LOGINBianca Calysta, seorang desainer grafis muda, harus menghadapi kenyataan pahit setelah sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari hidupnya, termasuk kemampuannya untuk berjalan. Di tengah keterpurukannya, ia bertemu Keiran Araska, seorang pria misterius dengan masa lalu kelam dan sifat posesif yang tak terkendali. Keiran, yang semula dikenal sebagai Keiran Vale, hidup dalam bayang-bayang dunia gelap, namun pertemuannya dengan Bianca secara perlahan mengubah dirinya, mendorongnya untuk meninggalkan identitas lamanya demi masa depan yang lebih baik bersama Bianca. Perjalanan mereka penuh liku. Dari perjuangan Bianca untuk bisa berjalan kembali, hingga adaptasi Keiran dengan kehidupan baru yang "normal" sebagai pebisnis. Sifat protektif Keiran sering kali berbenturan dengan keinginan Bianca untuk mandiri. Namun, setiap konflik justru semakin memperkuat ikatan mereka, membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh dari trauma.
View MoreBianca, 25 tahun, seorang Desainer Grafis yang sedang di ambang batas frustrasi, berada di sebuah klub malam yang gegap gempita.
Musik house berdentum memekakkan telinga, lampu strobe memercikkan kilatan warna-warni, dan lautan manusia bergerak dalam euforia yang terasa asing baginya.
Dia menyeruak ke area bar, mencoba memesan cocktail yang bisa menenangkannya.
Namun, bartender di balik konter yang sibuk itu seolah tidak melihatnya, melayani pelanggan lain yang lebih agresif dalam menarik perhatian.
Bianca menghela napas, merasa semakin tenggelam dalam kebisingan dan kekecewaan.
Sudah berminggu-minggu ia tidur hanya empat jam, dan rasanya kepalanya mau meledak memikirkan revisi logo yang tak kunjung disetujui.
Tiba-tiba, sebuah suara bariton yang dalam namun tenang terdengar dari sampingnya, memotong kebisingan di sekitarnya. "Martini, dengan twist lemon. Dan bartender, tolong juga buatkan White Russian untuk nona ini."
Bianca menoleh, sedikit terkejut. Di sebelahnya berdiri seorang pria. Keiran.
Usianya mungkin awal tiga puluhan, dengan aura yang mencolok namun bukan karena ia mencarinya.
Tubuhnya tegap, terbungkus kemeja gelap yang dua kancing teratasnya terbuka santai, memperlihatkan sedikit bagian dadanya yang bidang. Lengan kemejanya digulung rapi hingga siku, menampakkan lengan bawah yang berotot namun tetap proporsional.
Matanya yang gelap, begitu dalam dan intens, menatap lurus ke arahnya, namun ada senyum tipis di sudut bibirnya yang membuatnya tampak santai dan sedikit nakal.
Bartender, entah mengapa, langsung menuruti permintaan Keiran.
Dalam beberapa detik, dua gelas cocktail sudah tersedia di konter.
Keiran mengambil Martini-nya, lalu mendorong gelas White Russian ke arah Bianca.
"Kadang, cara terbaik untuk mendapatkan apa yang kamu mau adalah dengan tidak terlalu keras mencarinya," ucap Keiran, suaranya terdengar jernih di tengah dentuman musik.
Senyum tipisnya melebar sedikit, dan matanya tidak beranjak dari mata Bianca, seolah dia sedang membaca seluruh isi pikiran wanita itu.
Ada kilatan geli di matanya, seperti dia sudah tahu segala sesuatu tentang kelelahan Bianca bahkan sebelum Bianca menyadarinya sendiri.
Bianca merasakan rona panas merambat di pipinya. Ia terpana oleh kehadiran dan kepercayaan diri pria itu. Ia mengambil gelasnya, jemarinya tak sengaja menyentuh jemari Keiran sesaat, dan sentuhan itu mengirimkan sengatan listrik yang tak terduga.
"Terima kasih," gumam Bianca, merasa sedikit kikuk namun sekaligus tertarik. Ia tak tahu harus membalas apa. "Bianca." Ia mengulurkan tangannya, sedikit malu.
Keiran menyambut uluran tangannya, genggaman mereka terasa pas dan hangat. "Keiran," katanya, suaranya rendah dan dalam. "Jadi, Bianca, apa yang membuatmu mencari pelarian di sini malam ini?"
Bianca tertawa hambar. "Pekerjaan. Atau lebih tepatnya, tekanan pekerjaan." Ia menyesap sedikit White Russian-nya. "Aku desainer grafis. Dan kamu?"
Keiran menyesap Martininya, matanya terpaku pada Bianca. "Aku di bidang keamanan," jawabnya, nadanya tenang namun ada sesuatu yang tak terkatakan di sana. "Mungkin itu sebabnya aku punya mata yang terlatih untuk melihat siapa yang sedang butuh 'penjaga'." Senyum tipisnya kembali terukir, penuh makna, dan tatapannya kini semakin dalam, mengunci pandangan Bianca.
***
Bianca merasakan getaran aneh saat Keiran mengucapkan kata "penjaga." Bukan rasa takut, melainkan perpaduan rasa penasaran dan tarikan yang kuat. Ia tahu pria di depannya ini berbahaya dalam artian yang paling menarik.
Matanya tak bisa lepas dari tatapan intens Keiran.
"Penjaga?" ulang Bianca, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia tersenyum tipis, menantang. "Sepertinya aku tidak terlihat membutuhkan penjaga malam ini. Justru, aku ingin sedikit lepas kendali."
Keiran hanya terkekeh pelan, suara rendahnya bagai melodi di tengah dentuman musik. Ia meletakkan gelas Martininya di konter, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat ke Bianca, jarak di antara mereka semakin menipis.
Aroma kayu yang lembut, bercampur samar dengan wangi alkohol dan mungkin asap rokok yang tertinggal di bajunya, menyelubuti Bianca.
Sekilas, Bianca menangkap tatapan tertarik dari beberapa pasang mata di sekitar mereka, namun itu cepat sirna saat Keiran menoleh sedikit, seolah tanpa sengaja.
"Oh, aku bisa melihatnya," bisik Keiran, suaranya kini begitu dekat hingga Bianca bisa merasakan napas hangatnya di telinga. "Gadis baik yang ingin merasakan sedikit kebebasan. Aku sering bertemu tipe sepertimu." Ada nada menggoda dalam kalimatnya, namun juga pemahaman yang membuat Bianca merasa telanjang. "Tapi, kadang, justru saat kita ingin lepas kendali, di situlah kita paling membutuhkan seseorang untuk memastikan kita tidak benar-benar jatuh."
Jemari Keiran bergerak perlahan, sangat perlahan, dari konter bar ke punggung tangan Bianca, lalu mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya.
Sentuhan itu ringan, namun memancarkan panas yang membakar.
Bianca merasakan merinding di lengannya. Sensasi itu begitu kuat, begitu tiba-tiba, sehingga ia hampir menjatuhkan gelasnya.
Sekejap terlintas di benaknya, “Ini gila. Aku baru mengenalnya. Tapi... kenapa rasanya aku tidak ingin dia berhenti”
"Aku bisa membantumu melepas penat, Bianca," lanjut Keiran, suaranya kini lebih serak, "dengan cara yang jauh lebih... memuaskan dari sekadar sebotol vodka." Matanya terpaku pada bibir Bianca, dan Bianca secara naluriah menjilat bibirnya sendiri, menanggapi godaan yang tak terucap.
Deburan musik di sekeliling mereka seolah sirna. Dunia menyempit hanya pada Keiran dan sentuhan jemarinya yang menghantarkan gelombang sensasi.
