Lelaki yang sekarang berdiri di depan Renata adalah Bram, ia membawa segelas teh hangat untuk wanita tersebut.
“Sebaiknya kau minum dulu, baru kau memarahiku.” Bram memberikan segelas teh hangat itu kepada Renata.
Renata memalingkan wajahnya ke arah lain, karena ia merasa kesal setelah mengetahui ternyata Bram tidak pergi dari rumahnya.
"Bukankah aku bilang kau harus pergi dari rumahku, tetapi kenapa kau tidak kunjung pergi dan malah masih di sini?“ tanya Renata dengan ketus.
Bram mengusap wajahnya dengan kasar, ia tidak menyangka kalau wanita di depannya ini masih memiliki tenaga untuk marah-marah. Padahal baru saja tersadar akibat terjatuh dari tangga.
“Minum saja dulu.” Bram memberikan teh itu dengan kasar di tangan Renata.
Renata mau tidak mau menerima pemberian dari Bram itu. Karena kalau ia tidak menyambut, maka isinya akan tumpah ke tubuhnya. Namun, ia tidak langsung meminum pemberian lelaki tersebut, lantaran merasa curiga.
“Aku tidak menaruh apapun di dalam minuman itu, jadi kau bisa meminumnya dengan tenang," tutur Bram, ia melihat tatapan penuh cerita dari Renata.
Renata ragu, tetapi ia sekarang merasa sangat haus lantaran baru saja tersadar dari pingsan. Sehingga ia pun memilih untuk meminumnya secara perlahan. Memang saat meminumnya Renata merasa lebih baik.
"Terima kasih karena kau telah menolongku. Tapi suamiku di mana?” Renata melirik ke arah sekitar, ia tidak mendapati Gio di mana pun.
“ Aku sudah memindahkannya ke dalam kamar kalian dengan aman, “ jawab Bram dengan tersenyum tipis.
“Apa Gio bangun?” Mata Renata melotot, karena ia terkejut.
Pikiran Renata sekarang adalah Gio sudah terbangun, karena Bram tidak mungkin tahu letak kamar yang mereka tempati. Sehingga mulai berpikir kalau suaminya itulah yang mengarahkan ke mana harus menuju.
“Dia tidak bangun sama sekali, sampai membuatku heran padahal sudah terjatuh dari tangga,” ucap Bram dengan santai.
Mendengar hal itu membuat Renata menjadi mengira kalau Bram asal menaruh suaminya di kamar lain. Sehingga ia bergegas beranjak dari duduknya dan menaruh gelas yang masih berisi setengah itu ke atas meja.
"Kau mau ke mana?” Bram menautkan alisnya menatap heran ke arah Renata.
“Itu bukan urusanmu! “ jawab Renata dengan ketus.
“Aku sudah memastikan kalau aku menaruh suamimu itu ke dalam kamar kalian. Jadi kau bisa istirahat dulu sebelum masuk ke dalam kamar, karena pasti kau merasa pusing lantaran baru saja tersadar dari pingsan.” Bram menahan tangan Renata supaya tidak pergi.
“Bagaimana bisa kau yakin kalau kau menaruhnya di tempat yang benar? Sedangkan kau sendiri saja tidak tahu di mana kamar kami berada!” Renata menepis tangan Bram dengan kasar.
Karena Renata khawatir kalau Bram menaruh Gio sembarangan, seperti menaruh suaminya itu di kamar kosong yang berdebu. Bukannya membantu malah akan membuat sang suami menjadi kesal akibat harus terbangun di kamar seperti itu.
“Aku sangat yakin itu adalah kamar kalian, karena aku melihat buku-buku yang berada di lemari kecil di sampingnya ranjang,” tutur Bram.
Mendengar perkataan dari Bram membuat Renata menjadi terhenti.
“Ternyata kau masih tidak berubah ya, dari dulu kau masih suka sekali menaruh buku di samping ranjang karena sebelum tidur kau selalu membaca, “ ucap Bram dengan tertawa kecil.
