Hanum merasa selama keduanya masih bisa dipersatukan, jangankan sekedar mengatakan Bagas bodoh, meskipun harus memandikan sang putra dengan 7 air comberan pasti akan ia lakukan.
Hanum berpikir itu sah-sah saja, karena Bagas putranya memang telah menyelam dan berenang di dalam comberan, bukankah dia tinggal menenggelamkannya 6 kali lagi. Sementara, mendengar setiap detil pembicaraan ibu dan Angel dari luar, wajah Bagas menghitam dengan kemarahan. Dan tentu saja, itu tidak di tujukan untuk kedua orang di balik pintu, melainkan untuk sosok di luar sana. Bagas masih belum menyadari, bahwa semuanya bukan karena orang lain semata, melainkan dirinya sendiri juga ikut berperan. Tangan besarnya yang kokoh mengepal kuat, ia mengingat air mata serta kekecewaan di mata Angel beberapa hari lalu, ketika menerima Vidio dari sosok tak di kenal. Bagas mengakui kejadian itu adalah kesalahan bodohnya, yang berpikir bahwa ia akan dapat mencuci segalanya, dengan pengakuan dan permintaan maaf. Sungguh naif jika berpikir bahwa semua akan mudah bagi mereka, dengan hanya mengaku dan memohon pengampunan. Namun, yang tidak di sadarinya, bahwa luka itu akan selalu bersama sang istri di sepanjang hidup ini. Bagas mengacak rambut cepak miliknya kasar, ternyata semua tak semudah yang di pikirkan, kenyataannya Angel begitu terluka dengan kejadian ini. Penyesalan sejak kepergian Angel beberapa hari kemarin telah membuat Bagas menyadari bahwa Sikap sembrono nya serta meremehkan suatu masalah harus di ubah, jika tidak ingin kehilangan sang istri. Dan mungkin akan lebih baik, jika menjadi sosok kedua seperti ayahnya. Iya Hartono adalah sosok sempurna bagi keluarga kecil mereka. Pria hebat, dengan kharisma kuat serta sisi lembut seorang suami bagi Hanum, dan juga seorang ayah bijaksana, yang mampu menjaga keutuhan keluarga serta jadi panutan mereka. Bagas beranjak dari tempatnya berdiri, berjalan menuju ruang di mana punggung sang ayah menghilang. "Thok..Thok..Thok.." Bagas mengetuk pintu kamar yang telah terbuka, di mana di sana sosok Hartono duduk di depan laptop memperhatikan sesuatu. "Yah.." Panggilnya. Sosok di dalam ruang itu menoleh, ketika panggilan akrab mengetuk ke dua daun telinga miliknya. Sebenarnya, Handoko telah mengira sejak awal, bahwa Bagas akan menyusul. Namun, ia tidak menyangka itu masih membutuhkan waktu hingga beberapa saat. "Dasar bodoh, sudah bodoh lamban." Gerutu Hartono pelan. Mendengar sang Ayah memperoloknya, Bagas tidak tersinggung ataupun marah. Justru ia lebih tenang dengan apa yang akan mereka perbincangkan. Sebab, ia menyadari bahwa ternyata sang ayah telah menebak tindakannya saat ini, bahkan juga sudah menunggunya sejak tadi. "Masuklah." Jawab pendek Hartono. Bagas berjalan menuju kursi di samping Hartono, mendudukkan tubuh tegapnya. "Apa yang Ayah lihat?, mengapa begitu serius?." Bagas membuka percakapan. Akan tetapi, Hartono tidak menyahuti pertanyaan Bagas, ia melanjutkan mengetik beberapa bait kalimat, dan menutup laptop setelahnya. "Katakan apa yang ingin kau bicarakan?, jika itu tentang keputusan istrimu jangan harap aku akan membantumu dengan mudah." Hartono mengatakan itu sembari melihat ekspresi sang putra, ia ingin memberikan beberapa tekanan lagi untuk pria bodoh di depannya saat ini. "Itupun bukan semata-mata demi dirimu, kami juga tak ingin kehilangan dia, karena tindakan dungu orang lain." Sambung Hartono lagi. Bagas tersenyum kecut, ia tidak lagi menghiraukan kalimat kasar dan menohok dari ayahnya tersebut. Bahkan ia hanya diam setiap kali mendengar, namanya di ubah dengan banyak kata ganti buruk. "Ia..aku tahu" Jawabnya singkat. "Tahu?, apa yang kau pahami, bahkan di depan mata di permainkan juga masih buta, sungguh membuatku kesal saja." Sahut Hartono, dengan suara yang agak di pertegas. Bagas benar-benar jatuh kali ini. Ia seolah tidak lagi memiliki kepandaian, yang dulu di banggakan sang ayah. Perlahan Bagas mengangkat kepala, menatap balik manik Hartono dan berucap dengan tenang. "Ia Bagas bodoh, maafkan aku kali ini telah membuat ayah dan ibu cemas." Perkataan itu memang tampak biasa, seperti sebuah permintaan maaf pada umumnya. Akan tetapi, dari sorot wajah di sana, Hartono mampu menangkap kesungguhan yang kuat, seperti sosok yang ia ingat di masa lalu. Sosok diri sendiri, ketika menginginkan sesuatu dan kegigihan untuk mencapai itu semua, Hartono menghela nafas panjang. Ia mengakui dalam hati, bagaimanapun Bagas adalah bagian dari dirinya dan sang istri. Jadi sosok sang putra tidak mungkin akan seburuk itu, untuk tidak dapat melihat perbedaan baik dan buruk. Justru, mungkin dengan kejadian kali ini putranya tersebut, akan jauh lebih matang dalam pemikiran. Dan hanya memerlukan kesempatan kedua, serta sedikit arahan. "Baiklah..Katakan apa yang ingin kau bicarakan.""Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati. Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, sebab di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke depan. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir, wanita itu berpikir bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah ia memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu beberapa saat tadi, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa sesak menyeruak dalam dada, yang perlahan menghimpit hati Angel, mungkin ini mengacu pada rasa malu, kesal pada diri sendiri, atau mungkin merasa rendah sert
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan. "Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dia merasa kesal melihat orang lain menertawakan sekertaris nya, meskipun dia juga sempat merasa lucu tadi. Tapi itu berbeda jika dia yang mentertawakan makhluk bodoh ini, dan hanya dia yang boleh orang lain tidak. Anggara tidak menyadari semua sikap dan tindakannya saat ini. Maklumlah seorang Anggara kapan akan mempertimbangkan ucapan d
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel