“Ya, aku sangat yakin sekali kalau aku sempat bangun, tapi ada seseorang yang memukulku! “ ucap Gio yakin.
Renata terdiam sejenak mendengar cerita dari Gio. Karena ia mendengar dari Bram kalau lelaki tersebut sama sekali tidak bangun.
‘Apa mungkin Bram yang memukul kepalanya dengan keras?’ gumam Renata di dalam hatinya.
Kening Renata terus berkerut, ia memikirkan apakah perkataan Bram atau Gio yang harus dipercaya.
“Apa terjadi sesuatu tadi malam, sehingga ada seseorang yang memukulku?” tanya Gio, masih dengan meringis kesakitan sambil memegangi bagian belakang kepalanya.
Tiba-tiba Renata malah tertawa dengan keras, karena ia baru saja teringat apa yang terjadi sebenarnya.
“Aku baru ingat kalau saat mengangkatmu tadi malam aku terjatuh dari tangga. Mungkin itu yang membuatmu merasa dipukul seseorang, karena aku pun juga merasa seperti itu,” ucap Renata terkekeh geli.
Hanya saja raut wajah Gio berbeda, lelaki itu terlihat sangat tidak yakin dengan perkataan dari Renata. Namun, saat lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, seketika lelaki tersebut menjadi terdiam dan wajah pucat pasi. Lantas segera mengambil tas kerja miliknya.
“Sayang, aku pergi dulu! Karena aku sudah sangat terlambat.” Gio mengecup kening Renata dengan cepat, ia pun melangkahkan kakinya menjauh.
“Tapi kamu belum makan! Makanlah sesuatu, misalkan roti terlebih dahulu sebelum pergi!” teriak Renata.
“Tidak usah. Aku akan makan di kantin saja nanti siang.” Gio melambaikan tangannya kepada Renata.
Renata hanya tersenyum melihat Gio pergi, lelaki itu berlari kecil menuruni tangga. Lantas ia pun memilih untuk membereskan kamar mereka dan berpikir harus segera memasak sarapan untuk dirinya sendiri.
Hanya saja, saat membersihkan kamar Renata menjadi tertegun menatap kemeja kotor yang dipakai oleh Gio tadi malam.
“Padahal sudah kukatakan beberapa kali untuk menaruh pakaian kotor di keranjang. Tapi masih saja tidak melakukannya.” Renata berjalan mendekati kemeja yang berada di sudut ruangan.
“Seperti ada sesuatu di dalamnya?” Renata mengerutkan wajahnya, ia merogoh saku kemeja Gio.
Saat Renata merogoh untuk melihat apakah benar ada sesuatu di dalamnya. Ternyata di sana ada gelang emas. Ia sangat tahu betul kalau itu bukanlah milik dirinya dan kalau pun iya, untuk apa Gio membawanya? Sehingga mulai berpikiran hal yang tidak baik.
“Ini milik siapa?” Renata menatap lekat ke arah gelang emas itu.
Renata mencoba berpikir positif, supaya tidak salah paham.
“Tapi apa mungkin Gio ingin memberikan kejutan untukku?” Mata Renata mulai berkaca-kaca membayangkannya.
Wajah Renata pun menjadi bersemu merah, ia merasa sangat senang sekali atas sikap romantis sang suami yang akan memberikan kejutan.
“Apa aku harus berpura-pura tidak tahu? Tapi kalau mau melakukan hal itu, aku harus memasukkan gelang ini kembali.” Renata mulai memasukkan kembali ke tempat semula.
Renata menjadi berdebar-debar lantaran merasa sangat senang sekali membayangkan akan mendapatkan kejutan dari sang suami. Ia sampai tak sabar menunggu sore hari tiba, tetapi ternyata waktu berjalan sangat lambat sekali.
“Ternyata hari sudah siang, tapi aku belum makan apapun karena terlalu senang dan bahkan sampai lupa mau masak, “ ucap Renata tertawa kecil, menertawakan kebodohannya sendiri.
Saat Renata sedang memasak, suara ketukan di pintu membuat ia menjadi menoleh. Ia bingung siapa orang yang bertamu di siang hari seperti ini, menurutnya ia tidak ada membuat janji dengan siapapun hari ini. Hanya saja ketukan itu menjadi semakin menjadi, terdengar seperti seseorang yang sudah tidak sabar lagi untuk dibukakan pintu.
“Siapa sih orang yang mengetuk pintu seperti itu?” gunam Renata dengan kesal.
Renata melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa untuk mengetahui siapa orang yang mengetuk pintu. Saat pintu terbuka, ia terkejut menyadari kalau suaminya lah yang datang ke rumah.
“Kenapa kamu kembali lagi ke rumah? Bukankah seharusnya sedang bekerja?” Renata menaikkan sebelah alisnya, tatapan penuh kebingungan.
Gio datang dengan berkeringat, nafasnya pun juga tersengal. “Ada yang ketinggalan,” jawabnya.
Tanpa banyak bicara, Gio langsung melewati istrinya untuk masuk ke dalam.
“Memang apa yang ketinggalan?” Renata mengikuti dari belakang. Di kepalanya sekarang penuh dengan pertanyaan.
“Barangku,” jawab Gio tanpa menoleh.
Renata memperhatikan kalau wajah Gio sangat serius sekali. Pikirnya sekarang itu adalah barang penting.
“Bau gosong.” Renata mengendus aroma dari dapur.
“Sayang, kamu cari sendiri ya? Masakanku gosong!” teriak Renata sambil berlarian ke dapur.
Renata menatap nanar ke arah ayam gorengnya yang sekarang sudah berwarna kehitaman.
“Huh! Jadi gosongkan!” rutuk Renata kesal.
Perut Renata sudah meronta-ronta untuk meminta segera diisi. Namun, ia sudah menggosongkan semua ayamnya dan kalau memasak yang baru akan memakan waktu lebih lama lagi.
“Sepertinya aku akan memasak mie saja.” Renata mendorong piring berisi ayam gosong menjauh.
Renata memilih merebus mie, supaya ia cepat memakannya. Lagi pula dirinya harus membantu Gio di atas, bisa saja lelaki itu sekarang sedang kesulitan.
“Sayang?” Renata menaiki tangga dengan perlahan.
Suasana terasa sangat sepi sekali, padahal tadi Gio jelas-jelas berada di lantai atas. Namun, sekarang seperti tidak ada siapapun di sana. Renata menjadi meneguk ludahnya beberapa kali.
“Mana mungkin dia pergi, lagi pula kalau pergi dia selalu pamit kepadaku atau suara mobilnya pasti terdengar, walau samar.” Renata melangkahkan kakinya semakin naik ke lantai atas.
“Sayang? Apa sudah ketemu?” Renata mendorong pintu kamar dengan perlahan, tetapi tidak ada seseorang pun di sana.
“Sayang?” Renata mengerutkan alisnya, menelisik setiap sudut kamar.
Tetap Renata tidak menemukan keberadaan Gio, tetapi ia memilih untuk mendekati kamar mandi. Mengira kalau suaminya berada di sana.
“Gio, kamu di dalam?” Renata mengetuk pintu kamar mandi, telinganya ia tempelkan di pintu.
Terdengar suara keran di dalam, tetapi tidak ada suara Gio yang menyahut. Dengan keringat dingin mengalir di kening, Renata memegangi gagang pintu untuk membukanya secara perlahan.
Wajah Gio yang semula panik menjadi memerah ia menatap tajam ke arah Rosetta. Tangannya menarik wanita itu dengan kuat, membuat Rosetta menangis kesakitan.Semua pasang mata menatap ke arah kedua orang itu, membuat Renata menjadi menghela nafas gusar. Ia pun memijat pelipis supaya menghilangkan nyeri di kepala.“Apa kau bisa berhenti sekarang? Banyak orang yang melihat kita!” tegur Renata dengan dingin.Gio melepaskan cengkraman tangannya dari Rosetta, tetapi matanya terus menatap tajam ke arah selingkuhannya tersebut.“Apapun itu, lebih baik katakan di rumah saja.” Renata melirik kesana-kemari, mengisyaratkan kalau di sekitar terlalu ramai.“Memang lebih bagus di rumah saja,” ucap Gio menimpali.Saat Renata berbalik badan, Gio ingin memegang tangan sang istri. Namun, tentu saja kalah cepat dengan Bram yang sedari tadi berada di samping Renata.“Ayo, Renata!” Bram mengarahkan tangan Renata untuk merangkul dirinya.Renata tak menolak, langsung menuruti lelaki itu. Sehingga membuat Bram
Gio terdiam membeli mendengar perkataan dari Renata. Ia melirik kedua wanita itu sekilas secara bergantian, memikirkan keputusan apa yang akan diambil.“Kau tidak mau?” Renata menautkan kedua alisnya, sorot matanya penuh selidik.Rosetta langsung mendekati Gio dengan mata berkaca-kaca. “Jangan tinggalkan aku, Gio! Aku sedang mengandung anakmu, apakah kau akan tega meninggalkan kami?” Ia mengelus perutnya yang masih rata.Renata terkekeh kecil, “Kau yakin itu anak Gio?” tanyanya dengan nada mengejek.Wajah Rosetta memerah, “Kenapa kau berkata seperti itu? Tentu… saja ini anak Gio,” jawabnya gugup, ia beberapa kali meneguk ludahnya secara kasar.Renata yang sedari tadi memperhatikan gerak”gerik dari Rosetta merasa kalau wanita itu sedang menutupi sesuatu. Sehingga ia semakin menatap untuk mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya wanita tersebut pikirkan.Namun, semakin ditatap Rosetta malah terlihat semakin gugup.“Tapi aku ingin melihat surat hasil pemeriksaanmu, jadi mana surat itu?”
