Share

Bab 3. Tidak Ada Celah

“Bisa gak sekali saja kamu bangunin saya gak pake teriak, Na! Bisa-bisa telinga saya ini jadi tuli.”

Suara serak dan maskulin langsung menyapa indera pendengaranku. Bibirku langsung cemberut dan dengan cepat membalikkan tubuh hingga membelakangi seorang lelaki yang dengan begitu percaya diri tidur hanya mengenakan celana pendek.

Apa pria ini tidak tahu jika auratnya itu begitu membuatku menggila. Aku ini adalah pecinta pria yang bertubuh atletis dan kenapa juga Gartama harus memiliki semua tipe idealku sebagai pendamping hidup, tetapi tidak dengan sifat menyebalkan yang sungguh membuatku ingin menceburkan dia ke sungai A****n.

“Kamu ngapain masih berdiri di situ? Dan mau sampai kapan kau membelakangiku? Apa kamu tidak ingin memberitahu jadwalku hari ini?”

“T-tapi bapak sudah berpakaian, ‘kan?” Eh, itu bukan suaraku, ‘kan? Kenapa jadi gugup begini, sih! Come on, Ina! Itu tubuh udah sering kamu lihat beberapa tahun ini. Jadi, gak usah lebay, deh!

“Cih, gayamu udah kayak anak perawan saja.” Cibirannya benar-benar membuatku ingin melempar sandal rumah ini ke mulutnya yang kissable itu. Oh, ayolah, Naina. Ada apa dengan otakmu pagi ini? Aku pun memutuskan untuk menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dari mulut.

“Naina.”

“Bisa gak sih gak usah panggil namaku semanis itu?” jeritku dalam hati.

Aku pun membalikkan tubuh dan ternyata memang benar jika pria itu sudah menggunakan jubah tidurnya, tetapi itu kulit dadanya bisa gak sih ditutup dengan benar. Apa dia gak tahu tangan ini begitu gatal ingin mengusapnya. “Naina, stop! Otakmu sepertinya mulai bermasalah!” batinku mengingatkan.

“Untuk jam 10 nanti bapak ada rapat dengan Pak Riki di restoran Jepang, lalu jam 3 sore ada rapat dengan dewan direksi. Sedangkan nanti malam, Nyonya meminta saya untuk mengingatkan Anda untuk datang ke acara pernikahan dari Nona Rebecca.”

“Bisakah yang terakhir kamu batalkan?”

“Ada pa, Tuan?”

“Aku sedang tak berminat untuk datang ke acara itu.”

Aku hanya menyeringai sinis.

“Ada apa dengan seringaimu itu?”

Sontak hal itu membuatku refleks mengulum bibir. Aku tidak tahu jika pria di depan sana memperhatikanku. Akan tetapi, perhatian dia itu sungguh membuat jengkel. “Tapi, Nyonya Anggun meminta saya untuk membawa Anda–”

“Maksudnya, kamu ikut ke sana?” Entah kenapa aku bisa mendengar nada antusias pada suara Gartama, atau mungkin telingaku saja yang mulai eror.

“Benar, Tuan,” ujarku sopan. “Kalau gak inget emak situ maksa juga aku ogah datang,” lanjutkan dalam hati.

“Ok. Kalau gitu kamu minta Dion buat mempersiapkan pakaian terbaikku.” Dion adalah desainer pribadi keluarga Wirasesa. Kalian tidak perlu kaget, hal itu sudah biasa bagi kaum elite seperti mereka. Memang diriku yang kaum mendang-mending.

Walaupun banyak pertanyaan yang kini mulai menggelayuti otakku, tetapi aku memilih mengenyahkan dan segera menunduk sopan karena Gartama akan mandi. Tidak mungkin juga aku melihatnya basah-basahan dan membuat otakku yang masih suci ini menjadi kotor karena harus membayangkan hal tak senonoh berkelebat dalam pikiran.

Sambil menunggu pria itu memakai baju, aku duduk di sofa dan memberi perintah kepada Gilang–sekretaris kedua yang selalu siap membantuku ketika aku kerepotan menangani semua jadwal super sibuk milik Gartama. Jika tidak ada Gilang, mungkin aku sudah gila sendiri. Percuma punya duit banyak, tetapi tidak bisa menikmati, itu kata Nadia yang sok bijak.

