Renata membuka pintu itu, ternyata di sana hanya ada keran menyala dengan air yang terus keluar. Alhasil ia menghembuskan nafasnya lega, lantaran tadi sempat merasa takut kalau ada orang lain di dalam sana.
“Rupanya dia lupa mematikan kerannya.” Renata langsung mematikan keran itu.
Renata menutup pintunya kembali, ia menatap ke arah kamar yang sekarang sudah berantakan dengan menghela nafas.
“Aku jadi membereskan ini dua kali." Renata memukul kepalanya pelan.
Renata pun memilih untuk membereskan semua barang yang berserakan.
“Memang apa yang dia cari sampai membuat kamar ini menjadi berantakan seperti ini!” gerutu Renata seorang diri, tangannya sambil memunguti pakaian kotor.
Hanya saja Renata pun melihat kalau kemeja yang awalnya ia gantung di balik pintu menjadi terjatuh di lantai. Ia pun bergegas untuk memungutnya, lantaran dirinya sudah tahu kalau ada gelang emas di dalam saku kemeja tersebut.
“Bisa-bisanya dia menjatuhkan ini ke bawah. Apa dia lupa kalau di sini ada barang berharga? “ Renata menggantung kembali kemeja itu tanpa merasa curiga.
Hanya saja entah kenapa Renata ingin merogoh kembali saku kemeja itu. Tangannya pun mulai meraba-raba isi di dalamnya, tetapi tidak menemukan gelang emas yang seharusnya berada di sana. Keningnya pun menjadi mengerut, lantaran tidak menemukan barang tersebut.
“Kenapa tidak ada di sini? Apa terjatuh?” Renata melirik ke arah bawah, tetapi ia tidak mendapati gelang emas di situ.
Renata pun bergegas untuk menggantung kemeja itu kembali, ia berniat untuk mencari gelang emas tersebut. Lantaran merasa kalau tidak sengaja terjatuh ke bawah akibat suaminya mencari barang penting yang tertinggal.
“Bisa-bisanya dia sangat ceroboh sekali!” Renata berjongkok untuk mencari gelang emas itu.
Tak lupa Renata pun mencari ke setiap sudut ruangan, ia takut kalau gelang emas itu tak sengaja terlempar ke sudut atau terselip ke bawah. Namun, sudah dua jam mencari, tidak kunjung menemukan di mana pun. Alhasil membuat wanita itu menjadi sangat lelah sekali.
“Ke mana, ya? Aku tidak menemukannya dari tadi, sampai membuatku terasa sangat lelah sekali.” Renata duduk bersimpuh di lantai.
Renata berusaha untuk berpikir positif, dengan memikirkan kalau dirinya lah yang tidak teliti sehingga tidak dapat menemukan gelang emas itu di mana pun. Sehingga ia pun memilih untuk mencari sekali lagi, supaya bisa memastikan kalau memang berada di dalam kamar atau tidak.
"Sudahlah sepertinya tidak ada di sini!” gerutu Renata kesal.
Setelah itu pikiran Renata hanya terfokus kepada gelang emas yang sekarang entah berada di mana. Ia pun mulai mengingat tentang Gio pulang ke rumah, setelah lelaki itu pergi tanpa pamit gelang emas itu pun menjadi tidak berada di tempat lagi.
"Apa dia yang mengambilnya?” gumam Renata pelan.
Mata Renata tak sengaja menatap ponsel yang berada di atas kasur. Ia lantas mengambilnya. “Bahkan dia meninggalkan ponselnya!”
Tangan Renata mengetuk-ngetuk meja, ia terus memandangi televisi yang menyala dengan tatapan kosong. Karena sekarang pikirannya tidak beralih dari gelang emas yang hilang.
Suara dering ponsel pertanda ada pesan masuk membuyarkan lamunan Renata. Ia bergegas mengambil ponsel milik Gio yang berada di meja untuk melihat siapa pengirim pesan tersebut.
