Aroma sandalwood dan sedikit aroma vanilla menyapa mereka, membalut indra Bianca.
Kehadiran Keiran, yang kini terasa begitu intens, memenuhi udara di ruangan itu.
Keiran melangkah masuk terlebih dahulu, melepaskan tangan Bianca sesaat hanya untuk menutup pintu di belakang mereka. Bunyi 'klik' pelan kunci yang mengunci diri seolah menyegel mereka dari dunia luar, menciptakan gelembung intim yang hanya milik mereka berdua.
Bianca berdiri di ambang pintu, napasnya memburu. Ia menatap Keiran yang kini berbalik menghadapnya.
Bayangan pria itu tinggi dan solid di antara cahaya temaram.
Tatapan mata Keiran mengunci tatapannya, kini tanpa lagi ada humor yang tersembunyi, hanya hasrat yang tak terkendali.
"Siap, Bianca?" bisik Keiran, suaranya serak dan dalam, lebih menggoda dari sebelumnya.
Bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan konfirmasi.
“Siap? Ya, aku lebih dari siap. Seharian ini aku berusaha menekan semua ini, tapi sia-sia. Aku sudah berada di sini, di ambang batas yang tak pernah kubayangkan. Dan aku menginginkannya. Semua yang dia tawarkan. Semua kegilaan ini.” pikir Bianca, jantungnya berdebar kencang di dadanya.
Tubuhnya terasa panas, siap untuk melebur dalam sentuhan Keiran.
Bianca tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk pelan, bibirnya sedikit terbuka, matanya dipenuhi gairah yang bergejolak. Ia menginginkan ini, lebih dari apa pun yang pernah ia inginkan.
Keiran melangkah mendekat, perlahan namun pasti. Setiap langkahnya terasa disengaja, membangun antisipasi.
Ketika ia berada di hadapan Bianca, ia tidak langsung menyentuh.
Tangannya terangkat, jari-jarinya menyusuri garis rahang Bianca, sangat lembut, seolah ingin memastikan Bianca nyata.
Jempolnya menyapu bibir bawah Bianca yang sangat lembab.
"Kau sungguh ingin ini. Sama sepertiku," Keiran berbisik, suaranya bagai melodi yang memabukkan, mengikat Bianca dalam pesonanya.
Dan dengan itu, ia menunduk, mencium Bianca.
Kali ini ciumannya lebih dalam, lebih menuntut, mengikis setiap sisa keraguan.
Bibirnya menguasai bibir Bianca, lidahnya menyusup masuk, menjelajahi setiap lekukan. Bianca merespons dengan intensitas yang sama, tangannya naik, melingkari leher Keiran, menariknya lebih dekat.
Ciuman itu semakin panas, hasrat yang telah lama terkunci dalam diri Bianca kini meledak.
Tangan Keiran bergerak ke pinggang Bianca, kemudian ke lekuk punggungnya, menarik tubuh Bianca menempel erat pada tubuhnya yang keras dan padat. Bianca bisa merasakan setiap otot Keiran, setiap tarikan napasnya yang berat.
“Ini dia. Ini yang kucari. Semua yang selama ini kutahan, semua batasan yang kubuat... sirna. Dia adalah pelarianku. Dan aku tidak akan menolak sedetik pun.” Bianca memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam sepenuhnya dalam sensasi.
***
Keiran melepas ciuman mereka sejenak, dahi mereka bersentuhan.
Napas keduanya terengah, hangat dan bercampur. Matanya menatap tajam, penuh janji yang membakar. "Kau sungguh cantik, Bianca," gumamnya, suaranya serak dan dalam, menyentuh kulit leher Bianca saat ia berbicara.
Ia menarik tangan Bianca, membimbingnya menuju tempat tidur besar yang tersusun rapi. Tidak ada kata-kata lagi yang diperlukan.
Bahasa tubuh mereka berbicara lebih lantang dari ribuan kalimat.
Saat mereka mencapai sisi tempat tidur, Keiran melepaskan tangan Bianca, dan pandangannya jatuh ke gaun yang dikenakan Bianca, seolah dia sudah tidak sabar untuk menyingkirkannya.
"Biarkan aku," katanya lembut, namun ada urgensi yang tersembunyi dalam bisikannya.
Tangannya bergerak ke belakang leher Bianca, menemukan ritsleting gaunnya.
Gerakannya sangat mahir, sensual, namun juga dengan sentuhan dominasi yang membuat Bianca bergidik. Ritsleting itu turun perlahan, setiap geriginya terasa seperti desahan tertahan di antara mereka, mengungkapkan kulit punggung Bianca yang mulus.
“Akhirnya,” pikir Bianca, merasakan hembusan napas Keiran di tengkuknya saat ritsleting itu terus menurun.