“Pakaikan dasiku!”

Sebuah tangan besar tiba-tiba berada tepat di depan wajahku yang sedang sibuk dengan tablet. Aku mendongak dan menemukan wajah Gartama yang sialnya selalu tampan.

“Apa kamu akan hanya melihatku tanpa mau membantuku?” Pertanyaan bernada sinis terlontar dari mulut Gartama yang memang selalu sukses membuat imajinasiku ambyar.

Dengan satu kali tarikan napas, aku mulai mengulas senyum dan berdiri tepat di depan Gartama, tetapi sepertinya hal ini yang paling membuatku benci dengan diriku. “Maaf, Pak. Bisa tidak bapak menunduk sedikit? Saya kesulitan memasangkan dasi kepada Anda,” ujarku.

Tinggi badan Gartama 183 cm, sedangkan diriku yang hanya 163 membuatku terlihat kecil ketika berdiri di sisinya, padahal jika di sebelah teman-teman yang lain aku ini termasuk tinggi. Namun, jika sudah di samping si bos maka aku terlihat seperti kurcaci. Ingin mengelak pun terasa percuma.

“Makanya minum susu peninggi badan,” sindirnya.

Aku pun hanya tersenyum seadanya, walau tangan ini ingin sekali memukul mulut Gartama yang senang sekali meledek tinggi badanku. “Bapak saja yang terlalu tinggi,” balasku mencibir.

Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Aku sibuk mengikat dasi di kerah kemeja si bos, sedangkan Gartama … entahlah. Aku tidak bisa melihatnya yang kurasakan dari dirinya adalah embusan napas pria itu menyentuh kulit kepalaku. Mata ini terlalu sibuk untuk membuat simpul kematian di leher sang bos, bercanda. Mana mungkin aku berani melakukan itu, bisa kere langsung diriku.

“Aku dengar, kamu mau mengajukan cuti. Mau ke mana kamu?”

Keningku mengernyit, lalu setelah selesai membuat simpul dasi pada kemeja si bos kini netraku pun fokus padanya. “Apa saya sudah membicarakan hal ini dengan Anda?” Aku merasa belum pernah bicara tentang hal tersebut makanya bertanya pada si bos.

Gartama menggeleng sambil sedikit melonggarkan dasi yang kusimpul tadi. Mungkin dia merasa tercekik karena aku mengikatnya terlalu kencang, tetapi aku tak peduli.

“Gilang yang bicara padaku.”

Kedua netraku langsung berotasi jengah. Mulut Gilang ini memang paling tidak bisa menjaga rahasia barang sedikit pun, tetapi yang membuat heran kenapa harus kepada Gartama? Padahal niatku hari ini mau bicara langsung pada si bos, tetapi kalau sudah seperti ini pun terasa percuma. Sudah tercebur, ya lanjut basah sekalianlah.

“Naina.” Tuh, ‘kan. Gartama dengan suara manis sungguh perpaduan yang membuat jantungku meringis. Sungguh, aku tidak suka jika sudah dalam kondisi seperti ini. Belum sempat aku membuka mulut, pria di depanku sudah kembali bicara.

“Kenapa harus 7 hari?” tanya Gartama masih tidak menyerah. “Ya, karena apalagi selain aku ingin bebas darimu, Bos,” balasku dalam hati. Ingat, dalam hati. Mana berani aku bicara segamblang itu di depannya.

“Kenapa tidak pergi di hari weekend saja? Kenapa harus satu minggu? Apa kamu tidak tahu jika dalam 7 hari itu ….” Gartama terus saja bicara panjang lebar tentang bagaimana dirinya dan perusahaan tanpa seorang Naina yang sering menghandle semuanya. Belum lagi ketakutan yang sangat tidak masuk akal jika diriku akan mati dimakan buaya, atau dibegal di jalan, atau hal-hal lain yang membuatku ingin sekali mencium bibirnya itu.

Aku mengumpat saat pikiran kotor itu kembali membayangiku. Sungguh, diriku ini adalah wanita yang juga memiliki ketertarikan fisik kepada lawan jenis. Akan tetapi, jika mulut si bos sudah khotbah begini kadang membuatku sedikit ilfil. “Jadi, intinya bapak mau ngasih saya cuti apa gak?” Kupotong langsung ceramah Gartama saat diri ini sulit menemukan celah diriku bicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status