Share

07.

Author: silent-arl
last update Last Updated: 2025-08-21 14:27:13

Keiran membawa Bianca ke sebuah restoran kecil yang elegan namun tidak formal, dengan interior hangat dan remang-remang, yang buka hingga larut malam. Mereka duduk di sudut yang lebih privat.

"Jadi, pekerjaanmu terdengar... melelahkan. Apakah semua hari-harimu seperti kemarin?" Keiran memulai, menyesap minumannya.

Bianca menghela napas, sebuah senyum kecut terukir di bibirnya. "Hampir. Kadang rasanya aku hanya berputar di tempat. Mendesain logo yang hasilnya selalu sama saja. Monoton. Kau tahu, kehidupan yang 'aman' seperti yang selalu kubayangkan, ternyata bisa sangat membosankan."

Keiran terkekeh pelan. "Aku tahu. Dan itulah mengapa kau berakhir di klub itu, kan? Mencari sedikit 'ketidakamanan'." Matanya berbinar geli. "Apakah aku memenuhi ekspektasimu sejauh ini?"

Bianca merasakan pipinya memanas lagi. "Lebih dari yang kuduga. Siapa sangka, terapi stresku ada di lapangan baseball tengah malam, dan makan malam jam satu pagi dengan seorang pria yang baru kukenal." jawabnya jujur, tawa kecil meluncur dari bibirnya.

"Itu salah satu keahlianku," Keiran menyeringai, mengangkat gelasnya sedikit. "Memberikan kejutan yang menyenangkan. Dan, kau tahu, aku juga tidak menyangka akan menemukan seseorang sepertimu di sana. Seseorang yang... butuh sedikit lebih dari sekadar White Russian untuk melepaskan diri." Tatapan Keiran menelusuri wajah Bianca, dan ada kedalaman yang membuat Bianca merasa benar-benar terlihat.

Mereka melanjutkan obrolan ringan mereka, membahas pekerjaan Bianca yang membosankan dan sedikit tentang insiden keamanan Keiran yang membuatnya harus datang ke gedung kantor Bianca.

Keiran menjaga detail pekerjaannya tetap samar, mempertahankan misterinya, namun ia mendengarkan cerita Bianca tentang frustrasinya dengan perhatian penuh, sesekali menyelipkan komentar cerdas atau jenaka yang membuat Bianca tertawa.

Selama makan malam, mata mereka sering bertemu, dan setiap kali itu terjadi, percikan intensitas erotis kembali menyala di antara mereka.

Keiran tidak lagi menggoda secara terang-terangan seperti di klub, tetapi kehadiran dan tatapannya saja sudah cukup untuk membangun ketegangan.

Bianca merasakan jantungnya berdebar setiap kali tangan Keiran tak sengaja menyentuh tangannya saat mengambil garam atau menuangkan air.

***

Ketika piring-piring dibersihkan dan hanya tersisa gelas-gelas kosong, suasana di antara mereka menjadi semakin pekat. Bianca sudah tidak bisa lagi menahan gejolak hasrat di dalam dirinya. Pria di hadapannya ini, dengan auranya yang tenang, kuat, dan penuh misteri, telah mengusik setiap sisi gelap dan terpendam dalam dirinya.

“Aku menginginkannya. Malam ini, semua aturan yang kubuat untuk diriku sendiri terasa tak berarti. Aku hanya ingin merasakan apa yang dia janjikan. Melepaskan diri. Dengan dia.” pikir Bianca, denyutan di nadinya terasa begitu nyata.

Bianca meletakkan tangannya di atas meja, jemarinya perlahan meluncur ke arah tangan Keiran yang santai bertumpu di sana. Ia menyentuh punggung tangan Keiran, jemarinya menyusuri urat-urat di sana, lalu melingkari pergelangan tangan Keiran yang kuat.

Mata Keiran langsung menangkap gerakan Bianca. Ia tidak bergerak, hanya menatap Bianca, raut wajahnya tenang namun matanya membara.

"Keiran," bisik Bianca, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia tidak ingin lagi bermain-main. Malam ini, ia ingin sesuatu yang nyata. "Bawa aku ke tempat di mana kita bisa... benar-benar lepas kendali. Aku... aku menginginkanmu." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya memohon dan menantang.

Keiran hanya tersenyum tipis, senyum yang kini penuh dengan gairah yang tak terbendung. Ia menarik tangannya dari genggaman Bianca, hanya untuk kemudian meraih tangan Bianca dan mencium punggung tangannya dengan lembut, bibirnya menempel sesaat di kulit Bianca, mengirimkan sengatan listrik yang panas.

"Sudah kuduga kau akan mengatakannya. Ayo." bisik Keiran, suaranya bergetar dengan hasrat terpendam.