“Itu sudah menjadi masa lalu, jadi jangan kau ungkit lagi! Lebih baik kau lupakan saja semua yang telah berlalu di antara kita,” ucap Renata dengan tegas.
“Bagimu itu adalah masa lalu yang harus dilupakan, tapi bagiku itu adalah masa-masa indah saat kita bersama. Aku tidak ingin melupakan semua kenangan indah kita itu. “ Bram menunjukkan raut wajahnya sedih.
“Sebaiknya kau keluar saja, karena sekarang sudah dini hari.” Renata mengarahkan Bram ke arah pintu keluar.
Bram hanya mengikuti Renata dari belakang dengan raut wajah sendu. Ia kali ini tidak mengatakan apapun sampai tak terasa mereka sudah sampai di depan pintu.
“Terima kasih karena telah membantuku dan kuharap kita tidak akan bertemu lagi.” Renata tersenyum sambil menutup pintu rumahnya dengan rapat.
Tak lupa Renata menguncinya dari dalam, lantas ia pun terduduk di balik pintu itu sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Tolong jangan menghancurkan rumah tanggaku,” gumam Renata pelan.
Sementara Bram yang berada di luar, ia terus memandangi ke arah pintu rumah milik Renata itu dengan tatapan datar. Ia bahkan tidak berkedip satu kali pun selama beberapa menit.
Renata mengintip dari kaca, ia ingin memastikan kalau kali ini Bram benar-benar pergi dari rumah dirinya dan sang suami.
“Kenapa dia hanya memandang ke arah pintu saja?” gumam Renata pelan.
Tatkala mata Renata terus memperhatikan ke arah Bram, ia melihat lelaki itu tersenyum menyeringai dan menggumamkan sesuatu. Sehingga membuat dahinya menjadi mengerut. Tak lama lelaki tersebut pergi menjauh dari sana, baru ia bisa menghela nafas lega.
"Apa-apaan dia? “ tanya Renata seorang diri.
Renata memilih untuk memastikan semua pintu terkunci dengan rapat sebelum masuk ke dalam kamar. Ia sangat khawatir kalau tiba-tiba ada seseorang yang masuk entah itu Bram atau pun orang lain. Apalagi sekarang suaminya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Bisa-bisanya dia tidak bangun padahal jatuh dari tangga.” Renata menatap lelaki yang sekarang sedang tertidur pulas di ranjang kamar mereka.
Renata menguap beberapa kali, ia merasa sangat mengantuk dan lelah karena mengurus Gio yang mabuk sungguh menguras tenaga. Tubuhnya pun terasa sangat sakit, sehingga ia memilih untuk berbaring di samping sang suami dengan perlahan
“Ren, bisa-bisanya kau terlambat bangun seperti ini! “ pekik Gio dengan penuh amarah.
Gio menarik selimut yang dipakai oleh Renata dengan kasar. Alhasil membuat wanita tersebut menjadi terkejut dan langsung terduduk di ranjang. Renata sekarang melihat sang suami terlihat marah kepada dirinya.
“Kenapa kau bisa-bisanya terlambat bangun, Renata? Bahkan pakaian kerjaku kau belum setrika dan makanan pun tidak ada di meja! “ Gio memasang dasinya dengan raut wajah penuh amarah.
Renata langsung beranjak dari ranjang untuk mendekati sang suami yang sekarang terlihat sangat kesusahan sekali mengenakan dasi.
“Tadi malam aku tidak bisa tidur karena kau datang dengan keadaan mabuk. Jadi jangan salahkan aku untuk itu.” Renata menarik dasi Gio dengan kasar, lantaran ia terbawa amarah.
“Kau terlalu kuat menarik dasinya, apa kau ingin membuat aku celaka?” Gio menepis tangan Renata dengan kasar, wajahnya terlihat sangat frustasi.
