“Totalnya delapan puluh tujuh ribu, Pak.”
Juan menyodorkan sebuah kartu debit ke seorang kasir yang tengah melayaninya. Biasa. Malam hari membuatnya lapar. Terlebih dia sedang ada banyak tugas koreksian kuis beberapa mata kuliah dalam rangka persiapan menjelang ujian tengah semester. Selain otaknya yang bekerja, perutnya juga bekerja. Jadi, Juan memilih untuk keluar dari kamar dan pergi menuju minimarket yang berada tak jauh dari asrama dosen.
Saat tengah memencet tombol pin, ponselnya tahu-tahu berdenting. Dirogohnya ponsel di dalam saku celana panjangnya, lalu dilihatnya apa yang barusan membuat ponselnya berbunyi. Kalau ternyata hanya berupa pesan penawaran pinjaman, penawaran kartu kredit, dan lain-lainnya yang tidak jelas, otomatis akan langsung Juan ab
“Ini obatnya. Diminum setelah makan, ya,” ujar salah seorang perawat yang tampaknya sudah hafal dengan wajahnya.Jelas. Sudah dua kali Chloe datang ke klinik dengan kondisi yang tak wajar. Pertama adalah karena tenggelam dan yang kedua, sebenarnya demam itu bisa dikatakan penyakit yang wajar, kalau saja tidak ditambah dengan luka merah melepuh di sekeliling lehernya. Itulah yang menjadi tanda tanya bagi perawat juga dokter yang menangani Chloe. Jadi, selain obat demam, mereka juga memberikan Chloe semacam obat krim agar bekas pelepuhannya bisa benar-benar hilang.“Makasih banyak, suster,” jawab Chloe tersenyum.“Mudah-mudahan kita ngga ketemu lagi di klinik, ya. Lebih baik ketemunya di luar klinik,” ledek sang perawat dimana Chloe sontak tersenyum rikuh mendengarnya.
Siang harinya, Chloe memilih untuk mengikuti kegiatan perkuliahan. Sempat dimarahi oleh Grace, karena teman sekamarnya itu merasa Chloe masih harus menyediakan banyak waktu luang untuk memulihkan lagi staminanya. Hanya saja, memang pada dasarnya susah dinasihati, Chloe bersikukuh untuk hadir semata-mata karena sayang dengan materi perkuliahan yang tertinggal. Padahal nantinya belajar sendiri pun masih bisa. Grace sendiri juga tidak yakin Chloe bisa benar-benar menangkap materi yang sedang diajarkan, terlebih kepalanya terkadang masih nyut-nyutan.“Ngga apa-apa, Grace. Gue malah jadi bosen kalau di kamar terus,” ujar Chloe setiap kali Grace memintanya untuk memikirkan ulang niatnya.“Ya udah deh, terserah. Awas ya kalau panggil-panggil gue di waktu lo pingsan,” ancamnya.“Ya, kalau lagi
Juan menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Andai Chloe bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya sekarang, tentu itu akan jauh lebih baik, jadi Chloe bisa langsung memikirkan kalimat balasan selanjutnya. Namun, sayangnya hal itu mustahil. Chloe tidak memiliki kemampuan semacam itu. Alhasil dia hanya membalas tatapan Juan sambil terus menunggu, sekaligus menebak-nebak tanggapan macam apa yang akan diberikan oleh dosennya itu.“Kenapa memangnya?” Juan akhirnya membalas.Sudah pasti karena sampai saat ini pun Juan selalu saja hadir di saat Chloe sedang merasa tidak baik-baik saja! Apa Juan sendiri tidak menyadarinya?Entah itu di saat Chloe merasakan kepalanya berdenyut-denyut sewaktu melamun di halte bus klinik, atau saat dirinya tengah mengalami perundungan oleh para seniornya yang term
