku.”Ia menatap lurus ke depan. “Noah. Putramu.”Kata itu seperti tamparan. Michael menunduk. Bahunya turun sedikit, lesu.“Aku sudah gagal menjadi orang tua,” ucapnya lirih.Zara tidak menyangkal. “Aku tahu,” katanya jujur. “Tapi setidaknya—Noah tumb
Ruang pertemuan itu tidak memiliki logo. Tidak ada plakat instansi. Tidak ada bendera negara. Tidak ada nama di pintu.Hanya sebuah ruangan netral di lantai tujuh gedung perkantoran yang terlihat biasa dari luar—terlalu biasa untuk menampung pembicaraan yang bisa meruntuhkan satu dinasti bisnis internasional.Noah duduk di satu sisi meja panjang berwarna hitam doff. Jasnya rapi, punggung tegak, tangan terlipat tenang di atas meja. Wajahnya dingin, tapi matanya waspada.Di seberangnya, dua orang duduk berdampingan.Pria pertama berambut coklat tua, rahangnya tegas, sorot matanya tajam. Jasnya abu-abu sederhana, tanpa pin apa pun.Wanita di sebelahnya berambut pirang pucat, diikat rapi ke belakang. Tatapannya tenang, hampir tanpa ekspresi—seperti seseorang yang sudah terlalu sering melihat kebohongan.“Terima kasih sudah datang, Tuan Grimm,” ucap pria itu membuka pembicaraan. Suaranya datar, profesional. “Nama saya Daniel Wright.”Wanita di sebelahnya mengangguk kecil. “Elena Kovacs.”N
“Ini mengenai kecurigaan Christopher Vayne yang terlibat dalam pencucian uang.” Noah terkejut bukan main. “Apa …?” suaranya rendah, tapi Zelda bisa mendengar nada itu—campuran antara kaget dan sesuatu yang lebih gelap. Halden melanjutkan tanpa jeda, suaranya tetap tenang tapi mendesak. “Mereka ingin pertemuan langsung secepatnya. Anda diminta sebagai saksi kunci sekaligus rekan investasi yang terlibat langsung dengan perusahaan keuangan dinasti Vayne.” “Skandal Chloe belakangan ini membuka celah—mereka menemukan jejak transaksi mencurigakan yang mengarah ke Christopher. Ini kesempatan untuk menutup semua pintu keluarnya.” Noah menegang. Matanya menyipit, otaknya berputar cepat. Ia baru mengetahui bahwa Christopher Vayne dicurigai terlibat dalam pencucian uang—skala internasional, jelas bukan hal kecil. Ia mengangguk pelan—meski Halden tak bisa melihatnya. Napasnya agak berat, tapi suaranya tetap terkendali. “Atur waktu dan lokasi yang tepat,” ucap Noah dingin. “Ini raha
Zelda merasakan jantungnya seperti jatuh ke perut. Wajahnya langsung memanas, mata membulat panik. Ia menatap Sarah dengan ekspresi ‘Sarah, bunuh aku sekarang juga!’Kevin mendelik terkejut, mulutnya terbuka sedikit, seolah dalam hati berteriak ‘Aku tak dengar apa-apa! Aku tak tahu apa-apa!’Sarah langsung membeku, wajahnya merah padam seperti tomat matang. Tangannya melambai cepat di udara, seperti orang mencoba memadamkan api yang baru saja ia nyalakan sendiri.“B-Bukan itu maksudku!!” jerit Sarah tergesa, suaranya nyaris melengking. “Maksudnya … eh … m-mereka berjodoh dalam arti … eh … takdir akademik!” Sarah mengangguk mantap. “Ya! Takdir akademik!”Ariana masih menunjuk Zelda dengan jari gemetar, mata melebar seperti baru saja melihat hantu. “T-tapi … Sarah, kau bilang ‘berjodoh’! Dan ‘ditakdirkan bersama’! Itu—”Zara langsung mengangkat tangan—gerakan tegas, tapi lembut, seperti dosen yang sedang menenangkan kelas gaduh.“Tenang, anak-anak,” ucap Zara dengan suara yang kembali
“Jadi … kau yang akan menanggung akibatnya, Noah.” Asap cerutu menggantung di antara mereka. Noah tidak mundur. Tidak pula membalas senyum itu. Ia menatap Christopher lurus—tatapan seseorang yang sudah berhenti berharap pada belas kasihan. “Akibat?” ulang Noah pelan. “Aku sudah hidup dengan akibat sejak lama.” Christopher mengangkat alis, seolah tertarik. “Oh?” “Ayahku dipenjara. Namaku dicemarkan. Wanita yang kucintai hampir mati di meja operasi.” Suara Noah tetap rata. “Kalau itu semua belum cukup, maka aku tidak tahu lagi apa definisi ‘akibat’ menurut Anda.” Christopher terkekeh kecil. “Dramatis sekali.” “Tidak,” Noah menyela. “Ini fakta yang aku alami sendiri, Sir.” Noah melangkah sedikit ke samping, mengitari meja billiard—tidak mendekat, tidak menjauh. Posisi aman. Terkontrol. “Kau mengira menyerahkan Chloe akan membuatmu bersih?” tanya Christopher santai. “Hukum hanya alat, Noah. Dan alat selalu punya pemilik.” Noah berhenti. Menoleh. “Kau salah,” katanya. “H
Gudang Halden terasa dingin di malam itu. Lampu neon di langit-langit berkedip pelan, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang basah oleh tetesan air hujan dari atap bocor. Bau besi dan debu menggantung di udara. Di tengah ruangan, tiga sosok diikat di kursi besi. Sosok pria bernama Nick—tubuhnya babak belur, wajah bengkak, darah mengering di sudut bibir. Kepalanya tertunduk lemas, napasnya pendek dan tersengal. Ia sudah tak berdaya—tubuhnya penuh memar karena mencoba melawan saat ditangkap. Chloe duduk di sebelahnya, senyum tipis menggantung di bibirnya—senyum psikopat yang sudah terlalu sering Zelda lihat di mimpi buruknya. Mata Chloe berkilat gila, tapi tubuhnya tetap tenang, seperti ratu yang tahu tahtanya sudah runtuh tapi masih pura-pura kuat. Noelle di kursi paling ujung. Wajahnya pucat pasi, mata merah karena nangis. Tubuhnya gemetar, tapi matanya masih menyimpan sisa-sisa harga diri Grimm yang sudah retak. Noah berdiri di depan mereka, jas hitamnya rapi, tan







