Share

08.

Penulis: silent-arl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-22 11:32:51

Aroma sandalwood dan sedikit aroma vanilla menyapa mereka, membalut indra Bianca.

Kehadiran Keiran, yang kini terasa begitu intens, memenuhi udara di ruangan itu.

Keiran melangkah masuk terlebih dahulu, melepaskan tangan Bianca sesaat hanya untuk menutup pintu di belakang mereka. Bunyi 'klik' pelan kunci yang mengunci diri seolah menyegel mereka dari dunia luar, menciptakan gelembung intim yang hanya milik mereka berdua.

Bianca berdiri di ambang pintu, napasnya memburu. Ia menatap Keiran yang kini berbalik menghadapnya.

Bayangan pria itu tinggi dan solid di antara cahaya temaram.

Tatapan mata Keiran mengunci tatapannya, kini tanpa lagi ada humor yang tersembunyi, hanya hasrat yang tak terkendali.

"Siap, Bianca?" bisik Keiran, suaranya serak dan dalam, lebih menggoda dari sebelumnya.

Bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan konfirmasi.

“Siap? Ya, aku lebih dari siap. Seharian ini aku berusaha menekan semua ini, tapi sia-sia. Aku sudah berada di sini, di ambang batas yang tak pernah kubayangkan. Dan aku menginginkannya. Semua yang dia tawarkan. Semua kegilaan ini.”  pikir Bianca, jantungnya berdebar kencang di dadanya.  

Tubuhnya terasa panas, siap untuk melebur dalam sentuhan Keiran.

Bianca tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk pelan, bibirnya sedikit terbuka, matanya dipenuhi gairah yang bergejolak. Ia menginginkan ini, lebih dari apa pun yang pernah ia inginkan.

Keiran melangkah mendekat, perlahan namun pasti. Setiap langkahnya terasa disengaja, membangun antisipasi.

Ketika ia berada di hadapan Bianca, ia tidak langsung menyentuh.

Tangannya terangkat, jari-jarinya menyusuri garis rahang Bianca, sangat lembut, seolah ingin memastikan Bianca nyata.

Jempolnya menyapu bibir bawah Bianca yang sangat lembab.

"Kau sungguh ingin ini. Sama sepertiku," Keiran berbisik, suaranya bagai melodi yang memabukkan, mengikat Bianca dalam pesonanya.

Dan dengan itu, ia menunduk, mencium Bianca.

Kali ini ciumannya lebih dalam, lebih menuntut, mengikis setiap sisa keraguan.

Bibirnya menguasai bibir Bianca, lidahnya menyusup masuk, menjelajahi setiap lekukan. Bianca merespons dengan intensitas yang sama, tangannya naik, melingkari leher Keiran, menariknya lebih dekat.

Ciuman itu semakin panas, hasrat yang telah lama terkunci dalam diri Bianca kini meledak.

Tangan Keiran bergerak ke pinggang Bianca, kemudian ke lekuk punggungnya, menarik tubuh Bianca menempel erat pada tubuhnya yang keras dan padat. Bianca bisa merasakan setiap otot Keiran, setiap tarikan napasnya yang berat.

“Ini dia. Ini yang kucari. Semua yang selama ini kutahan, semua batasan yang kubuat... sirna. Dia adalah pelarianku. Dan aku tidak akan menolak sedetik pun.” Bianca memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam sepenuhnya dalam sensasi.

*** 

Keiran melepas ciuman mereka sejenak, dahi mereka bersentuhan.

Napas keduanya terengah, hangat dan bercampur. Matanya menatap tajam, penuh janji yang membakar. "Kau sungguh cantik, Bianca," gumamnya, suaranya serak dan dalam, menyentuh kulit leher Bianca saat ia berbicara.

Ia menarik tangan Bianca, membimbingnya menuju tempat tidur besar yang tersusun rapi. Tidak ada kata-kata lagi yang diperlukan.

Bahasa tubuh mereka berbicara lebih lantang dari ribuan kalimat.

Saat mereka mencapai sisi tempat tidur, Keiran melepaskan tangan Bianca, dan pandangannya jatuh ke gaun yang dikenakan Bianca, seolah dia sudah tidak sabar untuk menyingkirkannya.

"Biarkan aku," katanya lembut, namun ada urgensi yang tersembunyi dalam bisikannya.

Tangannya bergerak ke belakang leher Bianca, menemukan ritsleting gaunnya.

Gerakannya sangat mahir, sensual, namun juga dengan sentuhan dominasi yang membuat Bianca bergidik. Ritsleting itu turun perlahan, setiap geriginya terasa seperti desahan tertahan di antara mereka, mengungkapkan kulit punggung Bianca yang mulus.

Akhirnya,” pikir Bianca, merasakan hembusan napas Keiran di tengkuknya saat ritsleting itu terus menurun.

Baju kerjanya itu meluncur jatuh ke lantai dengan suara desir pelan, meninggalkan Bianca hanya dengan pakaian dalam yang terasa begitu tipis dan rentan di bawah tatapan Keiran. Ia merasakan tatapan Keiran membakar kulitnya, membuatnya merinding dan semakin menginginkan sentuhannya yang lebih nyata.

Mata Keiran menyapu tubuh Bianca, dari bahu hingga kaki, tatapannya penuh gairah dan kekaguman yang tak tersamarkan. "Sempurna," bisiknya.

Bianca merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhnya di bawah tatapan Keiran.

Tanpa ragu, ia balas menatap Keiran, tangannya terangkat ke kemeja pria itu. Ia tahu apa yang harus dilakukan.

Jari-jarinya gemetar sedikit saat ia mulai membuka kancing-kancing kemeja Keiran satu per satu, perlahan, merasakan setiap otot di dada dan perut pria itu.

Kemeja Keiran terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan kokoh.

Otot-ototnya terbentuk sempurna, dengan definisi yang halus, bukan berlebihan. Ada beberapa bekas luka samar di bahunya, punggung dan lengan menambah aura misterius dan pengalaman hidupnya.

Bianca mengusap dadanya, merasakan kehangatan kulitnya.

Keiran menunduk lagi, bibirnya menemukan leher Bianca, menciumnya, menyesap kulitnya, turun ke bahunya, menciptakan jejak sensasi.

Tangan Keiran bergerak, mengusap paha Bianca, naik perlahan di bawah kain pakaian dalam tipisnya, hingga menyentuh puncaknya yang sudah berdenyut.

Bianca mendesah pelan, kepalanya mendongak, merasakan pusaran nikmat merambat dan membanjiri setiap selnya. "Keiran..."

"Sabar, sayang," bisik Keiran, bibirnya masih menyesap hangat kulit leher Bianca, suaranya dalam dan serak, penuh janji akan kenikmatan yang lebih memabukkan. "Kita punya sepanjang malam."

Tanpa kata-kata lagi, Keiran dengan mudah mengangkat tubuh ringan Bianca ke dalam pelukannya.

Secara naluriah, Bianca melingkarkan kakinya erat di pinggang Keiran, membiarkan dirinya dibawa ke atas ranjang.

Keiran membaringkannya perlahan, lalu menindihnya, tubuh kokohnya menempel erat, membakar kulit Bianca dengan sentuhan pertama.

Ciuman mereka semakin dalam, berubah liar dan memabukkan.

Tangan Keiran menjelajahi setiap lekuk tubuh Bianca, melepaskan sisa-sisa pakaian dalamnya, melemparkannya tanpa peduli ke lantai.

Bianca juga tak tinggal diam, jemarinya merayap di punggung Keiran, merasakan setiap gumpalan otot yang tegang, kuku-kukunya mencakar pelan, tak sanggup menahan gelombang gairah yang mendera.

Keiran menarik napas tajam, desahan tertahan lolos dari bibirnya, saat sentuhan Bianca semakin berani.