***

Tanpa kata-kata lagi, Keiran membayar tagihan dengan kartu kreditnya, tak peduli berapa pun. Tindakan cepat dan penuh percaya diri itu semakin menguatkan daya tariknya. Ia berdiri, dan Bianca langsung mengikutinya keluar dari restoran, seolah ada tali tak terlihat yang menariknya. Kali ini, tidak ada lagi keraguan.

Hasrat mereka begitu jelas, begitu nyata, memancar di antara mereka seperti panas yang tak terlihat.

Keiran tidak membawa Bianca kembali ke mobilnya. Sebaliknya, ia memimpin Bianca menyusuri jalanan yang sepi, tangan Keiran sesekali menyentuh punggung Bianca, membimbingnya tanpa paksaan.

Mereka berbelok di sudut, dan Bianca melihatnya. Sebuah hotel butik yang tersembunyi, dengan lampu-lampu temaram yang memancarkan aura intim dan eksklusif. Bukan hotel besar yang mencolok, melainkan tempat yang seolah dirancang untuk pertemuan rahasia.

Jantung Bianca berdebar kencang, membalas irama gairah yang membara di dalam dirinya.

Keiran menoleh, matanya terpaku pada Bianca, senyum tipisnya melengkung.

"Siap?" bisik Keiran, suaranya rendah dan penuh makna, seolah tahu persis apa yang berkecamuk di benak Bianca.

Bianca menatapnya, napasnya sedikit tertahan. "Lebih dari siap," jawabnya, suaranya hanya sedikit lebih dari gumaman, namun matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.

Keiran memegang tangan Bianca, jemarinya erat mengunci jemari Bianca saat mereka berjalan. Ketegangan erotis di antara mereka begitu pekat, seolah bisa diraba.

Di lobi hotel yang tenang, Keiran langsung menuju konter resepsionis. Tidak ada cekcok, tidak ada pertanyaan. Seolah-olah dia sudah sering melakukan ini. Kunci kartu sudah menunggunya.

Mereka naik lift dalam keheningan yang penuh gairah. Bianca merasakan setiap senti tubuhnya terbakar antisipasi.

Keiran berdiri di sampingnya, tinggi dan solid, kehadirannya membanjiri indranya.

“Ini dia. Tidak ada jalan kembali sekarang,. Dan anehnya, aku tidak ingin ada jalan kembali.” pikir Bianca, napasnya tertahan.

Ketika pintu lift terbuka, mereka melangkah keluar ke lorong yang sunyi.

Keiran menggesekkan kartu ke pintu sebuah kamar.

Cahaya redup dari dalam ruangan menyambut mereka.

"Selamat datang, Bianca," bisik Keiran, suaranya serak saat ia membuka pintu lebih lebar, mengundang Bianca masuk. Matanya menatap Bianca dengan intensitas yang tak salah lagi. "Ini adalah tempat di mana kita bisa... benar-benar lepas kendali."

“Tepat seperti yang kubayangkan,” pikir Bianca, langkahnya ringan saat ia mengikuti Keiran masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   07.

    Keiran membawa Bianca ke sebuah restoran kecil yang elegan namun tidak formal, dengan interior hangat dan remang-remang, yang buka hingga larut malam. Mereka duduk di sudut yang lebih privat."Jadi, pekerjaanmu terdengar... melelahkan. Apakah semua hari-harimu seperti kemarin?" Keiran memulai, menyesap minumannya.Bianca menghela napas, sebuah senyum kecut terukir di bibirnya. "Hampir. Kadang rasanya aku hanya berputar di tempat. Mendesain logo yang hasilnya selalu sama saja. Monoton. Kau tahu, kehidupan yang 'aman' seperti yang selalu kubayangkan, ternyata bisa sangat membosankan."Keiran terkekeh pelan. "Aku tahu. Dan itulah mengapa kau berakhir di klub itu, kan? Mencari sedikit 'ketidakamanan'." Matanya berbinar geli. "Apakah aku memenuhi ekspektasimu sejauh ini?"Bianca merasakan pipinya memanas lagi. "Lebih dari yang kuduga. Siapa sangka, terapi stresku ada di lapangan baseball tengah malam, dan makan malam jam satu pagi dengan seorang pria yang baru kukenal." jawabnya jujur, taw

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   06.

    Ponsel Keiran terus bergetar. Ia melirik layar, wajahnya berubah serius.Bayangan konsentrasi pekerjaan kini merasuki raut wajahnya, memadamkan gairah yang sempat memenuhi udara di antara mereka.Urgensi yang jelas menggantikannya. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu, namun profesionalisme yang melekat padanya langsung mengambil alih."Ada masalah di pekerjaan," ujar Keiran singkat, pandangannya beralih dari ponsel ke mata Bianca. "Aku harus pergi." Nada minta maaf tersirat di sana.Bianca merasakan kekecewaan yang melanda, begitu kuat hingga ia hampir mengerang.Momen itu, gairah itu, semua sirna secepat kilat, meninggalkan kekosongan yang hampa. Namun ia mengangguk paham. "Tidak masalah."Keiran melihat kekecewaan itu di mata Bianca, dan senyum tipisnya kembali, kali ini mengandung sedikit penyesalan."Maaf. Perlu kuantar pulang?" ucapnya, kembali melirik ponselnya yang masih bergetar.Bianca menggeleng cepat.Bianca tidak ingin lagi memperpanjang harapan, at

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   05.

    Keiran kembali mendekat, bibirnya menyentuh bibir Bianca lagi.Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih mendesak. Di tengah gelombang sensasi itu, saat ciuman mulai semakin intens, mata Bianca tanpa sengaja terbuka.Pandangannya jatuh pada tangan Keiran yang memeluk pinggangnya. Dan di jari manis tangan kirinya, tersemat sebuah cincin gelap dengan desain berbeda yang unik. Bukan cincin pernikahan tradisional, tetapi jelas ada sebuah cincin yang dikenakan di jari itu.Napas Bianca tercekat. Seketika, kilasan realita menyambar benaknya, merobek gelembung euforia yang menyelimutinya. Ia langsung menarik diri, memutuskan ciuman itu dengan tiba-tiba.Wajahnya memerah, bukan karena gairah, melainkan karena rasa malu dan kekonyolan yang menyengat. “Bodohnya aku, ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku melupakan ini?”Keiran sedikit terkejut dengan penolakan mendadak Bianca.Alisnya terangkat, matanya yang dalam menatap Bianca dengan kebingungan yang samar."Ada apa?" tanya

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   04.

    Mobil melambat, berbelok tajam ke sebuah area yang diterangi oleh beberapa lampu sorot besar. Bianca terkesiap, napasnya tertahan.Bukan gedung, bukan hotel, melainkan sebuah lapangan baseball yang sangat luas dan kosong membentang di hadapannya.Tribun penonton terhampar di kejauhan, dan di tengahnya, rumput hijau yang terawat membentang di bawah cahaya lampu. Udara terasa dingin dan segar, jauh dari pengapnya klub, dan keheningan yang menyelimuti tempat itu terasa monumental setelah hiruk pikuk yang baru saja ia tinggalkan.Keiran memarkir mobil di pinggir lapangan, mesin dimatikan.Suara jangkrik malam dan desiran semilir angin menjadi satu-satunya melodi yang menyambut mereka.Keheningan itu begitu menusuk, sebuah kontras yang mencolok dari tempat mereka berasal. Ia menoleh ke arah Bianca, matanya berkilau dengan hiburan yang tenang."Kejutan?" tanyanya, suaranya mengandung nada menggoda yang sama sekali tidak mesum. Ini adalah tantangan baru, sebuah janji petualangan yang berbeda

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   03.

    Keiran menyingkirkan helai rambut Bianca dengan lembut, sentuhannya bagai bara api dingin yang menjalar di kulitnya.Tatapan matanya yang intens itu seolah menembus jiwa Bianca, membaca setiap keinginan terpendam yang ia sembunyikan. Janji "lebih dari yang kamu harapkan" bergaung di benaknya.Keraguan memang masih membayangi, namun dorongan untuk melarikan diri dari hidupnya yang monoton, demi merasakan sesuatu yang nyata dan intens, jauh lebih kuat. Ia menatap mata Keiran."Oke," bisik Bianca, nyaris tak terdengar di antara dentuman musik yang samar. Satu kata, sebuah lompatan keyakinan, sebuah penyerahan diri pada ketidakpastian yang menggoda. "Aku ikut."Senyum Keiran melebar sedikit, bukan senyum kemenangan, melainkan semacam kepuasan yang tenang.Tatapannya pada Bianca penuh makna, seolah berkata, "Aku tahu kau akan melakukannya." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, tidak ada lagi godaan verbal. Ia hanya membuka pintu belakang mobil mewahnya yang gelap, mengisyaratkan Bianca untuk

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   02.

    Godaan Keiran begitu nyata, begitu mendesak. Bianca bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu, menggemakan beat musik klub yang kini terasa seperti soundtrack pribadi mereka. Sensasi panas di punggung tangannya, tempat jemari Keiran menyentuh, menyebar ke seluruh tubuhnya.Ini adalah pelarian yang dia inginkan, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih intens dan berani dari yang pernah ia bayangkan."Ke mana?" bisik Bianca, suaranya sedikit serak. Ada campuran rasa takut dan antisipasi yang membara di matanya.Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia mengucapkan kata itu, dan bagian dari dirinya yang ingin sekali langsung menerima tawaran itu.Keiran tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggeser jemarinya dari punggung tangan Bianca, menyelipkan telapak tangannya di telapak tangan Bianca, lalu menggenggamnya erat.Tatapan matanya yang dalam tak pernah lepas dari Bianca, seolah meminta izin tanpa perlu bicara. Senyum tipisnya melengkung lebih lebar, memancarkan kepercayaan diri dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status