“Bagaimana aku tidak marah kalau kau sendiri membuatku seperti ini? Padahal aku sudah susah payah membawamu naik ke lantai dua, supaya kau bisa beristirahat dengan nyaman, Tapi saat kau terbangun malah memarahiku seperti ini.” Mata Renata berkaca-kaca, ia hampir menumpahkan air matanya mendengar perkataan Gio.
Gio menjadi terdiam, ia lantas mengusap wajahnya dengan kasar. “Maafkan aku, sayang. Karena pagi ini aku bangun terlambat, padahal ada meeting sehingga membuat aku menjadi merasa frustasi.” Ia memeluk sang istri dengan erat.
Renata membalas pelukan Gio. “Ya kali ini aku maafkan.“ Ia menikmati setiap pelukan yang terasa hangat dari sang suami.
“Tapi samar-samar aku mengingat kalau aku sempat tersadar. Saat aku berusaha bangkit, ada seseorang memukul kepalaku dengan kuat.” Gio memegangi kepalanya yang terasa sakit dengan raut wajah penuh kebingungan.
Renata langsung terkejut, ia menoleh menatap ke arah samping. “Astaga!“ ia berteriak dengan nyaring.“Tenanglah, Renata! Ini aku Bram. “ Bram langsung menaruh kopi di samping Renata.Sementara Renata mengucek-ngucek matanya, lantaran ia tidak terlalu melihat dengan jelas lelaki yang ada di hadapannya. Setelah sepenuhnya tenang, ia sadar kalau memang yang ada di depannya adalah Bram.“Aku tidak ingin membangunkanmu, karena kau terlihat sangat pulas. Pikirku kalau aku meletakkan kopi hangat ini di pipimu maka kau akan bangun dengan tenang, tapi ternyata kau malah makin histeris karena terkejut.” Bram menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal, ia menyesali keputusannya.“Maksudmu aku tertidur?” Renata menautkan kedua alisnya, ia tak sadar kalau dirinya tertidur.Bram hanya menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan dari Renata. Wanita itu hanya terdiam melamun memikirkan kapan tertidur. Hanya saja Renata menatap handset yang sekarang sudah terlepas dari telinganya. Ia pun baru saja te
Semua suara hiruk pikuk karyawan yang bersiap ingin pulang menjadi hening lantaran memandang ke arah Renata. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi."Baiklah saya akan mengerjakannya besok.” Renata ingin memasukkan berkas itu ke dalam laci miliknya, tetapi dicegat oleh Leon, sekretaris.“Siapa bilang besok?” Leon menatap datar ke arah Renata.Tatapan Leon membuat Renata tergagap, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya.“ Apakah aku harus mengerjakan sekarang? Tapi kalau sekarang tidak mungkin aku akan menyelesaikannya dan waktu yang singkat.” Renata menatap bingung, ia meminta penjelasan dari Leon.Hanya saja anggukan Leon membuat Renata menjadi lemas. Anggukan itu pertanda kalau dirinya harus mengerjakan pekerjaan yang banyak tersebut sekarang juga, padahal baru hari pertama bekerja ia sudah harus mengerjakan pekerjaan sebanyak ini seorang diri. Syukur-syukur kalau sebelum tengah malam ia akan menyelesaikannya, tetapi kalau dengan tumpukan sebanyak ini bisa-bisa Renata harus meng
Bram mengisyaratkan dengan tangannya supaya sang sekretaris pergi dari ruangan itu. Sehingga sekarang hanya mereka berdua saja.Renata menjadi canggung akan hal itu, ia tidak nyaman berada di ruangan tertutup hanya berdua bersama Bram. Apalagi teringat malam panas bersama lelaki itu.“Kenapa kau datang menemuiku? Apa kau merindukanku karena sikap dinginku tadi?” Bram menopang dagunya di atas kedua tangannya, ia terus menatap ke arah Renata.Renata memutar bola matanya dengan malas, tetapi ia tahu kalau di sini dirinya hanyalah seorang bawahan sehingga tidak boleh bersikap kurang ajar kepada atasan.“Tidak Pak. Saya ke sini hanya ingin meminta maaf atas kesalahan yang saya perbuat tadi.” Renata menundukkan kepala, ia enggan menatap ke arah Bram.Hanta saja saat menundukkan kepala Renata melihat sepatu hitam yang mengkilat tepat di hadapan matanya. Ia pun mendongak, ternyata Bram sudah berada di depan sambil terus memandang dirinya."Seharusnya kalau berbicara kau tatap aku. Jangan meli