"Kau membakarku, Bianca," bisik Keiran, napasnya memburu, bibirnya menyusuri leher jenjang dan dada Bianca dengan rakus.

"Kau yang memulainya," balas Bianca, suaranya serak karena gairah, jemarinya menarik rambut Keiran dengan gemas.

“Gila, dia benar-benar membuatku gila.”

Keiran terkekeh pelan, tawa yang dalam, berat, dan sangat sensual. Ia mencium Bianca lagi, lebih rakus dari sebelumnya, sebelum akhirnya menyatukan diri dengan tubuh wanita itu.

Bianca merasakan sentuhan Keiran yang mendominasi, namun dipenuhi kelembutan yang memabukkan. Setiap gerakannya terasa disengaja, memperpanjang gejolak yang kian memuncak, membangun kenikmatan hingga ambang batas yang nyaris tak tertahankan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   108.

    Di dalam ruang operasi, setelah Keiran dipaksa keluar, Dokter dan timnya bekerja keras untuk menstabilkan kondisi Bianca.Mereka segera menekan kantung darah, memastikan transfusi berjalan lancar untuk menaikkan tekanan darah Bianca yang anjlok.Pada saat yang sama, selimut penghangat dan pengaturan suhu ruangan dinaikkan untuk menaikkan suhu tubuh Bianca yang drop.Dalam kondisi setengah sadar, Bianca hanya ingin semua penderitaan ini segera berakhir. Ia ingin kedamaian.Pikirannya melayang pada Keiran. Ia merindukan Keiran, suaranya, kehadirannya. Rasa rindu itu menjadi satu-satunya yang membuatnya tidak boleh menyerah.Dokter akhirnya berhasil menstabilkan Bianca.“Pindahkan pasien ke ruang ICU.” Dokter melepas sarung tangannya. “Aku akan bicara pada walinya terlebih dulu.”Dokter akhirnya keluar dari ruangan untuk menemui Keiran yang masih berdiri tegak dengan kepala yang menempel pada dinding." Kei

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   107.

    Keiran kembali ke ruangan Bianca. Melihat Dokter, Ibunya dan beberapa tim medis yang menunggu membuat perut Keiran mulas. Dia seperti dipaksa melakukan hal yang paling ia benci.“Jadi bagaimana, apa kau menyetujuinya?” tanya Dokter mencondongkan tubuhnya kearah Keiran.Keiran menatap Bianca sejenak. “Baiklah.” Ia menatap Dokter itu, atau lebih tepatnya melotot pada sang Dokter. “Asalkan aku ada disana. Disamping Bianca.”Dokter itu langsung menggeleng. “Itu tidak mungkin!” suaranya meninggi beberapa oktaf.Keiran mengedikan bahu sambil berjalan mendekati Bianca. “Kalau begitu aku tidak akan memberikan ijin.”Dokter dan timnya saling bertukar pandang. Sang Dokter memiliki reputasi yang begitu bagus sebagai Dokter yang selalu mengutamakan pasiennya. Apalagi kasus langka seperti Bianca membuatnya bersemangat. Ia tidak ingin melepas kesempatan ini.“Baiklah, tapi janji kau hanya melihat. Tanpa menginterupsi kami.” Akhirnya sang Dokter bica

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   106.

    Sore itu, Keiran mendengarkan dengan saksama setiap penjelasan dan saran dari Dokter Lim.“Meskipun Bianca menunjukkan kemajuan, ia membutuhkan terapi intensif dan rehabilitasi khusus untuk memaksimalkan peluangnya memulihkan penglihatan dan kemampuan bicaranya.” Jelas Dokter Lim dengan santai."Baik, aku perlu rekomendasimu.” Balas Keiran yakin.“Sebenarnya saya sudah memiliki jawabannya.” Ia memberikan secarik kertas, berisi nama dan tempat rehabilitasi yang dimaksud.Keiran mengangguk mantap, tanpa menunda waktu, Keiran mulai mengatur segalanya. Ia akan membawa Bianca ke pusat rehabilitasi terbaik, tidak peduli seberapa jauh atau mahal itu. Ia juga akan memastikan Bianca memiliki dukungan penuh.Keiran mengambil ponselnya, menghubungi dua anak buahnya yang paling loyal dan terpercaya. Mereka akan bertindak sebagai pengawal dan pendukung tambahan. Tentu saja, orang tuanya juga akan ikut mendampingi. Dengan persiapan

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   105.