“Nomor tanpa nama?" Renata mengerutkan alisnya, ia tidak mengetahui siapa pengirim pesan itu.
Sebenarnya Renata sangat malas membuka pesan tersebut, lantaran nomor itu tanpa nama yang berarti tidak tersimpan di dalam kontak. Namun, ia sangat penasaran dengan isi pesan dari pengirim tersebut, sehingga memilih untuk membukanya.
[ Apa kau sudah menemukan gelangnya? ] Isi pesan tersebut.
“Maksudnya apa? “ Renata menaik-turunkan alisnya.
Dahi Renata terus saja berkerut, ia berusaha untuk memahami maksud dari isi pesan itu. Seketika ia baru saja teringat kalau mungkin saja yang dimaksud adalah gelang emas itu.
“Maksudmu gelang emas? Tapi kau siapa? Aku tidak mengenalmu karena nomormu tidak tersimpan di kontak. “ Renata menekan tombol kirim.
Hanya saja pesan itu tidak kunjung dibalas oleh orang itu, padahal sudah centang biru membuat Renata menjadi semakin penasaran. Kegelisahannya menjadi semakin menjadi, ia pun memilih untuk memeriksa poto profil pemilik pengirim pesan itu, tetapi ternyata tidak ada.
“Apakah aku harus menanyakan gelang itu kepada Gio dan pemilik nomor tanpa nama ini? Tapi bagaimana kalau gelang itu untukku dan nomor ini hanya salah alamat? Bukankah aku malah membuat Gio menjadi kesal?” Renata menggigit kuku jarinya, ia terus mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah.
Renata memilih untuk menatap jam di dinding, Ia tidak sabar menunggu kepulangan Gio untuk menanyakan semua itu.
“Ternyata sekarang sudah jam empat sore, sebaiknya aku segera memasak dan setelah itu mandi untuk menjernihkan pikiran.” Renata mengusap wajahnya kasar untuk menyadarkan dirinya.
Renata berusaha tetap fokus untuk memasak makanan, karena ia tidak ingin lagi kejadian mengosongkan makanan itu untuk kedua kalinya. Alhasil setelah dirinya memasak langsung pergi ke lantai dua untuk membersihkan diri, berharap kalau perasaan gelisah akan segera sirna secepat mungkin. Namun, tetap saja ia terus memikirkan hal itu, seakan hidupnya sekarang hanya tertuju ke gelang emas tersebut.
Waktu yang ditunggu sudah tiba, terdengar suara mesin mobil mendekati halaman. Renata pun memilih untuk berlari kecil menghampiri keluar, lantaran ia sudah tidak sabar lagi untuk bertanya kepada Gio. Namun, saat pintu dibuka, betapa terkejutnya dirinya melihat lelaki yang sekarang sedang bersama dengan sang suami. Bahkan lelaki tersebut pun mengedipkan mata kepada Renata.
‘Apa yang dia lakukan di sini dan apa-apaan itu?’ gerutu Renata dalam hati, saat ia melihat Bram berjalan mendekat bersama Gio.
“Hai, Sayang.” Gio mengecup kening Renata dengan mesra.
Renata sekilas melihat kalau Bram mengepalkan tangannya, tetapi saat ia memperhatikan lelaki itu dengan seksama Bram malah tersenyum kepada dirinya.
Gio menyadari kalau Renata terus menatap ke arah Bram. Ia pun mendekati sang istri secara perlahan.
“Ah, ini Bram. Dia adalah sepupuku, kamu masih ingatkan?” tanya Gio, ia menatap lekat Renata.
Renata hanya menjawab dengan anggukan, karena ia fokus menatap Bram.
“Aku mengajak Bram untuk ikut makan bersama dengan kita. Tidak masalahkan?” tanya Gio meminta persetujuan Renata.
Renata tersentak, ia tidak ingat kalau sekarang ada Gio berada di antara mereka. Karena terlalu fokus memandangi Bram.
