Cindy terus menundukkan wajahnya kala mengetahui jika Sebastian Arson adalah CEO yang akan menjadi bosnya. Padahal susah payah Cindy mencoba memulihkan diri dari kejadian dua minggu lalu dan kini ia malah masuk perangkap Sebastian.
“Tanda tangan kontrak kamu sekarang!” Sebastian memerintahkan Cindy setelah manajer HRD meletakkan sebuah dokumen di depan Cindy. Cindy mengangkat kepalanya lalu matanya mengarah dari Sebastian ke kontrak kerja di depannya. Cindy lalu menggeleng cepat dan menolak.
“Maaf, saya tidak jadi melamar pekerjaan ini,” jawab Cindy dengan suara rendah sekaligus bergetar. Manajer HRD dan wakil CEO, Edward Harsa langsung menoleh pada Cindy. Sedangkan Sebastian duduk di sofa di depan Cindy dengan sikap angkuh dan sebelah tangan terlipat mengepal di dekat wajahnya. Pandangan Sebastian yang tajam membuat Cindy takut. Cindy nyaris meneteskan air mata karenanya. Seketika tubuhnya sakit seperti saat malam kelabu itu kembali lagi.
“Tapi Bu Cindy sudah diterima bekerja dan seharusnya tidak boleh menolak menandatangani kontrak.” Manajer HRD menyela bicara karena kesal dengan keputusan Cindy. Bola mata Cindy beralih pada manajer itu sedangkan Sebastian masih terus menatapnya tajam belum bicara.
“Saya berubah pikiran.” Cindy menjawab pelan.
“Apa alasannya?” kini Edward yang balik bertanya. Cindy hanya sekilas melihat pada Edward sebelum menurunkan pandangannya ke pangkuannya lagi.
“Saya, saya belum ingin bekerja.” Cindy menjawab dengan sangat ragu. Manajer HRD dan Edward sebagai wakil CEO jadi tampak makin kesal dengan Cindy. Sebastian menaikkan dagunya lalu memberikan kode pada keduanya untuk keluar dari ruangan tersebut. Edward yang kenal sifat Sebastian lantas mengangguk dan mengajak manajer ikut keluar.
“Biar Pak Sebastian yang mengatasinya,” bisiknya pada manejer itu. manajer itu pun mengangguk dan membuang muka dari Cindy. Ia berjalan keluar bersama Edward tak lama kemudian. Cindy terkesiap dan langsung cemas saat melihat dirinya ditinggalkan sendirian bersama Sebastian.
Cindy kembali menoleh pada Sebastian yang tak berhenti menatapnya seperti seorang pemburu hendak menangkap mangsa. Cindy yang cemas, meremas kedua tangannya bersamaan dan menunduk lagi.
“Tanda tangan, Cindy!” Sebastian mendesak dengan sikapnya yang dingin. Cindy meliat sekilas pada Sebastian lalu menggeleng menolak.
“Kalau kamu gak mau tanda tangan, kamu ga akan pernah keluar dari tempat ini,” sambung Sebastian mengancam. Sikapnya masih tenang dan dingin tanpa emosi sama sekali. Cindy meneteskan air matanya saat menaikkan pandangannya pada Sebastian. Ia seakan memohon untuk dilepaskan.
“Tidak perlu menangis. Aku gak akan kasihan sama sekali.” Sebastian menambahkan dengan menaikkan ujung bibirnya. Cindy menahan isaknya dengan mengulum bibir tapi tidak sanggup menahan air mata yang menetes beberapa kali.
“Kamu hanya punya lima detik.”
Cindy masih diam tapi sangat ketakutan. Matanya melirik pada pintu dan itu adalah tindakan yang salah karena Sebastian mampu membacanya. Pada detik ketiga, Cindy buru-buru bangun hendak berlari ke luar tapi dengan cepat kaki Sebastian menghalangi sehingga ia terjatuh.
“Aahh!” Cindy meringis kesakitan memegang lututnya yang membentur lantai cukup keras sampai berdarah. Sebastian berdiri dan kembali menghalangi Cindy yang berusaha bangun untuk kembali lari. Ia menangkap serta menarik lengan Cindy sehingga bagian depan tubuh mereka bertubrukan. Cindy dengan ketakutan serta kesakitan menggelengkan kepalanya cepat.