    Keiran duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Bianca. Ia tahu jalan di depan akan sangat panjang dan sulit. Pemulihan Bianca mungkin tidak akan pernah sempurna. Mungkin penglihatannya tidak akan kembali, mungkin suaranya takkan pulih sepenuhnya. Namun, itu tidak masalah bagi Keiran.Bianca tetaplah Bianca, ia akan menjadi mata untuk gadis itu, ia akan menjadi mulut untuk gadis itu. Meski tak bisa mengucapkannya, Keiran tidak memiliki niat untuk meninggalkan Bianca sama sekali.Sebaliknya, tekadnya untuk terus menjaga Bianca semakin kuat. Ia akan mendedikasikan hidupnya untuk Bianca, untuk memastikan wanita ini mendapatkan semua dukungan, dan semua cinta yang ia butuhkan.Ibu Keiran sudah pergi, katanya ada sesuatu yang harus ia urus.Keiran menaruh telapak tangan Bianca di dagunya. “Aku sudah membersihkan bulu wajahku. Kau benci itu,kan?”Bianca mencoba lagi, mengerahkan sekuat tenaga, tetapi tidak ada suara yang keluar dari tenggoro

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   104.

    Beberapa hari kemudian, keajaiban yang Keiran nantikan akhirnya tiba. Mata Bianca perlahan terbuka, namun yang ia dapati hanyalah kegelapan.Panik segera mencengkeramnya. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya petunjuk.Dalam kepanikannya, tangan Bianca meraba-raba dan hampir mencabut selang terpenting yang menopang hidupnya. Keiran, yang selalu berjaga di sisinya, segera menyadarinya.Dengan cepat, ia menahan tangan Bianca, mencegahnya melakukan hal yang membahayakan.“Hei, tenang. Aku disini.” Ia meremas tangan itu. Seketika Bianca menghela napas, tak sanggup bicara. Rasa sedih yang mendalam membanjiri hati Keiran melihat kepanikan dan ketidakberdayaan Bianca.Dokter Lim, yang datang bergegas masuk. Ia dengan tenang menjelaskan kondisi Bianca. "Nona Bianca, harap tenang. Anda baru saja mengalami kecelakaan serius. Ada sedikit... kerusakan pada saraf optik Anda karena benturan. Untuk sementar

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   103.

    Hari-hari berlalu dengan lambat. Keiran tidak pernah beranjak dari sisi ranjang Bianca di ICU.Ia duduk di sana, terpaku, seolah kehadirannya bisa menjadi jangkar bagi jiwa Bianca yang terombang-ambing antara hidup dan mati. Ia tidak peduli dengan luka-lukanya sendiri, dengan rasa lapar atau lelah.Ia menolak semua tawaran untuk meringankan bebannya, baik dari Ibunya, Ayahnya, maupun siapa pun. Mereka mencoba membujuk Keiran untuk beristirahat, untuk makan, tetapi Keiran menolak dengan tegas.Ia terus berbicara pada Bianca, memohon agar wanita itu kembali, mengancam dengan kalimat mengerikan jika Bianca meninggalkannya.Keiran, sang "hewan buas" yang selalu terkontrol, kini tidak konsisten dalam kesedihannya, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Dia hanya memohon pada Bianca agar tidak meninggalkannya.Karena jika Bianca pergi, Keiran merasa tidak ada artinya untuk hidup lagi.***Dokter Lim dan tim medis terus memantau Bian

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status