Lantas Renata pun mengukirkan senyuman manis di bibirnya. “Tidak masalah, Sayang. Lagi pula bukankah dia adalah sepupumu? Berarti dia juga adalah sepupuku juga.”
Gio merangkul erat Bram, ia tersenyum dengan sangat lebar. “Benarkan apa yang kukatakan? Istriku ini adalah istri yang baik, jadi tidak mungkin dia akan marah kalau kau ikut makan dengan kami.”
“Benar sekali. Istrimu adalah wanita yang baik, bahkan mungkin lebih, kau sangat beruntung mendapatkannya.” Bram tersenyum dengan menaikkan sudut bibirnya, tatapannya tidak beralih dari Renata.
Bram mengambil tangan Renata, ia langsung mengecup punggung tangan wanita itu tanpa sungkan.
Renata bergeming, ia tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Gio. Sejujurnya ingin tak percaya, bisa saja kalau suaminya itu hanya ingin melemparkan kesalahan kepada lelaki tidak bersalah seperti Bram. Hanya saja samar-samar terlihat jelas di wajah Bram kalau perkataan Gio itu adalah sebuah kenyataan.“Tentu saja aku tidak ada bukti, tapi Rosetta tahu sendiri kalau kau sendiri lah yang memperkenalkan kami berdua.” Gio menarik tangan wanita itu dengan kuat, berharap Rosetta akan membuka mulut.Hanya saja Rosetta memandang ke arah Bram, kemudian menunduk. Melihat hal itu membuat Renata menjadi menatap Bram dengan lekat.Di mata Renata sekarang sorot mata dingin Bram menjadi sangat mengerikan, membuat tubuhnya bergidik ngeri. Sudah dapat dipastikan kalau lelaki itu bersalah.“Walaupun begitu, tapi kau tetap saja salah menuruti perkataannya. Benar bukan?” Renata melipat tangannya di dada, senyum sinis terukir di bibir.Renata memalingkan wajahnya, berusaha memilih perkataan tepat unt
Wajah Gio yang semula panik menjadi memerah ia menatap tajam ke arah Rosetta. Tangannya menarik wanita itu dengan kuat, membuat Rosetta menangis kesakitan.Semua pasang mata menatap ke arah kedua orang itu, membuat Renata menjadi menghela nafas gusar. Ia pun memijat pelipis supaya menghilangkan nyeri di kepala.“Apa kau bisa berhenti sekarang? Banyak orang yang melihat kita!” tegur Renata dengan dingin.Gio melepaskan cengkraman tangannya dari Rosetta, tetapi matanya terus menatap tajam ke arah selingkuhannya tersebut.“Apapun itu, lebih baik katakan di rumah saja.” Renata melirik kesana-kemari, mengisyaratkan kalau di sekitar terlalu ramai.“Memang lebih bagus di rumah saja,” ucap Gio menimpali.Saat Renata berbalik badan, Gio ingin memegang tangan sang istri. Namun, tentu saja kalah cepat dengan Bram yang sedari tadi berada di samping Renata.“Ayo, Renata!” Bram mengarahkan tangan Renata untuk merangkul dirinya.Renata tak menolak, langsung menuruti lelaki itu. Sehingga membuat Bram
Gio terdiam membeli mendengar perkataan dari Renata. Ia melirik kedua wanita itu sekilas secara bergantian, memikirkan keputusan apa yang akan diambil.“Kau tidak mau?” Renata menautkan kedua alisnya, sorot matanya penuh selidik.Rosetta langsung mendekati Gio dengan mata berkaca-kaca. “Jangan tinggalkan aku, Gio! Aku sedang mengandung anakmu, apakah kau akan tega meninggalkan kami?” Ia mengelus perutnya yang masih rata.Renata terkekeh kecil, “Kau yakin itu anak Gio?” tanyanya dengan nada mengejek.Wajah Rosetta memerah, “Kenapa kau berkata seperti itu? Tentu… saja ini anak Gio,” jawabnya gugup, ia beberapa kali meneguk ludahnya secara kasar.Renata yang sedari tadi memperhatikan gerak”gerik dari Rosetta merasa kalau wanita itu sedang menutupi sesuatu. Sehingga ia semakin menatap untuk mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya wanita tersebut pikirkan.Namun, semakin ditatap Rosetta malah terlihat semakin gugup.“Tapi aku ingin melihat surat hasil pemeriksaanmu, jadi mana surat itu?”