Alista menarik tangan Renata dengan kasar, ia menatap tajam. “Berani sekali kau menyebut nama Pak CEO! Sudah datang terlambat ditambah lancang!”Renata mengerutkan keningnya, ia menatap ke arah Bram.“Dia anak baru?” Tunjuk Bram kepada Renata, ekspresi wajahnya dingin.Renata tertegun melihat sikap Bram yang berpura-pura tidak mengenali dirinya. Ada rasa nyeri di hati, tetapi ia sadar kalau ia lah yang membuat lelaki itu mungkin marah.“Iya, Pak! Hari ini hari pertama dia masuk kerja, tapi malah datang terlambat dan bahkan lancang menyebut nama Bapak.” Alista menundukkan kepalanya, sesekali ia melirik kepada Renata untuk menuruti apa yang dirinya lakukan.“Cepat apa yang kau tunggu? Minta maaf sama Pak Bram.” Alista berbisik pelan di telinga Renata.Renata merasa canggung, ia ragu untuk meminta maaf kepada Bram. Lantaran sedari awal tidak pernah melakukan itu sehingga membuat ia enggan melakukannya.Hanya saja Alista yang berada di samping terus mendesak supaya Renata meminta maaf kep
Suasana ketika menjadi hening tidak ada satupun yang berbicara di antara mereka berdua. Seakan-akan sedang larut dalam pikiran masing-masing.Namun, tiba-tiba Renata berdecak karena perasaan kesal yang dirinya rasakan. Gio yang mendengar hal itu menjadi mengerutkan dahi, menatap ke arah dirinya sekarang.“Kenapa kau memandangku seperti itu?“ Renata menatap sinis ke arah Gio, nampak sekali ia tak menyukai tatapan dari lelaki itu.“Aku hanya merasa sepertinya kau bertemu dengan dia, karena responmu seperti itu.” Gio mengeraskan cengkraman ke tangan Renata.Renata menjadi meringis kesakitan karena apa yang dilakukan oleh Gio. “Memangnya kalau iya kenapa? Bukannya tidak masalah kalau aku bertemu dengan lelaki lain, dan juga dia adalah sepupumu?” Ia menepis tangan lelaki itu dengan kuat supaya melepaskan cengkraman.Hanya saja tak seperti yang Renata duga, saat ia berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Gio dari dirinya malah semakin kuat. Karena Gio merasa kesal dengan apa yang telah
Renata terus menatap seorang lelaki yang menatapnya itu. Namun naas, lelaki tersebut sudah pergi menjauh sehingga sangat sulit mengenali siapa orang itu.“Mungkin aku salah lihat,” ucap Renata, ia menghela nafas berat.Renata memilih untuk menemui sang nenek yang berada di rumah sakit. Memang keadaan orang tua itu sekarang mulai memburuk lantaran usianya yang sudah tidak lagi muda. Sehingga membuat ia selalu menjadi khawatir akan neneknya itu.Suara batuk dan aroma obat-obatan menyambut kedatangan Renata. Aroma yang begitu menusuk, sehingga membuat ia menjadi kesulitan untuk bernafas, tetapi memilih menyimpannya untuk diri sendiri supaya sang nenek tidak sedih.“Renata.” Seulas senyum terukir di bibir Tini menyambut kedatangan sang cucu.Renata membalas senyuman itu, walau saat melihat wajah Tini terasa begitu menyakitkan. Karena ia menyembunyikan tentang kondisi rumah tangganya. Sehingga ia dengan cepat memalingkan wajah ke arah lain, supaya bisa menutupi perasaan gundah yang dirinya