“Tolong, lepaskan saya, Pak. Lepaskan saya.” Cindy terisak dan memohon. Bukannya luluh, Sebastian makin menggeram marah. Cindy terus menolaknya dari dulu. Bahkan Sebastian sampai menghabiskan beberapa tahun di penjara karena wanita itu dan dia masih menolaknya.
“Kamu masih menolakku, Cindy. Aku gak akan pernah melepaskan kamu lagi!” Sebastian mendesis menahan geraman marahnya pada Cindy. Cindy mendorong mencoba melepaskan dirinya tapi cengkeraman Sebastian makin keras. Ia menaikkan tubuh Cindy lalu menyentakkannya sampai ia terjatuh kembali ke sofa semula.
“Tanda tangan sekarang! Atau kamu akan merasakan hal yang sama seperti malam itu!” bentak Sebastian menunjuk pada Cindy. Cindy terisak menangis tersedu. Ia ketakutan setengah mati dengan bosnya sendiri. Sedangkan Sebastian terengah mengatur napasnya karena emosi yang bergejolak. Ia sangat marah pada Cindy dan ingin memukul tapi tak sanggup.
“Tanda tangan, Cindy!” Sebastian kembali berteriak. Cindy makin gemetaran dan menunduk serta menangis. Sebastian yang tak sabar lantas mengambil pena lalu memaksa Cindy untuk memegang dan tanda tangan.
“Jangan, Pak. Jangan!” pinta Cindy memohon. Sebastian jadi mengeras dan diam lalu menoleh pada Cindy.
“Apa kamu gak capek terus menolakku, Cin? Apa kamu lupa kalau kamu punya janji padaku mulai malam itu?” Sebastian membalas. Matanya menyorot tajam tanpa ampun. Hati Sebastian makin keras dan sakit saat bisa melihat Cindy lagi. Tangisan Cindy perlahan berhenti dan matanya masih menatap Sebastian.
“Saya gak bisa, Pak. Saya benar-benar gak tahu siapa Bapak,” jawab Cindy sejujurnya.
“Jangan pura-pura. Kamu memiliki hutang yang harus kamu bayar. Tidak cuma hutangnya Melvin tapi juga hutang di masa lalu kita,” ujar Sebastian. Ia menyentak tangan Cindy yang dipegangnya bersama pena.
“Tanda tangan atau aku akan membunuh Melvin karena tidak bisa membayar utang!” Sebastian kembali mengulang. Cindy terjepit dalam keadaan yang sulit. Secara tidak langsung ia menjadi jaminan pembayaran utang suaminya atau kasarnya Melvin telah menjual Cindy.
Cindy tidak tahu caranya melarikan diri. Ia memejamkan mata dengan ujung pena semakin dekat pada kertas lalu menandatangani kontrak kerja tersebut pada akhirnya. Sebastian mendengus menyeringai melihat Cindy menyerah. Ia mengambil kontrak tersebut dan memindahkannya.
“Tidak sulit kan? Kamu terlalu banyak drama!” pungkas Sebastian dengan angkuhnya. Matanya lalu menangkap darah di lutut Cindy akibat terjatuh dan terbentur. Ia tak peduli dan kembali menatap Cindy.
“Sekarang kamu sudah resmi menjadi Sekretarisku, Cindy. Tugasmu adalah menuruti semua perintahku,” ujar Sebastian berdiri dari sofa. Cindy masih tidak menjawab. Ia bahkan belum sepenuhnya bisa mengurai semua yang sudah terjadi.
“Cindy, buatkan kopi untukku. Setelah itu baru kamu kerjakan tugasmu.”
Sebastian memberikan perintah pada Cindy yang gemetaran. Cindy menyeka air matanya lalu berdiri. Lututnya terasa sakit tapi Cindy tidak memedulikannya. Ia berjalan keluar ruangan untuk melakukan perintah pertama dari Sebastian.
Setelah Cindy keluar, Sebastian memanggil manajer HRD dan wakilnya untuk masuk ke ruangan.