Isakan tangis Rosetta memenuhi seisi kamar, memantul di dinding seperti gema yang tak kunjung padam. Namun, Renata tak bergeming. Ia menatap kosong ke depan, seolah suara itu hanyalah bisikan angin yang tak mampu menembus kekacauan dalam kepalanya.Pikiran Renata sibuk merangkai kepingan kenyataan yang baru saja menghancurkan seluruh dinding pertahanannya.“Apa kau tidak bisa diam?” suara Gio mendesis tajam, tangannya memijat pangkal hidung, nafasnya berat. “Sedari tadi kau terus saja menangis... membuat kepalaku semakin sakit!”Renata memalingkan wajahnya perlahan. Tatapannya tajam, seperti pisau dingin yang menusuk satu per satu orang di ruangan itu.“Bisakah kalian keluar dari kamarku?” ucap Renata, dingin dan datar.Bram hanya mengangguk pelan, lalu dengan tenang mengenakan kembali bajunya. Namun, sorot matanya mengandung ragu. Seolah ada sesuatu dalam dirinya yang enggan meninggalkan Renata sendirian. Namun,Renata tak memberinya pilihan.“Apa kalian tidak dengar? Kalian semua kel
Belum sempat Renata melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara pukulan yang sangat kuat dari arah belakang. Lagi-lagi Gio menghajar Bram, tetapi kali ini Bram melawan serangan dari suaminya.“Kalian hentikan sekarang juga!” teriak Renata sambil berlari mendekat.Saat Renata ingin mendekat, ia merasa sangat takut sekali kena pukulan salah sasaran dari salah satu lelaki itu. Sehingga menjadi urung, lantas hanya berusaha melerai dengan mencoba membujuk secara halus. Namun, usaha itu gagal.“Kalian berdua tolong hentikan sekarang juga!” Renata menggeram marah, ia merasa kesal tidak bisa menghentikan kedua lelaki itu.Bram dan Gio menjadi memandang ke arah Renata, wajah wanita itu sekarang sangatlah mengerikan sehingga membuat mereka berdua menjadi berhenti.“Kau tahu sendirian kalau dia yang mulai duluan, aku hanya tidak ingin babak belur karena ulahnya. Wajarkan kalau melawan?” Bram menunjuk Gio dengan geram.Wajah Gio memerah, ia mengepalkan tangannya. “Apa yang maksudmu
Renata tersentak, jantungnya berdetak keras ketika suara Gio yang menggelegar memecah udara pagi yang dingin.Gio berteriak marah, "Apa yang kalian lakukan sekarang?"Tubuh Renata seketika menegang. Ia melirik ke sisi ranjang—Bram masih di sana, duduk santai, satu tangan menyisir rambut acak-acakan, seolah teriakan itu tak berarti apa-apa.‘Astaga... aku tak terbangun tadi malam?’ pikir Renata panik, kedua matanya membelalak, nafasnya tercekat.Wajah Gio memerah, rahangnya mengatup erat. Tangan mengepal, tubuhnya sedikit bergetar—amarahnya jelas menari di balik kulit yang menegang."Apa lagi? Seperti yang kau lihat," kata Bram tenang, menoleh perlahan dengan senyum sinis di sudut bibirnya.Tatapan mata Bram menusuk, tajam dan penuh ejekan. Renata menahan napas. Komentar itu seperti bensin yang menyambar nyala api di dada Gio.Bukannya diam saja, Bram justru memperkeruh suasana.Namun... hati Renata tetap dingin. Ingatan tentang video semalam—tubuh Gio bersama perempuan lain—menghapus