Keinginan yang terpendam, yang selama ini ia tekan di balik rutinitas pekerjaan, kini meledak di permukaan. Ia merasakan hasrat yang membara.
"Apa yang kamu maksud?" tanya Bianca, suaranya nyaris berbisik. Ia tahu persis apa yang dimaksud Keiran, dan bagian gelap dalam dirinya menginginkan itu lebih dari apa pun.
Keiran tersenyum, senyum penuh kuasa yang membuat lutut Bianca lemas. "Hanya diriku dan dirimu, Bianca. Jauh dari keramaian ini." Matanya menyapu keramaian klub sejenak, seolah merasa terganggu oleh orang lain yang tak penting. "Di mana kita bisa benar-benar merasakan... lepas kendali." Ia menekankan dua kata terakhir itu, nadanya erotis dan penuh janji.
Pagi itu terasa aneh bagi Kieran. Matahari bersinar cerah, kicauan burung terdengar dari luar jendela, dan tidak ada notifikasi mendesak dari tim keamanannya.Segalanya terasa terlalu tenang. Ketidakwajaran ini justru membuat Keiran gelisah. Pengalamannya mengajarkan bahwa ketenangan semacam ini sering kali menjadi pertanda badai yang akan datang.Keiran meraba sisi ranjang yang sudah kosong. Perlahan ia bangkit dari ranjang, samar ia mencium aroma kopi yang masuk lewat sela-sela pintu.Sejenak Keiran berhenti di depan pintu kamar, ia tahu bahwa mimpi tidak memiliki hubungan dengan kenyataan. Keiran tidak pernah percaya hal-hal yang tidak masuk akal. Alih-alih langsung mencari Bianca, Keiran memutuskan untuk bersiap berangkat kerja, dia butuh sesuatu untuk menjernihkan pikirannya.Tidak hanya itu, masalah Clara belum selesai. Keiran harus segera membereskannya.***Keiran sudah siap, memakai setelan jas hitam yang senada dengan kemejanya. Ta
Bianca menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Lalu menghela napas panjang sebelum mendekat, mengambil sabun, dan mulai memijat punggung Keiran dengan lembut. Jemarinya meluncur di atas otot-otot yang mengeras, mencoba meredakan simpul-simpul ketegangan yang mengikat pria itu."Kau hebat, Keiran. Kau selalu melindungiku, selalu datang untukku. Kau penyelamatku. Aku tahu kau kuat, dan kau bisa melewati segalanya. Kau adalah orang terkuat yang pernah aku kenal."Sambil masih membelakangi Bianca, tubuh Keiran sedikit melunak. Beban di bahunya sedikit berkurang, dan napasnya mulai teratur.Amarah yang terpancar dari wajahnya perlahan menghilang, digantikan oleh ekspresi yang lebih tenang.Busa lembut ditangan Bianca mulai menghilang tersapu air. Wanita itu mengatur napasnya, dalam dirinya, ia ingin melakukan lebih, memberikan Keiran kedamaian yang belum pernah ia coba.Akui dirimu sudah gila, Bianca. Cepat akui! Rutuk Bianca dalam hati
Mereka tiba di rumah orang tua Keiran tak lama kemudian. Syukurlah, Ayah dan Ibu Keiran baru saja sampai di rumah, setelah menghabiskan waktu di pusat kota untuk berbelanja.“Kalian sedang apa kemari?” tanya Ibunya melirik jam tangan. Ini bukan waktu dimana anaknya bisa bersantai.Pria itu menaruh tas milik Bianca di ruang tamu, menatap orang tuanya bergantian. “Aku mungkin akan merepotkan kalian. Lagi.”Bisa dibilang, Keiran sebenarnya enggan menyeret siapapun ke dalam urusan yang seolah tak ada ujungnya. Namun, hatinya tidak akan tenang kalau membiarkan wanita itu sendirian meski ada lusinan pengawal yang menjaganya.Keiran berpaling menatap kearah Bianca. “Ini soal Clara, dia membocorkan soal Bianca.”Dahi Ibu Keiran mengernyit, paham situasi anaknya. “Tinggalah disini, aku tidak akan keberatan.”Ibu Keiran selalu tidak menyukai Clara, bahkan sejak awal ketika anaknya mengenalkan Clara.