Isakan tangis Rosetta memenuhi seisi kamar, memantul di dinding seperti gema yang tak kunjung padam. Namun, Renata tak bergeming. Ia menatap kosong ke depan, seolah suara itu hanyalah bisikan angin yang tak mampu menembus kekacauan dalam kepalanya.Pikiran Renata sibuk merangkai kepingan kenyataan yang baru saja menghancurkan seluruh dinding pertahanannya.“Apa kau tidak bisa diam?” suara Gio mendesis tajam, tangannya memijat pangkal hidung, nafasnya berat. “Sedari tadi kau terus saja menangis... membuat kepalaku semakin sakit!”Renata memalingkan wajahnya perlahan. Tatapannya tajam, seperti pisau dingin yang menusuk satu per satu orang di ruangan itu.“Bisakah kalian keluar dari kamarku?” ucap Renata, dingin dan datar.Bram hanya mengangguk pelan, lalu dengan tenang mengenakan kembali bajunya. Namun, sorot matanya mengandung ragu. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang enggan meninggalkan Renata sendirian. Namun,Renata tak memberinya pilihan.“Apa kalian tidak dengar? Kalian semua kel
Belum sempat Renata melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara pukulan yang sangat kuat dari arah belakang. Lagi-lagi Gio menghajar Bram, tetapi kali ini Bram melawan serangan dari suaminya.“Kalian hentikan sekarang juga!” teriak Renata sambil berlari mendekat.Saat Renata ingin mendekat, ia merasa sangat takut sekali kena pukulan salah sasaran dari salah satu lelaki itu. Sehingga menjadi urung, lantas hanya berusaha melerai dengan mencoba membujuk secara halus. Namun, usaha itu gagal.“Kalian berdua tolong hentikan sekarang juga!” Renata menggeram marah, ia merasa kesal tidak bisa menghentikan kedua lelaki itu.Bram dan Gio menjadi memandang ke arah Renata, wajah wanita itu sekarang sangatlah mengerikan sehingga membuat mereka berdua menjadi berhenti.“Kau tahu sendirian kalau dia yang mulai duluan, aku hanya tidak ingin babak belur karena ulahnya. Wajarkan kalau melawan?” Bram menunjuk Gio dengan geram.Wajah Gio memerah, ia mengepalkan tangannya. “Apa yang maksudmu
Renata tersentak, jantungnya berdetak keras ketika suara Gio yang menggelegar memecah udara pagi yang dingin.Gio berteriak marah, "Apa yang kalian lakukan sekarang?"Tubuh Renata seketika menegang. Ia melirik ke sisi ranjang—Bram masih di sana, duduk santai, satu tangan menyisir rambut acak-acakan, seolah teriakan itu tak berarti apa-apa.‘Astaga... aku tak terbangun tadi malam?’ pikir Renata panik, kedua matanya membelalak, nafasnya tercekat.Wajah Gio memerah, rahangnya mengatup erat. Tangan mengepal, tubuhnya sedikit bergetar—amarahnya jelas menari di balik kulit yang menegang."Apa lagi? Seperti yang kau lihat," kata Bram tenang, menoleh perlahan dengan senyum sinis di sudut bibirnya.Tatapan mata Bram menusuk, tajam dan penuh ejekan. Renata menahan napas. Komentar itu seperti bensin yang menyambar nyala api di dada Gio.Bukannya diam saja, Bram justru memperkeruh suasana.Namun... hati Renata tetap dingin. Ingatan tentang video semalam—tubuh Gio bersama perempuan lain—menghapus
Tanpa mengatakan apapun lagi Renata langsung mengecup bibir Bram. Ia semakin larut menenggelamkan dirinya ke dalam lautan paling dalam, tak ada terbesit di dalam dirinya untuk naik ke atas, fokusnya hanya ingin melupakan rasa sakit yang semakin menjadi dengan membalas sesuai apa yang diberikan.Tak disangka oleh Renata, Bram malah mendorong dirinya untuk menjauh. Lelaki itu menyeka mulut dengan kasar.“Kenapa? Bukannya kau juga menginginkan hal ini?” Renata menatap penuh selidik, tak menyangka kalau Bram akan menolak dirinya.“Aku tidak ingin melakukan hal yang dapat kau sesali nanti.” Bram memalingkan wajahnya yang memerah, ia berusaha menahan diri untuk tidak melakukan hal lebih.Renata tersenyum kecut mendengar perkataan dari Bram. "Kau tidak usah memikirkan hal itu karena aku tidak akan menyesalinya.” Renata menarik kerah Bram kembali, ia tidak tahu kalau sekarang lelaki yang berada di depannya bukanlah seorang lelaki biasa melainkan seekor binatang buas. Binatang buas yang sudah
Renata tersengal, ia merasa kalau lehernya sekarang sedang dicekik oleh seseorang. Namun, ternyata dirinya berada di ranjang kamarnya sendiri bersama Bram yang sedang memandanginya.“Tenang, Renata! Tarik nafasmu secara perlahan!” perintah Bram sembari mengelus punggung tangan wanita itu untuk menenangkan.Renata memegangi dadanya yang terasa sangat sesak, bagaikan ditusuk dengan ribuan pisau tajam, terasa menyakitkan dan perih. Namun, tidak ada setetes darah pun keluar dari saja. Alhasil dirinya hanya diam mematung, berusaha menetralkan perasaan terguncang dengan rekaman sang terus berputar di dalam kepala layaknya kaset.“Aku sangat tahu kalau apa yang kau tunjukan kepadaku itu hanyalah sebuah omong kosong. Mana mungkin Gio melakukan itu dan bagaimana kau bisa mendapatkan rekamannya?” Renata menutupi separuh wajahnya menggunakan tangan, ia tertawa keras sambil beberapa tetes bulir bening dari kedua matanya.Renata yang terlalu terpukul menjadi berusaha menyangkal semua yang sudah di
Bram menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, aku mabuk!”Renata menatap dengan sorot mata tajam, ia sangat yakin sekali kalau Bram tidaklah mabuk. Namun, lelaki itu hanya berpura-pura saja.“Mabuk cinta,” kekeh Bram.Bram terus tertawa keras, tetapi tangannya tidak pernah lepas dari tubuh Renata. Ia tak ingin kalau wanita itu melarikan diri, sehingga terus memegangi layaknya sedang memegangi seorang anak kecil.“Bram, tolonglah! Jangan seperti ini!” gonta Renata.“Kau tidak ingin sekedar berpegangan tangan denganku? Padahal suamimu sedang melakukan hal lebih dengan wanita lain.” Bram merogoh kantong celananya, ia memberikan ponsel miliknya kepada Renata.Renata terkesiap saat melihat ponsel Bram, sebuah video sepasang kekasih sedang memadu kasih di atas ranjang. Jantungnya berdegup dengan kencang, bumi terasa berputar dan membuat dirinya menjadi terduduk lemas di lantai dingin.Bagaimana tidak? Salah satu orang yang berada di video adalah suami Renata sendiri. Lelaki itu sedang bersama
Renata menggigil ketakutan, tetapi ia memilih mengintip siapa orang yang sekarang menggedor pintu itu. Ternyata orang itu adalah Bram, namun ia memilih untuk tidak membuka pintu tersebut.“Ck, kenapa aku malah terus berurusan dengan dia? Apalagi disaat Gio tidak ada di rumah.” Renata melipat tangannya dengan perasaan malas, tetapi sesekali akan mengintip keluar.Bram terlihat semakin tidak sabar, lantaran gedoran itu semakin kuat. Renata menjadi terpaksa membuka pintu itu lantaran khawatir Bram malah akan menarik perhatian.“Bisakah kau hentikan itu? Itu akan mengganggu ketenangan orang lain!” gerutu Renata kesal.Wajah Renata memerah, ia menatap Bram dengan penuh amarah membara. Namun, yang ditatap malah hanya terkekeh kecil, seakan ia sekarang hanya mengatakan sebuah lelucon.“Menginaplah di hotel atau tempat lain, Gio tidak ada di rumah sehingga aku malas berduaan denganmu!” Renata berbalik, ia tidak ingin menatap wajah Bram.Aroma minuman keras tercium sangat jelas dari Bram, memb