“Apa kabar nih Om Edgar?” tanya Grace ketika dirinya dan Chloe telah mencapai pintu depan asrama. “Makin tambah umur kok makin keliatan muda aja, Om,” rayunya kemudian.“Ah, si Grace ini bisa aja,” sahut Tuan Edgar terkekeh. Paling tidak bisa jika mendengar pujian dari Grace. “Om kangen lo kamu main ke rumah. Kalau rumah kedatengan kamu … wah udah pasti ramai itu.”Grace tertawa. “Iyalah. Om Edgar, kan, kalau udah ketemu saya, pasti udah ngga bakal kekontrol lagi ketawanya,” cetusnya.“Nah, betul itu,” sahut Tuan Edgar sependapat. Kali ini keduanya benar-benar tertawa lantang, sementara Chloe hanya berdiri sambil menikmati tawa mereka berdua saja.Tuan Edgar mengalihkan perhatiannya pada Chloe
Tidur Chloe benar-benar nyenyak semalam. Rasa-rasanya hawa nyaman ketika tidur telah kembali datang sesaat setelah dirinya sampai di dalam kamar yang sudah hampir satu bulan ini dia tinggalkan. Beban pikiran yang tadinya menghantui selama di Seirios pun mendadak hilang. Seakan terhalang sejenak oleh rasa rindunya, sehingga berada di rumah sepanjang hari, Chloe sama sekali tidak merasa muram. Andai saja dia bisa lebih lama berada di rumah bersama Tuan Edgar, mungkin hari-harinya akan terasa jauh lebih baik.“Wah, Chloe udah keliatan besar nih,” celetuk salah seorang pegawai toko bunga milik Nyonya Alessa, mama Chloe, yang sekarang—setelah kepergian Nyonya Alessa—telah murni dikelola seorang diri oleh Tuan Edgar.Kecintaan Nyonya Alessa terhadap bunga membuatnya memutuskan untuk membuka usaha toko bunga, sekaligus juga un
“Kenapa jauh banget sih mainnya?”“Ya, gimana, ya? Lokasi syuting, kan, ngga cuma di situ-situ aja,” ujar Alex meraih sebotol minuman kopi yang ada di sampingnya. “Sekalian biar lo ngga cuma berkutat sama Kalkulus terus di dalam asrama. Udah jutek, makin jutek deh lo gara-gara ngga pernah cari hiburan di luar rumus.”Juan ikut duduk di salah satu deretan anak tangga yang mengelilingi taman skateboard. Entah sebenarnya anak tangga itu diperuntukan sebagai tangga biasa atau memang sekaligus bisa digunakan sebagai tempat duduk, yang penting Juan bisa mengistirahatkan kedua kakinya usai berkendara cukup jauh hanya untuk menemui Alex yang sedang galau karena l
Sekian lama terabaikan, es krim yang berada di genggaman tangan Chloe pun mencair. Meluncur jatuh ke atas aspal tepat di depan sandal flip-flop yang dia pakai. Nyaris mengenai jari-jari kakinya. Namun, Chloe tidak terlalu mempedulikan itu, karena apa yang kini berada di depannya jauh lebih menjadi masalah. Setidaknya itu yang Chloe pikirkan.Berniat untuk berlari pergi, tapi tidak mungkin. Sudah tertangkap basah saling bertatapan. Terlebih ketika Chloe tahu kalau lelaki di depannya sudah lebih dulu bergerak mendekat. Itu artinya mau tak mau dia harus menyambut kehadiran Juan.Kini Juan sudah berhenti tepat di depannya. Jari-jari tangannya dijejalkan ke dalam celana denim yang dia kenakan. Kaus oblong putih polos yang membaluti tubuhnya, lebih membuatnya tampak cer
“Kalau lo setuju, lo jahat banget, Ju.”Juan masih belum bisa memutuskan. Entah kenapa permintaan dari Chloe barusan seperti sebuah permintaan yang teramat sulit untuk disetujui.“Lo sadar ngga, sih, kalau barusan lo udah buat hati dia sakit? Jangan malah makin dibuat sakit lagi dengan lo terima permintaannya dia.”Terlebih lagi seseorang yang berada di sampingnya sejak tadi ini begitu rewel memberi masukan yang sebenarnya tidak perlu. Sudah pusing dihadapi mahasiswa yang tiba-tiba saja mengakui perasaan padanya, lantas masih harus ditambah pusing lagi dengan kalimat-kalimat Alex yang semakin menyudutkannya. Mengisyaratkan seakan-akan Juan-lah yang paling jahat di sini. Lagi pula, kenapa juga Alex mesti kembali menemui Juan usai mengantar arwah yang dijemputnya? Pasti karena ada Chloe.