"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih."
Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden kecil pagi tadi," tanggapnya melirik sekilas rekan kerjanya bernama Keli kemudian melangkahkan kakinya menuju ruangan tempat penyimpanan perkakas kebersihan. "Masa sih cuma insiden kecil bikin Pak Baladewa sampe ke sini cuma mau belain kamu. Tadi juga si Nina liat kamu sama Pak Baladewa berangkat barengan. Kamu gak lagi godain Pak Baladewa, kan?" Pertanyaan tuduhan itu membuat Nirmala menghela napas lelah. Dugaannya tadi benar, sudah pasti akan ada kesalahpahaman melihat seorang anak bos yang datang ke kantor atasannya dan membelanya. Saat Nirmala tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba tubuhnya tersungkur akibat dorongan kuat seseorang yang baru saja datang. Tentu saja hal tersebut membuat Nirmala juga rekan kerjanya itu terkejut bukan main. "DASAR OG JALANG! BERANI-BERANINYA KAMU GODAIN CALON TUNANGAN SAYA, HAH?! Nirmala nyaris menangis merasakan nyeri pada pipinya yang baru saja dihantam seseorang. Sembari memegang pipinya yang masih terasa panas, ia mendongak melihat seseorang yang baru sana datang. Dan ternyata dia adalah Viola, anak dari sekretaris CEO yang kemarin sempat terlibat masalah dengannya. Gadis berambut blonde itu menatapnya marah. Sorot mata tajamnya itu bahkan telah berwarna merah bersiap menghunus sosok Nirmala yang telah jatuh tersungkur. "Nona Vi ... ola.... " panggil Nirmala terbata-bata. Ia masih terlalu syok mendapatkan serangan dadakan yang begitu brutal. "KAMU BENER-BENER CARI MATI YA. APA MAKSUD KAMU BERANGKAT BARENG BALADEWA TADI?" Bentakan demi bentakan yang Viola lontarkan membuat psikis Nirmala terguncang. Lengkingan suara itu membuat tubuh Nirmala tak henti-hentinya bergetar hebat. Bahkan saking terkejutnya, ia sempat kesulitan bernapas akibat napasnya yang terasa tercekat. "CEPAT JAWAB SAYA!" Teriakan Viola yang begitu kencang itu mampu mengundang perhatian orang di sekitar. Karena kejadian ini terjadi di basecamp petugas kebersihan, sebagian besar orang yang berkerumun menyaksikan adalah rekan kerja Nirmala. Klakkk ... Viola menendang keras sebuah gagang pel besi hingga membentur pergelangan tangan Nirmala. Tentu saja hal tersebut membuat Nirmala meringis kesakitan. "Ma ... maaf no ... na. Tadi sa ... saya hanya men ... nunjukkan jalan un ... untuk Pak Bala ... dewa," jawab Nirmala kembali tergagap dengan kucuran air mata yang mengalir deras dari pelupuk matanya. Rekan Nirmala yang melihat keadaan Nirmala hanya menatap iba. Bahkan sosok Keli yang tadi berada di dekat Nirmala pun tak sedikitpun berniat membantu. Ia justru berlari mundur menghindari pertikaian Nirmala bersama Viola. "ALAH KAMU PASTI BOONG, DASAR JALANG! AWAS AJA KAMU YA KALAU SAMPAI DEKETIN BALADEWA LAGI, KAMU AKAN SAYA PASTIIN NGGAK AKAN BISA KERJA LAGI DI PERUSAHAAN INI!" gertak Viola lantas meninggalkan Nirmala yang sudah bercucuran air mata. Kerumunan yang menonton insiden pelabrakan Viola itu pun segera membubarkan diri usai Viola berbalik untuk keluar dari ruangan. Tak ada satu orang pun yang menanyakan keadaan Nirmala, bahkan menghampiri pun tidak. Dalam diam Nirmala menangis tergugu. Ia sungguh tak pernah membayangkan akan terlibat masalah dengan sosok Viola. Jika saja ia mengetahui akan terjadi kesalahpahaman besar, ia akan menolak dibela oleh Baladewa. Dengan tertatih ia mencoba bangkit sembari memegang pergelangan tangannya yang terdapat luka memar akibat terkena gagang pel besi. Ia kemudian berjalan keluar gudang dengan setengaj gemetar dan tatapan kasihan dari beberapa rekan kerjanya menyambutnya begitu ia keluar. Nirmala hanya bisa tersenyum miris menyadari sampai kapanpun tak akan ada orang yang benar-benar peduli dengannya. Ia telah salah mengira, kebaikan yang Baladewa berikan kepadanya bukanlah kepedulian melainkan sebuah pemicu kemalangan. "Seharusnya aku tahu tiap kebaikan yang datang ke hidupku hanyalah kemalangan yang menyamar." *** Dari kejauhan terlihat seorang gadis dengan rambut terikat berjalan gontai menyusuri gang kecil dan gelap. Raut wajahnya nampak lelah dan pucat sedangkan seragamnya nampak lusuh dan kotor. "Sudah kuduga kau pasti akan lewat jalan ini lagi." Sebuah suara bariton mengejutkan sang gadis. Ia nampak tersentak dan spontan mendongak. Namun begitu melihat sumber suara, sang gadis buru-buru mempercepat langkahnya. "Hey kau, kenapa malah pergi?" panggil sang pria mencekal pergelangan tangan hingga membuat sang gadis meringis kesakitan. "Argh!" seru Nirmala lantas menarik paksa lengan lebamnya yang tanpa sengaja ditarik oleh sang pria. "EH ASTAGA?! Maafkan aku," pekiknya terkejut melihat rona membiru pada kulit kuning langsat Nirmala. "Lenganmu .... " "Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mohon jika anda melihat saya jangan menegur ataupun mendekat. Dan jika memungkinkan tolong menjauh dari saya, Pak Baladewa," seloroh Nirmala dengan suara lirih. Tenaganya telah habis terkuras oleh banyaknya kemalangan yang menimpanya hari ini. "Ada ap—" "Permisi." Tanpa membiarkan Baladewa berbicara, Nirmala terus saja meneruskan langkah kakinya. Karena masih memiliki urusan, Baladewa menghadang jalan Nirmala. "Baiklah kalau begitu dengarkan aku dulu. Aku kurang tau apa yang telah terjadi kepadamu hingga membuatmu bersikap demikian, tapi terimalah ini sebagai bentuk tanggung jawabku hari ini. Seperti permintaanmu, lain kali aku tak akan muncul dihadapanmu lagi." ujar Baladewa memberikan sebuah paper bag berwarna peach dengan perasaan sedikir kecewa. "Oh iya satu lagi, sebelum kau memakan sesuatu sebaiknya kau pastikan dulu makananmu bersih dan tak berjamur." Usai menuntaskan urusannya, Baladewa lekas berbalik ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Dengan pandangan yang mengabur akibat menumpuknya air mata di pelupuk matanya, Nirmala menatap kepergian Baladewa dengan perasaan bersalah. Entah mengapa perkataan Baladewa itu membuat dirinya dilanda kesedihan dan rasa bersalah. Ia mengintip sedikit paperbag itu dan ternyata di dalamnya terdapat seragam OG yang sama dengan yang ia kenakan sekarang. Seketika itu juga tangisnya pecah menyadari ia telah berbicara buruk kepada sosok yang ternyata tulus berbuat baik kepadanya. *** Ceklek "Akhirnya kakak pulang!" Sesosok gadis kecil tiba-tiba keluar dari kamarnya menghampiri sang kakak yang baru saja memasuki rumah. Nirmala yang tadinya tengah murung akibat pikirannya yang sedang berkecambuk, segera merubah suasana hatinya agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Loh? Kamu udah sembuh, Dek?" tanya Nirmala terkejut melihat Niken yang telah bersemangat menyambut kepulangannya. Sang adik lantas membantu Nirmala melepaskan sepatu yang dikenakan kakaknya. "Udah, Kak, Niken udah sehat kok. Niken besok juga mau berangkat sekolah," ujar gadis kecil itu penuh semangat. Nirmala terkekeh kecil melihat adiknya yang sudah lebih lincah dari biasanya. "Bagus kalau gitu besok kakak bangunin buat siap-siap sekolah." Mendengar hal itu, Niken mengangguk dengan semangat. "Oh iya, Kak, tadi pagi ada orang yang mengetuk pintu rumah. Tapi aku pagi tadi masih lemas jadi nggak bisa bukain. Terus orang itu pergi gitu aja," tutur Niken menceritakan kejadian pagi tadi usai beberapa saat kakaknya berangkat. "Oh ya? Tumben banget ada yang bertamu. Kamu tau nggak siapa gitu atau gimana wajahnya?" Niken menggeleng pelan. "Niken nggak ngeliat wajahnya, Kak. Tapi tadi waktu Niken buka pintu ada kartu nama ini. Apa itu teman kakak?" jawab Niken memberikan sebuah kartu nama berwarna putih dengan sedikit corak merah dan biru. Kening Nirmala berkerut terheran. Karena tangan kanannya terdapat luka lebam, Nirmala mengambil kartu nama itu dengan tangan kirinya. "Surya Andreas? Kenapa seorang notaris berkunjung ke sini?" TbcMalam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po