Baju kerjanya itu meluncur jatuh ke lantai dengan suara desir pelan, meninggalkan Bianca hanya dengan pakaian dalam yang terasa begitu tipis dan rentan di bawah tatapan Keiran. Ia merasakan tatapan Keiran membakar kulitnya, membuatnya merinding dan semakin menginginkan sentuhannya yang lebih nyata.
Mata Keiran menyapu tubuh Bianca, dari bahu hingga kaki, tatapannya penuh gairah dan kekaguman yang tak tersamarkan. "Sempurna," bisiknya.
Bianca merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhnya di bawah tatapan Keiran.
Tanpa ragu, ia balas menatap Keiran, tangannya terangkat ke kemeja pria itu. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
Jari-jarinya gemetar sedikit saat ia mulai membuka kancing-kancing kemeja Keiran satu per satu, perlahan, merasakan setiap otot di dada dan perut pria itu.
Kemeja Keiran terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan kokoh.
Otot-ototnya terbentuk sempurna, dengan definisi yang halus, bukan berlebihan. Ada beberapa bekas luka samar di bahunya, punggung dan lengan menambah aura misterius dan pengalaman hidupnya.
Bianca mengusap dadanya, merasakan kehangatan kulitnya.
Keiran menunduk lagi, bibirnya menemukan leher Bianca, menciumnya, menyesap kulitnya, turun ke bahunya, menciptakan jejak sensasi.
Tangan Keiran bergerak, mengusap paha Bianca, naik perlahan di bawah kain pakaian dalam tipisnya, hingga menyentuh puncaknya yang sudah berdenyut.
Bianca mendesah pelan, kepalanya mendongak, merasakan pusaran nikmat merambat dan membanjiri setiap selnya. "Keiran..."
"Sabar, sayang," bisik Keiran, bibirnya masih menyesap hangat kulit leher Bianca, suaranya dalam dan serak, penuh janji akan kenikmatan yang lebih memabukkan. "Kita punya sepanjang malam."
Tanpa kata-kata lagi, Keiran dengan mudah mengangkat tubuh ringan Bianca ke dalam pelukannya.
Secara naluriah, Bianca melingkarkan kakinya erat di pinggang Keiran, membiarkan dirinya dibawa ke atas ranjang.
Keiran membaringkannya perlahan, lalu menindihnya, tubuh kokohnya menempel erat, membakar kulit Bianca dengan sentuhan pertama.
Ciuman mereka semakin dalam, berubah liar dan memabukkan.
Tangan Keiran menjelajahi setiap lekuk tubuh Bianca, melepaskan sisa-sisa pakaian dalamnya, melemparkannya tanpa peduli ke lantai.
Bianca juga tak tinggal diam, jemarinya merayap di punggung Keiran, merasakan setiap gumpalan otot yang tegang, kuku-kukunya mencakar pelan, tak sanggup menahan gelombang gairah yang mendera.
Keiran menarik napas tajam, desahan tertahan lolos dari bibirnya, saat sentuhan Bianca semakin berani.
"Kau membakarku, Bianca," bisik Keiran, napasnya memburu, bibirnya menyusuri leher jenjang dan dada Bianca dengan rakus.
"Kau yang memulainya," balas Bianca, suaranya serak karena gairah, jemarinya menarik rambut Keiran dengan gemas.
“Gila, dia benar-benar membuatku gila.”
Keiran terkekeh pelan, tawa yang dalam, berat, dan sangat sensual. Ia mencium Bianca lagi, lebih rakus dari sebelumnya, sebelum akhirnya menyatukan diri dengan tubuh wanita itu.
Bianca merasakan sentuhan Keiran yang mendominasi, namun dipenuhi kelembutan yang memabukkan. Setiap gerakannya terasa disengaja, memperpanjang gejolak yang kian memuncak, membangun kenikmatan hingga ambang batas yang nyaris tak tertahankan.
Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan
Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Kieran. Pria itu segera membukanya. Matanya membulat ketika melihat foto Bianca yang babak belur, darah Keiran mendidih. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih, Kieran sudah mencapai batasnya. Ini semua terlalu berlebihan untuk Kieran. Ia seperti singa yang terluka, mengaum dalam frustrasi. Informasi tentang lokasi terakhir Bianca diculik yang kosong sudah cukup membuatnya gila, kini foto ini adalah pemicu terakhir.Di tengah kegilaannya, Fael baru menyusulnya, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan namun matanya tajam. "Keiran," panggil Fael, mencoba menenangkan pria itu. "Kami punya sesuatu. Ada aktivitas mencurigakan di sebuah gudang tua di daerah ujung kota pagi ini. Sinyal ponsel Robi sempat terdeteksi di sana, sebelum menghilang lagi." Fael menunjukkan koordinat pada tabletnya. "Ini bisa jadi tempat di mana Bianca disekap."Mata Keiran menyala. Ada harapan, meskipun kecil. Ia menatap Fael, napasnya terengah. "Kalau begi
Keiran mondar-mandir di markas yang biasanya tenang kini begitu tegang hanya karena sebuah video, tim Keiran bekerja sangat keras. Lokasi tempat video itu dikirim akhirnya terlacak, namun Robi sudah bergerak. Setiap detik terasa seperti siksaan bagi Keiran. Ia melihat video itu berulang kali, setiap rintihan Bianca menusuk jiwanya. Keiran tidak tidur, tidak makan. Wajahnya dipenuhi bayangan gelap, matanya merah karena kurang istirahat. Ini sudah hampir 24 jam setelah hilangnya Bianca. “Kalian lihat semua detail kecil dari video itu.” Ia memberikan perintah sambil berkacak pinggang. Keiran menatap layar yang terpampang di hadapannya lalu ke Fael dan beberapa anak buahnya yang bersiap “Aku tidak mau tahu, Robi harus segera ditemukan. Entah itu dengan cara legal atau ilegal.” Ia maju lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Kita sudah kalah satu langkah, jangan sampai meleset lagi.” “Baik, boss.” Jawab anak buahnya serentak. Obsesinya pada Bianca telah mencapai puncaknya, beruba
Di sisi lain, ada seorang gadis tak sadarkan diri di atas kursi yang terasa begitu dingin. Namun, sedetik kemudian Bianca tersentak, kesadarannya kembali.Kepalanya terasa pening, dan ia merasakan ikatan di tangan, kaki, dan mulutnya. Matanya perlahan terbuka, namun hanya kegelapan yang menyambutnya. Ia mencoba mencari cahaya, tidak ada sedikit pun celah, nihil.Hidungnya mengendus, tercium aroma yang pengap, dingin, dan menusuk, Bianca benar-benar tak suka hal itu.Rasa panik mulai merayapi dirinya, namun ia berusaha keras untuk mengendalikan diri, mengingat tekadnya untuk tidak menyerah.Tak lama kemudian, sebuah cahaya mulai ia dapatkan, menerangi sebagian kecil ruangan. Cahaya itu berasal dari sebuah senter yang dipegang oleh seseorang. Ketika senter itu bergoyang, Bianca langsung mengenali siapa yang menyorot wajahnya. Dan orang itu adalah Robi. Wajahnya menyeringai dalam kegelapan, matanya berkilat jahat."Sudah bangun, Nona Desainer?" sapa R
Mobil Keiran seperti meraung di jalanan, amarah membakar setiap sel tubuhnya. Van hitam itu melesat di depannya, sesekali menyalip kendaraan lain dengan berbahaya. Keiran tak peduli, ia terus mengejar, hanya fokus pada satu tujuan: Bianca.Tiba-tiba, van itu mengambil belokan tajam di sebuah persimpangan. Sebuah truk besar melaju dari arah berlawanan, terlalu cepat untuk menghindari. Dalam sepersekian detik yang mengerikan, mobil van itu menabrak truk itu, dentuman itu membuat ngeri.Suara benturan logam yang memekakkan telinga memenuhi udara. Van hitam itu terangkat, oleng di udara, lalu berguling beberapa kali di jalan raya, berhenti dalam posisi miring dengan asap mengepul dari bagian depan.Keiran mengerem mendadak, mobilnya berdecit keras. Kakinya sampai terjerembab di dalam pedal rem. Ia segera keluar dari mobil, berlari menuju van yang hancur itu, jantungnya berdebar kencang. Ia mengabaikan suara sirene ambulans yang mulai mendekat.Kaca-kaca pecah
Akhirnya, Robi tahu ia tidak bisa memenangkan pertarungan ini dengan argumen atau negosiasi. Ia harus menggunakan kartu terakhirnya.Sebelum pergi, Robi melangkah mendekat ke arah Keiran, seringainya melebar. "Kau mungkin mengira sudah menang, Tuan Keiran," bisik Robi, matanya penuh ejekan. "Tapi kau punya titik lemah, bukan? Seorang desainer cantik dengan lengan yang baru sembuh."Tubuh Keiran berdegik, ketegangan di seluruh sarafnya menjalar hingga membuatnya menggeram.Robi mencondongkan tubuhnya makin dekat dengan Kieran, suaranya menjadi ancaman. "Aku dengar dia sangat keras kepala. Terkadang, orang keras kepala butuh pelajaran.” Robi menghela napasnya lagi. “Mungkin lain kali, aku akan coba 'mengembangkan' bakat desainnya di tempat yang lebih... terpencil. Dan mungkin tangannya akan jauh lebih parah daripada sekadar bekas jahitan."Kata-kata itu menghantam Keiran seperti palu godam. Jantungnya berdebar tak karuan. Robi telah berani menyebut Bianca, mengancamnya wanita itu di dep