“Sekalian bawakan aku plester luka untuk lutut.” Sebastian menitip permintaan singkat tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Manajer HRD dan sang wakil, Edward datang sebelum Cindy masuk. Manajer HRD menerima kontrak kerja Cindy yang sudah ditandatangani sedangkan Edward memberikan plester luka yang diminta oleh Sebastian.
“Apa Bapak terluka?” tanya Edward setelah memberikan plester tersebut.
“Bukan.”
Cindy masuk dengan secangkir kopi ditangannya. Ia berjalan pelan dengan wajah tertunduk dan kaki sedikit pincang karena lututnya belum diobati.
“Kalian boleh keluar.” Sebastian memerintahkan singkat pada manajer dan Edward. Tanpa bertanya, keduanya segera pergi sedangkan Cindy meletakkan cangkir kopi di meja Sebastian.
“Kemari!” Sebastian menyuruh Cindy mendekat. Cindy menurut dengan takut-takut lalu tangannya ditarik paksa dan ia didorong ke sudut meja.
“Ah, Bapak mau apa?”
Tanpa mau pulang ke apartemen mewahnya, Sebastian langsung menuju Moulson begitu ia sampai di Jakarta. Edward sudah menunggu di depan koridor dekat lift. Begitu ia melihat Sebastian, Edward langsung menghampiri.“Pak?”“Mana Cindy?”Sebastian berhenti di depan Edward yang menggeleng dengan wajah tanpa senyuman. Ia melepaskan napas panjang lalu berjalan melewati Edward. Lefrant juga mengikuti Edward yang berjalan setelah Sebastian. mereka sama-sama menuju ruang sekretaris. Tidak ada siapa pun begitu Sebastian masuk. Ia hanya menemukan sepucuk surat dalam amplop di atas meja kerja.Sebastian mengambil surat tersebut lalu membukanya. Wajahnya tampak tegang lalu rahangnya mengeras kala membaca isinya. Sebastian lalu menoleh pada Edward yang ikut masuk.“Kapan dia datang?”“Satu jam yang lalu. Dia langsung pergi setelah memberikan surat itu.” Edward menjawab. Sebastian melepaskan napas berat lalu mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi nomor Cindi sekali lagi tapi seperti sebelumnya, i
Peter tersenyum kecil melihat Cindy mau duduk dan bicara dengannya. Perjalanan ke Jakarta masih panjang dan Cindy akan kembali pada kehidupannya.“Apa kamu mau makan?” Peter menawarkan sekaligus berbasa-basi. Cindy menggelengkan kepalanya.“Gak, Mas. aku sudah makan.” Peter mengangguk lagi dengan sikap kaku serta saling mengaitkan jemari. Ia tidak tahu harus membicarakan topik apa. sampai Cindy kemudian bicara lebih dulu.“Maafkan aku, Mas.” Peter sedikit terkesiap lalu menoleh pada Cindy. Matanya masih menatap Cindy yang diam melakukan hal yang sama.“Aku sudah membuat kamu terluka dan patah hati. gak seharusnya aku meninggalkan kamu.” Peter semakin tertegun. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Jasman sedang menatapnya tajam. Jasman tidak bisa mendengar pembicaraan yang terjadi tapi ia tahu jika Peter tidak akan pernah menolak sedikit pun sebuah kesempatan. Peter masih diam tak menjawab. Cindy pun menundukkan pandangannya dan fokus menatap salah satu sudut di depanny
Sepanjang perjalanan panjang menuju Jakarta, Sebastian hanya diam saja. Tidak seperti saat pertama pergi, kali ini Sebastian duduk sendirian. Tiada kehangatan pengantin baru yang pantas dirasakan Sebastian bersama Cindy. Ia bahkan tidak bisa melakukan pernikahan yang sudah direncanakannya dari semenjak di Indonesia.“Pak, sudah waktunya kita transit.” Lefrant memberitahukan pada Sebastian yang masih melamun. Sebastian hanya mengangguk kecil lalu menatap lagi ke arah luar. ia tidak menikmati perjalanan panjang yang sangat melelahkan hati.Sedangkan Lefrant menatap murung pada keadaan Sebastian yang tidak bergerak dari kursinya semenjak beberapa jam lalu. Ia terlihat sangat sedih dan Lefrant tidak tahu harus berbuat seperti apa. ia bahkan tidak tahu caranya bicara pada Sebastian.Lefrant pun membuka room chat dengan Edward di Jakarta. Lefrant sudah menceritakan semuanya. Edward yang sedang mengurus urusan pekerjaan milik Sebastian di Jakarta terpaksa sedikit membagi waktunya untuk memat
Cindy tersenyum saat melihat sosok Kalendra dan Dallas yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Meski tidak bisa mengingat seluruhnya, tetapi Cindy merasa bahagia bertemu kembali dengan dua ponakan yang dulu sempat ia asuh, terutama Dallas.“Aunty pergi ke mana? Aku tidak pernah melihat Aunty lagi,” ujar Kalendra usai melepaskan sedikit pelukannya dari Cindy. Cindy tersenyum lalu membelai pipi Kalendra.“Aunty sedang bersekolah.” Kalendra tersenyum lalu mengangguk. Dallas yang mendekat juga dipeluk Cindy. Cindy bahkan mencium kepala Dallas beberapa kali.“Kamu sudah gede banget!” ucap Cindy dalam bahasa Indonesia. Dallas menyengir.“Aunty bisa bahasa Indonesia?” pekik Dallas menyengir lebar.“Bisa dong, Aunty Cindy kan adik Papa. Tentu saja dia bisa bahasa Indonesia.” Dion menyela dengan senyuman pada Dallas. Dallas kembali memeluk Cindy. Kalendra dan Dallas melepaskan kerinduan mereka pada bibi yang sudah sangat lama tidak mereka temui. Bahkan Dallas sampai melupakan wajah Cindy.Dio
Micheal Arson kini tidak mau lagi kompromi dengan Sebastian soal pernikahannya. Jessica langsung mengadu pada mertuanya itu meminta pertanggung jawabannya. Ia tidak suka jika Sebastian berselingkuh dengan wanita lain sekalipun, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang sesungguhnya.Michael langsung menelepon Sebastian memaksanya untuk segera kembali ke New York. Sebastian yang sedang berada di kamar, rasanya ingin membanting ponsel sekali lagi. ia bahkan belum tidur sama sekali.“Jangan bikin Papa menyeret kamu kemari. Kalau kamu tidak datang, Papa akan benar-benar melakukannya!” Michael mengancam lewat sambungan telepon itu. Sebastian menggeram kesal lalu mematikan panggilan itu begitu saja. Ia sudah tidak lagi memiliki rasa hormat pada ayahnya itu.Sebastian kembali mengurut keningnya. Ia buntu, tak bisa berpikir dengan baik. Tak lama, Lefrant masuk ke kamarnya. Ia baru saja menemui Dion menyerahkan surat-surat milik Cindy.“Kamu dari mana?” hardik Sebastian begitu melihat pengaca
Dion masuk ke kamar Cindy setelah pagi hari. Cindy masih berbaring tengkurap dengan sisa air mata yang mulai mengering di sudut matanya. Dion membiarkan Cindy sendirian semalam agar ia bisa tenang. Pagi ini, mereka akan bicara. perlahan, Dion duduk di sisi ranjang lalu membelai kepala Cindy dengan lembut. mata Cindy pun terbuka perlahan pada Dion yang sedang tersenyum padanya.“Pagi,” sapa Dion dengan senyumannya. Cindy hanya diam dan perlahan bangun. Setelah duduk, Cindy menundukkan wajahnya. Ia tampak kusut karena menangis semalaman. Bahkan pakaiannya belum diganti sama sekali.“Sekarang lebih baik kamu mandi, Mbakmu sudah siapkan air hangat di bathtub. Kamu bisa berendam dan lebih relaks. Setelah segeran, nanti kita sarapan. Setelah itu kamu mau bicara apa pun terserah.” Cindy masih diam menatap Dion yang kemudian mengangguk pelan. Dion pun berdiri hendak keluar kamar. Tangan Cindy tiba-tiba memegang lengannya.“Mas, maafkan aku.” Cindy melirih pelan. Dion melepaskan napas sedikit