Pagi itu belum selesai, matahari sudah tinggi, tapi keduanya masih harus menyelesaikan hal ini.Bianca masih dalam pelukan Keiran yang erat, Bianca akhirnya mengerti kalau keduanya memiliki kekhawatiran masing-masing.Tangan kecilnya memukuli dada bidang Keiran, ia frustrasi, mencintai, dan ketakutan yang bercampur aduk menjadi satu."Kau membuatku jatuh cinta gila-gilaan, tapi kau juga yang membuatku cemas setengah mati! Kau membuatku takut! Kau membuatku merasa tidak berguna!" seru Bianca, suaranya teredam di oleh isakannya sendiri.Pria itu tidak berusaha menangkis atau membela diri. Sebaliknya, ia merapatkan tubuhnya, seolah ingin menyerap semua amarah dan ketakutan Bianca ke dalam dirinya.Ia menahan Bianca lebih erat, membiarkan wanita itu melampiaskan segalanya. Di saat itu, Keiran tahu bahwa omelan Bianca, amarah Bianca, adalah bentuk lain dari cinta. Dan ia akan menerima semuanya, tanpa bertanya, tanpa keluhan.***Badai emos
Ciuman di pagi itu tak mereda. Entah Kieran atau Bianca tidak ingin melepaskan diri satu sama lain.Untung saja Bianca mendorong dada Kieran , matanya penuh harap dan cemas. Kieran tidak bisa berhenti menatap bibir basah Bianca. Lalu pria itu mencondongkan tubuhnya, menempelkan keningnya di kening Bianca."Bianca," kata Keiran, suaranya pelan namun mantap. Suara napas mereka menyatu. Samar-samar Bianca seolah bisa merasakan degub jantung Keiran yang begitu cepat.Wanita itu mengerutkan kening, mulai cemas dengan apa yang akan Kieran lakukan."Menikahlah denganku." Kalimat itu keluar disertai dengan helaan napas panjang. Kelegaan? Atau bahkan penantian.Lamaran mendadak Keiran membuat Bianca membeku. Otaknya berhenti berpikir, yang ia tahu kini Kieran sudah menjauhkan wajahnya. Memberi jarak agar Bianca mempu mencerna segalanya.Memang benar, setelah semua yang telah mereka lalui, sebuah lamaran pernikahan terasa seperti kejutan yang sangat b
Setelah napas mereka kembali teratur, Keiran menarik diri sedikit, namun tetap memeluk Bianca dari belakang. "Lelah?" bisik Keiran, suaranya sedikit terengah.Bianca mendesah, merasakan kelelahan yang menyenangkan menjalar di tubuhnya.Mereka sudah bercinta cukup lama, cukup untuk membuat lutut Bianca lemas dan kehausan. "Kau tidak lelah?" tanya Bianca, sedikit terkejut.Keiran menyeringai. Ia memutar tubuh Bianca perlahan, sehingga mereka saling berhadapan. Matanya berkilat penuh gairah yang belum padam. "Belum sama sekali," Keiran terlihat begitu meyakinkan bahkan seringainya semakin lebar.Gairahnya untuk Bianca seolah tak terbatas, sebuah bukti nyata soal staminanya yang luar biasa dan hasratnya yang tak pernah puas pada wanita itu.Keiran membungkuk, meraih kembali tubuh wanita itu. Mengambil minum yang selalu tersedia di nakas sebelah ranjang mereka.“Minumlah,” tutup botol itu melompat dari tempatnya.Sorot mata Bia












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments